Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 65037 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Menurut ketentuan pasal 5 UU No.30 tahun 1999, tidak semua
sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melaingkan
hanya sengketa yang timbul di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Juga sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian, tidak dapat diselesaiakan
melalui arbitrase.
Mengenai ruang lingkup hukum perdagangan dijelaskan di dalam
penjelasan pasal 66 huruf b UU No.30 tahun 1999 meliputi:
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri,
dan hak kekayaan intelektual. Dengan demikian menurut UU
No.30 tahun 1999, sengketa yang dapat diselesaiakan melalui
arbitrase adalah sengketa :
1. Yang (timbul) di bidang perdagangan yang meliputi :
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal,
industri, dan hak kekayaan intelektual.
2. Mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan
dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Penjelasan pasal 66 huruf b UU No. 30 tahun 1999, melahirkan
persoalan baru, yaitu apakah sengketa kepailitan juga
termasuk wilayah sengketa yang dapat diselesaikan melalui
artbitrase? Persoalan ini erat kaitannya dengan adanya
klausula arbitrase dalam perjanjian-perjanjian di bidang
perdagangan. Apakah dengan diadakannya atau ter-dapatnya
klausula arbitrase dalam suatu perjanjian perda-gangan
secara otomatis menjadikan pengadilan telah kehilangan
kompetensinya dalam mengadili perkara kepai-litan."
[Universitas Indonesia, ], 2005
S24346
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Murdawati
"Perekonomian di Indonesia mengalami perubahan yang
drastis dengan terjadinya gejolak moneter pada
pertengahan tahun 1997 yang lalu. Hal tersebut juga
berakibat dan berpengaruh terhadap kemampuan dunia usaha
itu sendiri dalam memenuhi kewajiban pembayaran utang
atau prestasi kepada kreditur. Kepailitan adalah
ketidakmampuan untuk membayar dari seorang debitur atas
utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Kewenangan
absolut bagi Arbitrase untuk menyelesaikan perselisihan
hanya sampai sejauh isi perjanjian saja dan bila terjadi
perselisihan dan dapat diperdamaikan maka yang berwenang
adalah Arbitrase itu sendiri, sedangkan apabila ada
permohonan pailit maka Arbitrase tidak berhak karena
yang berhak adalah pengadilan niaga sebagai peradilan
khusus yang sudah diatur sendiri dalam Undang-Undang
No.4 Tahun 1998 mengenai Kepailitan. Kewenangan
Pengadilan Niaga adalah kewenangan absolut dalam hal
menerima dan memeriksa serta memutuskan tentang
permohonan pailit, hal ini berbeda dengan kewenangan
absolut .Arbitrase dimana setiap perjanjian yang telah
mencantumkan klausula Arbitrase yang dibuat para pihak
menghapus kan kewenangan pengadilan negeri untuk
menyelesaikan setiap perselisihan."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T16684
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Emir Zullarwan
Depok: Universitas Indonesia, 2002
S22022
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Y. Arif Gunawan
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S22640
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2004
S22158
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Hendrika
"Forum Arbitrase merupakkan forum penyelesaian sengketa yang acapkali dipilih oleh para pihak untuk menyelesaikan sengketa perjanjian perdagangan karena alasan-alasan efektivitas dan biayanya yang murah. Namun dengan perkembangan perekonomian dunia yang diiringi dengan kebebasan para pihak dalam hal menerapkan Pilihan Forum, hasil penyelesaian sengketa demikian berpotensi untuk mengandung unsur-unsur asing sebagai akibat dari para pihak yang tunduk pada sistem hukum yang berbeda, terletak pada wilayah hukum yang berbeda, dan/atau bahkan memilih forum Arbitrase asing yang tunduk pada ketentuan hukum yang berlainan dari pihak dalam perjanjian perdagangan tersebut. Kemudian dalam keberlakuannya, putusan Arbitrase dapat dimintakan permohonan pembatalannya ke pengadilan negeri. Meskipun demikian, Indonesia yang memiliki ketentuan hukum Arbitrase nya sendiri, yakni UU No, 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS), serta negara anggota New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (Konvensi New York 1958), menjadi subjek terhadap dua ketentuan pembatalan putusan Arbitrase yang berbeda. Dalam pengaturannya, ketentuan pembatalan UUAAPS hanya dapat berlaku bagi putusan Arbitrase nasional, sedangkan Konvensi New York 1958 berlaku bagi Putusan Arbitrase Internasional. Kendati demikian, suatu putusan Arbitrase dapat mengandung unsur asing, dan hal ini seringkali mengundang interpretasi yang turut berpengaruh pada penerapan UUAAPS dan Konvensi New York 1958. Kenyataan ini merupakan salah satu ruang lingkup kajian Hukum Perdata Internasional karena dalam hal penentuan kewenangan oleh pengadilan negeri dalam perkara pembatalan putusan Arbitrase yang mengandung unsur asing, timbul pertanyaan “Pengadilan negara manakah yang berwenang untuk mengadili pembatalan putusan Arbitrase yang mengandung unsur asing tersebut?” Melalui penelitian yuridis-normatif, skripsi ini akan menganalisis praktik kewenangan mengadili oleh pengadilan negeri di Indonesia sehubungan dengan penerapan pasal-pasal pembatalan Arbitrase yang ada

As one of the dispute resolution forums, arbitration, is often chosen by the parties to resolve commercial agreement disputes due to its effectiveness and cost efficiency. However, as the world’s economy develops, accompanied by the freedom in implementing the choice of forum, the results of such dispute resolution potentially contain foreign elements due to the parties being subject to different legal systems, being located in different jurisdictions, and/or even choosing a foreign arbitration which has different legal system from the parties involved in the commercial agreement. Notwithstanding aforementioned explanation, arbitration award can be requested for its annulment to the district court. Nevertheless, Indonesia with its own Law No. 30 of 1999 on Arbitration and Alternative Dispute Resolution (Arbitration Law), while also participating as the member states of the New York Convention on The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards 1958 (New York Convention 1958), is subject to two different provisions for arbitral award annulment. For example, the provisions for the arbitral award annulment in UUAAPS is only applicable for national arbitral award, while the annulment provision in New York Convention 1958 applies to foreign arbitral award. However, an arbitral award may contain foreign elements, which often results in different interpretations in its implementation and influences the application of the Arbitration Law and the New York Convention 1958. This event falls within the scope of Private International Law’s studies because it raises the question of "Which district court has the authority to adjudicate the annulment of arbitral awards containing the foreign elements?" Through normative-juridical research, this undergraduate thesis will analyse the practice of Indonesian district court’s authority in adjudicating the annulment of said arbitral award in relation to the application of existing arbitration annulment regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Sukardi
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36720
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Pratama
"Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Peradilan Agama merupakan satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang untuk menyelesaikan perkara ekonomi syariah secara litigasi. Hal ini juga didukung dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Perkara Ekonomi Syariah dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pemberlakuan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2019 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Namun demikian, terdapat ketidakpastian hukum mengenai kewenangan penyelesaian perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang merupakan produk hukum Mahkamah Agung dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung, menyatakan bahwa kewenangan untuk menjatuhkan putusan pailit/taflis, sebagai kewenangan Pengadilan/Mahkamah Syar'iyah dalam lingkungan Peradilan Agama. Sedangkan kepailitan itu sendiri sejatinya secara tegas dinyatakan sebagai kewenangan Pengadilan Niaga dalam lingkungan Peradilan Umum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan. Sehingganya, perkara-perkara kepailitan yang timbul dari kegiatan ekonomi syariah, sampai saat ini diadili di Pengadilan Niaga. Adapun pengaturan kepailitan yang digunakan untuk menyelesaikan perkara di Pengadilan Niaga, hingga saat ini tidak memperhatikan prinsip-prinsip syariah yang diperlukan untuk menyelesaikan perkara tersebut. Dengan demikian, sangatlah diperlukan pengaturan kepailitan ekonomi syariah yang secara tegas mengatur tata cara penyelesaian perkara ini sesuai dengan prinsip syariah serta pengadilan yang berwenang menyelesaikannya.

Law of The Republic of Indonesia Number 3 of 2006 on Amendment to Law Number 7 of 1989 on Religious Courts, states the religious court as the only judiciary institution with exclusive jurisdiction to litigate sharia economic based cases. This provision also supported by Regulation of The Supreme Court Number 14 of 2016 on sharia economic cases settlement procedures and Circular Letter of The Supreme Court Number 2 of 2019 on Enactment of 2019 Supreme Court Chamber Plenary Meeting Results as The Guidelines for Court Duties Implementation. However, there is some uncertainty regarding competence or jurisdiction over bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities. The Sharia Economic Law Compilation which is a product of the Supreme Court Regulation, stipulates that the Religious Courts has the authority to issue sharia economic based bankruptcy judgement/Taflis. On the other hand, Law of the Republic of Indonesia Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations and Book II of Implementation of Court Duties and Administration Guidelines, explicitly states that bankruptcy itself is a part of commercial court jurisdiction. Thus, bankruptcy cases that stemmed from sharia economic activities are being settled in commercial court. For that matter, the set of laws that are implemented in commercial court to settle those kinds of bankruptcy cases, are not specifically sharia compliant. Therefore, it is urgent that a sharia compliant law which specifically provides the procedures on these kinds of bankruptcy cases be enacted."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andriani Nurdin
"Para ahli sepakat bahwa bahan untuk penulisan Actio Pauliana ini sangal jarang. Konsep Actio Pauliana sudah lama dikenal, baik yang diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun yang diatur dalam Undang-Undang Kepailitan (Faillissements-Verordening, St). 1905-217 jo Stb. 1906 No. 348).
Dalam tulisan ini Penulis akan lebih memfokuskan uraian Actio Pauliana dalam hubungannya dengan Perkara Kepailitan, sehingga nantinya tulisan ini dapat diharapkan memberi surnbangan kepada para Hakim, khususnya Hakim Pengadilan Niaga dan Kurator dalam memutus dan menangani Actio Pauliana ini.
1. Apakah yang dimaksud dengan Actio Pauliana itu ?
2. Kapan suatu perbuatan debitur dapat dianggap sebagai perbuatan curang atau beritikad tidak baik, sehingga merugikan para kreditur dan oleh karenanya dapat diajukan permohonan Actio Pauliana ?
3. Langkah-langkah apakah yang harus ditempuh oleh Kurator ketika mengetahui adanya perbuatan/tindakan debitur yang merugikan kreditur ?
4. Yurisdiksi peradilan manakah yang memeriksa dan memutus permohonan Actio Pauliana?
5. Apakah proses pemeriksaan permohonan Actio Pauliana tunduk pada jangka waktu pemeriksaan 30 (tiga puluh) hari seperti dalam proses pemeriksaan permohonan pailit?
6. Apakah ada kewajiban untuk diwakili oleh Penasihat Hukum seperti disyaratkan dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1998 mengenai permohonan pernyataan pailit? Apakah hambatan/kesulitan dalam proses Actio Pauliana ?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T18676
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>