Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159995 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tania Taslim
"Polimorfisme genetik MTHFR C677T adalah faktor resiko orofacial cleft (OFC). Dalam mengetahui distribusi genotip dan hubungan polimorfisme MTHFR C677T dengan orofacial cleft, maka diikutsertakan grup OFC dan grup kontrol sebanyak 24 dan 47 sampel ekstraksi DNA dari Laboratorium Biologi Oral FKG UI. Identifikasi molekuler dengan teknik PCR-RFLP. Kedua grup berada dalam Hardy-Weinberg equilibrium. Grup OFC, frekuensi alel C 89.6% dan alel T 10.4% serta tidak ditemukan genotip homozigot variant (TT). Grup kontrol ditemukan 2 individu bergenotip TT, frekuensi alel C 75.5 % dan alel T 24.4 %. Hasil uji Chi-square, polimorfisme MTHFR C677T berhubungan dengan orofacial cleft (p<0.05).

MTHFR C677T polymorphism is a possible risk factor for orofacial cleft. In assessing the genotype distribution of MTHFR C677T polymorphism and its relation to orofacial cleft, 24 OFC samples and 47 control samples were included and provided by Oral Biology Laboratory Faculty of Dentistry University of Indonesia. PCR-RFLP technique was used for genotyping. Allelic frequencies in OFC group were 89.6% (C allele) and 10.4% (T allele) while in control group were 75.5% (C allele) and 24.4% (T allele). Genotyping showed two individuals of TT genotype in control group. Polymorphism MTHFR C677T in two groups were in Hardy-Weinberg equilibrium and showed a significant association with orofacial cleft (p<0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45350
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Dwi Honesty Putri
"Osteoporosis adalah kondisi yang ditandai dengan berkurangnya massa tulang, yang salah satu penyebabnya adalah faktor genetik. Polimorfisme genetik MTHFR C677T dilaporkan terlibat dalam penurunan Bone Mineral Density. Untuk melihat apakah terdapat gambaran dan polimorfisme MTHFR C677T pada wanita pascamenopause dengan osteoporosis, serta hubungannya, dilakukan analisis polimorfisme pada 100 sampel wanita pascamenopause dengan menggunakan teknik PCR-RFLP. Sampel berada dalam Hardy-Weinberg equilibrium, dengan genotip CC56%, CT40%, TT4% pada kelompok normal, dan genotip CC 74,7%, CT 25,3%, TT 0% pada kelompok osteoporosis. Hasil uji chi-square p>0,05, sehingga disimpulkan terjadi polimorfisme pada wanita pascamenopause dengan osteoporosis, namun tidak terdapat hubungan yang bermakna antara keduanya.

Osteoporosis is a condition that is characterized by reduced bone mass. Previous studies have shown that the MTHFR C677T polymorphism may be involved in the development of osteoporosis. The aim of this study was to characterise the distribution of this polymorphism in 100 Indonesian postmenopausal women. The polymorphism was analyzed using PCR-RFLP technique. The observed genotypes were consistent with Hardy-Weinberg equilibrium and included 56% CC, 40%CT and 4%TT for normal postmenopausal women, and 74.7% CC, 25.3% CT, 0% TT for postmenopausal women with osteoporosis. The results suggest that the MTHFR C677T polymorphism is not significantly associated with osteoporosis (p>0.05)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S45288
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarumpaet, Angela Tiffani Tassa
"Methylenetetrahydrofolate Reductase (MTHFR) adalah enzim yang penting dalam pembentukan metabolime folate dan methionine. Kadar enzim ini sangat tinggi di testis dan berperan penting dalam spermatogenesis oleh karena itu dapat mempengaruhi proses metilasi dan sintesis DNA. Apabila terdapat mutasi gen, kemungkinan besar akan mempengaruhi aktivitas MTHFR dan menyebabkan infertilitas pada pria. Beberapa studi menemukan polimorfisme pada posisi C677T yang akan mengakibatkan defisiensi enzim MTHFR dan menurunkan aktifitas metabolisme folat.
Tujuan penelitian adalah untuk menganalisis polimorfisme gen MTHFR C677T pada pria azoospermia di Indonesia. Penelitian ini menggunakan studi cross sectional dengan pengambilan sampel darah tepi dari 83 pasien pria azoospermia dan 38 pria normal sebagai kelompok kontrol. DNA diisolasi dan diperbanyak menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR), dan dipakai teknik RFLP, menggunakan enzim HinfI.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara distribusi genotip (CC,CT, dan TT) gen MTHFR C677T (p=0.959) dengan azoospermia. Demikian juga antara distribusi alotip (allele T dan homozigot allele C) dengan azospermia (p=0.325).
Sebagai kesimpulan, dalam penelitian ini tidak ditemukan hubungan bermakna baik genotip maupun alotip polimorfisme gen MTHFR C677T dengan azoospermia. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian menggunakan sampel dari subjek dengan etnis yang lebih homogen.

Methylenetetrahydrofolate reductase (MTHFR) is an enzyme essential for the metabolism of folate and methionine. MTHFR enzyme level is very high in testis and has a an important role in spermatogenesis because of its methylation role in DNA synthesis. If there is a gene mutation, it will affect MTHFR activity and is likely to cause infertility in men. Several studies found the polymorphism in gene C677T will lead to a deficiency in the enzyme activity of MTHFR and lower folate metabolism.
The purpose of this research is to see whether there is any association between the polymorphisms of MTHFR C677T gene azoospermia men in Indonesia. This cross-sectional study usig peripheral blood samples from 83 male patients and 38 normal male azoospermia as a control group and then the DNA isolation is performed and it is amplified by PCR. Afterwards, RFLP is done with enzyme HinfI.
Results showed no association between genotype (CC,CT and TT) of the MTHFR gene polymorphism and azoospermia (p = 0.959), as well as the association between alotip (consist allele T and homozygot allele C) and azoospermia (p = 0.325).
In summary, there is no association either genotype and allotype in MTHFR gene polymorphism C677T polymorphism and azoospermia. Therefore, extended study should be undertaken using sample from subject with ethnically homogenous.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rarasih Kiranahayu
"Latar Belakang: Orofacial cleft merupakan salah satu dari banyak malformasi bawaan lahir yang sering terjadi pada manusia. Keadaan ini ditandai dengan kelainan morfologi yang dapat mengubah struktur wajah dan mempengaruhi struktur anatomi, juga fungsi otot dengan tingkat keparahan yang bervariasi. Adapun, penyebab celah bibir dan palatum ini dihasilkan dari banyak faktor, dimana terjadi kombinasi antara faktor genetik dan faktor lingkungan.
Tujuan: Mengetahui distribusi polimorfisme gen Wnt10a C392T pada penderita orofacial cleft.
Metode: Analisis polimorfisme gen Wnt10a C392T dilakukan dengan metode PCR-RFLP dengan enzim restriksi AfeI.
Hasil: Menggunakan 25 sampel orofacial cleft dan 75 sampel kontrol, ditemukan 25 sampel orofacial cleft memiliki genotip TT 100 , 20 sampel kontrol memiliki genotip CC 26,6 , 53 sampel memiliki genotip CT 70,6 , dan 2 sampel memiliki genotip TT 2,8 . Tidak ditemukan alel C pada sampel orofacial cleft, semenatara sampel kontrol memiliki 91 alel C 60,7 dan 59 alel T 39,3.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada distribusi genotip dan alel polimorfisme Gen Wnt10a C392T antara penderita orofacial cleft dan kontrol p value genotip = 0,003, p value alel =0,001.

Background: Orofacial cleft is one of the many congenital malformations that often occur in humans. It is characterized by morphological abnormalities that can alter the facial structure and affect the anatomical structure, as well as muscle function with variations of severity. The cause of orofacial cleft is generated from many factors, where there is a combination of genetic factors and environmental factors.
Aim: To describe the distibution of Wnt10a C392T gene polymorphism in orofacial cleft patients.
Methods: Analysis of Wnt10a C392T gene polymorphism was performed by PCR RFLP method with AfeI restriction enzyme.
Results: Using 25 orofacial cleft samples and 75 control samples, 25 orofacial cleft samples had 25 TT genotype 100 , 20 control samples had CC genotype 26,6 , 53 samples had CT genotype 70,6 , and 2 samples had TT genotype 2,8 . No C alleles were found in orofacial cleft samples, while control samples had 91 C allele 60,7 and 59 T alleles 39,3.
Conclusions: There were significant differences in genotype distribution and allele of Wnt10a C392T gene polymorphism between orofacial cleft and control patients p value genotype 0.003, p value allele 0.001.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafa Ahmad Bawazier
"Latar Belakang: Orofacial cleft merupakan ruang abnormal kongenital yang terjadi pada bibir atas, tulang alveolar, dan palatum. Orofacial cleft terdiri dari berbagai jenis yaitu, celah bibir, celah palatum, dan celah bibir dan palatum. Orofacial cleft adalah anomali kongenital yang dapat disebabkan oleh faktor genetik maupun faktor lingkungan. Belakangan ini penelitian menunjukkan bahwa beberapa gen terlibat dalam penyebab terjadinya orofacial cleft, salah satunya adalah gen BMP4. Terdapat penelitian yang menunjukkan hubungan antara polimorfisme nukleotida tunggal gen BMP4 T538C dengan terjadinya orofacial cleft di populasi Cina.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen BMP4 T538C dengan penderita orofacial cleft di Indonesia.
Metode: Analisis polimorfisme gen BMP4 T538C dilakukan dengan metode PCR-RFLP dengan enzim restriksi Hph1.
Hasil: Dari 100 sampelg yaitu, 25 sampel orofacial cleft dan 75 sampel non orofacial cleft, ditemukan 25 sampel orofacial cleft memiliki genotip CC (100%) sedangkan pada kelompok non orofacial cleft ditemukan 11 sampel memiliki genotip CC (14.7%), 55 sampel memiliki genotip CT (73.3%), dan 9 sampel memiliki genotip TT (12%). Seluruh sampel orofacial cleft memiliki alel C sedangkan pada kelompok non orofacial cleft 77 sampel memiliki alel C (51.3%) dan 73 sampel memiliki alel T (48.7%).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna pada distribusi genotip dan alel gen BMP4 T538C antara penderita orofacial cleft dan non orofacial cleft (p value genotip dan alel = 0.001).

Background: Orofacial cleft is a congenital abnormal space or gap in the upper lip, lveolar bone, or palate. There are many types of orofacial cleft, such as, cleft lip, cleft alate, and cleft lip and palate. Orofacial cleft is congenital anomalies that often appened. Orofacial cleft caused by many factor, such as, genetic and environment. ecent studies showed that several genes could affect orofacial cleft, such as, BMP4 ene. There was study that showed association between single nucleotide polymorphism f BMP4 gene T538C with orofacial cleft in Chinese population.
Objective: To escribe the correlation between BMP4 T538C polymorphism and orofacial cleft in" "ndonesia.
Methods: Analysis of BMP4 T538C gene polymorphism was performed by CR-RFLP methods with Hph1 restriction enzyme.
Results: From 100 samples that onsist of 25 orofacial cleft samples and 75 non orofacial cleft samples, 25 samples of rofacial cleft showed genotype CC (100%) while in non orofacial cleft samples, 11 amples showed genotype CC (14.7%), 55 samples showed genotype CT (73.3%), and 9 samples showed genotype TT (12%). All of orofacial cleft samples showed C allele hile in non orofacial cleft samples were found 77 allel C (51.3%) and 73 allele T" "48.7%).
Conclusion: There were significance differences between orofacial cleft and on orofacial cleft samples, both in genotype and allele distribution of BMP4 T538C ene polymorphism (p value for both genotype and allele = 0.001).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rony Mario Candrasatria
"Polimorfisme gen Methylenetetrahydrofolate Reductase MTHFR C677T dihubungkan dengan kejadian hipertensi dan bergantung dengan etnis dan daerah geografis. Stratifikasi risiko dan potensi terapeutik menjadi alasan dilakukannya sejumlah studi pada gen MTHFR ini. Hingga saat ini belum ada studi yang menghubungkan polimorfisme MTHFR C677T dengan hipertensi di Indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara polimorfisme C677T pada gen MTHFR dengan hipertensi pada masyarakat rural di desa Gunung Sari, Bogor-Indonesia. Total sebanyak 415 subyek yang terdiri dari 213 subyek dengan hipertensi dan 202 subyek normotensif sebagai kontrol, menjalani pemeriksaan polimorfisme MTHFR C677T dengan menggunakan metode Taqman. Terdapat perbedaan polimorfisme MTHFR C677T yang bermakna antara kelompok hipertensi dengan kelompok kontrol 62,9 CC; 34,3 CT; 2,8 TT vs 77,7 CC; 20,8 CT; 1,5 TT . Setelah disesuaikan dengan usia, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan status diabetes mellitus, didapatkan hubungan antara polimorfisme MTHFR C677T dengan kejadian hipertensi OR 2,1; 95 IK 1,3-3,5 . Sebagai kesimpulan, terdapat hubungan antara polimorfisme MTHFR C677T dengan kejadian hipertensi pada populasi desa Gunung Sari, Kabupaten Bogor, Indonesia.

Methylenetetrahydrofolate Reductase MTHFR C677T gene polymorphism is associated with hypertension depending on ethnic and geographic region. Risk stratification and therapeutic potential has become the common reason of recent studies on this gene. No study of MTHFR C677T polymorphism on hypertension is available in Indonesia. This study sought to determine the association of MTHFR C677T gene polymorphism and hypertension in rural population of Gunung Sari Village, Bogor Indonesia. A total of 415 subjects consisting of 213 hypertensive subjects and 202 normotensive subjects as a control group, underwent MTHFR C677T polymorphism examination using Taqman method. There was a significant difference of MTHFR C677T polymorphism between hypertensive group and control group 62,9 CC 34,3 CT 2,8 TT vs 77,7 CC 20,8 CT 1,5 TT . After adjustment of age, body mass index, waist circumference, and diabetes mellitus, there was an association between MTHFR C677T polymorphism with hypertension OR 2,1 95 CI 1,3 3,5 . As conclusion, there is an association between MTHFR C677T gene polymorphism and hypertension in rural population of Gunung Sari Village, Bogor Indonesia"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ananda Nandita Dewana
"Latar Belakang : Anomali gigi dapat menyebabkan berbagai masalah fungsional seperti, maloklusi, meningkatkan resiko karies, dan mengganggu estetika. Tingkat kejadian anomali gigi di Indonesia, masih belum banyak diteliti. Berdasarkan hal tersebut, maka penting untuk melakukan identifikasi untuk memperoleh data frekuensi distribusi anomali gigi pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Tujuan : Mendapatkan data frekuensi distribusi anomali gigi berdasarkan usia dan jenis kelamin pada radiograf panoramik di RSKGM FKG UI. Metode : Penelitian ini merupakan studi cross-sectional dengan total sampel 367 radiograf panoramik. Radiograf dievaluasi dan diinterpretasi oleh dua orang observer untuk mengidentifikasi anomali gigi sesuai klasifikasi berdasarkan anomali jumlah (gigi supernumerari), ukuran (makrodonsia dan mikrodonsia), erupsi (transposisi), serta morfologi (fusi, concrescence, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, dan congenital sifilis). Data usia, jenis kelamin, dan hasil interpretasi radiograf panoramik dicatat. Selanjutnya, dilakukan uji reliabilitas menggunakan uji Kappa untuk data kategorik dan uji ICC untuk data numerik. Hasil : Dari total sampel 367 radiograf pada rentang usia 6-79 tahun ditemukan 133 (36,2%) radiograf panoramik dengan anomali gigi, sebanyak 1-4 kasus pada setiap radiograf. Jumlah seluruh anomali gigi yang ditemukan adalah 395 kasus. Anomali gigi terbanyak ditemukan pada rentang usia 16-25 tahun. Berdasarkan klasifikasi, frekuensi distribusi anomali gigi yang ditemukan, secara berurutan yaitu anomali morfologi (63,15%), ukuran (32,33%), jumlah (18,05%), dan erupsi (7,52%). Jenis anomali morfologi gigi yang paling banyak ditemukan adalah dilaserasi (33,83%), anomali ukuran adalah mikrodonsia (32,05%), dan anomali jumlah adalah gigi supernumerari (23,64%). Berdasarkan jenis kelamin, frekuensi distribusi anomali gigi ditemukan lebih banyak pada laki-laki (45,83%) dibanding perempuan (31,87%). Anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada laki-laki adalah gigi supernumerari, concrescence, dens invaginatus dan enamel pearl. Sedangkan, anomali gigi yang paling banyak ditemukan pada perempuan adalah makrodonsia, mikrodonsia, transposisi, geminasi, taurodonsia, dilaserasi, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), dan talon cusp. Kesimpulan : Prevalensi anomali gigi pada radiograf panoramik yang ditemukan pada penelitian ini cukup tinggi. Proporsi anomali gigi lebih tinggi ditemukan pada laki-laki dibandingkan perempuan.

Background : Dental anomalies can affect various functional problems such as, malocclusion, increase the risk of caries, and aesthetics problem. Incidence rate of dental anomalies in Indonesia has not yet been widely studied. Based on this, it is important to identification to get data frequency distribution of dental anomalies on panoramic radiographs at RSKGM FKG UI. Objective : To get data frequency distribution of dental anomalies based on age and gender in panoramic radiograph at RSKGM FKG UI. Method : This study is a cross-sectional study with total sample 367 panoramic radiographs. Radiographs were evaluated and interpreted by two observers to identify dental anomalies according to classification anomaly by number (supernumerary teeth), size (macrodontia and microdontia), eruption (transposition), and morphology (fusion, concrescence, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens invaginatus, dens evaginatus, molar incisor malformation (MIM) , amelogenesis imperfecta, dentinogenesis imperfecta, dentin dysplasia, regional odontodisplasia, enamel pearl, talon cusp, and congenital syphilis). Data on age, gender, and interpretation of panoramic radiographs result were recorded. Reliability test were performed using Kappa test for categoric data and ICC test for numeric data. Result : From a total sample of 367 radiographs in the age range 6-79 years, 133 (36.2%) panoramic radiographs with dental anomalies were found, 1-4 cases in each radiograph. The total of all dental anomalies in were 395 cases. Based on classification, frequency distribution of dental anomalies found, respectively, are anomaly of morphology (63,15%), size (32,33%), number (18,05%), and eruption (7,52%). The most common type of anomaly of morphology was dilaceration (33,83%), anomaly of number was microdontia (32,05%), and anomaly of number was supernumerary tooth (23,64%). Based on gender, frequency distribution of dental anomalies were found higher 45,83% in male than 31,87% in female. The most common dental anomalies found in men are supernumerary tooth, concrescence, dens invaginatus and enamel pearl. Meanwhile, the most common dental anomalies found in women are macrodontia, microdontia, transposition, gemination, taurodontisme, dilaceration, dens evaginatus, molar-incisor malformation (MIM), and talon cusp. Conclusions : The prevalence of dental anomalies on panoramic radiographs found in this study is quite high. A higher proportion of dental anomalies was found in men than women."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradono
"ABSTRAK
Sampai saat ini perawatan tumor ameloblastoma masih mengundang perbedaan pendapat. Sebagian cenderung menggunakan pendekatan yang konservatif, sedang sebagian lagi cenderung lebih radikal. Penelitian ini mencoba melihat gambaran perluasan tumor ameloblastoma pada mandibula yang terlihat pada ro foto panoramik dan tindakan yang dilakukan pada kelainan tersebut. Kasus yang menjadi obyek penelitian ialah 33 kasus penderita tumor ameloblastoma dari Pali Bedah Mulut RSCM selama kurun waktu Januari 1992 - September 1995. Dari hasil penelitian tampak bahwa sebagian besar penderita berada pada usia dekade III dan IV, meskipun terdapat prosentase yang cukup besar pada dekade II. Sebagian besar penderita datang sudah pada tahap yang lanjut, dengan korteks tulang yang telah perforasi. Terlihat tumor dengan diameter terbesar di bawah 7cm, dengan korteks yang belum mengalami perforasi dilakukan tindakan radikal kuretase, sedang tumor di atas 7 cm dengan korteks yang telah mengalami perforasi dilakukan tindakan reseksi.
"
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitti Fardaniah
"ABSTRAK
Pada pemakaian gigi tiruan sebagian jarak lengan cengkeram kawat ke gingival crest sering menimbulkan masalah , antara lain terjadi pengumpulan plak padsa permukaan gigi penjangkaran tersebut.Untuk mengatasi hal ini maka dilakukan penelitian jarak lengan cengkeram kawat ke gingival crest yang berbeda pada gigi posterior bawah dan atas di daerah bukal.Yang diamati adalah 35 sampel gigi penjangkaran posterior bawah dan atas dan 35 sampel gigi tanpa cengkeram di dekat gigi penjangkaran sebagai grup control Jarak lengan cengkeram kawat ke gingival crest dibagi dalam 2 kelompok,yaitu jarak 0,5mm-2mm dan lebih besar dari 2mm. Sedangkan nilai Indeks Plak dibagi dalam 2 kelas,yaitu Indeks Plak Berat dan Indeks Plak Ringan.. Data. '.dianalisis dengan Tes Chi Square dan Tes Fisher dengan koreksi dari Yates dalam program Epi Info 5,yang hasilnya menunjukkan bahwa pengumpulan plak lebih-banyak pada gigi'penjangkaran posterior rahang bawah dengan jarak lengan cengkeram ke gingival crest 0,5mm-2mm.Sedangkan untuk gigi posterior atas tidak terdapat perbedaan bermakna dalam pengumpulan plak antara kelompok gigi penjangkaran dan gigi tanpa cengkeram.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada gigi penjangkaran posterior rahang bawah terdapat hubungan antara jarak lengan cengkeram kawat ke gingival crest dan pengumpulan plak."
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esti H. Setiawan
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan kebocoran melalui orifis pada teknik pengisian saluran akar secara kondensasi lateral (k.l) dan secara kondensasi lateral vertikal gutta-percha panas (k.l.v.g.p) menggunakan indikator penetrasi bakteri. Empat puluh delapan gigi anterior akar tunggal dan lurus dipreparasi secara step back. Untuk mendapatkan keseragaman, diameter foramen apikal ditembus dengan file no. 25 sesuai panjang gigi, kemudian panjang kerja dikurangi 1 mm. Preparasi dimulai dengan file no. 30 sampai didapat MAF no.50 dan file terakhir no. 70. Secara random 20 gigi eksperimen diisi dengan teknik kondensasi lateral dan 20 gigi eksperimen lainnya diisi secara teknik kondensasi lateral vertikal gutta-percha panas, sedang 8 gigi lainnya digunakan sebagai kelompok kontrol. Setelah sealer setting, panjang pengisian distandardisasi menjadi 10 mm menggunakan Gates glidden drill & Peeso reamer. Seluruh sampel dipasang dalam botol kaca 15 ml dengan dot silicone yang sudah disterilkan, pads dasar botol diisi dengan Phenol red + lactosa 3% sampai ujung apeks terendam kira-kira 1 mm, kemudian melalui orifis diteteskan 2 jenis mikro organisme rongga mulut dan saliva sintetis steril. Karena mikro organisme yang diteteskan merupakan jenis mikro organisme yang memproduksi asam, maka bila mikro organisme telah mencapai apeks akan merubah indikator phenol red dan lactosa 3% menjadi kuning. Evaluasi dilakukan dengan mencatat jumlah hari yang dibutuhkan oleh mikro organisme untuk melewati panjang standard pengisian sampai merubah indikator phenol red dan lactosa 3% menjadi kuning, dan data diuji secara statistik dengan uji Anova; p=0,05. Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan kebocoran antara teknik k.l dan k.l.v.g.p, tetapi secara deskriptif pengisian secara kondensasi lateral vertikal gutta-percha panas memberi waktu kebocoran lebih lama daripada teknik kondensasi lateral."
1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>