Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 119983 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tjiang, Margaret Merlyn
"ABSTRAK
Latar belakang. Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan komplikasi lanjut yang mempengaruhi mortalitas dan morbiditas pasien lupus eritematosus sistemik (LES) namun diluar negeri belum banyak penelitian yang mempelajari hubungan lama sakit dengan kejadian PAP pada pasien LES dan belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan. Mengetahui peningkatan kejadian penyakit arteri perifer pada pasien LES wanita dewasa muda dengan lama sakit 5 tahun atau lebih dibandingkan kurang dari 5 tahun. Metode. Studi kasus kontrol yang dilakukan selama periode Juni-Agustus 2012 di RSUPN Cipto-Mangunkusumo, Jakarta. Subjek penelitian adalah pasien LES wanita berusia 40 tahun atau kurang yang mengunjungi poliklinik rematologi dan alergi-imunologi. Subjek dibagi dalam dua kelompok, kasus dan kontrol kemudian dilakukan penelusuran secara retrospektif melalui wawancara dan data rekam medis. Hubungan lama sakit dan kejadian PAP pada pasien LES dinyatakan dalam odds ratio (OR) dan peran variabel perancu di analisis dengan regresi logistik berjenjang sehingga didapatkan fully adjusted OR. Hasil. Sebanyak 90 subjek direkrut, 18 subjek termasuk dalam kelompok kasus dan 72 subjek dalam kelompok kontrol. Karakteristik faktor risiko tradisional tidak jauh berbeda diantara dua kelompok. Pada analisis multivariat didapatkan fully adjusted OR hubungan lama sakit 5 tahun atau lebih dengan kejadian PAP 1,9 (IK 95% 0,575-6,543). Peningkatan usia dan lama mendapatkan terapi steroid merupakan faktor perancu. Simpulan. Terdapat peningkatan kejadian penyakit arteri perifer pada pasien LES wanita yang berusia 40 tahun atau kurang dengan lama sakit lima tahun atau lebih dibandingkan lama sakit kurang dari lima tahun, namun peningkatan risiko ini tidak bermakna secara statistik.

ABSTRACT
Background. Peripheral arterial disease is a chronic complication that affect morbidity and mortality in SLE patient, however researches studying the relationship of disease duration and peripheral arterial disease event is only a few in overseas and never been studied in Indonesia. Objectives. To obtain information about the increased event of peripheral arterial disease on young woman with SLE with disease duration five years or longer compared with less than five years. Methods. This was a case control study conducted between June-August 2012 at Cipto Mangunkusumo hospital, Jakarta. Subject were SLE women aged 40 years or younger who visited Rheumatolgy and Allergy-Immunlogy outpatients clinics. Subjects were assigned to case and control group and were trace retrospectively by interview and medical record. The relationship between disease duration and peripheral arterial disease was stated using OR and the role of confouding factors was analyse using logistic regression one by one, result in fully adjusted OR. Results. A total of 90 subjects were recruited, 18 subjects in case group and 72 subjects in control group. Traditional risk factor were similiar in both group. In multivariat analysis, there is a relation between disease duration 5 years or longer with peripheral arterial disease with fully adjusted OR 1,9 (95%CI 0,575-6,543). Older age and steroid therapy is the confounding factors. Conclusion. There is an increase event of peripheral arterial disease in SLE woman aged 40 or younger with disease duration five years or longer compared with less than five years, but this increasing was not statistically significant. "
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32156
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Fitriani
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kejadian aterosklerosis, dilaporkan lebih sering pada pasien lupus eritematosus sitemik (LES) dibandingkan individu tanpa LES, salah satunya adalah penyakit arteri perifer (PAP). Klorokuin diduga memiliki efek protektif terhadap kejadian PAP melalui penekanan kadar sitokin proinflamasi dan efek menurunkan kadar kolesterol, namun beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa klorokuin meningkatkan kadar sitokin proinflamasi. Hingga saat ini, penelitian mengenai pengaruh klorokuin belum pernah dilakukan pada populasi pasien LES di Indonesia.
Tujuan Penelitian. Mengetahui pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah.
Metode Penelitian. Studi kasus kontrol dilakukan terhadap pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah di RS Cipto Mangunkusumo selama Juni-Agustus 2012 yang tidak menderita diabetes melitus ataupun hipertensi sebelum diagnosis LES ditegakkan. Pasien dengan penyakit autoimun selain LES dan gagal ginjal kronik dieksklusi dari penelitian. Pengaruh klorokuin terhadap PAP pada pasien LES dinyatakan dalam odds ratio (OR). Peran variabel perancu dinilai pada analisis regresi logistik berjenjang sehingga didapatkan adjusted OR.
Hasil Penelitian. Dari 18 subjek yang menderita PAP (kelompok kasus), sebanyak 8 (44,4 %) menggunakan klorokuin dan dari 72 subjek yang tidak menderita PAP (kelompok kontrol), 20 (27,8 %) di antaranya menggunakan klorokuin. Setelah dilakukan adjustment terhadap variabel perancu (usia, lama menderita sakit, dislipidemia, dan aktivitas penyakit), tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara penggunaaan klorokuin dengan kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia di bawah 40 tahun (adjusted OR 2,44; IK95 % 0,76 sampai 7,87).
Simpulan. Pengaruh klorokuin terhadap kejadian PAP pada pasien LES wanita berusia 40 tahun ke bawah belum dapat disimpulkan pada penelitian ini.

ABSTRACT
Background. Atherosclerosis is enhanced in systemic lupus erythematosus (SLE) compared to general population, one of which is peripheral arterial disease (PAD). Chloroquine has protective effects in peripheral arterial disease through the suppression of proinflamatory cytokine levels and lipid lowering effect, although other studies have shown the increasing of cytokine levels by chloroquine. To date, no studies have ever been performed to investigate the effect of chloroquine on peripheral arterial disease in Indonesian lupus patients.
Aims. To investigate the effects of chloroquine on peripheral arterial disease in patients with systemic lupus erythematosus aged forty-year-old and below.
Methods. A case control study including female lupus patients aged forty year-old and younger in Cipto Mangunkusumo Hospital between June-August 2012, who do not suffer from diabetes mellitus and/or hypertension before the diagnosis of lupus is confirmed. Patients with other autoimmune disease than lupus and/or with chronic kidney disease were excluded from the study. Effect of chloroquine on peripheral arterial disease in lupus patients is expressed in odds ratio (OR). The role of confounding factors analyzed with multiple logistic regression to estimate the adjusted OR.
Results. Eight (44.4 %) of the total 18 subjects contracting PAD (case group) and 20 (27.8 %) of the total 72 subjects without PAD (control group) were using chloroquine. After adjustments towards confounding factors (age, disease duration, dyslipidemia, and disease activity) were completed, the results showed there was no considerable relation between the use of chloroquine and PAD case in female SLE patients aged below forty-year-old (adjusted OR 2.44; 95 % CI 0.76 to 7.87).
Conclusion. The effect of chloroquine usage on PAD case in female SLE patients aged forty-year-old and below can not be concluded from this study."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32258
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, Henry Ratno Diono
"ABSTRAK
Latar Belakang : Penyakit kardiovaskular merupakan ancaman bagi pasien lupus eritematosus sistemik LES . Penilaian indeks massa tubuh IMT sebagai faktor risiko tradisional penyakit kardiovaskular bersifat tidak akurat akibat terjadinya kaheksia reumatoid pada pasien LES. Pengukuran persentase lemak viseral secara khusus diperkirakan dapat menggantikan IMT. Kekakuan arteri KA merupakan prediktor penyakit kardiovaskular dan penelitian yang ada membuktikan bahwa terjadi peningkatan kekakuan arteri pada pasien LES. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui korelasi antara persentase lemak viseral dengan kekakuan arteri pada pasien LES. Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien LES yang berobat di poliklinik Reumatologi/ Alergi-Imunologi RSCM dalam periode Maret-Mei 2016. Dilakukan pengukuran KA lokal dengan USG arteri karotis komunis menggunakan teknik rf-echotracking untuk mendapatkan nilai pulse wave velocity PWV serta penilaian persentase lemak viseral menggunakan Bioelectrical Impedance Analysis BIA - Karada Scan HBF-214.Hasil Penelitian : Sebanyak 56 pasien perempuan yang menderita LES diikutsertakan dalam penelitian ini. Rerata nilai KA PWV yaitu 7,23 1,40 m/detik yang termasuk dalam kategori kaku. Rerata persentase lemak viseral didapatkan 4,28 2,74 yang termasuk dalam kategori normal. Pada analisis bivariat tidak didapatkan korelasi persentase lemak viseral dengan KA, dengan nilai r = 0,101 p = 0,458 Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi antara persentase lemak viseral dengan kekakuan arteri pada pasien LES yang memiliki persentase lemak viseral yang normal.

ABSTRACT
Background Cardiovascular disease is a threat for systemic lupus erythematosus SLE patients. Assessment of body mass index BMI as the traditional risk factor for cardiovascular disease is not accurate due to the occurrence of rheumatoid cachexia. The measurement of visceral fat percentage is expected to replace the assesment of BMI . Arterial stiffness AS is a predictor of cardiovascular disease and many studies have shown arterial stiffness in SLE patients. This study was aimed to find correlation between visceral fat percentage and arterial stiffness in SLE patients. Methods A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital rheumatology allergy immunology outpatient clinic between March May 2016. Arterial stiffness was measured by carotid artery ultrasound using rf echotracking technic to get pulse wave velocity PWV value. Assessment of visceral fat percentage was measured by using bioelectrical impedance analysis BIA Karada Scan HBF 214 . Results 56 SLE female subjects met the inclusion criteria. Mean of PWV 7,23 1,40 m s, which was categorized in stiff artery. Mean of visceral fat percentage 4,28 2,74 , which was categorized in normal. In bivariate analysis we found no correlation between visceral fat percentage with arterial stiffness r 0,101 p 0,458 Conclusion There was no correlation between visceral fat percentage with arterial stiffness PWV in SLE patients with normal percentage of visceral fat. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58667
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ariefa Adha Putra
"[LATAR BELAKANG
Penyebab terbanyak Penyakit Arteri Perifer (PAP) pada usia diatas 40 tahun adalah aterosklerosis. Prevalensi penyakit aterosklerosis perifer meningkat pada kasus dengan diabetes melitus, dislipidemia, hipertensi dan perokok. Critical Limb Ischemia (CLI) merupakan manifestasi dari PAP berat, CLI dikaitkan dengan risiko kehilangan tungkai yang sangat tinggi. Pada pasien CLI tanpa adanya revaskularisasi, pasien biasanya akan dilakukan amputasi dalam hitungan minggu atau bulan. Revaskularisasi secara terbuka memiliki morbiditas yang cukup banyak. Seiring kemajuan teknologi, revaskularisasi secara terbuka perlahan-lahan digantikan dengan adanya intervensi endovaskuler dalam dua dekade terakhir. Revaskularisasi endovaskuler di Departemen Ilmu Bedah RSCM baru mulai dilakukan pada tahun 2012 dan di Indonesia saat ini belum ada studi yang menilai hasil dari tindakan revaskularisasi.
METODE
Metode yang diambil adalah analitik komparatif berpasangan dengan disain penelitian longitudinal pre-post study. Selama Agustus 2013 hingga Agustus 2014 didapatkan 16 pasien yang masuk kriteria inklusi. Dilakukan pengambilan data nilai ABI sebelum dan sesudah revaskularisasi endovaskuler. ABI digunakan sebagai penilaian efektivitas revaskularisasi.
HASIL
Hasil didapatkan nilai mean ABI sebelum tindakan 0,7±0,118 dan nilai mean ABI sesudah tindakan 0,844±0,127. Didapatkan peningkatan nilai ABI sesudah tindakan 0,14. Dari hasil uji T berpasangan didapatkan nilai p=0,001. Secara statististik didapatkan peningkatan yang signifikan antara nilai ABI sebelum tindakan dan sesudah tindakan.
KESIMPULAN
Dapat ditarik kesimpulan tindakan revaskularisasi endovaskuler terhadap pasien PAP efektif berdasarkan nilai ABI;BACKGROUND
Peripheral Arterial Disease (PAD) above 40 years old mostly cause by atherosclerotic. Peripheral Atherosclerotic prevalence increase with DM, dyslipidemia, hypertension and smoking. CLI had higher amputation risk. Without revascularization CLI patients will do amputation within week or month. Surgical revascularizaton had many morbidity, endovascular revascularization established within 2 decade. Endovascular revascularization in RSCM surgery department established at 2012 and in Indonesia no research to evaluate revascularization effectiveness.
METHODS
Research method is dependent category comparative analytic with longitudinal pre-post study. Within August 2013 to August 2014, we collect 16 patients that rolled on inclusion criteria. We collect ABI results before endovascular revascularization and ABI results after endovascular revascularization. ABI were used to evaluated revascularization effectiveness.
RESULTS
Results are ABI mean before endovascular revascularization 0,7±0,118 and ABI mean after endovascular revascularization 0,844±0,127. There were ABI increased after endovascular revascularization mean 0.14. Statistic analysis with pairing T-test result p=0.001. Based on statistic analysis there were significant increase between ABI before endovascular revascularization and ABI after endovascular revascularization.
CONCLUSION
Endovascular revascularization in PAD patients effective base on ABI, BACKGROUND
Peripheral Arterial Disease (PAD) above 40 years old mostly cause by atherosclerotic. Peripheral Atherosclerotic prevalence increase with DM, dyslipidemia, hypertension and smoking. CLI had higher amputation risk. Without revascularization CLI patients will do amputation within week or month. Surgical revascularizaton had many morbidity, endovascular revascularization established within 2 decade. Endovascular revascularization in RSCM surgery department established at 2012 and in Indonesia no research to evaluate revascularization effectiveness.
METHODS
Research method is dependent category comparative analytic with longitudinal pre-post study. Within August 2013 to August 2014, we collect 16 patients that rolled on inclusion criteria. We collect ABI results before endovascular revascularization and ABI results after endovascular revascularization. ABI were used to evaluated revascularization effectiveness.
RESULTS
Results are ABI mean before endovascular revascularization 0,7±0,118 and ABI mean after endovascular revascularization 0,844±0,127. There were ABI increased after endovascular revascularization mean 0.14. Statistic analysis with pairing T-test result p=0.001. Based on statistic analysis there were significant increase between ABI before endovascular revascularization and ABI after endovascular revascularization.
CONCLUSION
Endovascular revascularization in PAD patients effective base on ABI]"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58879
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arrum Shafa Maulidiazmi Umar
"Penelaahan ini dilakukan guna mendapatkan informasi mengenai peran faktor stres terhadap kejadian Lupus Eritematosus Sistemik, khususnya pada aspek fisik dan aspek psikologis penyintas LES. Penelaahan kualitatif ini menggunakan desain literature review. Hasil penelaahan ditemukan 9 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek fisik, dan 11 jurnal internasional yang meneliti peran faktor stres terhadap aspek psikologis penyintas LES. Sebagian jurnal internasional berasal dari Amerika Serikat dan Eropa. Hanya terdapat dua jurnal yang berasal dari Asia (Korea dan Jepang). Jurnal internasional terlama yang digunakan dalam penelaahan ini adalah jurnal oleh Wekking, et al yang dipublikasi pada tahun 1991. Sedangkan jurnal internasional terbaru adalah jurnal oleh Sumner, et al pada tahun 2019. Dampak dari faktor stres lebih mendominasi pada aspek psikologis pasien LES. Kesimpulan dari penelaahan ini, yaitu stres dapat memicu flare dan memperburuk gejala LES. Jenis stres yang paling berpengaruh dalam munculnya flare dan perburukan gejalanya adalah daily stress (interpersonal dan stres dari lingkungan pekerjaan). Daily stress juga menimbulkan dampak pada emosional, kognitif, dan perilaku pasien. Hal tersebut didukung oleh persepsi pasien, dan penelitian perbandingan antara pasien LES dengan kontrol maupun pasien penyakit autoimun lain. Intervensi kognitif-perilaku dan psikologis dapat menjadi alternatif dalam penurunan tingkat stres pasien LES.

The focus of this study is to know about the role of stress in Systemic Lupus Erythematosus, especially on the physical aspects and psychological aspects of SLE patients. This qualitative study uses a literature review design. The study found 9 international journals that discussed the role of factors in physical aspects, and 11 international journals that discussed the role of factors in the psychological aspects of SLE patients. Most international journals were from the United States and Europe. There were only two journals from Asia (Korea and Japan). The oldest international journal used in this study was journal by Wekking, et al published in 1991. The latest international journal used in this study was journal by Sumner, et al in 2019. The conclusion from this review, that stress can trigger flares LSE symptoms. Source of stress that can trigger flares and worsen symptoms most is daily stress (interpersonal and stress from the work environment). Daily stress also affects the emotional, cognitive, and behavior of patients. These facts supported by patients' perceptions, and studies between SLE patients and controls as well as other autoimmune disease patients. Cognitive-behavioral and psychological interventions can be alternatives in reducing the stress level of SLE patients."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Fazlines
"Latar belakang : Peningkatan prevalensi penyakit arteri perifer (PAP) sejalan dengan peningkatan prevalensi diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Strategi pencegahan komplikasi salah satunya berfokus pada pengendalian faktor risiko dan deteksi dini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan PAP pada pasien DMT2 di tingkat layanan kesehatan primer.
Metode : Penelitian potong lintang ini melibatkan populasi DMT2 berusia 20-65 tahun yang berobat di sepuluh Puskesmas DKI Jakarta pada bulan Agustus 2020 – Juni 2021. Pasien yang dapat dilakukan pemeriksaan ABI dengan menggunakan USG doppler handheld pada salah satu atau kedua tungkai, dengan atau tanpa riwayat PAP sebelumnya, akan dimasukkan sebagai subjek penelitian dan dilakukan pencatatan data dasar usia, jenis kelamin, durasi penyakit diabetes, tekanan darah, kadar kolesterol total, K-HDL, K-LDL dan trigliserida serta riwayat merokok, berat badan, tinggi badan, indeks massa tubuh dan lingkar pinggang. Dianggap PAP bila nilai ABI £0,9 atau >1,3 pada masing-masing tungkai.
Hasil : Dari 188 pasien DMT2 yang memenuhi kriteria inklusi, sebanyak 27 (14,4%) pasien mengalami komplikasi PAP dan 24 pasien diantaranya adalah perempuan. Proporsi masing-masing untuk PAP ringan, sedang dan berat adalah 56%, 18% dan 26%. Analisis bivariat menunjukkan perempuan 3-4 kali lebih berisiko mendapatkan PAP (IK 95% 1,099-13,253, p=0,024), sementara usia, durasi diabetes, dislipidemia, hipertensi, obesitas, obesitas sentral dan merokok tidak dijumpai adanya perbedaan signifikan. Namun, setelah disesuaikan dengan durasi diabetes dan merokok pada analisis regresi logistik, jenis kelamin perempuan menunjukkan hasil tidak signifikan.
Simpulan : Tidak dijumpai adanya hubungan bermakna antara usia ≥50 tahun, jenis kelamin perempuan, durasi diabetes ≥10 tahun, hipertensi, dislipidemia, kebiasaan merokok, obesitas dan obesitas sentral terhadap PAP pada pasien DMT2.

Background: The increasing prevalence of peripheral arterial disease (PAD) is in line with that of type 2 diabetes mellitus (T2DM). To prevent diabetes complications needs focuses on controlling risk factors and early detection. The aims of the study were to determine the prevalence and predictors of PAD in diabetic patients at the primary care setting.
Method: A cross sectional study of 188 diabetic patients aged 20-65 years old who attended ten community health centers in Jakarta from August 2020 until June 2021. Patients were performed for ABI using handheld doppler ultrasound on one or both limbs, with or without a previous history of PAD, were included. Baseline data such as age, gender, duration of diabetes, blood pressure, total cholesterol levels, c-HDL levels, c-LDL levels, triglyceride levels, smoking history, weight, height, body mass index and waist circumference were recorded. PAD was defined as the ABI value £0.9 or >1.3 in each limb.
Result: Of the 188 T2DM patients who met the inclusion criteria, 27 (14.4%) patients experienced PAD and 24 of them were female. The proportions for mild, moderate and severe PAD were 56%, 18% and 26%, respectively. Bivariate analysis showed that female were 3-4 times at risk of PAP (95% CI 1.099-13.253, p=0.024), while there were no significant differences in age, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity and smoking. However, after adjusting for duration of diabetes and smoking in logistic regression analysis, female had no statistically significant.
Conclusion: No significant relationship was found among age, gender, duration of diabetes, dyslipidemia, hypertension, obesity, central obesity, smoking and PAP in T2DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martha Rosana, examiner
"Latar Belakang: Penyakit arteri perifer (PAP) merupakan salah satu komplikasi makrovaskular pada penyandang diabetes melitus tipe 2 (DMT2) yang menimbulkan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Hingga saat ini, belum ada telaah sistematis dan komprehensif mengenai faktor risiko kejadian PAP pada penyandang DMT2.
Tujuan: Mengetahui efek estimasi kumulatif dari berbagai faktor risiko kejadian penyakit arteri perifer pada penyandang diabetes melitus tipe 2.
Metode: Telaah sistematis dan mata-analisis ini disusun berdasarkan standar PRISMA.
Penelusuran literatur secara sistematis dan komprehensif dilakukan pada PubMed/MEDLINE, ProQuest, dan EMBASE, untuk mencari studi kohort dan kasus kontrol yang melaporkan faktor risiko PAP pada DMT2. Selain itu kami juga melakukan penelusuran terhadap grey literature. Risiko bias tiap studi yang diinklusi dinilai menggunakan the Newcastle-Ottawa Scale. Data dianalisis menggunakan RevMan versi 5.4 untuk mencari efek estimasi kumulatif dari tiap faktor risiko.
Hasil: Didapatkan 10 studi yang dimasukkan ke dalam telaah sistematis ini, dengan total 73.834 pasien DMT2. Semua studi memiliki kualitas baik berdasarkan Newcastle-Ottawa Scale. Hubungan yang bermakna secara statistik terhadap kejadian PAP pada DMT2 didapatkan pada kelompok dengan usia ≥ 70 tahun (OR 3.44; IK 95% 2.11, 5.62), durasi diabetes ≥ 5 tahun (OR 1.81; IK 95% 1.24, 2.64), riwayat penyakit jantung koroner (OR
1.55; IK 95% 1.30, 1.83), hipertensi (OR 1.43; IK 95% 1.10, 1.86), dan peningkatan LDL (OR 2.51; IK 95% 1.38, 4.56). Semua bukti temuan memiliki tingkat keyakinan moderate (GRADE rating)
Kesimpulan: Usia ≥ 70 tahun, durasi diabetes ≥ 5 tahun, riwayat penyakit jantung koroner, hipertensi, dan peningkatan LDL merupakan faktor risiko kejadian PAP pada DMT2

Background: Peripheral arterial disease (PAD) is one of the macrovascular complications of type 2 diabetes mellitus (T2DM), which cause serious rate of
morbidities and mortality. To date, there have not been any systematic and comprehensive review regarding the risk factors of incidence of PAD in T2DM populations.
Objective: Our study aims to analyze the pooled effect estimates of each risk factors of PAD incidence in T2DM populations. factors of PAD incidence in T2DM populations.
Methods: This systematic review and meta-analysis was conducted using the PRISMA standard. A systematic and comprehensive literature searching was conducted in
PubMed/MEDLINE, ProQuest, and EMBASE database, to obtain any cohort or casecontrol studies reporting the risk factors of PAD incidence in T2DM populations. We also
conducted searching on gray literature and hand-searching. We assessed risk of bias using
Newcastle-Ottawa Scale assessment tool. The pooled effect estimates of each risk factors was analyzed using RevMan version 5.4.
Results: Ten studies were included in this review comprising 73834 T2DM patients in total. All the studies had good quality based on Newcastle-Ottawa Scale. Significant association with the incidence of PAD in T2DM was found in the group of age ≥ 70 years
old (OR 3.44; 95% CI 2.11, 5.62), diabetes duration ≥ 5 years (OR 1.81; 95% CI 1.24, 2.64), coronary artery disease history (OR 1.55; 95% CI 1.30, 1.83), hypertension (OR
1.43; 95% CI 1.10, 1.86), and increased LDL (OR 2.51; 95% CI 1.38, 4.56). All the evidence has moderate certainty (GRADE rating).
Conclusion: Age ≥ 70 years old, diabetes duration ≥ 5 years, coronary artery disease history, hypertension dan increased LDL are significant risk factors of PAD incidence in T2DM population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Singh, Gurmeet
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kejadian penyakit jamur invasif saat ini sedang meningkat di seluruh dunia dalam 2 hingga 3 dekade terakhir. Kelompok pasien sakit kritis lebih rentan terhadap kejadian penyakit jamur invasif, dimana penyakit ini merupakan kejadian yang mengkhawatirkan pada pasien perawatan di Intensive Care Unit (ICU). Diagnosis dan terapi dini sangat penting untuk mendapatkan hasil akhir lebih baik, yang disertai dengan penurunan morbiditas dan mortalitas.
Tujuan: Mengetahui faktor ? faktor yang memengaruhi kejadian penyakit jamur invasif dini pada pasien sakit kritis di RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort prospektif pada pasien sakit kritis yang dirawat di RSCM (Maret 2015 ? September 2015). Jumlah subjek pada penelitian ini diambil berdasarkan jumlah subjek terbanyak dari salah satu faktor yaitu 74 subjek. Pada hari perawatan ke-5-7, dilakukan pengambilan spesimen sesuai dengan standar operasional Pengendalian dan Pencegahan Infeksi Rumah Sakit (PPIRS). Analisis multivariat dengan metode regresi logistik dilakukan pada variabel faktor yang pada analisis bivariat memberikan hasil nilai ?p?<0.25.
Hasil: Dua ratus enam pasien diikutsertakan pada penelitian ini. Pada 74 subjek dengan penyakit jamur invasif, mayorits subjek laki-laki (52,7%), usia rerata 58 tahun (rentang 18 ? 79), rerata Skor Leon 3 (rentang skor 2 ? 5), populasi terbanyak pada kelompok non bedah atau non trauma (72,9%) dan rerata isolasi jamur positif pada hari ke- 5. Spesies jamur yang paling banyak menyebabkan infeksi adalah Kandida sp ( 92,2%). Kultur urin merupakan spesimen dengan isolat jamur terbanyak (70,1%). Angka mortalitas sebesar 50%. Pada analisis multivariat, diabetes mellitus (?p? 0,018, OR 2,078, IK 95% 1,135 ? 3,803) merupakan faktor independen terhadap kejadian penyakit jamur invasif dini pada pasien sakit kritis.

ABSTRACT
Background: The incidence of Invasive Fungal Disease (IFD) is increasing worldwide in the past 2 to 3 decades. Critically ill patients in Intensive Care Units (ICU) are more vulnerable to fungal infection. Early detection and treatment are important to decrease morbidity and mortality in critically ill patients.
Objective: Our study aimed to asses factors associated with early IFD in critically ill patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: Prospective cohort study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital in criticallyl ill patients, within March 2015 - September 2015. Total number of subject (74) in this study was drawn based on one of the risk factor (HIV). Specimen were collected on day 5 to 7 of hospitalization. Multivariate analysis with logistic regression were performed for factors with 'p' <0:25 in bivariate analysis.
Results: Two hundred and six patients were enrolled in this study. Seventy four subjects with IFD, majority were males (52.7%), mean age 58 years (range 18-79), mean Leon?s Scores 3 (score range 2-5), majority group non-surgical /non- trauma (72.9%) and mean fungal isolation positive on day 5th. Candida sp (92.2%) as the most isolated fungal. Urine culture yields the highest fungal isolates (70.1%). Mortality rate in this study was 50%. In multivariate analysis, diabetes mellitus ( ?p? 0,018, OR 2.078, 95% CI 1.135 to 3.803) was found as an independent factor associated with early IFD critically ill patients.
Conclusion: Diabetes mellitus is a significant factor for the incidence of early IFD in critically ill patients at Cipto Mangunkusumo Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khaula Sahida
"ABSTRAK
Kondisi pasien diabetes mellitus DM tipe 2 dengan peripheral arterial disease PAD yang tidak ditangani dengan tepat dapat memicu terjadinya neuropati, ulkus pedis diabetik, bahkan amputasi. Intervensi latihan ankle range of motion ROM dipercaya dapat mengurangi gejala dan mencegah progresifitas PAD pada pasien DM tipe 2. Namun pada praktiknya, intervensi ini masih jarang dilakukan. Studi kasus dalam Karya Ilmiah Akhir Ners KIAN ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh pemberian intervensi ankle ROM pada pasien DM tipe 2 dengan komplikasi PAD. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat pengurangan gejala PAD dan peningkatan aliran darah ekstremitas yang ditandai dengan peningkatan saturasi oksigen, kekuatan pulsasi, dan penurunan skala nyeri. Edukasi dan pendampingan latihan ankle ROM pada pasien DM tipe 2 dengan PAD diperlukan agar perfusi jaringan perifer pasien dapat tercapai dengan optimal.
ABSTRACT The conditions of type 2 diabetes mellitus T2DM patient with peripheral arterial disease PAD that is not handled properly can lead to neuropathy, diabetic pedis ulcer, even amputation. Intervention of ankle range of motion ROM exercise is believed to reduce symptoms and prevent the PAD progression. However, in clinical practice, this intervention still rarely done. Therefore, this case report aims to identify the impact of ankle ROM in T2DM patients with PAD complications. The results showed that there was a reduction in PAD symptoms and an increase in limb blood flow characterized by increased oxygen saturation, pulsation, and decreased pain scale. In brief, education and advisory of ankle ROM in T2DM patient with PAD is required to optimize the peripheral perfusion."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2017
PR-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Interna Publishing, 2015
617.882 NAS
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>