Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7050 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Latar belakang: Peningkatan jumlah sindrom metabolik (MetS) pada dewasa muda sebagian besar disebabkan karena obesitas. MetS meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK) yang dapat diperkirakan dengan menggunakan Framingham risk score (FRS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi MetS dan FRS pada dewasa muda dengan obesitas dan hubungan keduanya dengan komponen MetS.
Metode: Tujuh puluh mahasiswa dan mahasiswi yang berumur 18-25 tahun dengan IMT ≥ 25 kg/m2 di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia dipilih secara konsekutif. Spesimen darah yang digunakan untuk memeriksa glukosa darah puasa, kolesterol total, high-density lipoprotein dan trigliserida dianalisis di Departemen Patologi Klinik RSUPN Cipto Mangunkusumo setelah puasa selama 14-16 jam. MetS didiagnosis dengan definisi International Diabetes Federation
(IDF). Analisi univariat dan bivariat dilakukan pada penelitian.
Hasil: Prevalensi MetS berdasarkan definisi IDF adalah 18,5% pada dewasa muda dengan obesitas. Komponen MetS yang paling berhubungan dengan MetS adalah hipertrigliseridemia (OR 12,13; 95% CI 2,92-50,46; p = 0,001), tekanan darah tinggi (OR 9,33; 95% CI 2,26-38,56; p = 0,001), HDL rendah (OR 8,33; 95% CI 2,17-32,05; p = 0,003), and glukosa puasa terganggu (p = 0,03). Empat subjek mempunyai FRS ≥ 1% dan 66 subjek berisiko < 1%. Peningkatan FRS tidak berhubungan dengan MetS (p = 0,154). Tidak ada komponen MetS berhubungan dengan peningkatan FRS.
Kesimpulan: Prevalensi MetS pada dewasa muda dengan obesitas hampir sama dengan pada anak-anak dan remaja dengan obesitas. Walaupun tidak didapatkan hubungan antara MetS dan FRS, keduanya merupakan
prediktor penting untuk penyakit jantung koroner yang sebaiknya tidak digunakan secara terpisah.

Abstract
Background: The increase number of the metabolic syndrome (MetS) among young adults was mostly caused by obesity. MetS increases the risk of coronary heart disease (CHD) which can be estimated by Framingham risk score (FRS). The study was aimed to know the prevalence of MetS and FRS in obese young adults and to associate them with the components of MetS.
Methods: A total of 70 male and female students aged 18 to 25 years with BMI ≥ 25 kg/m2 in Faculty of Medicine Universitas Indonesia were selected consecutively. The blood samples used to test fasting blood glucose, total cholesterol, high-density lipoprotein, and triglyceride were examined in Department of Clinical Pathology, Cipto Mangunkusumo Hospital after fasting for 14 to 16 hours. International Diabetes Federation (IDF) definition was used to diagnose MetS. Univariate and bivariate analysis were done.
Results: The prevalence of MetS based on IDF definition was 18.6% among obese young adults. The most associated MetS components was hypertriglyceridemia (OR 12.13; 95% CI 2.92-50.46; p = 0.001), followed with high blood pressure (OR 9.33; 95% CI 2.26-38.56; p = 0.001), low-HDL (OR 8.33; 95% CI 2.17-32.05; p = 0.003), and impaired
fasting glucose (p = 0.03). Four subjects had FRS ≥ 1% and 66 subjects had risk < 1%. Increased FRS was not associated
with MetS (p = 0.154). There was no component of MetS associated with increased FRS.
Conclusion: Prevalence of MetS in obese young adults was similar with obese children and adolescents. Although no association of MetS and FRS was found, they are significant predictors for CHD which should not be used separately."
[Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2013
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Faizal Ablansah Anandita
"PENDAHULUAN: Batubara merupakan pemasok energi primer terbesar di Indonesia dan melibatkan jutaan pekerja. Seperti yang dibuktikan oleh penelitian, pekerja tambang batu bara memiliki risiko kardiovaskular ganda, dari bahaya di tempat kerja mereka dan risiko medis mereka sendiri sebagai individu. Metode deteksi dini dan penilaian risiko diperlukan untuk memprediksi kelainan EKG di masa mendatang. Saat ini, dunia kedokteran memiliki EKG yang banyak digunakan sebagai metode skrining untuk mendeteksi penyakit kardiovaskular dan skor risiko framingham untuk menilai risiko kardiovaskular 10 tahun mendatang.
TUJUAN: Penelitian ini akan menganalisis hubungan antara kelainan EKG dengan skor risiko framingham pada pekerja tambang batubara.
METODE: Kami mengumpulkan hasil medical check-up pekerja tambang batubara pria dengan EKG normal pada tahun 2018. Menggunakan kode minnesota, kami menentukan kategori kelainan EKG pada hasil tahun 2021, kemudian membandingkannya dengan pekerja tipe penanganan batubara dan skor framingham pada tahun 2018 sebagai faktor medis utama.
HASIL: Dari 755 laki-laki pekerja batubara dengan EKG normal pada tahun 2018, 158 (20,9%) ditemukan kelainan EKG pada tahun 2021. Studi multivariat kohort menunjukkan bahwa jenis pekerja batubara dianggap sebagai penentu, tetapi skor risiko framingham masih memiliki pengaruh tertinggi (p multivariat < 0,002).
KESIMPULAN: Framingham risk score dapat menjadi metode untuk memprediksi EKG abnormal.

INTRODUCTION: Coal mining is the largest primary energy supplier in Indonesia and involving millions of workers. As study proven, coal mine workers have a double cardiovascular risk, from their workplace hazard and their own medical risks as individuals. A early detection and risk assessment method is needed to predict ECG abnormalities in the future. In meantime, we have ECG which is widely used as screening method detecting cardiovascular disease and framingham risk score to assess cardiovascular risk 10 years future.
AIM: This study will analyze relationship between ECG abnormality and framingham risk score on coal mine worker.
METHOD: We collected the results of the medical check-up of male coal mine workers with normal ECG in 2018. Using minnesota code, we determine ECG abnormality categories in 2021 result, then compare it with coal handling type worker and framingham score in 2018 as main medical factor.
RESULT: From 755 male coal worker with normal ECG in 2018, 158 (20,9%) found with ECG abnormalities in 2021. Cohort’s multivariate study shows that type of coal worker are considered as determinant, but framingham risk score still has the highest influence (p multivariate <0,002).
CONCLUSION: Framingham risk score can be method for predicting abnormal ECG.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Adiatmaja
"Latar belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama pada pekerja perusahaan yang bergerak dalarn minyak dan gas bumi nasional. Para pekerja tersebut diharapkan mempunyai kewaspadaan akan faktor risiko penyakit kardiovaskular tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Skor Kardiovaskular Jakarta dapat dipakai guna menentukan kemungkinan kejadian kardiovaskular, guna upaya promotifpreventif risiko dan mengetahui hubungan faktor pekerjaan dengan Skor Kardiovaskular Jakarta maupun Skor Framingham.
Metode
Penelitian ini menggunakan rancangan kros seksional dengan 107 responden. Dilakukan pengumpulan data primer melalui wawancara, pengisian kuesioner dan pengumpulan data sekunder melalui penelusuran catatan rekam medic.
Hasil
Karakteristik sosiodemografi subyek sebagian besar berumur ? 45 tahun (70,1%). Skor Kardiovaskular Jakarta subyek sebagian besar tergolong kategori risiko tinggi (58,0%), sedangkan Skor Framingham subyek sebagian besar risiko rendah (76,6%). Dart analisis 1regresi logistik binary yang paling kuat berhubungan dengan Skor Kardiovaskular Jakarta adalah umur (OR-suaian=10,06, 95% CI=2,43-41,66), sedangkan yang paling kuat berhubungan dengan Skor Framingham adalah diabetes melitus (OR-suaian=216,82, 95%CI=13,76-3416,07) dan kolesterol-total (OR-suaian=162,I7. 95% C1=13,27-1982,17). Terdapat korelasi yang bermakna dengan arah positif dan cukup kuat antara Skor Kardiovaskular Jakarta dengan Skor Framingham (koefisien korelasi = 0,592 dan p = 0,000).
Kesimpulan
Skor Kardiovaskular subyek sebagian tergolong kategori risiko tinggi. Skor Framingham subyek sebagian besar tergolong kategori rendah. Tidak ada hubungan faktor pekerjaan dengan kedua skor tersebut. Terdapat korelasi antara Skor Kardiovaskular Jakarta dengan Skor Framingham. Skor Kardiovaskular Jakarta dapat dipakai pada populasi penelitian ini.

Background
Cardiovascular diseases are among the most common causes of death in employees of the national oil and gas company. Employees should be made aware on the cardiovascular risk factors.
The aim of this research was to know if Jakarta Cardiovascular Score could be used to determine cardiovascular risks and to know the relationship between job factors, Jakarta Cardiovascular Jakarta and Framingham Score.
Methods
This study was using cross sectional design with a sample of 107 respondents. Data were collected by interview using questionnaire and medical record file review.
Result
Sociodemographyc characteristics of the respondents showed that most of them were 45 years of age. The study found out that using Jakarta Cardiovascular Score most subjects showed risk high (58,0%), while using Framigham Score most subyects still showed risk low (76,6%). The result of logistic binary regression indicated that there were significant relationship between age and Jakarta Cardiovascular Score (adjusted-OR= 10,06, 95% CI=2,43-41,66) and also there were significant relationship among diabetic, cholesterol level and Framingham Score (adjusted-OR--216,82, 95% CI-13,76-3416,09 and adjusted-CR=162,17, 95% CI=13,27-1982,17). No significant relationship was found between job factors and either scores. A positive significant correlation was established between Jakarta Cardiovascular Score and Framingham score (coefficient of correlation 0,592, p=0,000).
Conclusion
Most subject showed high Jakarta Cardiovascular Score, while most subject showed low Framingham Score. No significant relationship was found between job factors and either scores. A positive significant correlation was established between Jakarta Cardiovascular Score and Framingham Score. Jakarta Cardiovascular Score can be used for the populations of this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poudra Agusta Raindra Wardana
"Latar Belakang: Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia yang insidennya terus meningkat. Pajanan logam berat diketahui mempunyai efek gangguan kesehatan apabila terpajan dalam konsentrasi yang cukup, termasuk gangguan sistem kardiovaskular. Pajanan logam berat merupakan risiko yang harus dihadapi banyak pekerja. Pekerja sektor informal merupakan kelompok pekerja yang kurang mendapat perlindungan, sehingga lebih berisiko untuk mengalami gangguan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara pajanan logam berat terhadap peningkatan skor Framingham pada pekerja sektor informal.Metode: Desain penelitian adalah cross sectional, dengan jumlah sampel 96 pekerja informal laki laki yang dipilih secara konsekutif, di area pinggir jalan raya. Pada seluruh sampel dilakukan pemeriksaan kadar logam kadmium, kromium dan timbal dalam darah serta pemeriksaan laboratorium lainnya yang diperlukan untuk menghitung skor Framingham.Hasil : Kadar logam kromium dan timbal dalam darah pada semua menunjukkan nilai di bawah Indeks Pajanan Biologis IPB , sedangkan kadar Kadmium pada 5 pekerja menunjukkan nilai di atas IPB. Ada 13 pekerja 13,5 yang Skor Framingham termasuk golongan risiko tinggi. Ditemukan hubungan bermakna antara pajanan kadmium dengan skor Framingham OR 12,15, 95 CI 1,80-81,72 , serta adanya korelasi lemah yang signifikan dengan nilai r pearson sebesar 0,23. Tidak ditemukan adanya hubungan kadar logam lainnya, faktor individu dan faktor pekerjaan lain dengan skor Framingham.Kesimpulan: Pajanan logam Kadmium di atas IPB meningkatkan risiko skor Framingham tinggi sebesar 12 kali, meskipun korelasi lemah 23,5 . Pajanan logam berat kromium dan timbal tidak ditemukan hubungan dengan peningkatan skor Framingham.

Background Coronary Artery Disease is the number one cause of death globally more people die annually from Coronary Artery Disease. Heavy metal exposure has proven to be a major threat to health risk, including cardiovascular disorders at sufficient concentration. Many workers are exposed to heavy metals and informal workers belong to the unprotected population, therefore are at higher risk to have health problems. The aim of this study is to know the relationship between heavy metal cadmium, chromium, lead exposure and risk of coronary heart disesase using Framingham score among informal workers.Method The design of this study was cross sectional with 96 informal workers as sample. Cadmium, Chromium and Lead blood levels were measured and other laboratorium examination was conducted that are needed to calculate the Framingham Score.Results Chromium and Lead blood levels, were all below their Biologic Exposure Index BEI , 5 workers had Cadmium blood above the BEI , 13 workers had a high risk Framingham score 13,5 . Framingham risk score was significantly associated with Cadmium exposure with OR 12,15 , 95 CI 1,80 81,72. Pearson correlation between blood cadmium and Framingham score was significant with r 23,5 weak correlation .Conclusion A positive correlation was found between blood cadmium with Framingham score 23,5 . Chromium ad Lead blood levels had no association with Framingham score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Poerwoto
"Latar belakang. Berat badan lebih dan obesitas sebagai masalah kesehatan juga ditemukan di Indonesia. Obesitas berkaitan dengan sindrom metabolik, yang juga dapat ditemukan pada populasi dengan berat badan normal.
Tujuan. Untuk melihat perbedaan proporsi sindrom metabolik (menurut kriteria NCEP-ATP III, dan modifikasi Asia Pasifik) pada populasi wanita obes (IMT > 25 kglm2 ) dan non-obes (IMT 18,5 - 24,9 kglm2), serta profil komponen sindrom metabolik.
Metode. Penelitian bersifat deskriptif analitik, dilakukan pada bulan Desember 2003 - Juni 2005, di Pali Lipid dan Obesitas, Divisi Metabolik Endokrinologi RSCM. Subyek ialah perawat wanita di RSCM, berusia 20 hingga 50 tahun. Jumlah responden ialah 45 subyek obes, dan 45 non-obes.
Hasil. Dari 90 responden total, 12 (26,7 %) subyek obes memenuhi kriteria sindrom metabolik menurut NCEP-ATP III. Menggunakan kriteria modifikasi Asia Pasifik, didapatkan 14 (31,1 %) subyek obes mengalami sindrom metabolik. Tidak ada subyek non-obes yang memenuhi kriteria sindrom metabolik [p < 0,0011 Tiga puluh (66,7 %) subyek obes mempunyai lingkar pinggang > 88 cm, dibandingkan 0 (0,0 %) subyek non-obes. Empat (8,9 %) subyek obes mempunyai tekanan darah 130185 mmHg, pada kelompok non-obes hanya 1 (2,2 %) subyek. Tiga (6,7 %) subyek obes memiliki kadar glukosa darah puasa a. 110 mg/dL atau merupakan pasien DM tipe 2 yang mendapat obat hipoglikemik oral, sedangkan pada kelompok non-obes tidak ada_ Tigabelas (28,9 %) subyek obes mempunyai kadar trigliserida 150 mgIdL, dan tidak ada pada kelompok non-obes. Kadar kolesterol HDL < 50 mg/dL didapatkan pada 26 (57,8 %) subyek obes, dan 9 (20,0 %) pada subyek non-obes.
Simpulan. Sindrom metabolik hanya ditemukan pada populasi perawat wanita obes.

Backgrounds. Overweight and obesity as health problems are also found in Indonesia. Obesity is related to metabolic syndrome, which can also occurs in normal weight population.
Objectives. To look at the difference in metabolic syndrome (according to NCEPATP III criteria, and modified Asia Pacific criteria) proportion within obese female population (BMI > 25 kg/m2 ) and non-obese female population (BMI 18,5 -- 24,9 kg/m2), and the profile of metabolic syndrome components.
Methods. This cross sectional study was conducted from December 2003 to June 2005, at Lipid and Obesity Clinic, Metabolic and Endocrinology Division, Department of Internal Medicine, University of Indonesia - Cipto Mangunkusumo General Hospital. Subjects were Cipto Mangunkusumo General Hospital female nurses, ages 20 to 50 years old. The first group consisted of 45 obese subjects, and the second group of 45 non-obese persons.
Results. Twelve (26.7 %) of obese subjects fulfilled the NCEP-ATP III criteria for metabolic syndrome. Using the modified Asia Pacific criteria, there were 14 (31.1 %). None of the non-obese subjects fulfilled any of those two criteria [p < 0.001]. Thirty (66.7 %) of obese subjects had waist circumference > 88 cm, as compared to none of non-obese subjects. Four (8.9 %) of the obese subjects had blood pressure
130185 mmHg, as compared to only 1 (2.2 %) in non-obese subjects. Only 3 (6.7 %) of the obese subjects had fasting glucose levels > 110 mg/dL or had been diagnosed as DM type 2 patient and receiving oral hypoglycemic drug, whereas none of the non-obese subjects. Thirteen (28.9 %) of the obese subjects had triglyceride level > 150 mg/dL, and none of non-obese subjects. HDL-cholesterol level < 50 mg/dL was found in 26 (57.8 %) of obese subjects, and 9 (20.0 %) of non-obese subjects.
Conclusions. Metabolic syndrome was found only in obese female nurses.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T58500
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Makbul Aman
"Background: the familial nature of type 2 diabetes is manifested by the presence of insulin resistance in non-diabetic first degree relatives. Most of these studies have been performed in middle-aged and there is only few published studies in young age individuals and adolescents. This study aimed to determine the relationship between parents history of type-2 diabetes with metabolic syndrome component and insulin resistance in adolescent non-diabetic subjects.
Methods: this was a cross sectional study comparing the metabolic profile, risk of metabolic syndrome and insulin resistance in non-diabetic male adolescents (17-24 years old) whose one or both parents were with type-2 diabetes. We performed anamnesis, physical examination, fasting plasma glucose, lipid profile, fasting insulin level and insulin resistance based on HOMA-IR.
Results: metabolic abnormalities were more prevalent in subjects whose parents were with history of type-2 diabetes, especially their waist circumference, fasting plasma glucose, triglyceride, fasting insulin and HOMA-IR (p=0.000). There was increased risk of developing central obesity in adolescents with parental history of 19.3 fold (95%CI 2.46-151.07) and insulin resistance of 10.3 fold (95%CI 3.89-27.23). Parental history of type-2 diabetes together with metabolic syndrome component ie. waist circumference >90 cm and triglyceride ≥150 mg/dl were strong determinat factors for insulin resistance (R2=50.7%).
Conclusion: the early multiple metabolic defect can be detected in non-diabetes adolescents with parental history of type-2 diabetes. Cluster of metabolic syndrome component in these subject become a powerful determinat factor for insulin resistance.

Latar belakang: sifat kekeluargaan diabetes tipe 2 dimanifestasi oleh adanya resistensi insulin pada keturunan pertama keluarga non-diabetes. Sebagian besar penelitian ini telah dilakukan pada usia menengah dan hanya beberapa penelitian yang dilakukan pada usia muda dan remaja. Penelitian ini bertujuan untuk menganalis hubungan antara riwayat orang tua yang memiliki diabetes melitus (DM) tipe 2 dengan komponen sindroma metabolik dan kejadian resistensi insulin pada subyek dewasa muda non-diabetes.
Metode: studi ini merupakan penelitian potong lintang pada pria dewasa muda non-diabetes (usia 16-24 tahun) dengan riwayat satu atau kedua orang tua DM tipe 2. Sebagai pembanding adalah subyek yang tidak mempunyai riwayat orang tua DM tipe 2. Dilakukan pemeriksaan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium glukosa darah puasa, profil lipid, insulin puasa dan resistensi insulin dengan menggunakan rumus HOMA-IR.
Hasil: profil metabolik yang abnormal lebih banyak ditemukan pada subyek dengan riwayat orang tua menderita DM tipe 2, khususnya dalam hal lingkar pinggang, glukosa darah puasa, trigliserida, insulin puasa dan HOMA-IR (p=0.000). Subyek dewasa muda non-diabetes dengan riwayat orang tua DM tipe 2 beresiko untuk menglami obesitas sentral sebesar 19.3 kali (95%CI 2.46-151.07) dan juga beresiko terhadap terjadinya resistensi insulin sebesar 10.3 kali (95%CI 3.89-27.23). Hasil uji regresi logistik menunjukkan bahwa faktor orang tua menderita DM tipe 2 bersama–sama dengan komponen sindroma metabolik yaitu lingkar pinggang >90 cm dan kadar trigliserida ≥150 mg/dl merupakan faktor determinan kuat untuk terjadinya resistensi insulin (R2=50.7%).
Kesimpulan: pada Subyek dewasa muda non-diabetes dengan riwayat orang tua menderita DM tipe 2 sudah dapat ditemukan abnormalitas metabolik yang multipel. Kluster dari komponen sindoma metabolik pada populasi tersebut merupakan faktor determinan kuat untuk terjadinya resistensi insulin.
"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2018
610 UI-IJIM 50:4 (2018)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Titi Indriyati
"Pemantauan kualitas hidup pada penderita sindrom metabolik perlu dilakukan secara berkelanjutan, untuk mencapai status kesehatan yang lebih baik. Penelitian ini bertujuan menilai peran perubahan status sindrom metabolik terhadap kualitas hidup terkait kesehatan (HRQoL). Pendekatan studi menggunakan desain follow up prevalence sebagai turunan dari cross sectional yang merupakan bagian dari studi kohor induk. Diagnosis SM ditegakkan ketika jumlah kriteria SM >3 dari 5 faktor risiko menggunakan data studi kohor faktor risiko PTM yang dikelola oleh Balitbangkes Kemenkes RI di Kecamatan Bogor Tengah dalam 4 periode pemantauan tahun 2011-2018. HRQoL diukur melalui wawancara langsung terhadap 874 responden menggunakan kuesioner SF-36 dan EQ-5D-5L. Perubahan status SM yang dapat diidentifikasi adalah: SM persisten (6,8%); SM memburuk (12,8%), SM membaik (10,3%), dan tidak SM (70,1%). Kriteria SM pada periode pemantauan T4 yaitu: obesitas sentral pada laki-laki 23,2% dan perempuan 78,6%; kadar HDL rendah pada laki-laki 31% dan perempuan 36,4%; hipertensi 35,5%; trigliserida tinggi >150 mg/dl adalah 21,9%; serta gula darah puasa tinggi >100 mg/dl adalah 38,2%. Gambaran HRQoL dari hasil pengukuran kuesioner SF-36 yaitu 50,3% memiliki kualitas hidup baik pada dimensi fisik dan 51% baik pada dimensi mental. HRQoL EQ-5D-5L untuk profil status kesehatan adalah 95,7% tidak bermasalah pada dimensi kemampuan perawatan diri; sedangkan masalah yang paling besar adalah pada dimensi ketidaknyamanan (rasa nyeri) seebanyak 76,8%. Pada skala EQ-VAS responden dengan kategori HRQoL rendah sebanyak 8,5% memiliki nilaidi bawah rerata EQ-VAS orang Indonesia pada umumnya. Ada interaksi dalam hubungan perubahan status SM dengan HRQoL pada dimensi fisik berdasarkan faktor riwayat penyakit penyerta (PTM), Analisis multivariat regresi logisttik ganda membuktikan bahwa perubahan status SM yang berinteraksi dengan riwayat penyakit penyerta (PTM: jantung, strok, DM, kanker) memberikan efek HRQoL rendah pada dimensi fisik sebesar POR (95%CI) = 27,5 (10,3-73,2) dan strata tidak memiliki penyakit penyerta sebesar = 9,2 (5,7 – 15,0) setelah dikontrol oleh umur, status kesehatan mental, perubahan IMT, rutinitas periksa kesehatan dalam setahun, dan pengetahuan. Efek interaksi yang dijelaskan menggunakan nilai rasio peluang disebut interaksi multiplikatif dan ini penting dalam menjelaskan hubungan kausalitas bahwa perubahan status SM yang memburuk sebagai penyebab rendahnya HRQoL dimensi fisik. Rekomendasi mengembangkan upaya sinergi dengan instansi terkait dalam menentukan progam intervensi kesehatan dan Germas yang memungkinkan untuk diintegrasikan dalam studi kohor PTM di Kota Bogor.

Monitoring the quality of life in patients with metabolic syndrome needs to be carried out on an ongoing basis, to achieve a better health status. This study aims to assess the role of changes in metabolic syndrome status on health-related quality of life (HRQoL). The study approach uses a follow-up prevalence design as a cross-sectional derivative which is part of the main cohort study. The diagnosis of MS is enforced when the total number of criteria for MS >3 from 5 risk factors using a cohort study data of NCD risk factors managed by the Research and Development Center of the Ministry of Health of Indonesia in Central Bogor District in 4 monitoring periods 2011-2018. HRQoL was interviewed with 874 participants using the SF-36 and EQ-5D-5L questionnaires. Changes in MS status that can be identified are: persistent MS (6.8%); worsened MS (12.8%), improved MS (10.3%), and no MS (70.1%). The criteria for MS in the fourth monitoring period were: central obesity in males 23.2% and females 78.6%; low HDL levels in men 31% and women 36.4%; hypertension 35.5%; high triglycerides >150 mg/dl is 21.9%; and high fasting blood sugar> 100 mg/dl is 38.2%. The HRQoL description from the SF-36 questionnaire is 50.3% have a good quality of life on the physical dimension and 51% have a good quality of life on the mental dimension. HRQoL EQ-5D-5L for the health status profile is 95.7% without problems on the dimension of self-care ability; while the biggest problem is the dimension of discomfort (pain) as much as 76.8%. On the respondent's EQ-VAS scale with a low HRQoL category of 8.5% has a value below the average EQ-VAS of Indonesians in general. There is an interaction in the relationship between changes in MS status and HRQoL on the physical dimension based on the history of co-morbidities (NCD). Low HRQoL in the physical dimensions of POR (95% CI) = 27.5 (10.3-73.2) and without comorbidities of = 9.2 (5.7 – 15.0) after adjusting for age, mental health status, changes in BMI, routine health checks in a year, and knowledge. The effect modifications are explained using the probability ratio is called the multiplicative interaction is important in explaining the causal relationship that worsening MS status changes low HRQoL physical dimension. Recommendations for developing a synergy program with related agencies in determining health and Germas intervention programs that allow them to be integrated into the NCD cohort study in Bogor City."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Diandra Sari
"Obesitas merupakan masalah utama pada kesehatan masyarakat dunia yang diketahui juga sebagai salah satu faktor risiko penyakit perlemakan hati non alkoholik(NAFLD). Sistem penilaian untuk mendeteksi NAFLD telah dikembangkan dan divalidasi di Indonesia. Namun, pola makan orang obesitas yang mungkin memberikan pengaruh terhadap NAFLD masih belum diketahui. Penelitian ini mengevaluasi asupan sukrosa pada obesitas dewasa di Jakarta dan hubungannya dengan skor NAFLD. Ini adalah studi potong lintang berbasis komunitas di antara orang dewasa dengan indeks massa tubuh (BMI)>25 kg/m2 antara September dan Oktober 2018 di Jakarta, Indonesia. Asupan sukrosa dinilai menggunakan food recal l2x24 jam, dihitung berdasarkan tabel komposisi makanan Indonesia dan Amerika dengan menggunakan Nutrisurvey 2007.Skor NAFLD terdiri dari enam faktor risiko, yaitu BMI>25 kg/m2, jenis kelamin laki-laki, usia>35 tahun, trigliserida>150 mg/dL, kadar kolesterol lipoprotein kepadatan tinggi<40 mg/dL untuk pria atau <50 mg/dL untuk wanita, dan kadar alanin aminotrans feraseserum >35 U/L. Dari 102 subjek yang terdaftar, 75 orang(73,5%) adalah wanita. Median dari total skor NAFLD adalah 6,7 dengan rentang dari 3,6 hingga 10,2. Median asupan karbohidrat total adalah 179,6 (54,1-476,8) g/hari, dan median total asupan sukrosa adalah 47,0 (13,7-220,5) g/hari. Asupan sukrosa lebih tinggi signifikan pada responden dengan skor NAFLD >6,7 dibandingkan <6,7. (47,8 vs. 45,3 g; p=0,042; Mann-Whitney U test). Analisis multivariat mengonfirmasi adanya hubungan asupan sukrosa dan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik.
Kesimpulan: Asupan sukrosa tidak memiliki hubungan bermakna dengan skor NAFLD pada penyandang obesitas dewasa, namun bermakna jika dikaitkan dengan skor tinggi perlemakan hati non alkoholik. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangan variabel tambahan pada skor NAFLD.

Obesity is a major problem in a world public health which is also known as one of the risk factors of non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD). An assessment system for detecting NAFLD has been developed and validated in Indonesia. However, the diet pattern of obese people who might have an effect on NALFD is still unknown. This study evaluated sucrose intake among obese adults in Jakarta and ints association with NAFLD score. This was a community-based cross sectional study among adults with body mass index (BMI) >25 kg/m2 between September and Oktober 2018 in Jakarta, Indonesia. Sucrose intake was assessed using 2x24-hour food recall, calculated based on the Indonesian and American food composition tables using dietary software Nutrisurvey. The NAFLD score consists of six risk factors, i.e. BMI >25 kg/m2, male sex, age >35 years, triglycerides >150 mg/dL, high density lipoprotein cholesterol levels <40 mg/dL for men or <50 mg/dL for women, and serum alanine aminotransferase levels >35 U/L. A total of 102 subjects were recruited; 75 (73.5%) of them were women. The median of total NAFLD scores was 6.7, ranging from 3.6 to 10.2. Median total carbohydrate intake was 179.6 (54.1-476.8) g/day, while the median total sucrose intake was 47.0 (13.7-220.5) g/day. Sucrose intake was significantly higher in patients with NAFLD score >6.7 than <6.7 (47.8 vs. 45.3 g; p=0.042; Mann-Whitney U test). Multivariate analysis confirmed the association of sucrose intake and higher total NAFLD score.
Conclusions: Sucrose intake and NAFLD score have no significant association among obese adults. Further research is needed to develop additional variables on NAFLD score.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57776
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christianie Setiadi
"Penyakit kardiovaskular, salah satunya sindrom koroner akut merupakan penyebab utama kematian di dunia akibat penyakit tidak menular, di mana penyakit ini memiliki faktor risiko yang dapat dimodifikasi dengan pengaturan nutrisi. Faktor risiko utama sindrom koroner akut pada pasien serial kasus ini adalah sindrom metabolik yang meningkatkan risiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan diabetes melitus tipe 2. Semua pasien memiliki masalah dengan obesitas abdominal, di mana adipositokin yang disekresikan oleh jaringan adiposa abdominal merupakan mediator inflamasi, menyebabkan stres oksidatif, resistensi insulin, dan mengganggu metabolisme lipoprotein. Dua pasien pada serial kasus ini mengalami miokard infark dengan ST elevasi dan dua lainnya dengan non ST elevasi. Faktor risiko penyerta adalah hipertensi, diabetes melitus tipe 2, dislipidemia, gangguan fungsi hati, dan hiperurisemia. Kebutuhan energi sesuai dengan Harris Benedict dengan faktor stres antara 1,3–1,4 sesuai dengan beratnya kasus. Pada saat kondisi akut setelah hemodinamik stabil, nutrisi mulai diberikan sesuai dengan 80% kebutuhan basal. Kebutuhan makronutrien sesuai dengan National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III. Kebutuhan cairan dan elektrolit diberikan sesuai dengan kondisi jantung pasien. Pemberian mikronutrien seperti vitamin B dan nutrien spesifik yaitu koenzim Q10 dan omega-3 dapat dilakukan pada beberapa kasus. Monitoring dan evaluasi yang dilakukan meliputi keadaan klinis, antropometri yaitu berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang, serta toleransi asupan, keseimbangan cairan, dan kapasitas fungsional. Selama pemantauan didapatkan perbaikan klinis dan peningkatan asupan nutrisi pasien. Selanjutnya diperlukan pengendalian faktor risiko pasien dengan modifikasi gaya hidup yaitu pengaturan nutrisi dan peningkatan aktivitas fisik untuk pencegahan sekunder penyakit kardiovaskuler dan mengendalikan komplikasi yang sudah terjadi agar tidak semakin memburuk.

Cardiovascular disease, which one of them is acute coronary syndrome is the most caused of death from non comunicable diseases in the world. It have modified risk factors can be affected by nutrition.In this case series, the risk factor was metabolic syndrome that could elevated risk of cardiovascular diseases and type 2 diabetes mellitus. All of the patients had abdominal obesity, where it secreted adipocytokine, the inflamation mediators that can cause oxidative stress, insulin resistance and interfered lipoprotein metabolism. Two patients in this case series have ST elevation miokard infark dan others were non ST elevation miokard infark. Comorbid risk factors were hypertension, type 2 diabetes mellitus, dyslipidemia, disturbance liver function, and hyperuricaemia. Energy needs were calculated by Harris Benedict with risk factor between 1,3–1,4 depends on severe of the diseases. In acute condition after stable hemodinamic, nutrition was given from 80% basalt. Macronutrients need were appropiate with National Cholesterol Education Program-Adult Treatment Panel III. Fluids need and electrolyte were given appropiate of heart condition. Micronutrients, like vitamin B and specific nutrients like coenzyme Q10 and omega-3 could be given in several cases. Evaluation and monitoring included clinical condition, antropometric : body weight, height, waist circumference, tolerance intake, fluid balance, and functional capacity. During follow up, the clinical improvement and enhancement nutrient intake were developed. After that we concidered to control patients risk factors with lifestyle modification include nutrition arrangement and elevated physical activity for secondary prevention of cardiovascular diseases and to control complications.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Morgan, John Smith, 1921-
New York, N.Y., American Management Asseciation
658.3 MOR m
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>