Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 17569 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Virus Japanese encephalitis (JEV) merupakan virus neuropathogen yang dapat menyebabkan penyakit pada sistem syaraf pusat seperti meningitis dan beberapa encephalitis. Meskipun vaksin telah dikembangkan, sampai saat ini belum ada obat yang spesifik dan efektif yang tersedia. Pada penelitian sebelumnya, telah dilakukan
skrining terhadap inhibitor RNA helikase JEV, yaitu suatu enzim yang esensial untuk replikasi virus dari isolat Actinomycetes dan ditemukan bahwa Streptomyces chartreusis dapat menghasilkan inhibitor RNA helikase JEV. Pada studi ini, protein ekstraseluler yang dapat menghambat aktivitas ATPase dari RNA helikase JEV dipurifikasi dari kultur supernatan Streptomyces chartreusis menggunakan pengendapan ammonium sulfat dan kromatografi gel filtrasi. Analisis SDS-PAGE
memperlihatkan pita tunggal dengan perkiraan berat molekul 11,4 kDa, sehingga dapat dikatakan inhibitor telah berhasil dipurifikasi menjadi protein tunggal.

Abstract
apanese encephalitis virus (JEV) is a neuropathogenic virus commonly caused central nervous diseases such as meningitis and severe encephalitis. Although vaccine has been developed, no specific and effective drug is available so far. We previously carried out a screening of inhibitor of JEV RNA helicase, an enzyme that essential
for virus replication, from Actinomycetes and found that Streptomyces chartreusis produce the inhibitor of JEV RNA helicase. In this study, an extracellular protein which has inhibition activity on ATPase activity of JEV RNA helicase was purified from supernatant of
Streptomyces chartreusis culture by ammonium sulfate precipitation and size exclusion chromatography. SDS-PAGE analysis showed a single
band with aproximate molecular mass of 11,4 kDa, suggesting that the inhibitor was successfully purified into a single protein."
[Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan], 2009
pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Japanese encephalitis (JE) merupakan penyakit endemik di Asia,
bahkan telah menjadi penyakit hiperendemik di Bali, Indonesia.
Keterbatasan vaksin dan belum adanya obat anti virus JE telah menjadi
kendala utama dalam mengatasi penyakit tersebut. Salah satu alternatif
adalah penemuan kandidat obat berupa inhibitor RNA helikase virus JE.
Penelitian bertujuan mengisolasi suatu substansi inhibitor aktivitas ATPase
RNA helikase virus JE dari kultur Streptomyces achromogenes (Okami dan
Umezawa, 1953). Protein RNA helikase virus JE berfungsi sebagai substrat
diekspresikan dari plasmid pET-21b yang telah ditransformasi ke dalam
Escherichia coli BL21 (DE3) pLysS. Substansi inhibitor diisolasi dari
supernatan S. achromogenes yang telah dikultur selama 3 hari. Supernatan
medium kultur menghasilkan persentase inhibisi sebesar 26,8%. Protein
inhibitor telah berhasil diisolasi dengan pengendapan amonium sulfat 0--75
%, dialisis, dan kromatografi filtrasi gel menggunakan Sephadex G-50 fine.
Uji aktivitas inhibisi dilakukan dengan uji kolorimetrik ATPase dan dianalisis
dengan SDS-PAGE 12%. Substansi hasil pengendapan amonium sulfat
sebelum dialisis menunjukkan persentase inhibisi sebesar 82,36% dan
setelah dialisis sebesar 87,77%. Hasil kromatografi filtrasi gel menunjukkan
aktivitas inhibisi tinggi mulai dari fraksi 4--11 dengan aktivitas inhibisi berturutturut
78,89%; 78,59%; 78,08%; 74,59%; 69,09%; 65,58%; 65,85%; 55.13%.
Analisis SDS-PAGE hasil isolasi dan pemurnian protein inhibitor menunjukkan substansi protein inhibitor RNA helikase virus JE memiliki berat molekul kurang lebih 37 kDa."
Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aghnianditya Kresno Dewantari
"ABSTRAK
Arbovirus (arthropode-borne virus) yang timbul dan timbul kembali telah memengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia. Infeksi arbovirus terbanyak di Indonesia: dengue, Japanese encephalitis (JE) dan chikungunya (CHIK) menyebabkan kasus luar biasa tiap tahun. Ketersediaan metode deteksi JE dan CHIK sangat terbatas di Indonesia. Pengembangan in-house IgM antibody-capture Enzyme Linked Immunosorbent Assay (MAC ELISA) dengan antigen local terinaktivasi akan meningkatkan deteksi dan pemantauan dengan meningkatkan spesifisitas dan sensitivitas. Antigen diproduksi dalam kultur sel dengan sel BHK-21 dan sel Vero kemudian diinaktivasi dengan gamma-irradiasi dan 0,01% beta-propiolakton. Kinerja Antigen dievaluasi dengan uji MAC ELISA dan titer virus dihitung dengan uji plak. Virus Japanese encephalitis dan chikungunya terinaktivasi pada 20 kGy gamma- irradiasi dan 0,01% BPL. In-house MAC ELISA telah dioptimisasi dengan inkubasi 2 jam. Kit in-house MAC ELISA yang telah dikembangkan berguna untuk deteksi dan pemantauan JE dan Chik dengan fasilitas terbatas.

ABSTRACT
The emerging and re-emerging arthropod-borne viruses (arboviruses) have effected many aspects of human existence. Three major arbovirus infection in Indonesia: dengue, Japanese encephalitis (JE) and chikungunya (CHIK) causes numerous outbreaks each year. However, availability of detection methods for JE and CHIK are very limited in Indonesia. Development of in-house IgM antibody-capture Enzyme Linked Immunosorbent Assay (MAC ELISA) with inactivated local antigen will improve detection and surveillance capability across Indonesia by increasing its specificity and sensitivity. Antigens were produced in cell culture using BHK-21 cells and Vero cells then inactivated using gamma-irradiation and 0.01% beta-propiolactone (BPL). Antigen performance was evaluated using MAC ELISA and virus titer were calculated using plaque assay. Japanese encephalitis virus and chikungunya virus was inactivated at 20 kGy with 0.01% BPL. Optimized in-house MAC ELISA protocol using these antigen has been developed. Developed in-house MAC ELISA kit will be beneficial for detection and surveillance of JE and CHIK with limited facility. "
2016
S65193
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Burni Prasetyowati
"Japanese Encephalitis (JE) merupakan salah satu penyakit zoonosa yang dapat menimbulkan radang akut pada susunan syaraf pusat yang ditularkan oleh hewan melalui gigitan nyamuk terutarna Culex sp. Departemen Kesehatan bekerjasama dengan sektor terkait telah melalukan berbagai upaya untuk mengetahui seberapa besar insiden JE di Indonesia dengan melakukan surveilans terhadap JE diantaranya di Propinsi Bali.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui beberapa faktor risiko lingkungan di dalam dan di luar rumah selain faktor individu penderita dan perilaku terhadap pencegahan gigitan nyamuk yang berhubungan dengan kejadian JE pada anak-anak. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol, dengan perbandingan 1 : 2. Kelompok kasus adalah anak-anak dari seluruh kabupaten di Propinsi Bali yang didiagnosa secara klinis dan laboratoris menderita JE, dan sebagai kelompok kontrol adalah anak-anak selain menderita encephalitis. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 76 kasus dan 152 kontrol. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan orang tua responden dan obsrvasi lingkungan tempat tinggal responden. Selanjutnya hasil yang diperoleh dianalisa dengan uji kai kuadrat dan regresi logistik.
Hasil analisa bivariat menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian JE pada anak-anak dengan derajat kepercayaan 95% meliputi : adanya ternak babi (p=0,002, OR = 2,81), tempat perindukan nyamuk (p=0,005, OR = 2,59), kualitas rumah (p=0,003, 0R= 3,49), umur (p=0,0l7, OR = 2,04), jenis kelamin (p=0,03l, OR=1,84), tingkat pengetahuan ibu (p=0,000, OR=3;59), kebiasaan memakai kelambu (p=0,029, OR = 2,93), kebiasaan memakai obat nyamuk (p=0,007, OR = 2,18), pemakaian kawat kasa (p=0,006, OR = 2,78). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan adalah kelembaban rumah (p=0,201), dan kebiasaan memakai repellent (p=0,6l4). Hasil analisa multivariat menunjukkan bahwa faktor-faktor yang Berhubungan dengan kejadian JE pada anak-anak adalah tingkat pengetahuan ibu (p=0,000, OR=3,48), kualitas rumah (p=0,016, OR=3,40), pemakaian kawat kasa (p=0,014, OR=2,79), adanya ternak babi (p=0,010,0R=2,62), umur (p=0,038, OR=2,01) dan kebiasaan memakai obat nyamuk (p=0,018, 0R=2,15).
Disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan ibu dibawah rata-rata, kualitas rumah yang buruk, adanya ternak babi, tidak memakai kawat kasa, umur kurang dari lima tahun, dau tidak mempunyai kebiasaan memakai obat nyamuk akan berisiko lebih besar untuk menderita JE. Disarankan agar meningkatkan penyuluhan kepada masyarakat tentang konstruksi rumah sehat, dimana atap dilengkapi dengan plafon, dinding dan lantai rumah tidak berlubang, ventilasi dilengkapi dengan kawat kasa sehingga nyamuk tidak dapat masuk ke dalam rumah, memelihara ternak babi mengikuti standar kandang babi yang baik dan terpisah dari lingkungan pemukiman, kerjasama dengan Dinas Pertanian tentang pemilihan jenis padi yang tidak banyak membutuhkan air sehingga dapat mengurangi tempat perindukan nyamuk, dengan tujuan untuk memutuskan rantai penularan JE. Penelitian lebih Ianjut dengan desain yang lebih sempurna, dan variabel-variabel yang penting secara teori dengan definisi operasional dan cara pengukuran yang lebih baik maupun variabel-variabel yang belum diteliti untuk mengetahui faktor-faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian JE."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T13172
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sintha Yade Grace
"Telah dilakukan penelitian penapisan senyawa inhibitor dari Actinomycetes terhadap RNA helikase virus Japanese encephalitis (JE). Penelitian dilakukan selama delapan bulan (Februari--September 2006) di Laboratorium Virologi Molekular, Pusat Penelitian (Puslit) Bioteknologi LIPI, Cibinong. Penelitian bertujuan untuk memperoleh isolat-isolat Actinomycetes indigenos Indonesia penghasil inhibitor terhadap RNA helikase virus JE. Plasmid pET-21 b telah membawa gen NS3 helikase virus JE (pET-21 b/JEV ΔNS3) kemudian ditransformasi ke dalam Escherichia coli BL21 (DE3) pLysS. Jumlah supernatan isolat Actinomycetes yang ditapis sebanyak 1.000 supernatan. Penapisan inhibitor RNA helikase dilakukan dengan uji kolorimetrik ATPase.
Hasil penapisan menunjukkan sebanyak 730 isolat memiliki persentase inhibisi berkisar 0,180%--49,891%. Sebanyak 339 isolat menunjukkan efek inhibisi 0,180--9,991%, 210 isolat menunjukkan efek inhibisi 10,035--19,688%, 96 isolat memperlihatkan efek inhibisi 20,011-- 29,667%, 56 isolat memiliki efek inhibisi 30,051--39,863%, dan 29 isolat memiliki efek inhibisi 40,144--49,891%. Persentase inhibisi tertinggi diperoleh dari Actinoplanes sp. 5-849, sedangkan persentase inhibisi terendah diperoleh dari Streptomyces sp. 4-700. Hasil inhibisi negatif terhadap RNA helikase virus JE ditunjukkan oleh 270 isolat. Inhibitor yang dihasilkan oleh isolat Actinomycetes indigenos Indonesia mampu menghambat RNA helikase virus JE dengan penghambatan hidrolisis ATP menjadi ADP dan Pi (fosfat inorganik)."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2006
S31423
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lucyana
"ABSTRAK
Pendahuluan: Ensefalitis pada anak lebih sering dijumpai daripada dewasa dan luaran buruk terjadi pada 60% subjek yang terkena. Hingga saat ini belum ada data mengenai profil dan luaran pasien ensefalitis anak di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui profil dan luaran pasien ensefalitis akut pada anak
Metode: Penelitian retrospektif ini menggunakan data rekam medis tahun 2014- 2018 di 3 rumah sakit pendidikan (RSCM, RSU Tangerang, RSUP Fatmawati). Gejala klinis awal, pleositosis CSS, abnormalitas neuroimaging, abnormalitas elektrofisiologis (EEG) dicatat dan luaran dinilai saat pasien pulang/meninggal dan dinyatakan sebagai luaran baik atau buruk.
Hasil: Terdapat 657 pasien yang memenuhi kriteria ICD X sesuai kriteria inklusi dari 3 rumah sakit, dan data dari 190 subjek dianalisis dalam penelitian ini. Subjek penelitian didominasi oleh anak usia > 1 tahun (83%). Kejang didapatkan pada 87% subjek yang diteliti dan 80%nya merupakan kejang umum. Defisit neurologis fokal terdapat pada 47% subjek (90 pasien). Pemeriksaan penunjang yang menunjukkan abnormalitas tertinggi adalah EEG (90%). Kriteria diagnostik probable terpenuhi pada 62% subjek. Mortalitas didapatkan pada 23% subjek, dengan proporsi terbanyak berasal dari RSU Tangerang. Kejang fokal dan usia > 1 tahun merupakan faktor risiko yang berperan meningkatkan luaran buruk saat pulang 3 kali lipat (p: 0,006 dan p: 0,03).
Simpulan: Profil ensefalitis akut pada anak lebih banyak dijumpai pada usia > 1 tahun, dengan gejala yang sering dijumpai saat awal adalah demam, dan kejang. Pemeriksaan penunjang EEG adalah pemeriksaan tertinggi yang menunjukkan hasil positif pada pasien dugaan ensefalitis. Kejang fokal dan usia > 1 tahun merupakan faktor risiko luaran buruk.

ABSTRACT
Introduction: Encephalitis in pediatric population is more frequent than adult. The outcome has been reported to have poor prognosis in 60% of cases. No data of peidatric encephalitis in Indonesia has been reported yet.
Objectives: Evaluate pediatric acute encephalitis profile and factors that influence its outcome.
Methods: This retrospective research used medical records data from year 2014- 2018 in 3 teaching hospitals (RSCM, RSU Tangerang, RSUP Fatmawati). We documented clinical presentation at admission, pleocytosis CSF, neuroimaging abnormality, electrophysiologic abnormality (EEG), and outcome at discharge which classified as good vs. poor outcome.
Results: Among 657 patients identified using ICD X in all 3 hospitals, there were a total of 190 subjects included in this study. Eighty three percent of subjects aged > 1 years. Seizure was present in 87% subjects, and 80% of those subjects experienced generalized seizure. Focal neurological deficits was shown in 47% subjects (90 patients). Among investigation, EEG shown positive results in 90% examined subjects, while CT scan were the most prevalent. We found probable diagnostic criteria in majority of subjects (62%). Mortality was 23%, and RSU Tangerang was the major contributor. Focal seizure and age > 1 year were the risk factors associated with 3 times increased risk of poor outcome (p: 0,006 and p: 0,03).
Conclusions: Age > 1 year is more prevalent in pediatric acute encephalitis. Among most common clinical presentation are fever and seizure. Abnormal EEG finding in suspected encephalitis cases give the most positive result. Focal seizure and age > 1 year were the risk factors for poor outcome"
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Mira Ratih
"Latar Belakang: Petugas kesehatan memiliki risiko terpajan darah atau jaringan tubuh saat bekerja. World Health Organization WHO memperkirakan adanya 3 juta pajanan setiap tahunnya pada 35 juta petugas kesehatan. Adanya profilaksis pascapajanan dapat menurunkan risiko penularan.Tujuan: Mengetahui pelaksanaan profilaksis pascapajanan terhadap terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C pada petugas kesehatan di RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM .Metode: Penelitian potong lintang dilakukan pada petugas terpajan yang terdata melalui laporan IGD, poli pegawai dan UPT HIV pada tahun 2014-2016. Data dikumpulkan dan diolah melalui SPSS versi 20.Hasil Penelitian: Dari 196 pekerja yang melaporkan pajanan, sebagian besar merupakan perempuan 69,9 , bekerja sebagai perawat 38,3 dan dokter 38,3 , serta terpajan secara perkutan 93,4 . Anti-HIV reaktif ditemui pada 25 13 sumber pajanan, HBsAg reaktif pada 13 8 dan anti-HCV reaktif pada 12 6 sumber. Petugas dengan anti-HBs protektif adalah 55 28,1 petugas. Dari 183 pajanan berisiko, 45,9 81 petugas direkomendasikan pemberian ARV, 81,5 66 petugas melakukan profilaksis dengan ARV, 60 petugas minum ARV secara lengkap 28 hari . Follow-up anti-HIV bulan ke-3 dan 6 dilakukan oleh 44 24 dan 41 22,4 petugas. Terdapat 37 pekerja yang direkomendasikan menerima vaksinasi Hepatitis B dan/atau immunoglobulin HBIG . Dari 22 59 yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B, hanya 1 2,7 yang melakukan. Dari 15 41 yang direkomendasikan vaksinasi hepatitis B dan HBIG, hanya 2 5,4 yang melakukannya. Follow-up 3 dan 6 bulan HBsAg serta anti-HBs dilakukan oleh 41 31,1 , 38 28,8 dan 2 1,5 petugas. Dari 182 petugas yang melakukan follow-up anti-HCV bulan ke 3 dan ke 6 adalah 39 21,4 dan 37 20,3 petugas.Kesimpulan: Pelaksanaan profilaksis pasca pajanan terhadap HIV, hepatitis B dan hepatitis C masih rendah. Oleh karena itu, penanganan profilaksis secara komprehensif penting dilakukan termasuk peningkatan pengetahuan dan kesadaran pekerja, peninjauan kembali SOP, dan komunikasi yang efektif.
Introduction Health care workers HCW have exposure risk of blood or body tissue at work. World Health Organization WHO estimates there is 3 millions exposure to 35 millions workers annually. The existance of post exposure prophylaxis could reduce the transmission risk.Goal To identify the implementation of post exposure prophylaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C among HCW in RSUPN Cipto Mangunkusumo RSCM .Method A cross sectional study was conducted to exposured workers who had been recorded in emergency ward, employee ward, and UPT HIV on 2014 2016. Data was collected and analyzed with SPSS 20.Result Among 196 HCW who reported the exposure, most of them were female 69.9 , worked as nurse 38.3 and doctor 38.3 , and exposed percutaneously 93.4 . Positive anti HIV was found in 25 13 people of exposure sources, positive HBsAg in 13 8 people and positive HCV in 12 6 people. Workers with protective anti HBs were 55 28.1 people. In 183 reports, 81 45,9 workers were recommended to receive ARV, 66 81.5 workers did receive it, and 40 60 workers took complete ARV 28 days . Follow up 3 and 6 months was done by 44 24 and 41 22,4 workers. There were 37 workers recommended to receive Hepatitis B vaccination and or immunoglobulin HBIG . In 22 59 recommended to receive Hepatitis B vaccination, only 1 2,7 who took that. In 15 41 recommended to receive both Hepatitis B vaccination and immunoglobulin, only 2 5,4 who took both. Follow up of HBsAg and anti HBs on 3rd and 6th months were done by 41 31,1 , 38 28,8 and 2 1,5 workers who were recommended to receive prophylaxis. In 182 workers recommended to do follow up of anti HCV, 39 21,4 and 37 20,3 workers did the follow up on 3rd and 6th month.Conclusion The implementation of post exposure propyhlaxis of HIV, Hepatitis B, and Hepatitis C was still low. Thus, it was important to do the management of prophylaxis comprehensively. It was also included the increasing of worker rsquo s knowledge and awareness, reconsidering the operational standard, and communicating effectively. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anja Hesnia Kholis
"[ABSTRAK
Meningitis dan ensefalitis merupakan infeksi sistem saraf pusat yang dapat
mengancam jiwa. Apabila tidak ditangani dengan baik, akan menimbulkan defisit
neurologis dan berdampak pada kehidupan sehari-hari. Tujuan penelitian ini
adalah mengeksplorasi secara mendalam pengalaman hidup pasien postmeningitis
dan ensefalitis terkait kualitas hidupnya. Penelitian kualitatif dengan
pendekatan fenomenologi pada delapan partisipan ini ditentukan dengan teknik
snowball sampling. Data dikumpulkan dengan wawancara mendalam dan catatan
lapangan. Analisis data menggunakan metode Collaizi. Tema yang ditemukan
adalah perubahan fungsi tubuh pasien, masalah sosial yang dihadapi pasien postmeningitis
dan ensefalitis, strategi koping pasien, kebutuhan akan support system
pasien, dan pengalaman pasien selama menerima pelayanan kesehatan. Hasil
penelitian diharapkan sebagai data dasar pengembangan format pengkajian asuhan
keperawatan dan instrumen kualitas hidup neuroinfection.

ABSTRACT
Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous
system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact
on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis
and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative
research with phenomenological approach on eight participants involved were
determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth
interviews and field notes. Collaizi?s method was used to data analysis. The
results of this investigation were: the changes body function of patients; the social
problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies
of patients; the need support system of patients, and the experience patients during
receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the
development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection
related to quality of life., Meningitis and encephalitis are life-threatening infection of the central nervous
system. If it is not treated properly, will lead to neurological deficits and impact
on daily life. The purpose of this study was to explore the life experiences of postmeningitis
and encephalitis patients related to their quality of life. Qualitative
research with phenomenological approach on eight participants involved were
determined by snowball sampling technique. The data was collected by in-depth
interviews and field notes. Collaizi’s method was used to data analysis. The
results of this investigation were: the changes body function of patients; the social
problems faced by post-meningitis and encephalitis patients; the coping strategies
of patients; the need support system of patients, and the experience patients during
receiving health care. The study findings are expected to be the basic for both the
development of nursing care assessment form and instrument of neuroinfection
related to quality of life.]"
2015
T44547
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
David
"Latar Belakang. Sejak laporan pertama ensefalitis antireseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA) pada 2007, prevalensi ensefalitis autoimun (EA) serupa dengan ensefalitis infeksi (EI). Sayangnya, heterogenitas klinis EA, serupanya klinis dengan EI, penyakit autoimun seperti neuropsikiatrik lupus eritematosus sistemik, atau penyakit psikiatrik menjadi tantangan deteksi awal dan tatalaksana EA. Keterlambatan berhubungan dengan perburukan luaran, sedangkan kekurang-tepatan menerapi EI sebagai EA dapat mengeksaserbasi infeksi. Studi ini bertujuan mengenali karakteristik EA, khususnya ensefalitis antireseptor NMDA definit sebagai EA tersering, di era keterbatasan ketersediaan penunjang definitif di Indonesia.
Metode. Studi kohort retrospektif dengan rekam medis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo dilakukan pada curiga EA yang menjalani pemeriksaan antireseptor NMDA cairan otak sejak Januari 2015-November 2022. Karakteristik klinis dan penunjang EA, EA seropositif NMDA, dan luarannya dinilai. Analisis univariat dan bivariat dilakukan sesuai kebutuhan.
Hasil. Dari 102 subjek yang melalui kriteria inklusi dan eksklusi, terdapat 14 EA seropositif dan 32 seronegatif NMDA. Temuan klinis EA terbanyak adalah gangguan psikiatri dan tidur (85,7%), gangguan kesadaran (78,3%), prodromal (76,1%), dan bangkitan (70,6%). Karakteristik penunjang EA adalah inflamasi sistemik (75,0%), inflamasi cairan otak (69,2%), abnormalitas MRI (57,9%) dominan inflamasi (42,2%), dan abnormalitas EEG (89,5%). Karakteristik klinis EA seropositif NMDA adalah psikosis (76,9% vs 24,1%, p=0,002), delirium (71,4% vs 40,6%, p=0,06), bangkitan (71,4% vs 46,7%, p=0,12), takikardia (55,6% vs 17,6%, p=0,08), dan gangguan otonom lainnya (55,6% vs 23,5%, p=0,19), sedangkan klinis EA seronegatif NMDA adalah somnolen (34,4% vs 7,1%, p=0,07) dan defisit neurologis fokal (31,3% vs 7,1%, p=0,13). Leukositosis dan pleositosis cairan otak dengan dominasi mononuklear secara signifikan lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Sebanyak 10,9% subjek meninggal.
Kesimpulan. Karakteristik klinis EA adalah gangguan psikiatri dan tidur, gangguan kesadaran, prodromal, dan bangkitan. Psikosis, delirium, bangkitan, dan disfungsi otonom cenderung lebih ditemukan pada EA seropositif NMDA. Inflamasi sistemik, cairan otak, MRI, dan abnormalitas EEG sering ditemukan pada EA, terutama seropositif NMDA. 

Background. Since the first report of N-methyl-D-aspartate receptor (NMDAR) encephalitis in 2007, the prevalence of autoimmune encephalitis (AE) was similar to infectious encephalitis (IE). Unfortunately, heterogenities of EA as well as similarities in the manifestation to IE, other autoimmune diseases including neuropsychiatric systemic lupus erythematosus, or psychiatric diseases compromised the early detection and management of EA. This delay correlated with worse outcome whereas the inaccuracy in treting IE as AE may exacerbate infection. This study aimed to describe the characteristics of EA, particularly definitive NMDAR encephalitis as the most common, in the era of limited availability of definitive ancillary test in Indonesia.
Methods. Retrospective study using medical records at Dr. Cipto Mangunkusumo National Center General Hospital was conducted for suspected EA cases tested for cerebrospinal fluid NMDAR autoantibody test from January 2015 to November 2022. Clinical, ancillary characteristics, and concordance between clinical diagnosis and diagnostic criteria were assessed. Univariate, bivariate, and multivariate analysis were perfomed as needed.
Result. Of 102 subjects following inclusion and exclusion criteria, there were 14 seropositive and 32 seronegative NMDA subject. Clinical characterstics of AE were psychiatric and sleep disorder (85,7%), altered consciousness (78.3%), prodromal (76.1%), and seizure (70.6%). Ancillary characteristics of AE were systemic inflammation (75.0%), cerebrospinal fluid inflammation (69.2%), MRI abnormalities (57.9%) with inflammatory predominance (42.2%), and EEG abnormalities (89.5%). Seropositive NMDA characteristics were psychosis (76.9% vs 24.1%, p=0.002), delirium (71.4% vs 40.6%, p=0.06), seizure (71.4% vs 46.7%, p=0.12), tachycardia 955.6% vs 17.6%, p=-0.08), and other autonomic disorder (55.6% vs 23.5% p=0.19) whereas seronegative NMDA characteristics were somnolence (34.4% vs 7.1%, p=0.07) and focal neurologic deficit (31.3% vs 7.1%, p=0.13). Leukocytosis and cerebrospinal fluid pleocytosis with mononuclear predominance were significantly found in seropositive NMDA AE. The mortality rate was 10.9%.
Conclusion. Clinical characteristics of AE were psychiatric and sleep disorder, altered consciousness, prodromal, and seizure. Psychosis, delirium, seizure, and autonomic dysfunction tended to be found in seropositive NMDA AE. Inflammation in systemic, cerebrospinal fluid, and MRI findings as well as EEG abnormalities commonly occurred in AE, especially seropositive NMDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>