Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138662 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Ratnawati T.
"Studi ini ingin memperoleh gambaran tentang bentuk-bentuk sekuritas sosial yang dapat dialcses oleh perempuan di Desa Blra yang ditinggal migrasi oleh suaminya °daIam rangka menjamin diri dan keluarganya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berperspektif perempuan. Penelitian dilakukan di Desa Bira, Kabupaten Bulukumba, Provinsi Sulawesi Selatan. Subyek penelitian berjumlah tujuh orang, perempuan yang telah menikah, dan ditinggal migrasi oleh suaminya.
Hasil penelitian menunjukkan hahwa budaya masyarakat di Desa Bira yang patriarkal, mengakibatkan percmpuan yang ditinggal migrasi oleh suaminya mengalami berbagai bentuk ketimpangan gender seperti subordinami, marginalisasi, beban ganda dan tidal: memiliki akses dan kontrol atas dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari fenomena sosial masyamkat, dimana perempuan di Desa Bira yang ditinggal migrasi oleh suaminya tidak dapat menentukan nasibnya sendiri dan kehidupan keluarganya. Di samping itu, perempuan yang ditinggal migrasi oleh suaminya bergantung pada sekuritas sosial yang diselenggrakan oleh orang tua, kerabat, tetangga, dan kepala desa, Menenun sarung sebagai aktivitas penyelenggaraan sekuritas sosial perempuan yang ditingga] migrasi oleh suaminya sebagai pekerjaannya, sehingga mereka dapat mandiri secara ekonomis.

This study describes types of social securities accessible to women whose husbands are immigrant workers. This study empirical qualitative method with Women?s perspective and was conducted in Bira village, Bulukumba district, South Sulawesi Province. Seven married women Ieli by their migrating husbands are selected as research subjects.
Results of the study show that paniarchal culture of society in Bira village has left the subjects with variant gender inequalities such subordination marginalization, dual burden, and no access and control of their own source. This can be seen fiom social phenomenon ofthe society of which women by migration husbands can not on control their own left and their family. Apart from that these women are dependent on the social security provided by parents, relatives, neighbours and head of district. So weaving the sarong is a kind of social securities available for them to make them hnancially independent."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T6100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsanto Nursadi
"Pengelolaan B3 dan limbah B3 dilakukan oleh instausi yang bertanggung jawab , yaitu Menteri Negara Lingkungan Hidup. Instansi ini membentuk norma hukum urnum-kongkret berupa Peraturan Menteri Negara yang merupakan kewenangan atribusi dari UU Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meneg LH juga membentuk norma hukum individual-kongkret berupa perizinan-perizinan yang berkaitan dengan B3 dan limbah B3. Instansi sektoral berwenang membentuk norma hukum umum kongkret berupa kewenangan , misalnya Undang-undang tentang Perindusirian, tentang Kesehatan, tentang Pertambangan atau Mineral dan Batubara, tentang Tenaga Kerja, tentang Tenaga Atom/Nuklir, tentang Lalu Lintas Jalan. Kewenangan tersebut diwujudkan dalam pembentukan norma hukum Peraturan Menteri mengenai hal-hal tenentu, misalnya Peraturan Menteri Perindustrian tenumg Impor Bahan Berbahan Beracun. Instansi sektoral tersebut juga melakukan pengurusan dalam bentuk pembuatan norma hukum individual-kongkret berupa perizinan yang berkaitan dengan lingkungan seperti Izin Impor B3; Izin Penggunaan B3 untuk Industri, Pertambangan, Kesehatan; Izin Pengangkutan B3 dan limbah B3. Perizinan yang dikeluarkan oleh instasni sektoral memerlukan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab, karena instansi yang bertanggung jawab memang bertugas untuk menjaga dampak dari B3 dan limbah B3, sedangkan instansi yang berwenang lebih kepada perizinan dalam hal kegiatan di bidang masing-masing. Hasil penelitian nommatif menunjukkan bahwa Daerah memiliki kewenangan dan tanggung jawab kepada masyarakatnya dalam hal perlindungan lingkungan. Bentuk pertanggtuxgiawaban dari Daerah tersebut adalah melakukan pengaturan dan pengurusan terhadap urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya. Daerah membuat nonna hukum abstrak-umum dalam bentuk Peraturan Daerah bagi objek-objek tenentu yang langsung mengatur atau hanya berkaitan dengan lingkungan.Contoh Perda yang langsimg mengatur objek lingkungan, adalah Perda tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendaiian Pencemaran Air; tentang Pengambilan dan Pemanfaatan Air Permukaan; tentang Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis; tentang Penertiban dan Pengendalian Hutan Produksi; tentang Pengelolaan Hutan; tentang Pengelolaan Air Bawah Tanah; dan Perda tentang Izin Hinder Ordommxie (Izin HO). Contoh Peraturan Daerah yang ?l1anya? berkaitan dengan pengaturan linglcungan diantaranya adalah Perda tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah (salu di antaranya adalah pembentukan Badan Lingkungan Hidup Daerah) termasuk pembentukan Dinas-dinas Daerah tentang Pengelolaan Panas Bumi; tentang Irigasi; tentang Ketertiban Umum; tentang Pajak dan/atau Retribusi Daerah yang berkaitan dengan lingkungan; tentang Perikanan dan Usaha Kelautan; tentang RPJMD; teniang RTRW Provinsi/Kabupaten/Kota; tentang Pemberian izin yang berkaitan dengan lingkungan. Perda-perda tersebut disebut berkaitan, karena yang diatur sebenarnya adalah objek yang lain, tetapi dekatfberkaitan dengan lingkungan. Daerah juga mengeluarkan norma hukum yang umum-konkret, berupa Peraturan Kepala Daerah tentang hal tertentu, rnisalnya tentang Baku Mutu Lingkungan di Jawa Timur. Nomm hukum yang individual-kongkret mempakan bentuk perwujudan kewenangan dan tanggung jawab daerah yang paling banyak, yaitu keluamya perizinan yang berkaitan langsung dengan lingkungan. Pengaturan dan pengurusan mengenai B3 dan limbah B3 kemudian didesentralisasikan ke Daerah berdasarkan PP 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Umsan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, khusus pada lampiran mengenai bidang Lingkungan Hidup. Urusan pemerintahan yang didesentralisasikan tersebut tergannmg pada Iuas daerah, lingkup Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Kabupatenfliota, sedangkan bila urusan pemerintahan sub-sub bidang B3 dan limbah B3 tersebut lintas Kabupaten/Kota diurus oleh pemerintahan Provinsi. Meskipun Daerah hanya memiliki kewenangan yang terbatas , tetapi Daerah tetap dapat melindungi daerahnya dalam bentuk pcngatumn dan pengurusan yang tidak langsung pada objek B3 dan Iimbah B3. Misalnya pengaturan lokasi khusus industri (yang mungkin menggunakan, menghasilkan dan mengolah limbah B3) dalam Perda tentang RTRW, pengaturan mengenai pengangkutan lintas batas daerah Provinsi-Kabupaten-Kota dengan tidak membebani retribusi tetapi pengaturan pengangkutannya, pengaturan bersama mengenai kemungkinan menyebar/mengalimya limbah B3 dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lain dalam satu provinsi atau bahkan amar provinsi. Selain itu, Daerah juga dapat melakukan pengurusan terhadap B3 dan limbah B3 yang menjadi kewenangannya dalam bentuk pengendalian perlzinan. Beberapa hal mengenai B3 dan lirnbah B3 saat ini sudah menjadi kewenangan Daerah, dan hal tersebut dilaksanakan dengan ketat dan konsekugn. Seperti misalnya, Daerah dapat menolak suatu lokasi Industri yang tidak sesuai dengan RTRW yang sudah ditetapkan, atau menolak berdasarkan tingkat bahaya dari indusrri B3 dan limbah B3 yang akan ditempatkan didaerahnya. Pada sisi lain, diluar kewenangan yang dimilild oleh Daerah yang berasal dari kewenangan atributif undang-lmdang, Daerah juga dapat memiliki pertimbangan dalam hal pengaturan dan pengurusan B3 dan limbah B3 dari sumber lain. Sumber lain yang dimaksud adalah prinsip-prinsip hukum lingkungan internasional. Prinsip-prinsip tersebut memang tidak mengikat secara langsung subyek hukum Daerah, karena Daerah bukan merupakan subyek hukum intemasional, tetapi prinsip-prinsipnya dapat dijadikan rujukan dalam hal pembentukan norma hukum di Daerah.

The responsibility for hazardous substance and hazardous waste management lies with the State Minister of Environment. In this regard, the Minister has an attributive authority, being an authority directly attributed by the Indonesian Environmental Management Act, to establish general-concrete legal norms, in the form of ministerial regulations. In addition to establishing these norms, the Minister has also an authority to issue individual-concrete legal norms in the fomis of various licenses related to hazardous substances and hazardous wastes. In addition to the Minister of Environment, other sectoral departments or agencies also share responsibility in managing hazardous substances and wastes. These departments or agencies have the responsibility to create general-concrete legal norms based on various sectoral acts, such as industrial, public health, mineral and coal, labour, nuclear energy, and road traffic acts. Although not focusing on environmental management, these sectoral acts may to some extent still be applicable to hazardous substance and waste management Hence, one could find various regulations issued by sectoral departments or agencies, which regulate hazardous substance and waste management within their relevant sector. One example of this type of sectoral regulation is the regulation of Minister of Industry concerning the Importation of Hazardous Substances. The sectoral departments or agencies have also the authority to create individual-concrete legal norms in form of various licenses, such as the license to import hazardous substances, the license to use hazardous substances in industry, mining, and public health sectors, and the license of hazardous substance and waste transportation. When issuing sectoral licenses, departments or agencies should base their decisions on the recommendation given by the Minister of Environment as the authority responsible for controlling the impacts of hazardous substances and wastes. Regional government has also responsibility and authority in environmental management. For this, autonomous local government may create general-abstract legal norms in the form of bylaws that directly or indirectly regulate environmental protection. Examples of environmental bylaws are bylaws concerning water quality management and water pollution control, bylaws concerning the utilization of surface water, bylaws concerning forest and critical land rehabilitation, bylaws concerning control on production forest, bylaws concerning forest management, bylaws concerning underground water, and bylaws concerning nuisance license (license derived from Hinder Ordonanrie -the nuisance ordinance). Meanwhile, examples of bylaws that indirectly relate to environmental management are bylaws on organization and management of regional agencies, including provincial and district agency for the environment, bylaws on geothermal energy, bylaws on public order, bylaws on regional environmental taxes and charges, bylaw on fisheries, bylaws concerning regional development planning, bylaws conceming regional spatial planning, bylaws on licenses or authorization related to the environment. Local Regional government has also the authority to create general-concrete legal norms, in the form of govemor or regent/mayor regulation related to certain environmental issues, such as environmental quality standards. Local government has also the authority to create individual~concrete legal norms in the form of various licenses that directly correspond to environmental management. The latter authority appears to be the most frequently exercised authority at the local level. According to Government Regulation No. 38 of 2007 concerning the Distribution of Government Affairs among Central Government, Province, and District government (in particular in its annex on environmental management), the responsibility and authority for hazardous substance and waste management are decentralized to local govemrnent. Decentralization of hazardous substance or waste management to regions applies only to the extent that [its impacts of] are confined to each region. If the scope of management of the substance or waste is considered to be limited to one district, it will become the responsibility and authority of the respective district. If the scope of management of the substance or waste is considered a cross-district issue, it will become the authority of the provincial government in which those districts are located. Although local government has a rather limited authority in regulating and managing hazardous substances and waste, it may nevertheless Provide protection by enacting bylaws which are not directly intended to regulate the substances and wastes. For example, the regional govemment has certainly the authority, in their spatial planning, to designate certain areas for industry that uses, produces, or treats hazardous Wastes. They could also enact bylaws that specify how hazardous substances and wastes are to be properly and safely transported. In another example, a group of regional governments might form a joint bylaw concerning the possibility of hazardous wastes to spread or flow trom one district to others within one province or even to districts in other provinces. Furthermore, regional government may play a role in the management of hazardous substances and wastes by excersing its control over various licenses. Several aspects in the management of hazardous substances and wastes have indeed become the authority of local govemment. For example, regional government may retiise a proposal for an industrial use that it considers not in compliance with the previously determined regional spatial planning; or it may also refuse the proposal based on the magnitude of harms likely to result from the proposed industry. In addition to various attributive authorities, regional government may also resort to other sources of authority when it intends to play a role in the management of hazardous substances and wastes. These sources are intemational environmental principles. Although not directly binding for local government, since it is not part of multinational environmental agreements, these principles could nevertheless be used as references forthe formulation of legal norms at the local level."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
D988
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Reni Ariesandi
"Sebagai salah satu BUMN yang ada di Kecamatan Lawang Kidul Kabupaten Muara Enim, dengan kegiatan perusahaan berupa penambangan batubara, wujud tanggung jawab sosial PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) dilaksanakan melalui beberapa kegiatan/aktivitas/program, Salah satu diantaranya yaitu pemberdayaan dan pengembangan industri kecil melalui Program Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi.
Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana pelaksanaan Program Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi sebagai salah satu bentuk tanggung jawab sosial yang telah dilakukan PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) bagi masyarakat Kecamatan Lawang Kidul, kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaannya, serta manfaat yang dirasakan oleh masyarakat Kecamatan Lawang Kidul dari pelaksanaan program tersebut pembinaan Usaha kecil dan Koperasi. Data mengenai pelaksanaan program pembinaan usaha kecil dan koperasi peneliti peroleh melalui wawancara langsung kepada informan. Yang terdiri dari pihak PTBA dan masyarakat penerima program (mitra binaan), Observasi (pengamatan) serta studi dokumentasi dilakukan terhadap arsip-arsip yang memuat kebijakan pelaksanaan tanggung jawab sosial khususnya pelaksanaan program Pembinaan Usaha KeciI dan Koperasi oleh PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero).
Secara umum, dapat diambil kesimpulan bahwa pelaksanaan Program Pembinaan Usaha Kecil dan Koperasi sebagai salah satu wujud pelaksanaan tanggung jawab sosial PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Persero) terhadap masyarakat masih kurang sepadan jika dibandingkan dengan dampak negatif terhadap alam yang bersifat permanen sebagai akibat aktivitas penambangan batubara."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
T10953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djamaludin
"Tanggung jawab sosial perusahaan adalah sebuah ide bahwa perusahaan harus memiliki tanggung jawab tertentu terhadap masyarakat. Konsep tanggung jawab sosial perusahaan ini telah mengalami pergeseran dari arti yang sempit (Shareholders) kepada arti yang lebih luas (Stakeholders), dimana suatu perusahaan tidak lagi dapat mengabaikan faktor-faktor eksternal yang dapat mempengaruhi kelangsungan hidup perusahaan.
Kabupaten Bengkalis merupakan daerah yang memiliki potensi minyak terbesar di daerah Riau, yaitu terletak di Duri Kecamatan Mandau. Namun kondisi daerah yang kaya ini berbanding terbalik dengan kondisi kehidupan masyarakat yang terbelakang dalam pendidikan dan miskin dalam kehidupannya. Tingkat kesejahteraan rata-rata penduduk di Bengkalis relatif lebih rendah dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Propinsi Riau. Siapa sangka, ternyata Riau pernah menempati urutan kedua setelah Timor-Timur sebagai daerah paling miskin di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif, untuk memberikan deskriptif/gambaran tentang tanggung jawab sosial perusahaan PT. Caltex. Dalam penelitian ini, PT. Caltex mengemban tanggung jawab sosial perusahaan yang merupakan wujud keperdulian PT. Caltex terhadap kehidupan masyarakat sebagai timbal balik dari hasil yang telah didapatkan oleh PT. Caltex di Kabupaten Bengkalis. Dengan tanggung jawab sosial tersebut yang diwujudkan rnelalui program pengembangan masyarakat dan pemberian bantuan, khususnya di bidang pendidikan diharapkan PT. Caltex dapat meningkatkan tingkat pendidikan masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Melalui peningkatan di bidang pendidikan diharapkan masyarakat menjadi lebih produktif sehingga dapat bersaing dalam meraih lapangan pekerjaan yang pada akhirnya diharapkan masyarakat mampu memperbaild kesejahteraan hidupnya. Dengan keberadaan PT. Caltex di Kabupaten Bengkalis memunculkan pertanyaan mengenai : sejauh mana tanggung jawab sosial PT. Caltex terhadap masyarakat di Kabupaten Bengkalis, sejauh mana besarnya pengalokasian dana yang ditujukan untuk program tanggung jawab sosial PT. Caltex, serta sejauh mana penentuan lokasi dan sasaran program bantuan PT. Caltex dapat bermanfaat bagi masyarakat di Kabupaten Bengkalis.
Latar belakang dan pertanyaan tersebut mendasari penelitian ini yang bertujuan untuk : (1) tujuan umum, yaitu mengetahui sejauhmana gambaran tentang pelaksanaan tanggung jawab sosial PT. Caltex melalui peningkatan bidang pendidikan di Kabupaten Bengkalis, (2) tujuan Khusus yaitu ; (a) mengetahui sejauh mana pengalokasian dana yang ditujukan untuk program tanggung jawab sosial PT. Caltex dalam upaya peningkatan bidang pendidikan di Kabupaten Bengkalis, dan (b) mengetahui sejauh mana pelaksanaan program tanggung jawab sosial PT. Caltex di bidang pendidikan yang dilihat dari penentuan lokasi dan sasaran yang dituju.
Dalam penelitian ini telah berhasil diidentifikasi dan dideskripsikan berbagai program tanggung jawab sosial PT. Caltex. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial PT. Caltex sebagai wujud keperdulian perusahaan kepada kehidupan masyarakat masih sangat kecil. Sampai dengan tahun 2000 program tanggung jawab sosial PT. Caltex di bidang pendidikan yang diwujudkan dengan pemberian bantuan baru hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat di Kabupaten Bengkalis. Dengan demikian keberadaan PT. Caltex yang diharapkan dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan ternyata tidak dapat diharapkan. Sebagian besar daerah di Kabupaten masih banyak kekurangan fasilitas gedung sekolah yang menyebabkan daya tampung sekolah terhadap anak-anak usia sekolah sangat terbatas sehingga menyebabkan banyak anak usia sekolah tidak dapat bersekolah.
Sampai sejauh mana tanggung jawab sosial PT. Caltex terhadap peningkatan pendidikan di kabupaten Bengkalis dapat dilihat sebagai berikut : (1) pengalokasian dana yang ditujukan untuk program tanggung jawab sosial PT. Caltex, hasil penelitian menunjukkan bahwa dana yang dialokasikan untuk program tanggung jawab sosial PT. Caltex masih sangat kecil tidak sebanding dengan penghasilan yang didapat PT. Caltex dari daerah Bengkalis ; (2) Lokasi dan sasaran bantuan PT. Caltex, hasil penelitian menunjukkan bahwa program bantuan PT. Caltex sebagai wujud tanggung jawab perusahaan hanya terfokus pada daerah Mandau yang merupakan daerah operasi lapangan minyak Caltex, sedangkan kalau dilihat dari lamanya PT. Caltex beroperasi dan besarnya hasil yang didapat dan daerah Bengkalis seharusnya program tanggung jawab sosial PT. Caltex tidak lagi hanya pada daerah Kecamatan Mandau tetapi sudah lingkup Kabupaten Bengkalis.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab sosial PT. Caltex sebagai wujud keperdulian perusahaan terhadap masyarakat masih sangat kecil, tidak sebanding dengan penghasilan yang diperoleh PT. Caltex dari daerah Bengkalis. Oleh karena itulah saran penelitian ini yang ditujukan kepada PT. Caltex agar lebih meningkatkan tanggung jawab sosial perusahaannya kepada masyarakat baik dari peningkatan alokasi dana maupun penentuan sasaran yang lebih melihat pada masyarakat yang lebih membutuhkan. "
2001
T1434
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Halomoan, Yopy
"Program Community Development (CD) sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat merupakan program yang bertujuan menciptakan masyarakat yang mandiri. Kemandirian masyarakat yang tinggal di wilayah Industri merupakan penopang keberlangsungan sebuah Industri karena itu program CD yang dilakukan perusahaan merupakan komitmen untuk membangun masyarakat yang semakin mandiri. Tulisan ini menggambarkan bagaimana pelaksanaan dari Corporate Social Responsibility (CSR) eksternal perusahaan Pulp dan Paper di Kecamatan Kragilan, Kabupaten Serang, Provinsi Banten. Terdapat 4 dimensi dari aspek CSR yang dijelaskan dalam tulisan ini antara lain Akuntabilitas, Community Involvement, Perlindungan HAM, dan Lingkungan. Salah satu bentuk pelaksanaan CSR yang dilakukan adalah program CD. Program CD yang dilakukan oleh perusahaan ini dibagi ke dalam 5 bidang yaitu : Bidang Tenaga Kerja, Bidang Pendidikan, Bidang Keagamaan, Bidang Kesehatan, dan Bidang Sosial Kemasyarakatan. Penelitian ini mengukur efektivitas pelaksanaan CSR dan Program CD dengan menggunakan kriteria efektivitas pelaksanaan CSR dan program CD yang ideal dan dikombinasikan dengan kriteria penerima manfaat kegiatan melalui survey. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan kombinasi teknik pengumpulan data wawancara mendalam dan survey untuk mendapatkan data kuantitatif. Pengumpulan data kuantitatif dilakukan dengan cara menarik sampel kepada 20 orang responden secara purposive sampling ? ditetapkan terlebih dahulu wilayah dan masyarakat penerima program untuk dijadikan kerangka sampel kemudian dilakukan pemilihan responden sesuai dengan kriteria yang ditentukan, sedangkan data kualitatif diperoleh dengan cara melakukan wawancara mendalam kepada 16 orang informan. Secara umum perusahaan sudah menjalankan kegiatan CSR dan Program CD secara rutin setiap tahun yang dapat dilihat dari rencana kegiatan perusahaan dan laporan kegiatan tahunan perusahaan. Perusahaan memiliki kegiatan CD yang rutin dan terpola sejak tahun 1993 dan dimulai dengan bidang pendidikan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program CD yang dilakukan kurang mendorong masyarakat menjadi mandiri yang dapat dilihat dari beberapa hal berikut : kurangnya penambahan lembaga atau organisasi masyarakat yang menerima program CD, kurang jumlah program CD yang langsung diberikan kepada lembaga atau organisasi masyarakat dan kurangnya ruang dialog antara perusahaan dan masyarakat dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program CD. Ketiga hal ini lah yang harusnya di perbaiki dimasa yang akan datang agar kegiataan CD yang dilakukan lebih mengarah kepada kemandirian masyarakat.

Program of Community Development (CD) as Corporate Social Responsibility to society is program with aim to create self-supporting society. Reliance Society who live in Industrial region is supporter for sustainable a Industry in consequence CD program by company is commitment to develop society which is realiance progressively This article is description how execution of Eksternal Corporate Social Responsibility (CSR) of Pulp and Paper company in District Of Kragilan, Sub-Province Serang, Province Banten. There are 4 dimension of aspect of CSR which explain in this article for example Akuntabilitas, Community Involvement, Protection of HAM, and Environment. One of the execution of CSR is program of CD. Program of CD conducted by this company is divided into 5 area that is : Labour, Educational, Religious, Health, and Social area. This research measure effectiveness execution of CSR and Program of CD by using the effectiveness idealness criterion execution of CSR and program of CD and combined with receiver through benefit criterion by survey. This research use approach qualitative with technique combination data collecting of deep interview and survey to get quantitative data. Quantitative data collecting done by drawing sample to 20 responder people by purposive sampling - before hand by drawing specified area and society receiver of program to be made sample framework sampel is later; then conducted election by random to specify responder goals, while data is qualitative obtained by deep interview to 16 informan people. In general company have run activity of CSR and Program of CD routinely every year which earn to be seen from plan activity of annual activity report of company. Company have activity of CD routine and pattern since year 1993 and started with with educational area. Result of research of showing that program of CD done less push society become self reliance which can be seen from some matters following : lack of addition of society organization or institute accepting program, less amount of programs which is was direct to be passed to society organization or institute and lack of room dialogued between society and company in planning, executing, and evaluating program. Third of this matter must be improve a period to to come so that activity of CD more to society reliance. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19484
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Whika Ayu Nurrochmani
"Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan tanggung jawab sosial dalam rangka memberikan rekomendasi pengungkapan tanggung jawab sosial di Indonesia. Metode analisis data yang digunakan adalah dengan cara menganalisis isi undang-undang dan peraturan-peraturan yang terkait dengan pengungkapan tanggung jawab sosial untuk menentukan apakah isi dari undang-undang dan peraturan-peraturan tersebut sesuai dengan indikator Global Reporting Initiative (GRI) Sustainability Reporting Guidelines dalam hal yang terkait dengan pengungkapan tanggung jawab yang seharusnya dilakukan oleh perusahaan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dari 79 indikator pengungkapan GRI Sustainability Reporting Guidelines terdapat 34 indikator pengungkapan yang ditemukan dalam undang-undang dan peraturan-peraturan terkait di Indonesia dengan kewajiban pengungkapan yang berbeda untuk masing-masing jenis usaha.

The purpose of this research is to analyze the related regulations with social responsibility in order to provide recommendations disclosures of social responsibility in Indonesia. The analysis method of data in this research are used by analyzing the contents of the regulations relating to disclosure of social responsibility to determine whether the contents of the regulations in accordance with the indicators of the Global Reporting Initiative Sustainability in matters related with disclosure responsibilities that should be done by the company. The results of this research showed that of 79 indicators disclosure of the GRI Sustainability Reporting Guidelines are disclosures of 34 indicators that are found in the regulations in Indonesia with different disclosure for each type of company."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2010
T28269
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anita Bar Yusuf
"Sumber dari permasalahan sosial bangsa Indonesia adalah kemiskinan. Dengan keterbatasan yang dimiliki pemerintah saat ini maka diperlukan pelibatan berbagai pihak untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satunya adalah dunia usaha ? dalam hal ini adalah PT Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang. Sebagai salah satu perusahaan BUMN, diwajibkan untuk menjalankan program PKBL sebagai wujud TSP - selain tugas utamanya mencari keuntungan bagi kelanjutan operasionalisasi perusahaan. Program Kemitraan (PK) merupakan bantuan philantropy bagi pengembangan usaha kecil melalui pemberdayaan agar dapat mandiri sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarga - selain mampu menyerap tenaga kerja sehingga diharapkan dapat mengurangi masalah pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan suatu program adalah pelaksanaan yang cenderung bersifat top down sehingga kurang melibatkan partisipasi masyarakat. Partisipasi di sini merupakan keterlibatan masyarakat dalam suatu program pengembangan masyarakat. Partisipasi ini penting mengingat partisipasi berhubungan dengan keberhasilan suatu program. Untuk itu, tujuan penelitian ini adalah melihat pelaksanaan Program Kemitraan, partisipasi mitra binaan perajin kulit dalam Program Kemitraan tersebut serta faktor-faktor pendorong dan penghambat dalam partisipasi tersebut. Penelitian ini dilakukan terhadap Program Kemitraan di PT Pertamina Geothermal Energy Area Kamojang yang mempunyai komitmen untuk mengedepankan kebutuhan masyarakat. Pemilihan pada perajin kulit dan kelurahan Kota Wetan karena perkembangan industri kulit di daerah ini cukup potensial - baik dalam jumlah unit usaha, penyerapan tenaga kerja dan nilai investasinya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif melalui rangkaian studi kepustakaan, wawancara mendalam (in dept interview) tidak terstruktur dengan para informan. Pemilihan informan dilakukan secara purposive sampling dan dipilih sebanyak 9 informan yang terdiri dari: Kepala PKBL/manajer Humas (1 orang), Petugas Program Kemitraan (1 orang), mitra binaan perajin kulit (4 orang), Lurah (1), Dinas Koperasi serta Dinas Industri dan Perdagangan (masing-masing 1 orang). Secara umum, PK telah dilakukan melalui tahapan pengembangan masyarakat yaitu dari tahap persiapan, assessment, perencanaan, pelaksanaan dan monitoring/evaluasi. Dalam pelaksanaan Program Kemitraan ini, partisipasi mitra binaan dilakukan pada tahap pelaksanan dan monitoring/evaluasi program.Dalam tahap tersebut mitra binaan melakukan assessment dan perencanaan usaha (melalui proposal pinjaman), menerima kegiatan pembinaan dan monitoring/evaluasi bersama petugas PK). Pembinaan belum menumbuhkan pemberdayaan mitra binaan dan monitoring/evaluasi belum menjadi bahan untuk feed back bagi perbaikan program. Dengan demikian, PK masih bersifat top-down. Faktor-faktor yang mendorong partisipasi adalah ada keinginan untuk mengembangkan usaha, persyaratan yang mudah dan adanya manfaat dari kegiatan pembinaan yang dilakukan. Selain itu, pendekatan/komunikasi yang baik dari petugas PK. Sedangkan faktor-faktor yang menghambat partisipasi adalah komunikasi yang kurang baik antara mitra binaan - petugas PK, mentalitas mitra binaan. Selain itu, kurangnya tenaga di PK, sifat sentralistis Program Kemitraan dan seringnya pergantian petugas di Program Kemitraan. Saran yang bisa diajukan di sini adalah perlu melakukan koordinasi dengan pemerintahan daerah setempat, mengaktifkan paguyuban sebagai sarana komunikasi, melakukan monitoring/evaluasi sebagaimana fungsinya, dan perlu adanya tenaga profesional yang kompeten di bidang pengembangan masyarakat.

A source of social problem in Indonesia is a poor situation. With the lack of government limitation, need to joint other party to solve the poor problem. One of the party is business people, in this case is PT Pertamina Geothermal Energy Area of Kamojang. As a Government business body, called BUMN, they must be run a partnership program which is called Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) to in-line with Corporate Social Responsibility or it named Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (TSP), otherwise as a core benefit business for corporate planning and development. Partnership program (Program kemitraan) is a philanthropy aids to develop and empowerment a small home industry to be an independence business, as far as they can survive to live a family and local worker. The program design to reduce a jobless dan poverty as a core of poor problems A factor effect to the successful program is execution program which it?s tends to the top and down statements however its a less community participation. In this case, participation mean of local community participation in their community development program. The participation is very important cause of its related to successful program. So, the goal of this research is to know an execution of Partnership Program, participation of a leather home industry as a partner in this program and also any factor of accelerate and lack of the program. The research is dedicated to the partnership program at PT Pertamina Geothermal Energy Area of Kamojang, which is commit to focus in local interest. The choice of leather art home industry in Kota Wetan because they have a potential market in quantity of small bussiness, a worker adoption and investation budget. The research use a qualitative method which is produce a descriptive data by doing a literature study, in depth interview with the informant. A choice of informant by doing a purposive sampling from 9 informant as describe as a Head of PKBL/ Humas Manager (1 person), Staff of PKBL (1 person), a leather art home industry (4 persons), Head of Local District or Lurah (1 person), Cooperation Department of Garut/ Dinas Koperasi (1 person), Local Industry and Trade Department/Dinas Industri dan Perdagangan (1 person). In general, Partnership Program executed with a phase of community development as a prepare phase, assessment phase, planning phase, execution phase, monitoring/evaluating phase. The community participation was doing in execution and monitoring phase. In this phase, the partners have been bussiness assessment and planning (especially with fill-in proposal form), accaptance a tutorial and assistance program, and monitoring/evaluating program with the staff. But this assistance program not in growing a empowerment of partner, and the monitoring/ evaluating report are not as a feed back to revision program. Or we can say a partnership program is only top down statement. Any factors that can be accelerating to the partnership program are needed to business growth by the community; low and easy criteria access, the benefit from this program.The other is a nice personal relationship and communication from the staff. Meanwhile, pursuer factors of participation are lack of personal communications between partner and staff, partner mentality, lack of program staff, centrality rule in Partnership Program, and highly staff change in Partnership Program As a suggestion in this case is doing coordination with local government, establish a local organization (paguyuban) as a central of information and communication, and doing monitoring/evaluating program as a rule function repeatedly and also engagement of the professional staff in community development study.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2008
T24645
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>