Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 170371 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lucky Brilliantina
"ABSTRAK
Dasar (Riset Kesehatan Dasar / Riskesdas) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2010 melaporkan bahwa 17,9 persen (17,9%) dari anak-anak di Indonesia dengan usia di bawah 5 tahun memiliki masalah gizi buruk dan 14 persen ( 14%) di antara mereka memiliki masalah obesitas. Makanan sehari-hari diduga menjadi penyebab masalah gizi ini terutama penggunaan Monosodium L-glutamat (MSG) yang banyak digunakan sebagai aditif makanan dan zat untuk merangsang nafsu makan. Muncul beberapa pertanyaan tentang hubungan antara konsumsi MSG dan kenaikan berat badan dan hubungan antara efek neurotoksisitas MSG dengan kerusakan sel-sel saraf di otak. Dan apakah kerusakan sel-sel saraf di otak ini mengalami regenerasi atau menjadi persisten?Penelitian ini dilakukan untuk menentukan dampak dari MSG dalam berat badan dan perkembangan otak pada anak tikus dengan usia 7 dan 14 hari di mana ibu mereka diberi MSG selama hamil. Semua anak tikus juga diamati untuk perilaku mereka.
Metode: Rancangan eksperimental in vivo dengan random sampling. Subyek adalah 25 tikus betina (Rattus novergicus) galur Sprague Dawley yang dibagi menjadi 5 kelompok (kelompok kontrol, grup pelarut dan 3 kelompok perlakuan MSG selama kehamilan dengan dosis 1200mg, 2400mg dan 4800mg/kg/day). Ketika tikus hamil melahirkan anaknya diamati sampai usia 7 dan 14 hari. Dua ekor anak tikus diambil secara acak dari tiap induk tikus lalu ditimbang berat badannya. Otak dari anak tikus diisolasi, ditimbang dan diwarnai dengan hematoxylin-eosin (HE) pewarnaan. Photomicrographs dari slide histologis diamati oleh optilab dan dianalisis dengan program Optic Raster. Parameter yang dianalisis dalam penelitian ini adalah penurunan berat badan, kerusakan sel-sel saraf dalam nukleus arkuata dan daerah paraventrikular dari hipotalamus dan perilaku anak tikus pada usia 7 dan 14 hari.
Hasil: MSG dapat menembus blood plansental barrier dan blood brain barrier anak tikus pada usia 7 dan 14 hari ketika ibu mereka diberikan MSG selama hamil. Berat badan anak tikus usia 7 hari lebih rendah pada kelompok MSG dengan dosis 4800mg jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan kelompok pelarut 1200 mg dan 2400 mg. Namun peningkatan berat badan dengan pemberian MSG 4800 mg lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelompok MSG dosis 1200mg dan 2400mg. Pada anak tikus usia 14 hari, ditemukan kenaikan berat badan lebih tinggi secara signifikan pada kelompok MSG dengan dosis 4800mg dibandingkan dengan 1200mg dan 2400mg. Berat otak sedikit lebih rendah pada usia 7 dan 14 hari pada kelompok MSG 4800mg . Kerusakan sel saraf dalam nukleus arkuata dan di daerah paraventrikular dari hipotalamus secara signifikan lebih tinggi pada kelompok MSG 4800mg . Perubahan perilaku yang diamati pada anak tikus dengan kelompok MSG 4800mg pada usia 7 dan 14 hari terlihat jelas dibandingkan kelompok kontrol dan MSG 1200 mg dan 2400 mg.
Kesimpulan: Asupan MSG selama kehamilan menyebabkan perubahan berat badan, berat otak dan kerusakan sel-sel saraf di daerah arkuata dan hipotalamus paraventrikular pada anak tikus dengan usia 7 dan 14.

ABSTRACT
Background: Good Nutrition intake is the most important factor that determines the health status of our next generation. However the Basic Health Research (Riset Kesehatan Dasar / Riskesdas) conducted by the Indonesian Ministry of Health in 2010 reported that 17.9 percent (17.9%) of the children in Indonesia with the age under 5 years old had the problem of malnutrition and 14 percent (14%) among them had the problem of obesity. Daily food was suggested to become a cause of malnutrition problem especially the use of Monosodium L-glutamate (MSG) which is widely used as food additive and a substance to stimulate the appetite. There are some questions about the correlation of MSG consumption and weight gain and the correlation of neurotoxicity effect of MSG with the damage of neuronal cells in the brain. Another question is whether the damage of neuronal cells in the brain is persistent or not. This study was conducted to determine the effects of MSG in the weight gain and in the development of the brain in the rat pups with age of 7 and 14 days in which their mother were given the MSG during pregnancy. The rat pups were also observed for their behavior.
Methods: The experimental design was in vivo studies with randomized sampling. Subjects were 25 female rats (Rattus novergicus)of Sprague-Dawley strain which are divided into 5 groups (control group, solvent group and 3 MSG treatment groups during gestation given MSG in the dose of 1200mg/kgbw/day, 2400mg/kgbw/day and 4800mg/kgbw/day). Upon giving birth the pups were observed until the ages of 7 and 14 days. Two pups from each mother rat were taken randomly. The brain of the rat pups were isolated and stained with hematoxylin-eosin (HE) staining. Photomicrographs of the histological slides were taken by optilab and were analyzed with Image Raster program. The parameters that were analyzed in this experiment were weight body loss, the damage of neuronal cells in the arcuate nucleus and paraventricular area of hypothalamus and the behavior of the pups at age of 7 and 14 days.
Results: High dose MSG penetrate the placental blood barrier and the blood brain barrier in the brain of rat pups with the age of 7 14 days when their mothers were administered with MSG during their pregnant. The body weights of pups with age of 7 days were lower in the MSG treated group with the dose of 4800mg than that in the control and solvent groups. However body weigh were higher in the MSG treated groups of 1200mg/kgbw/day and 2400mg/kgbw/day than those in the control and solvent groups. In the 14 days pups, the body weight were higher significantly in the MSG treated groups with the dose of 4800mg/kgbw/day compared to the 1200mg/kgbw/day and 2400mg/kgbw/day. The weight of the brain was slightly lower at the age of 7 and 14 days in the 4800mg MSG treated group. The neuronal cell damage in the arcuate nucleus and in the paraventricular area of hypothalamus was significantly higher in the 4800mg MSG treated group. The behavior changes were observed in the pups with the 4800mg MSG treated group at the age of 7 and 14 days.
Conclusion: Intake of MSG during gestation causes changes in body weight, brain weight and damage of neuronal cells in the arcuate and paraventricular area of hypothalamus in rat pups of the age of 7 and 14.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadiyya Faza Zhafirah
"Monosodium glutamat MSG digunakan secara luas dan tanpa takaran yang terkontrol sebagai penyedap makanan Konsumsi MSG selama kehamilan pada hewan coba menyebabkan berbagai gangguan pada janin salah satunya adalah sel otak Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh MSG terhadap gambaran histologis otak bagian korteks serebri pusat motorik tikus yang induknya mengonsumsi MSG selama kehamilan Penelitian ini menggunakan desain eksperimental dengan cara mengamati dan menghitung sel saraf normal pada area M1 korteks serebri neonatus tikus yang induknya diberikan MSG per oral selama gestasi Sampel yang digunakan sebanyak 36 otak tikus yang dibagi menjadi empat kelompok kontrol MSG 1200 mg kg BB MSG 2400 mg kg BB dan MSG 4800 mg kg BB Hasil penelitian menunjukkan adanya pertambahan persentase sel sel saraf normal pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok kontrol Walaupun pertambahan ini tidak signifikan secara statistik pada kelompok MSG 1200 mg kg BB dan MSG 4800 mg kg BB uji one way Anova namun kelompok MSG 2400 mg kg BB mengalami pertambahan signifikan p.

Monosodium glutamate MSG is widely used without any regulation or controlled doses in Indonesia MSG consumption during pregnancy on rat causes many defects on fetus especially brain neurons The purpose of this study was to determine the effect of MSG on the histology of motoric center on cerebral cortex of the rats This study design was experimental by observing and counting the normal neurons on M1 area of rat neonates rsquo cerebral cortex whose mother received MSG per oral during the gestation period This study used 36 rat brains which were divided into four groups control MSG 1200 mg kg BW MSG 2400 mg kg BW and MSG 4800 mg kg BW The result showed an increased percentage of normal neurons on MSG group compared to control group This increment is not significant statiscally on group MSG 1200 mg kg BW and 4800 mg kg BW Nevertheless on group who was given MSG 2400 mg kg BW there was a significant increased of normal neuron percentage p
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abu Soleh
"Monosodium glutamat (MSG) adalah garam natrium glutamat yang merupakan asam amino nonessensial yang dapat bersifat eksitotoksik. Terdapat dugaan bahwa glutamat berpotensi menyebabkan peningkatan stres oksidatif di hati dengan mekanisme yang sama dengan eksitotoksisitas karena reseptor glutamat juga ditemukan di hati.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh MSG terhadap peningkatan stres oksidatif pada hati tikus (Rattus norvegicus) jantan. Parameter yang diukur adalah kadar MDA, GSH, dan aktivitas spesifik katalase sebagai penanda adanya stres oksidatif. Sebanyak 27 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan dibagi dalam 3 kelompok: kelompok kontrol (diberi akuades), kelompok P1A (diberi MSG 4g/KgBB), dan kelompok P2A (diberi MSG 6g/KgBB). Perlakuan diberikan melalui sonde selama 30 hari. Pengambilan sampel hati dilakukan pada hari ke-31.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan kadar MDA pada kelompok perlakuan yang berbeda bermakna dengan kelompok kontrol, p≤0,05, tetapi pada kadar GSH terjadi penurunan yang tidak berbeda bermakna dibandingkan kelompok kontrol, (p≥0,05). Aktivitas spesifik katalase, juga terjadi penurunan yang tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan kelompok kontrol, p≥0,05.
Penelitian ini menunjukan bahwa pemberian MSG dengan dosis 4g/KgBB dan 6g/KgBB selama 30 hari menyebabkan terjadinya peningkatan stres oksidatif pada hati tikus (Rattus norvegicus) jantan yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar MDA.

Monosodium glutamate (MSG) is the sodium salt of glutamate which is a nonessential amino acid that may cause exicytotoxicity. There are allegations that glutamate could potentially increase an oxidative stress in the rat's liver by the same mechanism with exicytotoxicity because of glutamate receptors are also found in the liver.
This study aims to determine the effect of MSG on oxidative stress in the rat's liver. The level of MDA and GSH were measured as the marker of oxidative stress, and also specific activity of catalase. 27 albino rat's (Rattus norvegicus) were divided into 3 groups: control group (distilled water), and 2 treatment groups, P1A (treated with MSG 4g / KgBW), and P2A (treated with MSG 6g / KgBW). The treatment was carried out for 30 days. On day 31 the liver were collected after euthanasia of the rats.
The results showed there were increased levels of MDA in the treatment groups compare to control significantly, p≤0,05, but the decreased of GSH levels were not significantly different than the control group, (p≥0,05). The specific activity of catalase, also a decreasing but not significantly different compared to control group, p≥0,05.
This study showed that the administration of MSG with a dose of 4g / KgBW and 6g / KgBW for 30 days led to an increased in oxidative stress on the liver of rats (Rattus norvegicus) which is indicated by elevated levels of MDA.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Eka Prasetyarini
"ABSTRAK
Pendek merupakan ukuran status gizi TB/U yang nilainya dibawah -2SD menurut WHO 2007. Masih tingginya angka kejadian pendek di Indonesia, terutama pada remaja dan dampaknya yang besar menjadi latar belakang dilakukannya penelitian ini. Skripsi ini membahas mengenai kejadian pendek dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, antara lain usia menarche, berat lahir, frekuensi konsumsi sumber energi, protein hewani, protein nabati, sayur dan buah, sosial ekonomi, aktivitas olahraga dan tinggi badan orang tua pada siswi SMP Negeri 7 Depok tahun 2012. Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang dengan analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian yang melibatkan 124 responden menunjukkan bahwa 14,5% mengalami kejadian pendek. Hubungan yang didapatkan bermakna antara lain : berat lahir, frekuensi konsumsi protein hewani, nabati, aktivitas olahraga, tinggi badan ayah dan ibu dengan tinggi badan menurut umur. Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan pihak sekolah mengadakan pengukuran tinggi badan secara berkala dan melakukan penyuluhan gizi karena masa remaja adalah masa pertumbuhan yang penting dalam daur kehidupan.

ABSTRACT
Stunting is a measure of nutritional status of height-for-age which value is below-2SD according to WHO 2007. The high incidence of stunting in Indonesia, particularly in adolescents and the big impact become the background of this study. This thesis discussed about stunting and factors that influence it, such as age at menarche, birth weight, frequency of consumption of energy, animal protein, vegetable protein, vegetable and fruit, socio-economic, sport activities and parental height in 7th State Junior High School girls students Depok 2012. This study uses a cross-sectional study design with univariate and bivariate analysis. The results of the study involving 124 respondents showed that 14.5% are stunted. The significant relationships obtained are: birth weight, frequency of consumption of animal protein, vegetable, sports activities, mother and father's height to the respondent?s height-for-age. Based on this research, the school is expected to hold a regular height measurements and perform nutritional counseling because adolescence is a period of significant growth in the life cycle."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rezania Razali
"Monosodium glutamat (MSG) merupakan penyedap rasa makanan yang sangat sering digunakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa MSG dalam dosis tinggi dapat bersifat neurotoksik/eksitotoksik bagi sel saraf di sistem saraf pusat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh MSG terhadap pembentukan memori khususnya memori spasial dan pengaruh MSG terhadap selsel saraf di hipokampus mengingat area ini sangat berperan dalam proses pembentukan memori. Subjek penelitian adalah 25 ekor tikus putih jantan galur Sprague Dawley (berusia 8-10 minggu, berat 150-200 gr) yang dibagi menjadi 5 kelompok (dua kelompok kontrol dan tiga kelompok perlakuan masing-masing mendapat MSG sebanyak 2 mg/gr, 4 mg/gr dan 6 mg/gr yang diberikan secara oral selama 30 hari). Uji memori spasial dilakukan dengan menggunakan water-E maze, sebelum pemberian MSG dimulai dan setiap minggu hingga minggu ke-4 (dilakukan 5x pengujian). Setelah hari terakhir pemberian MSG, seluruh hewan coba dikorbankan. Jaringan otak diambil dengan hati-hati, segera difiksasi dalam cairan formalin untuk selanjutnya diwarnai dengan pewarnaan HE. Data hasil penelitian dianalisis dengan one way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Post Hoc. Hasil uji memori dengan perangkat water-E maze menunjukkan adanya peningkatan jumlah kesalahan yang dilakukan oleh kelompok perlakuan dosis 4 mg/gr dan 6 mg/gr serta peningkatan durasi waktu yang dibutuhkan oleh semua kelompok perlakuan untuk menyelesaikan uji memori yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol setelah pemakaian MSG selama 30 hari. Gambaran histologi hipokampus menunjukkan peningkatan persentase kerusakan sel saraf di hipokampus pada seluruh kelompok perlakuan yang signifikan dibandingkan dengan kelompok kontrol. Penggunaan MSG dalam dosis tinggi seperti yang digunakan pada penelitian ini menyebabkan terjadinya kerusakan sel saraf di hipokampus tikus dan menurunkan fungsi pembentukan memori spasial.

Monosodium glutamate (MSG) is commonly used as a flavor enhancer in modern nutrition. Recent studies have shown that high dose of MSG was neurotoxic/excitotoxic to neuronal cells in Central Nervous System. The present study aimed to investigate the effect of MSG on spatial memory formation and neuronal cells in hippocampus which play the role in forming memory. Twenty five male albino Sprague Dawley rats (age: 8-10 weeks, weight: 150-200 gr) were divided into five groups (two control groups and three treated groups with varying doses of MSG: 2mg/gr, 4 mg/gr and 6 mg/gr respectively received MSG dissolved in normal saline by oral gavage for a period of 30 days). To measure the spatial memory, the animals were exposed to the water-E maze before treatment and every week until the 4th week (5 times measurement). The rats were sacrified after the last day of MSG treatment. The brain was carefully dissected out and quickly fixed in 10% buffered formaldehyde and then stained with HE staining. Result were analyzed by one way ANOVA followed by a Post Hoc test. Water-E maze performance showed a significant increase in the number of errors in the 4 mg/gr and 6 mg/gr MSG treated groups and increase duration time to finish the spatial memory task in all treated groups compared to control groups after 30 days of MSG treatment. Histological structure of hippocampal showed significant increase in the percentage of neuronal cells damage. The study conclude that high dose of MSG at the doses administered was damaged neuronal cells in the rat's hippocampus and impaired the spatial memory formation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Callen
"Pendahuluan: Usia harapan hidup di Indonesia pada tahun 2020 diperkirakan melebihi angka 70 tahun. Walaupun demikian, peningkatan jumlah lanjut usia tanpa disertai perbaikan kualitas hidup berimplikasi pada munculnya berbagai penyakit neurodegeneratif. Penuaan merupakan proses multifaktorial yang melibatkan stres oksidatif. Meskipun demikian, hal ini dapat diantisipasi dengan keberadaan substansi brain-derived neurotrophic factor (BDNF). Secara fungsional, faktor neurotropik ini mampu menunjang vitalitas, perkembangan, dan plastisitas neuron yang berperan dalam pemeliharaan fungsi kognitif.
Objektif: Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi efek tanaman herbal Acalypha indica L. terhadap kadar BDNF dan fungsi kognitif, khususnya memori jangka pendek.
Metode: Penelitian berlangsung selama 28 hari menggunakan tikus Sprague-Dawley tua (20-24 bulan) yang terbagi ke dalam tiga kelompok uji: kontrol negatif, kontrol positif (vitamin E 6 IU), dan Acalypha indica L. 250 mg/kg BB, beserta satu kelompok tikus muda berusia 8-12 minggu. Data diperoleh melalui pengukuran kadar BDNF otak dengan BDNF ELISA kit pada hari ke-29 serta uji kognisi Y-maze dengan menghitung jumlah benar pada hari ke-7 dan 28 perlakuan.
Hasil: Konsentrasi BDNF pada kelompok Acalypha indica L. mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tiga kelompok lainnya (nilai p=0,6545). Sementara, uji Y-maze memperlihatkan hasil adanya peningkatan jumlah benar pada hari ke-28 dibandingkan dengan hari ke-7 pada kelompok Acalypha indica L. (nilai p>0,999).
Kesimpulan: Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Acalypha indica L. tidak memiliki pengaruh terhadap kadar BDNF otak dan kemampuan kognitif pada tikus Sprague-Dawley tua. Maka dari itu, dibutuhkan penelitian lanjutan untuk mendapatkan hasil yang lebih baik serta dapat diaplikasikan pada subjek manusia.

Background: In 2020, life expectancy in Indonesia is estimated to be greater than 70 years. Nevertheless, the increasing number of elderlies with the poor quality of life implied in the occurrence of many neurodegenerative diseases. Aging is a process that involves oxidative stress; however, it can be anticipated by the presence of brain-derived neurotrophic factor (BDNF). This neurotrophic factor could optimize the vitality, growth, and plasticity of neuronal cells; consequently, cognitive function got maintained.
Objective: The aim of this study is to investigate the effect of Acalypha indica L. as a notable medicinal plant to BDNF level and cognitive function, specifically short-term memory.
Methods: This experimental study was conducted in 28 days using old Sprague-Dawley rats (20-24 months of age rats) which were grouped into three groups: negative control, positive control (vitamin E 6 IU), treatment (Acalypha indica L. 250 mg/kg BW), and one young group (8-12 weeks of age rats). Data are collected by examining BDNF level of the brain tissues using BDNF ELISA kit and undergoing a Y-maze test on day 7 and 28 of treatment.
Results: Level of BDNF in the treatment group increased when compared to the other groups (p-value=0.6545). Meanwhile, the Y-maze test revealed that the number of correct choices tended to increase on day 28 when compared to day 7 (p-value>0.9999).
Conclusion: It concluded that Acalypha indica L. provides no effect to BDNF level and cognitive function in old Sprague-Dawley rats. Therefore, continuing researches to obtain more significant and applicable results are suggested.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathaniel Aditya
"Pendahuluan: Pada tahun 2050, jumlah populasi lansia yang berusia lebih dari 65 tahun diperkirakan akan mencapai 1,5 milyar. Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan pergeseran paradigma dari proses penuaan kronologis menjadi proses penuaan biologis. Proses penuaan (aging) merupakan sebuah proses multifaktorial yang memiliki kaitan erat dengan stres oksidatif, sebuah fenomena yang lajunya dapat diketahui melalui kadar senyawa metabolit sekundernya, malondialdehid (MDA).
Tujuan: Studi ini meneliti efek dari tanaman obat yang sering digunakan sebagai agen antiinflamasi, Centella asiatica (CA), terhadap kadar MDA pada otak tikus Sprague-Dawley tua dan kemampuan kognitifnya.
Metode: Tikus jantan tua dibagi ke dalam 3 kelompok: Kontrol Negatif, Kontrol Positif (vitamin E 6 IU), dan CA 300 (ekstrak etanol daun CA 300 mg/kg), ditambah 1 kelompok Kontrol Pembanding tikus jantan muda yang diberi perlakuan selama 28 hari. Setiap minggunya, dilakukan uji memori jangka panjang menggunakan metode Y-maze untuk menilai fungsi kognitif tikus. Pada hari terakhir, organ otak dari setiap tikus diambil dan kadar MDA-nya diteliti.
Hasil: Pada kelompok CA 300, ditemukan kadar MDA otak yang relatif lebih rendah dibandingkan Kontrol Negatif, meskipun tidak signifikan (P = 0,5683). Pada uji memori jangka panjang Y-maze, meskipun secara statistik tidak bermakna, penurunan kemampuan kognitif pada kelompok CA 300 tidak sebesar penurunan pada Kontrol Negatif (nilai P kedua kelompok sama; P = 0,5).
Kesimpulan: Pemberian ekstrak etanol CA tidak memiliki pengaruh terhadap kadar MDA otak dan kemampuan kognitif pada tikus Sprague-Dawley jantan yang sedang mengalami proses penuaan.

Introduction: It is estimated that in 2050, the number of elderly aged >65 years will reach 1.5 billion. To overcome this issue, a shift of paradigm, from chronological aging to biological aging, is urgently needed. Aging is a multifactorial process related to oxidative stress, a process in which its rate can be identified from its secondary metabolite level, malondialdehyde (MDA).
Objective: This research studied the effect of a medicinal plant known for its anti-inflammatory properties, Centella asiatica (CA), on the level of brain MDA and cognitive abilities in aged Sprague-Dawley rats.
Methods: The aged male rats were divided into three groups: Negative Control, Positive Control (vitamin E 6 IU), and CA 300 (CA leaves ethanolic extract 300 mg/kg), with one additional Comparison Group consisted of untreated young rats which were given corresponding treatments throughout 28 days. Each week, a Y-maze test assessing the long-term memory of each rats was conducted. In the last day, all rats brains were collected, and their MDA levels were measured.
Results: Compared to the Negative Control, a lower MDA level was found on the brains of the CA 300 group, although statistically not significant (P = 0.5683). In the Y-maze test, a relatively lower decline in cognitive abilities was seen in CA 300 group when compared to Negative Control, even if it was insignificant (same P value on both groups; P = 0.5).
Conclusions: CA ethanolic extract has no influence on both the brain MDA concentration and the cognitive abilities of aging Sprague-Dawley rats.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riska
"Otak merupakan organ yang memiliki kebutuhan oksigen dan glukosa tertinggi di tubuh. Rendahnya tekanan oksigen pada otak dapat memicu terjadinya kerusakan pada sel otak bahkan kematian sel. Hipoksia merupakan kondisi penurunan kadar oksigen pada organ, jaringan atau sel. Hipoksia yang diberikan pada kadar dan waktu tertentu dapat menimbulkan respons adaptasi tubuh sehingga kondisi hipoksia dapat ditanggulangi. Salah satu respons adaptasi yang dilakukan adalah autofagi. Autofagi adalah suatu proses degradasi dan daur ulang molekul sitoplasmik dan organel seperti mitokondria dengan bantuan lisosom yang berperan dalam menjaga homeostasis seluler. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efek pemberian hipoksia hipobarik intermiten terhadap aktivitas autofagi sel melalui ekspresi protein LC3 dan mTOR pada jaringan otak tikus. Penelitian ini menggunakan sampel jaringan otak tikus jenis Sprague-Dawley. Tikus dibagi dalam lima kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok hipoksia 1 kali (HHI 1), HHI 2, HHI 3 dan HHI 4. Setiap kelompok hipoksia akan dimasukan dalam hypobaric chamber dan dibawa sampai ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit. Tikus kemudian dikorbankan dan dilakukan pengukuran ekspresi protein LC3 dan mTOR menggunakan metode ELISA. Ekspresi protein LC3 juga dianalisis dengan IHK. Hasil menunjukkan bahwa pemberian perlakuan hipoksia hipobarik intermiten mampu meningkatkan ekspresi protein LC3 dan mempertahankan ekspresi mTOR. Hasil pulasan IHK menunjukkan ekspresi protein LC3 lebih tinggi pada bagian cerebellum otak dibandingkan dengan bagian cerebrum pada setiap kelompok.

The brain is an organ with the highest demand for oxygen and glucose in the body. Insufficient oxygen pressure in the brain can lead to damage to brain cells and even cell death. Hypoxia is a condition characterized by a decrease in the oxygen levels in organs, tissues, or cells. Hypoxia, when applied at specific levels and durations, can induce adaptive responses in the body, allowing it to cope with the hypoxic conditions. One such adaptive response is autophagy. Autophagy is a cellular process involving the degradation and recycling of cytoplasmic molecules and organelles, including mitochondria, facilitated by lysosomes. This process plays a crucial role in maintaining cellular homeostasis. This study aimed to investigate the effects of intermittent hypobaric hypoxia on autophagic activity in brain cells by assessing the expression of proteins LC3 and mTOR during hypoxic conditions. The experimental subjects were Sprague-Dawley rats, and they were divided into five groups: a control group, and four groups subjected to intermittent hypobaric hypoxia (IHH) for varying durations (IHH1, IHH2, IHH3, and IHH4). Each IHH group was exposed to a hypobaric chamber at an altitude of 25,000 feet for 5 minutes. Subsequently, the rats were sacrificed, and the expression of LC3 and mTOR proteins was measured using ELISA. The LC3 protein expression was also analyzed through immunohistochemistry (IHC). The results showed that intermittent hypobaric hypoxia treatment increased the expression of LC3 protein and maintained mTOR expression. Additionally, IHC feedback indicated higher LC3 protein expression in the cerebellum region compared to the cerebrum in each experimental group."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rendy Asmaradhana Sahara
"Biaya penanganan penyakit neurodegeneratif sangat tinggi. Penyebab penyakit ini adalah penuaan yang dikaitkan dengan stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan kerusakan protein yang menghasilkan karbonil. Centella asiatica (CA) berpotensi sebagai antioksidan yang dapat menurunkan kejadian stres oksidatif, termasuk di otak. Penelitian eksperimental ini menggunakan 36 ekor tikus Rattus norvegicus yang dibagi menjadi enam kelompok, yaitu kelompok kontrol dan perlakuan CA usia 12, 24, serta 36 minggu. Kelompok perlakuan CA diberi ekstrak CA 300 mg/kgBB selama 30 hari. Kadar karbonil diukur menggunakan uji spektrofotometer. Kadar karbonil otak tikus 36 minggu lebih tinggi bermakna dibandingkan tikus 12 minggu (p=0,004) dan 24 minggu (p=0,016). Kadar karbonil otak tikus 24 minggu yang diberi ekstrak CA lebih tinggi bermakna dibandingkan tikus kontrol 24 minggu (p=0,026). Kadar karbonil otak tikus 12 dan 36 minggu yang diberi ekstrak CA tidak berbeda bermakna dibandingkan tikus kontrol 12 minggu (p=0,956) dan 36 minggu (p=0,602). Kadar karbonil otak tikus dipengaruhi oleh usia tikus, lebih tinggi secara bermakna pada kelompok usia 36 minggu dibandingkan dengan kelompok usia 12 dan 24 minggu. Ekstrak CA 300 mg/kgBB menyebabkan peningkatan kadar karbonil pada otak tikus usia 24 minggu, namun tidak pada usia 12 dan 36 minggu.

The cost of treating neurodegenerative diseases is very high. The cause of this disease is aging caused by oxidative stress. Oxidative stress causes the breakdown of proteins that produce carbonyls. Centella asiatica (CA) may be an antioxidant that can reduce oxidative stress, including in the brain. This experimental study used 36 Rattus norvegicus rats which were divided into six groups, namely the control group and the CA treatment group aged 12, 24, and 36 weeks. The brain carbonyl levels of 36 weeks rats were higher than those of 12 weeks (p=0.004) and 24 weeks (p=0.016) rats. Brain carbonyl levels of 24 weeks rats that were given CA extract were higher than those of 24 weeks control rats (p=0.026). Brain carbonyl levels of rats 12 and 36 weeks given CA extract were not significantly different from control rats at 12 weeks (p=0.956) and 36 weeks (p=0.602). Brain carbonyl levels were affected by the age of the rats, significantly higher in the 36 weeks age compared to the 12 and 24 weeks age. CA extract 300 mg/kgBW caused an increase in carbonyl levels in the brains of rats aged 24 weeks, but not at the age of 12 and 36 weeks."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayesya Nasta Lestari
"Minuman berenergi merupakan minuman yang berfungsi meningkatkan energi orang yang meminumnya. Oleh karena itu, minuman ini banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Minuman berenergi umumnya mengandung kafein, suatu zat yang berpotensi menurunkan berat badan dan menaikkan aktivitas fisik. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai seberapa jauh minuman berenergi dapat mempengaruhi berat badan dan aktivitas fisik. Pengumpulan data berlangsung pada 14 Desember 2011-2 Januari 2012. Eksperimen dilakukan kepada lima belas ekor tikus yang dibagi menjadi tiga kelompok yang masing-masing mendapatkan minuman berenergi merek 'C', kafein, atau plasebo. Setiap tikus diberi minuman berenergi sesuai dosis dan diamati berat badan serta aktivitasnya. Penelitian menunjukkan berat badan tikus yang mengonsumsi 'C', kafein, dan akuades tidak berbeda secara bermakna (p<0,05). Namun aktivitas fisik berbeda secara bermakna (p>0,05). Efek yang tidak bermakna terhadap berat badan mungkin disebabkan zat-zat yang terkandung dalam minuman berenergi, di mana kafein dan ginseng memiliki efek menurunkan berat badan tapi vitamin B, taurin, dan sebagainya justru meningkatkannya. Namun kafein memiliki efek menghambat adenosin sehingga dapat meningkatkan aktivitas fisik secara bermakna.

Energy drink is a kind of drink that functions to enhance the energy of people who drink it. It's commonly consumed by people. Energy drink commonly contains caffeine, a substance with the potential of reducing weight and increasing physical activity. So, in this research, we want to give people some informations about the effect of energy drink in gaining weight and enhancing physical activity. The collection of data started from 14th December, 2011 until 2nd January, 2012. Experiment is applied to fifteen rats from Sprague-Dawley strain which is separated to three groups and each of groups get 'C' energy drink, pure caffeine benzoate, and placebo (water). After that, their weight gain and physical activity were observed. This research shows that the weight between the rats that were given 'C', caffeine, and water don't show any significant correlation (p<0,05) but there is significant correlation in terms of physical activity (p>0,05). The insignificant correlation on weight gain may be caused by the substances inside the energy drink, in which caffeine and ginseng can reduce weight but the opposite can be caused by taurine and vitamin B. But caffeine can also inhibit the adenosine so that physical activity will be increased significantly."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>