Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 64531 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Emilia Siswadi Naland
"Salah satu masalah yang dapat timbul dalam bubungan suami isteri adalah perselingkuhan di mana suami atau isteri terlibat dalam hubungan seksual dan terikat secara emosional dengan orang lain yang bukan pasangannys. Perselingkuhan meaimbulkan hetbsgai dampsk negatif dalam kehldupan berkeluarga karena suami atau isteri yang herselingkuh akan membagi babkan mengalihkan cinta kasih, perhatian, dana dan kebutuban keluarga yang lain dari pasangannya dan anak-anaknya, kepada orang ketiga yang menjadi pasangan selingkuhnya. Akibatnya kehldupan keluarga menjadi terganggu, suami-isteri kehilangan kepeccayaan tecbadsp pasangannya dan hubungan keduanya menjadi tidak harmonis. Perselingkuhan menurut catatan beheraps penelitian lebih banyak dilskukan oleh suami daripada baeri dan menimbulkan dampak lebih buruk pada isteri karena isteri memandang makna perselingkuhan dari sisi kesalahan ataupun kekurangan di dalam dirinya. Isteri akan merasa dirinya tidak berharga, kehilangan kasih sayang, perharian dan dulrungan dari suami sehingga mereka mudah menjadi depresi. Akibat lebih lanjut, isteri mungkin menjadi kurang mampu menjalankan fungsi-fungsi psilrologisnya dengan baik. Ia sendiri kurang dapat melihar kebaikan dirinya, enggan membina hubungan yang akrab dan bangat dengan orang lain, kurang mampu mengambil keputusan sendiri, sulit mengatur berbagai aktivitas yang hams dilakukannya, kehilangan minat untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya, bahkan dapat kehilangan makna dan tujuan hidupnya sehingga dapat dikatakan merasa tidak sejahtera secara psikologis. Penelitian ini mengkaji kesejahteraan paikologis isteri yang mempunyai pengalaman suami berseelingkuh dengan membedakan isteri usia dewasa muda dan isteri usia dewasa madya, mengingat karakteristik dan tugas perkembangan kedua tahapaa usia tersebut berhada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : Pada awal perselinglroban terungkap, kesejahteraan psikologis isteri terganggu baik pada isteri usia dewasa madya atau muda. Namun demikian, kesejahteraan psikologis dapat pulib kembali setelah mereka dapat menerima kenyataan yang terjadi, mengambil keputusan mangenai kelanjulan kehidupan perkawinan dan menyesuaikan diri dengan 'kehidupannya yang baru' yaitu tetap mempertahankan perkawinan alan bereerai. Empat responden dewasa madya dalam penelitian ini terdiri dari 2 responden yang telah bercerai dan 2 respnnden yang mempertahankan perkawinan merasa sejahtera secara psikologis Kedua responden dewasa madya yang memutuskan bercerai, secara umum memiliki kesejahteraan psikologis lebih baik dibandingkan dengan dua responden dewasa madya yang mempertahankan perkawinan. Hal ini antara lain disebabkan karena kedua responden yang mempertahankan perkawinan. belum dapat menyelesaikan masalah parselingkuhan suarni secara tuntas. Seorang responden, suarninya tetap berselingkuh dan seorang. yang Jain mempunyai anak di luar perkawinan mereka. Kadua responden dewasa muda merasa tidak sejahtera secara psikologis. Mereka berdua merasa kurang dapat menerima diri mereka dengan baik dan lebih banyak melihat kekurangan diri. Keduanya belum dapat mengambil keputusan mengenai kelanjutan parkawinan mereka apakah akan dipertahankan atau bereerai dan sedang mempertimbangkan berbagai konsekuensi yang menyenainya. Beberapa karakteristik dan tugas perkembangan dewasa madya tampaknya Jebih memudahkan untuk merasa sejahtera. Hal ini antara lain disebabkan karena semua responden dewasa madya mandiri secara ekonomi, mereka mempunyai peeghasilan atau pekerjaan yang dapat diandalkan. Dalam menjalankan peran sebagai orang tua atau ibu, dewasa madya khususnya mereka yang mempunyai anak sudah cukup besar tidak Jagi banyak disibukkan oleh tugas-tugas mengurus dan merawat anak sehingga mereka dapet melakukan berbagai aktivitas sebagaimana dibutuhkannya, termssuk bekerja tanpa banyak mengalami konflik peran. Selain itu, sebagian respondan dewasa madya mempunyai anak-anak yang sudah berusia remaja atau dewasa muda sehingga dapat memberikan dukungan kepada ibunya dalam bentuk saran, kerja sama dan saling tolong menolong memenuhi berbagai kebutuhan atau mengatasi kesulitan. Selanjutnya dikemukakan saran agar penelitian ini dapat dikembangkan dengan menambah responden yang bentda dalam kondisi lebih bervariasi. Seperti misalnya, panting ditelaah kesejabteraan psikologis responden dewasa madya yang tidak mempunyai pekerjaan atau penghasilan yang dapat diandalkan, responden dewasa muda yang bercerai agar dapat dipelajari cara mereke mengatasi masalah finansial dan kesibukan mengurus anak tetapi tetap mampu merasa sejahtera secara psikologis. Hasil penelitian akan lebih kaya apabila dilakukan pula penelitian terhadap kesejahteraan psikologis suami yang isterinya berselingkuh agar dapat diketabui pengaruh dari peran jender Selanjutnya dikemukakan juga saran praktis untuk isteri yang mempunyai pengalaman suarni berselingkuh agar tidak berlarut-Iarut tenggelarn dalarn depresi dengan membuka diri dalarn mengatasi berbagai masalah yang mungkin timbul dan segera menata diri kembali dengan kebidupan yang baru bersama atau tanpa suami. Isteri dewasa muda yang belum bekerja dapat segera membekali diri dengan ilmu dan keterampilan agar dapat memberdayakan diri dan tidak seterusnya bergantung kepada suarni, terutama hila perkawinan tidak dapat dipertabakankan Mendekatkan diri kepada Tuhan akan menambah ketegaran serta memberikan pengharapan dalam mengatasi kesulitan yang mungkin dihadapi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
T37885
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Geulis Nabila Azkarini
"Kondisi pandemi COVID-19 hingga masa peralihan saat ini berdampak pada seluruh sektor industri di Indonesia, salah satunya jasa keuangan non-bank...

The COVID-19 pandemic to the current post-pandemic transitional period has impacted all industrial sectors in Indonesia, including non-bank financial services..."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aristawidya Alyani
"Pandemi Covid-19 menimbulkan adanya kebijakan untuk menerapkan Bekerja dari Rumah (BDR). Karyawan tidak memiliki pilihan selain mengikuti kebijakan tersebut, karena itu perubahan kondisi dan metode kerja menimbulkan tekanan yang berdampak pada kesejahteraan psikologis para karyawan. Berdasarkan hal itu, kesejahteraan psikologis karyawan perlu diteliti, khususnya pada karyawan BDR di Indonesia pada masa pandemi Covid-19. Penelitian ini juga dilakukan untuk melihat hubungan antara thriving at work dan keterlibatan kerja dengan kesejahteraan psikologis para karyawan BDR di masa pandemi Covid-19, serta peran mediasi keterlibatan kerja. Responden penelitian berjumlah 205 karyawan BDR di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa thriving at work dan keterlibatan kerja mampu menjadi prediktor dari kesejahteraan psikologis karyawan BDR di Indonesia pada masa pandemi Covid-19. Thriving at work juga dapat menjadi prediktor dari keterlibatan kerja karyawan BDR di Indonesia pada masa pandemi Covid-19. Namun demikian keterlibatan kerja tidak memiliki peran sebagai mediator terhadap hubungan thriving at work dengan kesejahteraan psikologis. Selain itu, partisipan dengan frekuensi BDR sebanyak 1 sampai 2 hari per minggu memiliki skor kesejahteraan psikologis dan thriving at work yang lebih tinggi dibandingkan partisipan dengan frekuensi BDR sebanyak 3 sampai setiap hari per minggu. Hal tersebut sejalan dengan penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa frekuensi BDR menjadi penentu kesejahteraan psikologis para karyawan.

Covid-19 pandemic led to implementation of Work from Home (WFH). Employees do not have other choices than to follow the policy, therefore changes in working conditions and methods create pressure that has an impact on the psychological well-being of employees. Therefore, the psychological well-being of employees needs to be re-examined, especially for WFH employees in Indonesia during the Covid-19 pandemic. This research was conducted to see the relationship between thriving at work and work engagement with psychological well-being of Indonesia's employees who work from home and whether work engagement has a mediating role on the relationship between thriving at work and psychological well-being. The participants of this research consist of 205 Indonesian WFH Employees. The results show that thriving at work and work engagement can be the predictors of psychological well-being of employees who work from home in Indonesia during Covid-19 pandemic. In this study, thriving at work can also be a predictor of work engagement of employees who work from home in Indonesia during Covid-19 pandemic. However, work engagement does not have a mediating role on the relationship between thriving at work and psychological well-being. Participants with WFH intensity of 1 to 2 days per week had higher psychological well-being and thriving at work than those of 3 to every day per week. This is in line with previous research which says that the WFH intensity is one of the determinants of the psychological well-being of employees."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Naufal Sugiharto
"Model kerja hibrida semakin populer di berbagai industri dengan menawarkan fleksibilitas bagi karyawan untuk bekerja di kantor dan dari jarak jauh. Namun, hal ini menimbulkan tantangan bagi kesejahteraan subjektif karyawan, seperti stres, kelelahan digital, kurangnya hubungan sosial dengan rekan kerja, dan kesulitan menjaga keseimbangan kehidupan-kerja. Penelitian ini menguji hubungan antara keterlibatan kerja dan kesejahteraan subjektif pada 140 pekerja berusia 19-56 tahun di Indonesia yang telah menjalani model kerja hibrida setidaknya selama 3 bulan. Data dikumpulkan melalui kuesioner dengan alat ukur The PERMA-Profiler dan Utrecht Work Engagement Scale (UWES)-9. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi positif secara signifikan antara keterlibatan kerja dan kesejahteraan subjektif (r = 0,637; p <0,01; one tailed) yang mengindikasikan bahwa semakin tinggi pekerja terlibat dalam pekerjaannya, maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan subjektif yang dirasakannya. Oleh karena itu, perusahaan perlu merancang kebijakan yang mendukung fleksibilitas kerja dan memberikan dukungan yang memadai untuk meningkatkan keterlibatan dan kesejahteraan pekerja.

Hybrid working models are gaining popularity across industries by offering employees the flexibility to work in the office and remotely. However, this challenges employees subjective well-being, such as stress, digital fatigue, lack of social connection with coworkers, and difficulty maintaining work-life balance. This study examined the relationship between work engagement and subjective well-being in 140 workers aged 19-56 in Indonesia who had been in a hybrid work model for at least 3 months. Data were collected through questionnaires with The PERMA-Profiler and Utrecht Work Engagement Scale (UWES)-9 measurement tools. The results showed a significant positive correlation between work engagement and subjective well-being (r = 0,637; p < 0,01; one tailed) indicating that the more engaged workers are in their work, the higher their subjective well-being. Therefore, companies must design policies that support work flexibility and provide adequate support to improve worker engagement and well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Rachmawati Sugianto
"Pada umumnya, semua orang setelah dewasa akan menikah. Namun ada orang-orang yang belum menikah meskipun telah berusia lebih dari usia yang dianggap lazim untuk menikah, yang disebut orang lajang. Dengan mempertimbangkan definisi orang lajang dari Cargan dan Melko, teori perkembangan dari Havighurst dan usia rata-rata pernikahan di Indonesia, maka dalam penelitian ini yang dimaksud dengan orang lajang adalah orang-orang berusia 30 tahun atau lebih yang belum pemah menikah.
Kehidupan sebagai orang Iajang seperti memiliki dua sisi. Di satu pihak orang lajang memperoleh keuntungan-keuntungan dari kesendiriannya, tetapi di lain pihak ia juga harus menghadapi berbagai masalah dan stereotipe dari masyarakat yang sebagian besar bersifat negatif.
Dalam dua dekade terakhir ini jumlah orang lajang terus bertambah, termasuk di wilayah DKI Jakarta. Para ahli manca negara pun mcrasa tertarik untuk meneliti orang lajang, khususnya yang berkaitan dengan psychological well-being. Hasilnya ternyata kontroversial. Ada para ahli yang menemukan bahwa status Iajang berhubungan dengan psychological well-being dan ada pula yang tidak menemukan hubungan antara keduanya.
Selain hasil yang kontroversial, peneiitian-penelitian tersebut juga dilakukan di luar Indonesia dan pada tahun 80-an. Hal ini menimbulkan pertanyaan apakah hasil-hasil penelitian tersebut dapat diterapkan di Indonesia dan masih relevan dengan kehidupan masyarakat saat ini. Di samping itu, kehidupan orang lajang dengan segala keunntungan dan masalah yang diperoleh dari kesendiriannya menimbulkan pertanyaan, yaitu bagaimanakah psychological well-being mereka. Apakah ada hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being.
Selanjutnya karena adanya perbedaan kondisi antara pria lajang dengan wanita lajang, maka akan diteliti juga apakah ada perbedaan nilai rata-rata psychological well-being antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah, antara pria lajang dengan wanita lajang dan antara pria menikah dengan wanita menikah. Mengingat psychological well-being juga berkaitan dengan tingkat pendidikan diri tingkat penghasilan, maka juga diteliti apakah ada perbedaan psychological well-being pada subyek dengan tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan yang berbeda.
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori psychological well-being dari Ryff serta berbagai teori yang menggambarkan kehidupan orang lajang Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data. Subyek yang digunakan dalam penelitian ini diambil dengan teknik incidental sampling dengan karakteristik pria atau wanita, belum pernah menikah atau yang sudah menikah, berusia 30-40 tahun, bekerja, tamat SLTA dan berdomisili di Jakarta Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perhitungan persentase, korelasi point-biserial dan ANOVA. Uji validitas dilakul-can dengan menggunakan teknik korelasi Pearson dan uji reliabilitas dilakukan dengan teknik alpha Cronbach.
Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan tidak adanya hubungan yang signifikan antara status lajang dengan psychological well-being. Juga tidak ditemukan adanya perbedaan nilai rata-rata psychological well-being yang signifikan antara pria lajang dengan pria menikah; antara wanita lajang dengan wanita menikah; antara pria menikah dengan wanita menikah; antara pria lajang dengan wanita lajang; antara subyek dengan tingkat pendidikan berbeda dan antara subyek dengan tingkat penghasilan berbeda.
Hasil penelitian ini kemungkinan disebabkan karena alat yang tidak mengukur, presentase subyek yang kurang berimbang atau karena sebenarnya hubungan antara status Iajang dengan psychological well-being Iebih terkait dengan kualitas hidup melajang itu sendiri.
Saran yang disampaikan penulis bagi penelitian selanjutnya adalah penyempurnaan alat ukur, menggali lebih dalam mengenai kualitas hidup subyek serta melengkapi pengukuran kuantitatif dengan wawancara mendalam. Sedangkan saran-saran praktisnya adalah agar orang-orang lajang tidak perlu merasa rendah diri, dan kepada masyarakat agar dapat lebih menerima orang lajang sebagai bagian dari mereka, serta yang terakhir kiranya para konselor yang terkait dengan permasalahan orang lajang dapat menggunakan hasil ini untuk membantu orang lajang lebih memahami dirinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gerardine Genoveva Saulina
"Tantangan penyesuaian peran ganda yang disebabkan oleh pandemi COVID-19 memberikan dampak buruk pada psychological well-being ibu yang bekerja, khususnya pada ibu yang bekerja dengan anak kelas 1-3 sekolah dasar karena adanya tantangan perkembangan serta perubahan sistem pembelajaran akibat pandemi COVID-19. Mindful parenting merupakan gaya pengasuhan yang dapat diterapkan untuk menghindari penurunan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang bertujuan untuk melihat kontribusi mindful parenting terhadap psychological well-being pada ibu bekerja dengan anak yang duduk di kelas 1 sampai dengan 3 SD. Mindful parenting dan psychological well-being pada ibu bekerja dengan anak yang duduk di kelas 1 sampai dengan 3 SD (N=310) diukur menggunakan Interpersonal Mindfulness in Parenting Scale dan Ryff’s Scale of Psychological Well-being. Hasil analisis statistik regresi linear sederhana menunjukkan bahwa mindful parenting memiliki kontribusi yang positif dan signifikan terhadap psychological well-being.

The challenge of adjusting to multiple roles caused by the COVID-19 pandemic has a negative impact on the psychological well-being of working mothers. Especially for mothers who work with children in grades 1-3 of elementary school due to developmental challenges and changes in the learning system due to the COVID-19 pandemic. Mindful parenting is a parenting style that can be applied to avoid a decrease in psychological well-being. This correlational study aims to examine the contribution of mindful parenting to psychological well-being in working mothers with children who are in grades 1 to 3 of elementary school. Mindful parenting and psychological well-being of working mothers with children in grades 1 to 3 of elementary school (N=310) were measured using the Interpersonal Mindfulness in Parenting Scale and Ryff's Scale of Psychological Well-being. The results of simple linear regression statistical analysis showed that mindful parenting had a positive and significant contribution to psychological well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noori Lukman Pradipto
"Selama masa pandemi Covid-19, tantangan yang dihadapi oleh guru semakin berat
dengan strategi mengajar yang baru. Hal tersebut membuat guru kesulitan untuk
mempertahankan kesejahteraan psikologis mereka terutama guru perempuan yang mengajar di tingkat SD. Stres yang dirasakan oleh guru perempuan semakin bertambah dengan beban sebaga seorang ibu yang mengurus anak. Komunikasi antara anggota keluarga diasumsikandapat membantu guru untuk melewati masa sulit selama pandemi Covid-19. Penelitian inidilakukan untuk melihat peran pola komunikasi keluarga, baik dimensi conversation ataupun conformity, sebagai mediator dalam hubungan antara perceived social support dengan psychological well-being. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimental dengan teknik pengambilan sampel convenient sampling dari guru perempuan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara perceived social support
dengan psychological well-being baik secara langsung (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000), maupun tidak langsung melalui pola komunikasi keluarga dimensi conversation (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). Di sisi lain, pola komunikasi keluarga yang mementingkan konformitas dalam berpendapat tidak berperan sebagai mediator karena tidak menunjukkan hubungan yang signifikan dengan psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). Salah satu limitasi penelitian ini adalah penelitian
ini hanya dapat dilakukan masa pandemi akan tetapi hasil yang didapatkan mengimplikasikan bahwa dukungan sosial dari berbagai pihak sangat dibutuhkan oleh guru dalam menghadapi masa pandemi agar dapat menjadi bahagia, terlepas dari pola komunikasi di rumah. Meskipun demikian, pola komunikasi yang mementingkan kehangatan dalam berpendapat dan keterbukaan dapat menjadi salah satu bentuk dukungan sosial yang menunjang psychological well-being guru di situasi pandemi.

During the Covid-19 pandemic, teachers are facing more challenges such as new teaching strategies. Thus, makes it difficult for teachers to maintain their psychological well-being especially female teachers who teach elementary students. Some of those female teachers have responsibilities as mothers at home. The burden of caring for children in home increasing the stress felt by these teachers. It is assumed that communication between family members can help teachers through difficult times during the Covid-19 pandemic. This
research was conducted to see whether conversation or conformity dimension within family communication pattern can act as mediator in the relationship between perceived social support and psychological well-being. This research is non-experimental study with convenient sampling technique given to female teachers. The result indicates that there is significant relationship between perceived social support and family communication pattern, either directly (β = 0.57, t(117) = 7.91, p = 0.000) or indirectly through the conversation
dimension within family communication family patterns (coefficient = 0.42, SE = 0.07, CI = 0.27 - 0.56). On the other hand, family with high conformity dimension do not act as mediator in relationship between perceived social support and psychological well-being (coefficient = -0.11, SE = 0.10, CI = -0.32 - 0.10, p = 0.300). One of the limitation of this study is this study can only be conducted in pandemic Covid-19 situation but the results obtained shows that social support from various sources is needed by teachers in order to be mentally healthy and happy regardless of communication patterns at home. However, communication patterns that emphasize warmth and openness can be one of the social
support that teachers needed in this pandemic situation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Dela Pranaya Wisesa
"Perawat adalah bagian penting dari tenaga kesehatan di Indonesia, terutama di masa pandemi COVID-19. Perawat diketahui sebagai populasi yang rentan terhadap masalah psikologis. Terutama perawat yang juga menjalani peran sebagai ibu yang memiliki anak kecil.. Sejauh observasi peneliti, masih sedikit studi di Indonesia yang menganalisis mengenai kondisi mental perawat perempuan yang memiliki anak berusia kanak-kanak awal. Penelitian ini menganalisis perbedaan mental well-being antara perawat yang memiliki anak pada tahap perkembangan kanak-kanak awal dan perawat yang memiliki anak pada tahap perkembangan kanak tengah dan remaja, serta menganalisis variabel demografis yang ada. Menggunakan studi populasi, 102 perawat dari salah satu rumah sakit di Tangerang Selatan, berusia 25-56 tahun berpartisipasi dalam penelitian ini. Partisipan memiliki 1-4 anak, berusia 0-18 tahun. Mental well-being perawat diukur menggunakan Warwick Edinburgh Mental Well-Being Scale (WEMWBS). Terdapat perbedaan tingkat mental well-being yang signifikan antara perawat yang memiliki anak berusia lebih kecil atau sama dengan 6 tahun dan diatas 6 tahun. Studi ini juga menemukan adanya perbedaan yang signifikan berdasarkan pengaturan tempat tinggal. Perawat yang memiliki anak berusia dini dan tinggal bersama anak mereka memiliki tingkat mental well-being paling rendah, dan perawat yang memiliki anak berusia kanak tengah dan tinggal bersama mereka memiliki mental well-being tertinggi.

Nurses are critical part of the health workers force in Indonesia, especially during COVID-19 pandemic. This issues coming on stronger for nurses who are also mothers with little children. According to child-rearing practices in Indonesia, mothers are responsible to take care of the children. There haven’t been much studies that analyse nurses with little children’s mental condition. This study highlights the difference of mental well-being between nurses who are mothers with early childhood aged children (0-6 years old) and non-early childhood children (older than 6 years old), also analysing demographic variables. Using population study, 102 nurses from a Hospital in South Tangerang, ranged 25-56 years old, participated in this study. The participants have a range of 1 to 4 children, aged from 0 to 18 years old. Nurses’ well-being was assessed using Warwick Edinburgh Mental Well-Being Scale. A significant difference of mental well-being was found between nurses with infant until early childhood aged, and non-early childhood aged children. Difference in mental well-being level between nurses who have early childhood aged children and nurses who have middle childhood aged children was found. In addition, this study reports a significant differences based on where the children live."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iga Winati
"Penelitian sebelumnya telah menemukan bahwa belas kasihan diri (SC) merupakan faktor pelindung yang harus diperhitungkan bagi individu dalam menghadapi pengalaman menyakitkan. Hal ini dikarenakan SC mampu membuat individu menjadi lebih adaptif, salah satunya dengan meningkatkan kesejahteraan psikologis (PWB). Salah satu pengalaman pahit yang menjadi fenomena umum di masyarakat yang dinyatakan berdampak negatif pada korban PWB adalah bullying. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha untuk melihat apakah ada peran moderasi variabel welas asih pada hubungan antara pengalaman bullying di sekolah (SMP dan / atau SMA), dan kesejahteraan psikologis pada orang dewasa yang baru muncul. Hasil penelitian terhadap 801 emerging adult menunjukkan bahwa pengalaman bullying (B = -0,197, p> 0,01) tidak dapat memprediksi PWB, sedangkan SC (B = 0,6798, p <0,01) merupakan prediktor PWB. Namun, tidak ada peran moderasi yang ditemukan untuk SC (B = 0,0034, p> 0,01). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa SC bukanlah moderator tentang hubungan antara pengalaman bullying dan PWB.

Previous research has found that self-compassion (SC) is a protective factor that must be taken into account for individuals in the face of painful experiences. This is because SC is able to make individuals more adaptive, one of which is by increasing psychological well-being (PWB). One of the bitter experiences that has become a common phenomenon in society which is stated to have a negative impact on victims of PWB is bullying. Therefore, this study seeks to see whether there is a moderating role for the compassionate variable in the relationship between experiences of bullying at school (junior high and / or high school), and psychological well-being in emerging adults. The results of the study on 801 emerging adults showed that the bullying experience (B = -0.197, p> 0.01) could not predict PWB, while SC (B = 0.6798, p <0.01) was a predictor of PWB. However, no moderating role was found for SC (B = 0.0034, p> 0.01). Thus, it can be concluded that SC is not a moderator about the relationship between bullying experience and PWB."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Areta Reswara Mardhiyah
"Mobilitas komuter yang lazim dilakukan pekerja Jabodetabek dapat memberikan masalah pada kesejahteraan subjektif. Namun, terdapat inkonsistensi terkait dampak mobilitas komuter terhadap kesejahteraan subjektif pada pekerja. Selain itu, belum banyak studi yang mempelajari pengaruh mobilitas komuter, seperti waktu tempuh dan persepsi stres terhadap kesejahteraan subjektif pada populasi pekerja di Jabodetabek. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh waktu tempuh komuter, persepsi stres umum, dan persepsi stres komuter terhadap kesejahteraan subjektif pekerja di Jabodetabek. Penelitian melibatkan 114 pekerja berusia 25-49 tahun (M=30.57, SD=7.475) dan melakukan mobilitas komuter setiap hari. Mayoritas partisipan adalah perempuan yaitu sebanyak 59,6%. Rata-rata waktu tempuh komuter partisipan adalah 72,80 menit per hari. Alat ukur yang digunakan adalah The PERMA-profiler dan Perceived Stress Scale. Hasil penelitian menunjukkan bahwa waktu tempuh komuter, persepsi stres umum, dan persepsi stres komuter secara bersama-sama tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesejahteraan subjektif. Hanya persepsi stres umum yang berpengaruh secara signifikan terhadap kesejahteraan subjektif pekerja di Jabodetabek. Temuan ini menekankan perlunya upaya penurunan persepsi stres oleh pekerja maupun perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan subjektif.

The commuter mobility prevalent among Jabodetabek workers can cause problems with subjective well-being. However, there are inconsistencies regarding the impact of commuter mobility on subjective well-being in workers. In addition, not many studies have studied the effect of commuter mobility, such as commuting time and perceived stress on subjective well-being in the working population in Jabodetabek. Therefore, this study aims to determine the effect of commuting time, perceived general stress, and perceived commuter stress on the subjective well-being of workers in Jabodetabek. The study involved 114 workers aged 25-49 years (M=30.57, SD=7.475) and commuting daily. The majority of participants were female, 59.6%. The average commuting time of participants was 72,80 minutes per day. The measurement tools used were The PERMA-profiler and Perceived Stress Scale. The results showed that commuting time, perceived general stress, and perceived commuter stress together did not have a significant influence on subjective well-being. Only general stress perception has a significant effect on the subjective well-being of workers in Jabodetabek. These findings emphasize the need for efforts to reduce stress perceptions by workers and companies to improve subjective well-being."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>