Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 80930 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ria Ariani Soemargo
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1983
S16969
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sibarani, Basar D.P.
"Pada bulan November 1996, PT Bank Negara Indonesia, Tbk. (Bank BNI) sebagai bank BUMN menawarkan 25% dari jumlah modal sahamnya (1,085,032,000 lembar saham) ke publik dan ini merupakan privatisasi perbankan yang pertama di Indonesia. Upaya ini dilakukan untuk meningkatkan permodalan guna mendukung kegiatan operasional dan menjamin kinerja yang sehat dari Bank BNI dalam memasuki abad mendatang.
Seperti diketahui Bank Indonesia selaku Otoritas Moneter telah mengeluarkan beberapa regulasi seperti ketentuan Giro Wajib Minimum dari 2 persen menjadi 3 persen dan kemudian menjadi 5 persen, persyaratan rasio kecukupan modal (CAR), dan Iain-Iain mendorong bank-bank untuk semakin memperkuat daya saingnya.
Pasar modal merupakan salah satu aiternatif sumber dana bagi perusahaan untuk meningkatkan permodalannya, demikian juga halnya di Indonesia. Hai ini tidak terlepas dari kondisi pasar modal Indonesia yang dari tahun ke tahun semakin menarik dan 'menggairahkan' baik bagi perusahaan pencari modal maupun bagi pihak penanam modal (investor).
Seperti pengalaman sebelumnya, going public dari perusahaan BUMN yang selalu menarik minat para investor di pasar modal, demikian juga dengan penawaran umum dari saham Bank BNI, dimana hal ini tidak terlepas dari faktor harga perdana saham yang dilepas, yaitu Rp 850 saja.
Beberapa pendekatan teoritis dalam penentuan harga saham perdana dibahas daam Karya Akhir ini, seperti: Dividend Discount Model dan Earnings Approach dengan beberapa model. HasiInya, ternyata terdapat 'diskon harga perdana' apabila hasil perhitungan (teoritis) tersebut dibandingkan dengan model Present Value of Earnings yang digunakan oleh pihak penjamin emisi.
Terlepas dari terlalu rendah atau tidaknya harga perdana saham Bank BNI, ada beberapa pertimbangan non-teknis yang mungkin mendasari ditetapkan harga perdana tersebut, seperti: pertimbangan kesuksesan kinerja harga saham di pasar sekunder, pemerataan bagi investor kecil, dan Iain-lain. Akan tetapi, esensi tujuan dari suatu go public khususnya bagi kepentingan stakeholders harus ditempatkan pada prioritas utama.
Dalam Karya Akhir ini juga dilakukan sedikit analisa pergerakan harga saham Bank BNI di pasar sekunder untuk kurun waktu 6 (enam) bulan pertama seterah dicatatkan. Diharapkan, ulasan dalam Karya Akhir ini dapat memberikan acuan dan masukan bagi penentuan kebijakan-kebijakan go public di masa mendatang."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Chandra
"ABSTRACT
Makin tajamnya persaingan antra bank dengan Lembaga
Keuangan Bukan Bank (LKBB), dan antar bank satu sama lain
dewasa ini menuntut kemampuan para manajer masing-masing bank bertindak secara profesional dan rasional agar
pertumbuhan dan pangsa pasar yang telah dimiliki
sekurang?kurangnya. dapat dipertaharkan, dan jika mungkin
ditingkatkan.
Dengan dikluarkannya paket deregulasi Oktober
1988 (PAKTO 1988) persaingan menjadi lebih taiam karena
masing?masing bank berupaya mempertahankan kelangsungan
hidupnya sebagai akibat munculnya bank-bank baru dan bank
campuran. Dalam karya akhir ini, kami mencoba untuk
menganalisa perkembangan industri perbankan dalam kaitannya
dengan PAKDES 1987 dan PAKTO 1938, ditinjau dari
beberapa aspek yaitu, lingkungan makro, daya saing dalam
industri, kondis pasar, keadaan keuangan dan potensi
manajemefl puncak dari bank yang go-pubic.
Lingkungan makro yang meliputi faktor ekonomi,
teknologi dan politik dan peraturan pemerintah merupakan
salah satu faktor penting dalam menentukan keberhasilan
implementasi strategi manajemen dan pencapaian tujuan
perusahaan.
Aspek lingkLangan makro yang berpengaruh terhadap
industri perbankan adalah deregulasi Oktober 1988, karena
memberi peluag bagi bank yang telah ada untuk membuka
cabang dan cabang pembantu, serta dipermudahnya pemberian
pemberian izin pembukaan bank baru dan bank campuran.
Kesempatan tersebut merupakan momentum yang terbaik bagi
kelompok persahaan besar (akhir?akhir ini disebut konglomerat) untuk berlomba membuka bank-bank baru dan atau bank campuran.
Daya saing dalam industri perbankan tidak lepas dari
dampak PAKDES 1987, dimana ancaman pendatang baru berupa
pembukaan bank baru dan bank campuran oleh perusahaan
konglomerat, disamping ancaman dari luar industri perbankan
berupa produk substitusi dan LKBB dan pasar modal.
Kekuatan negosiasi pembeli jasa dapat dilihat dari
aspek kemampuan bank dalam memberikan kredit terutama
tingginya tinçgkat suku bunga pinjaman bank bila dibanding
sumber lain sehingga pembeli jasa berusaha mencari alternatif
pembiayaan substitusi melalui pasar modal yang sekarang ini
sangat gencar digalakkan oleh BAPEPAM, disamping sumber
pembiayaan lain dari LKBB.
Kekuatan negosiasi pemilik dana dapat dilihat dari
aspek kemampuan industri perbankan untuk menghimpun
dana dan masyarakat, antara lain melalui tabungan tahapan,
tabungan kesra, tabungan deposito, giro dan lain sebagainya.
Karena meninkatnya jumlah bank, persaingan dalam
memperebutkan dan. masyarakat yana terbata soemakin han
semakin tajam.
Walaupun telah lahjr bank-bank baru dan bank campuran
sebagai akibat dari PAKTO 1988, industri perbankan secara
keseluruhan tetap cerah karena pertumbuhan ekonomi nasional
yang baik pada tahun 1989 sebesar 6,4 % (Sumber laporan Bank
Dunia).
Keberhasilan suatu perusahaan sangat tergantung pada
kemampuan manjemennya, apakah dapat bertindak secara
profesional, fleksibel dan cepat dalam pengambilan keputusan
sesuai dengan perubahan lingkungan usaha yang semakin cepat.
Dengan kata lain. potensi manajemen terutama manajemen puncak
yang menentukan tujuan dan strategi sangat menentukan
keberhasilan perusahaan, dimana ini juga berlaku
pada industri perbankan.
Sebagai alah satu alterratif sumber pembiayaan,
beberapa bank telah melakukan penawaran saham kepada publik
melalui pasar modal guna mendapatkan dana murah dan jumlah
relatif besar. Dalam kaitan ini, kami memilih pokak bahasan
?penentuan harga saham perdana pada BII dan Bank Niaga?
dengan mengacu pada proyeksi laporara keuangari dan prospektus
bank-bank tersebut, wawancara dengan pejabat-pejabat bank
yang berwenang serta publikasi dari Bank Indonesia dan
BAPEPAM, dan teori yang berkaitan.
Dalam perentuan harga saham perdana terdapat beberapa
pendekatan yaitu pendekatan arus deviden, pendekatan
earning, pendekatan nilai aktiva bersih, pendekatan arus
kas, pendekatan dengan analisa teknis, serta aspek penawaran
untuk mendapat izin go-public, bank harus tergolong
sehat sesuai dngan kriteria Bank Indonesia, sehingga setelah
bank tersebut. Go-public, pemodal diharapkan dapat memperoleh
hasil yang memadai dan pembelian saham bank yang
bersangkutan.
Penentua Price Earning Ratio (P/E ratio) dalam
praktek adalah berdasarkan kesepakatan antara emiten
dengan underwriter, dan ratio dari perusahaan sejenis, tetapi
keputusan akhir harga saham perdana dipengaruhi juga oleh
animo dan daya beli investor, serta jumlah saham yang
ditawarkan paca saat penawaran umum. Penentuan harga saham
perdana dengan memperhatikan faktor-faktor tersebut
diharapkan harga kurs saham dìpasar Sekunder tidak iatuh
dibawah harga Perdana walaupun tidak ada Jaminan bahwa harga
kurs tidak akan turun karena terdapat gejala IHS baik di BEJ
maupun BES terjadi penurunan dan kemunduran volume transaksi
perdagangan saham di pasar sekunder sekitar Oktober 1909
sampai dengan Januari 1990. Hal tersebut dìsebabkan karena
masyarakat pemodal sudah kritis dan tidak bersifat latah
dalam membeli saham, investor asing lebih selektif dalam
melakukan pembelian saham di Pasar Modal Indonesia.
Berdasarkan penelitian dan anaisa ini, kami menarik
kesimpulan bahwaa penentuan harga saham perdana atas kedua
bank tersebut, menggunakan pendekatan earning, dan nenilai
harga saham perdana kedua bank tersebut terlalu tinggi pada
saat dilakukan penawaran umum.
Dari hasil studi ini, kami memberi saran kepada emiten
dan underwriter dalam memilih alternatif penentuan harga
saham berdasarkan prospek dan perkembanqan usaha emiten,
keadaan keuangan, reputasi manajemen dan citra perusahaan
tersebut dengan memperhatikan faktor eksternal lain yang
berpengaruh, antara lain jumlah supply saham baru, sikap
investor atas perkembangan pasar modal di Indonesia, dan
peraturan yang relevan di pasar modal antara lain investor
asing tidak diizinkan membeli saham perbankan. Dengan
penentuan harga saham dengan cara tersebut lebih menekankan
kepentingan jangka panjang emiten dan pemodal, sehingga
perkembangan pasar modal yang berkesinambungan dapat
terwujud.
Sebagai investor yang bijaksana harus selalu
mempertimbangkan besarnya resiko yang bersedia dítanggung
dibandingkan dengan hasil yang diharapkan dalam pemilihan
saham yang ditawarkan, sehingga keputusan investasinya benar-
benar atas dasar pertimbangan rasional-obyektif, dengan
demikian diharapkan dapat memperoleh hasil investasi yang
diinginkan. Akhirnya kami menghimbau calon investor untuk
menganalisa secara seksama prospektus perusahaan yang go-
public, informasi lain yang berkaitan dengan bidang kegiatan
industri yang bersangkutan, dan indikator ekonomi. makro dan
kebijaksanaan pemerintah yang dapat mempengaruhi usaha calon
emiten, serta peraturan dibidang pasar modal sebelum mereka
memutuskan membeli saham.
"
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Udjian Wahjusuprapto
"Pengaktifan kembali pasar modal di Indonesia dilakukan dengan deregulasi. Di tengah masyarakat yang umumnya masih awam terhadap saham, masalah yang segera muncul adalah seberapa jauh pasar modal Indonesia mampu melakukan koreksi terhadap harga perdana saham yang ditetapkan terlalu tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Koreksi pasar adalah perubahan harga perdana sampai mencapai harga ekuilibrium, yang hanya dapat memberikan imbalan normal. Maka konsep-konsep yang relevan adalah efisiensi pasar dan nilai intrinsik saham. Berdasarkan hasil penelitian terhadap emisi-emisi pertama di pasar modal Amerika Serikat oleh Ibbotson [1975] dan Ritter [1984], koreksi pasar berlangsung dalam waktu kurang dari satu bulan dan berakhir setelah pemodal tidak lagi memperoleh imbalan abnormal. Latar belakangnya adalah kesengajaan emiten dan penjamin emisi melakukan under pricing.
Di pasar modal Indonesia gejala koreksi harga perdana tidak dapat dilihat pada perkembangan imbalan abnormal, karena tidak adanya indeks pasar untuk mengukur imbalan normal. Dalam penelitian ini gejala koreksi pasar terhadap harga perdana akan dilihat pada perkembangan imbalan saham perdana, yaitu imbalan bagi pemodal yang membeli saham di pasar perdana dan menjualnya lagi di pasar sekunder dengan premi saham perdana terhadap peluang-peluang investasi yang tersedia bagi pemodal yaitu saham-saham pendahuluan valuta asing, logam mulia dan deposito berjangka.
Hasil analisis data terhadap 50 saham perdana di Bursa Efek Jakarta mulai Juni 1989 sampai Agustus 1990 menunjukkan bahwa semakin lama saham baru dimiliki pemodal semakin berkurang rata-rata imbalan dan premi saham perdana yang dapat diharapkan pemodal. Namun penurunan rata-rata imbalan dan premi saham perdana itu tidak dapat ditafsirkan sebagai gejala koreksi pasar, karena di samping tidak menimbulkan perbedaan rata-rata yang signifikan, besarnya imbalan saham perdana ternyata tidak berkaitan dengan informasi yang relevan seperti bidang usaha emiten, agio saham dan peningkatan modal saham sebelum emisi, tetapi hanya berkaitan dengan tingkat kegiatan pasar yang diukur dengan perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama jangka waktu pemilikan (holding period) saham perdana.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masyarakat pemodal masih sangat awam terhadap saham. Diharapkan peran para pengamat, penulis, komentator, dan para pembentuk opini publik lainnya untuk ikut membina pemahaman masyarakat. Dengan deregulasi pasar modal, bentuk perlindungan terhadap pemodal yang didambakan adalah efisiensi pasar. Dan untuk mencapai efisiensi pasar modal salah satu syarat utamanya adalah kemampuan masyarakat pemodal mencernakan informasi relevan yang tersedia bagi mereka."
1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siahaan, Antonius Torang Parulian
"Merosotnya Harga-harga Saham bagi banyak emiten di Pasar Sekunder, salah satunya disebabkan karena penetapan harga saham perdana yang sudah cukup tinggi. Kalau ditelusuri lebih lanjut Penetapan Harga Saham yang tinggi ini disebabkan karena penetapan Price Earning Ratio yang tinggi pula. Apabila Pasar Modal mengalami keadaan bullish hal ini tidak terlalu menjadi masalah karena investor akan terus memburu saham-saham yang 'dianggap' baik tanpa memperhatikan faktor-faktor fundamentalnya secara lebih kritis. Seiring dengan peningkatan Perkembangan Pasar Modal yang semakin kompleks baik dari jumlah emiten maupun jumlah dana yang mampu dimobilisasi, Pemerintah dalam hal ini Bapepam mengeluarkan suatu Kebijaksanaan yang membatasi penetapan PER Pasar Perdana suatu calon emiten sebesar 13X dan kemudian ditingkatkan menjadi 15X, adapun Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menjaga agar harga saham emiten tersebut tidak merosot di Pasar Sekunder, sehingga para investor yang terutama terdiri dari pemodal-pemodal kecil tidak menderita kerugian akibat capital loss yang dideritanya, yang mana para investor ini justru 'capital gain oriented' dan bukan 'dividen orinted'. Skripsi ini meneliti 10 emiten yang dijadikan sample dari 180 emiten yang tercatat di Pasar Modal. Dari penelitian yang dilakukan penulis, dapat dilihat bahwa harga saham perdana dari emiten-emiten yang go public setelah Kebijaksanaan dimaksud mengalami penurunan relatif terhadap harga saham perdana bagi emiten-emiten yang go public sebelum kebijaksanaan PER Perdana. Namun demikian sebenarnya PER yang dipergunakan tidaklah menurun secara signifikan untuk PER actualnya, tetapi memang mengalami penurunan untuk PER proyeksi yang didalamnya terdapat kemungkinan rekayasa keuangan yang lebih besar. Sebagai kompensasi atas penurunan Harga saham tersebut, para calon emiten baru meningkatkan jumlah lembar saham yang ditawarkan kepada masyarakat. Untuk itu penulis menyarankan agar dalam penetapan harga saham perdana tidak dipergunakan PER proyeksi melainkan PER actual, dan keterbatasan PER 13X tidak diberlakukan secara kaku terhadap seluruh calon emiten akan tetapi turut mempertimbangkan faktor-faktor fundamental dari calon emiten tersebut, sehingga tidak menutup kemungkinan dipakainya PER yang lebih tinggi. "
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1994
S18718
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Umi Mardiyati
"ABSTRAK
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan ditemukan adanya kecenderungan underpricing saham perdana di berbagai bursa efek. Padahal seharusnya harga perdana ditetapkan secara wajar, sehingga tidak merugikan investor dan emiten. Underpricing saham perdana ini tentunya disebabkan berbagai hal. Salah satu teori yang mendasari underpricing adalah risk-averse underwriter.
Penelitian ini dilakukan di Bursa Efek Jakarta, dengan periode pengamatan/penelitian tahun 1994 - 1996. Pemilihan periode pengamatan didasarkan pertimbangan setelah swastanisasi BEJ, dari Januari tahun 1994 sampai dengan Mei 1995 IHSG cenderung bergerak turun ( bear market) dan dari Juni 1995 sampai dengan Desember 1996 IHSG cenderung bergerak naik ( bull market).
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji perilaku harga saham perdana, khususnya perbedaan underpricing-nya, baik antara bear market dengan bull market, antar kelompok industri, antar berbagai kelompok kapitalisasi pasar, antar kelompok offering size, maupun antar kelompok BE/ME.
Sampel dalam penelitian ini sebanyak 85 perusahaan, yaitu perusahaan yang melakukan penawaran umum perdana pada tahun 1994 sebanyak 47 perusahaan, tahun 1995 sebanyak 22 perusahaan dan tahun 1996 sebanyak 16 perusahaan. Dan 85 penawaran perdana itu, 54 termasuk dalam periode bearish, 31 bullish.
Underpricing saham perdana ditentukan oleh besarnya rata-rata initial return (IR) dan rata-rata abnormal return ( AR ) yang meliputi AR hari ke-1, AR minggu ke-1, AR minggu ke-2, AR minggu ke-3 dan AR minggu ke-4, baik dengan pendekatan market adjusted maupun dengan pendekatan market model.
Pengujian terhadap perbedaan underpricing saham perdana pada bear market dan pada bull market dilakukan dengan uji z (untuk sampel besar) dan uji t ( untuk sampel kecil ). Sedangkan pengujian terhadap perbedaan underpricing saham perdana antar industri, antar kelompok kapitalisasi pasar, antar kelompok size, dan antar kelompok BE/ME dilakukan dengan metode statistik parametrik ( t-test dan analysis of variance ) dan metode statistik non parametrik ( Mann-Whitney dan Kruskall Wallis ).
Dari analisis yang dilakukan ternyata underpricing saham perdana pada bear market tidak lebih besar dari underpricing saham perdana pada bull market, baik dilihat dari rata-rata IR maupun dilihat dari rata-rata AR ( baik pendekatan market adjusted maupun pendekatan market model ).
Underpring saham perdana pada berbagai industri juga tidak ditemukan adanya perbedaan yang signifikan, kecuali pada minggu ke-4 setelah saham diperdagangkan di pasar sekunder. Tidak terdapat pola tertentu yang menunjukkan suatu industri tertentu mempunyai rata-rata IR atau rata-rata AR tertinggi (terendah ).
Perbedaan underpricing saham perdana antar kelompok kapitalisasi pasar sangat signifikan jika dilihat dari rata-rata IR, tetapi menjadi tidak signifikan jika dilihat dari rata-rata AR. Secara urnum rata-rata IR dan rata-rata AR tertinggi terjadi pada kelompok saham yang berkapitalisasi pasar paling besar, tetapi rata-rata IR dana rata-rata AR terendah yang terjadi pada kelompok saham yang berkapitalisasi pasar paling kecil adalah JR, AR hari ke-1 dan AR Minggu ke-1. Dari pengujian yang dilakukan terhadap kelompok saham yang mempunyai kapitalisasi pasar paling besar dengan kelompok saham yang mempunyai kapitalisasi pasar paling kecil mendukung hasil tersebut. Sedangkan antara IR dan kapitalisasi pasar mempunyai hubungan yang positif dan signifikan.
Perbedaan underpricing saham perdana pada berbagai kelompok offering size ternyata juga sangat signifikan jika dilihat dan rata-rata IR. Sedangkan bila dilihat dari rata-rata AR, perbedaan tersebut signifikan setelah 1 minggu dan 2 minggu saham diperdagangkan di pasar sekunder. Hasil tersebut juga didukung oleh pengujian terhadap dua kelompok offering size yang ekstrim, yaitu kelompok offering size terbesar dan kelompok offering size terkecil. Jika dilihat dari koefisien korelasi, maka IR dan offering size mempunyai hubungan yang positif dan signifikan.
Underpricing saham perdana antar kelompok BE/ME ditemukan adanya perbedaan yang signifikan bila dilihat dan rata-rata IR ( diuji dengan Kruskal-Wallis ). Pengujian terhadap kelompok BE/ME yang ekstrim juga mendukung basil tersebut (uji Anova dan Kruskal-Wallis ). Rata-rata IR dan rata-rata AR tertinggi terjadi pada kelompok BE/ME terkecil, dan terendah terjadi pada kelompok BE/ME paling besar tetapi hanya untuk IR dan AR hari ke-1. Adapun hubungan antara IR dan BE/ME adalah negatif dan signifikan.
Dengan pendekatan market adjusted, pola cumulative average abnormal return pada kedua pasar mempunyai kecenderungan yang berbeda, yaitu pada bear market CAR cenderung stabil dan mulai menunjukkan penurunan setelah minggu ke-25. Sedangkan pada bull market, pada awal perdagangan di pasar sekunder menunjukkan peningkatan dan berlanjut sampai minggu ke-5, kemudian cenderung menurun, dan mulai meningkat lagi pada minggu ke-26. Pola / kecenderungan tersebut terjadi juga jika digunakan pendekatan market model. Dengan demikian speculative-buble hypothesis terbukti berlaku pada periode bearish, sedangkan pada periode bullish hipotesis tersebut tidak berlaku, namun pembuktian signifikansinya perlu diadakan penelitian lebih lanjut.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dihin Septyanto
"ABSTRAK
Pasar modal merupakan alternatif sumber pendanaan bagi perusahaan terutama untuk jangka panjang dan apabila alternatif sumber dana lainnya terbatas, yaitu dengan cara menjual sebagian saham perusahaan kepada masyarakat (go public). Penjualan saham perdana oleh perusahaan, sejak diaktifkannya pasar modal.melalui deregulasi-deregulasi tampaknya mulai ada kecenderungan penurunan harga sahamnya setelah tercatat di B E J. Hal tersebut tampak, bahwa dalam bulan Juni 1994, dari 182 saham yang tercatat sampai dengan akhir bulan Mei 1994, ternyata 113 saham (62,09 %) mengalami penurunan harga dan sepertinya telah terjadi koreksi pasar terhadap saham perdana.
Dalam penelitian ini, gejala koreksi pasar terhadap harga perdana dilihat pada perkembangan imbalan saham perdananya, yaitu imbalan bagi pemodal yang membeli saham di pasar perdana dan menjuainya lagi di pasar sekunder dengan jangka waktu kepemilikan sampai dengan 12 ( dua belas ) bulan. Selain hal tersebut, pada penelitian ini juga diamati perbedaan aantara saham perdana dengan saham sekunder, yaitu untuk mengamati kecenderungan adanya perubahan harga saham perdana setelah tercatat di pasar sekunder. Disamping itu diamati pula tentang reaksi dari harga saham-saham tersebut terhadap adanya informasi yang baru.
Hasil analisis data terhadap 47 saham perdana yang tercatat di Bursa Efek Jakarta sejak bulan Januari 1991 sampai dengan bulan Oktober 1993, menunjukkan bahwa memang terjadi perbedaan yang signifikan antara saham perdana dan sekunder. Dalam analisis data juga menunjukkan bahwa semakin lama saham baru dimiliki semakin naik imbalan sahamnya dan untuk kemudian turun kembali. Selain hal tersebut tampak pula bahwa semakin lama saham baru dimiliki pemodal, maka semakin besar pula resiko penyimpangannya.
Hasil penelitian ini menunjukkan pula bahwa para pemodal masih dapat memperoleh abnormal return satu bulan setelah saham-saham tersebut diperdagangkan di pasar sekunder serta masih dijumpai,adanya abnormal return yang negatif dan signifikan pada bulan keenam dan keduabelas, yang berarti terjadi peningkatan pada harga. Adanya kecenderungan para pemodal masih bisa memperoleh abnormal return tersebut, menunjukkan bahwa efisiensi pasar modal dalam bentuk setengah kuat, masih belum terpenuhi di Bursa Efek Jakarta. Dengan semakin berkembangnya peraturan, diharapkan masyarakat pemodal semakin mampu dalam mencerna dan menganalisis suatu informasi, yang relevan yang tersedia bagi mereka, sehingga efisiensi pasar modal dapat tercapai.
"
1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1992
S18263
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi A. Lukito
"Seiring dengan perkembangan perekonomian dan persaingan yang semakin ketat, kelangsungan hidup maupun kesempatan berkembangnya suatu perusahaan sangat dipengaruhi oleh ketersediaan dana serta akses terhadap sumber dana yang tersedia. Alternatif sumber pendanaan bagi perusahaan umumnya berasal dari modal sendiri atau hutang. Pinjaman dari bank merupakan salah satu sumber pendanaan utama bagi sebagian besar perusahaan di Indonesia. Deregulasi Pakto '88 memberi kemudahan persyaratan pendirian bank, sehingga mengakibatkan munculnya sejumlah bank-bank baru.
Menghadapi kesempatan investasi yang menguntungkan dalam kondisi keterbatasan modal, maka pendanaan melalui hutang kepada bank merupakan cara yang relatif cepat bagi perusahaan untuk dapat merealisasi peluang-peluang yang ada. Selanjutnya terjadi ekspansi kredit yang tak terkendali dan peningkatan jumlah kredit macet yang cukup berarti. Tetapi penggunaan pinjaman bank yang berlebihan justru akin berpengaruh negatif pada cash flow perusahaan. Apalagi saat ini kondisi perbankan nasional sedang mengalami keguncangan karena krisis moneter.
Sumber pendanaan lain yang layak untuk dipertimbangkan adalah sumber dana yang memberikan biaya lebih murah dibanding pinjaman bank. Penerbitan saham atau pendanaan melalui pasar modal adalah alternatif selain hutang bank pada saat suku bunga bank tinggi. Selain memperoleh sumber pendanaan, perusahaan juga mendapat keuntungan lain. Sebagian dana yang diperoleh dapat digunakan untuk membayar hutang bank, dengan demikian beban bunga dan cicilan menjadi ringan. Struktur modal menjadi lebih baik dengan turunnya rasio debt to equity.
"
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2001
T18847
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Farah Syahdina
"Semakin baik kondisi ekonomi suatu perusahaan yang dicerminkan pada laporan keuangan, maka semakin tinggi harga saham perusahaan dan akan berdampak pada tingginya return saham atau deviden yang akan diperoleh investor. Dengan alasan inilah maka perusahaan akan mencoba untuk mernbuat laporan keuangan yang sebaik mungkin apabila akan menerbitkan saham, terutama pada Penawaran Umum Perdana atau Initial Public Offering (IPO). Dalam proses IPO juga terdapat asimetri informasi diantara pengusaha yang perusahaannya akan go publik dan potensial investor. Matra dalam kondisi ini insentif mungkin muncul bagi perusahaan untuk memanipulasi atau mengelola laba yang dilaporkan. Hal ini juga diutarakan oleh Schipper (1989). Selain itu, adanya kelonggaran yang dinikmati perusahaan dari prinsip akuntansi dan ketentuan PSAK yang dapat diterapkan, membuat perusahaan lebih leluasa untuk melaparkan laporan keuangannya dengan keadaan sebaik mungkin, dalam hal ini melakukan pengelolaan laba atau manipulasi laba Beberapa studi telah menguji pelaporan laba seputar saham IPO. Friedlan (1994); Teoh et al. (1998) dan DuCharme et al. (2001) semua melaporkan bukti empiris dimana terdapat pengelolaan laba untuk perusahaan yang akan go publik Studi lain oleh Teoh et al. (1998b) menyediakan bukti empiris bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara managed accrual yang diukur selama tahun penawaran dengan return saham selama tiga tahun setelah periode IPO. Dalam studi lain, Teoh et al. (1998) juga menemukan bahwa managed accrual pada tahun penawaran berhubungan negatif dengan laba setelah penawaran.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk melihat hubungan antara pengelolaan Iaba melalui akrual yang dilakukan perusahaan sebelum IPO den variabel kontrol lainnya sebagai sinyal kualitas perusahaan dengan harga saham perdana yang diukur berdasarkan PBV. Penelitian ini juga menganalisa dampak negatif pengelolaan laba melalui managed accrual pada kinerja perusahaan setelah IP0 yang diukur berdasarkan perubahan industry adjusted ROE dan abnormal return.
Dalam rangka mencapai tujuan penelitian maka dilakukan uji statistik pada perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Jakarta periode 1995 sampai dengan 2000. Sampel yang diperoleh sebanyak 65 perusahaan dengan jumlah 260 data observasi. Model persamaan regresi Iinier berganda digunakan dalam menganalisis basil penelitian. Untuk proxi pengelolaan laba diidentifikasi melalui model Jones dan dua model modibkasi dari model Jones.
Hasil penelitian ini memberikan bukti bahwa terdapat hubungan positif dan signifikan antara arus kas (CFO) dengan PBV pada kedua regresi balk total akrual dan modal kerja akrual untuk seluruh model. Untuk unmanaged accrual dari total akrual (TAUMA) terdapat bukti adanya hubungan positif dan signifikan pada seluruh model regresi. Hasil ini sesuai dengan penelitian DuCharme et al.(2001). Penelitian ini juga menemukan adanya hubungan positif dan signifikan antara managed accrual dan total akrual (TAEM) dengan PBV pada ketiga model regresi. Ini artinya perusahaan cenderung untuk melakukan pengelolaan laba oportunistik untuk meningkatkan PBV. Masa ini sesuai dengan penelitian Teoh et al.(1998).
Berbeda dengan regresi total acrual, pada regresi modal kerja akrual, unmanaged accrual dari modal kerja akrual (WCUMA) secara signifikan tidak berpengaruh pada perubahan PBV. Demikian pula dengan managed accrual dari modal kerja akrual (WCEM) dimana tidak ditemukan basil yang signifikan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Many (2001). Adanya perbedaan basil antara regresi pengelolaan laba berdasarkan total akrual dengan modal kerja akrual diatas, dapat disimpulkan bahwa perusahaan lebih cenderung untuk melakukan pengelolaan laba yang bersifat jangka panjang.
Untuk variabel kontrol lainnya didapatkan bukti adanya hubungan positif dan signifikan antara Retained Ownership (RO) dengan PBV pada seluruh model regresi. Begitu pula untuk sinyal kualitas perusahaan yang berkenaan dengan underwriter didapatkan bukti adanya hubungan positif dan signifikan, walupun hanya pada regresi total akrual standard model. Ini artinya perusahaan lebih mernilih menggunakan underwriter dengan reputasi balk. Hubungan positif dan signifikan juga terdapat pada variabel dummy Year yang menggambarkan adanya kecenderungan PBV pada masa non krisis lebih tinggi dari PBV pada masa krisis. Dan untuk variabel pertumbuhan penjualan (GSA.,) dan Auditor keduanya tidak menunjukkan angka yang signifikan untuk seluruh model regresi yang berarti tidak berpengaruh pada variabel PBV. Hubungan yang berlawanan dengan ekspektasi terjadi antara variabel Risk dan PBV, dimana pada penelitian ini didapatkan adanya bukti hubungan positif dan signifikan pada regresi modal kerja akrual standard model. Penelitian Utama (1998) juga mendapatkan basil serupa Selanjutnya peneliti menganalisa dampak negatif pengelolaan laba melalui managed accrual terhadap kinerja perusahaan yang diukur berdasarkan perubahan industry adjusted ROEt+1. Untuk managed total accrual (TAEMt.I) yang dilakukan sebelum IPO mendapatkan hubungan yang tidak signifikan dengan perubahan industry adjusted ROEt+t. Sedangkan pada variabel TAEMt terlihat adanya hubungan yang negatif dan signifikan. Hal ini mencerminkan adanya pengelolaan laba oportunistik untuk meningkatkan laba dan PBV, tetapi laba ini tidak mencerminkan kondisi perusahaan yang sebenarnya maka adanya proses accrual reverse akan memaksa laba dimasa mendatang turun soma besar dan akan berdampak pada turunnya ROEt+1? Hasil negatif dan signifikan juga terlihat pada akumulasi managed total accrual antara sebelum IPO dan tabula IPD (STAEM).
Selanjutnya dilakukan regresi untuk menganRlisa dua komponen total akrual secara terpisah yaitu modal kerja dan non modal kerja akrual yang bertujuan untuk menguji besamya pengaruh masing-masing kedua komponen tersebut dan melihat komponen yang lebih signifikan mempengaruhi ROE.
Pada regresi pertama pengujian dampak managed working capital accrual (WCEM) dan managed non working capital accrual (NWCEM) yang dilakukan sebelum WO mendapatkan basil adanya hubungan negatif tetapi tidak signifikan. Sedangkan pada pengujian dampak WCEMt terlihat hubungan yang negatif dan signifikan. Maka dapat disimpulkan bahwa perusahaan yang melakukan pengelolaan laba jangka pendek akan merasakan dampak negatifnya terhadap ROE dalam waktu yang relatif pendek yaitu satu tahun setelah IPO.
Demikian halnya NWCEMt terdapat hubungan yang negatif dan signifikan. Hal ini mungkin terjadi karena pada tahun IPO perusahaan banyak melakukan manipulasi akrual NWCEM yang bersifat jangka panjang yang akan menyebabkan accrual reverse pada tahun berikutnya karena tingginya NWCEM. Pada regresi berikutnya didapat hasil SWCEM mempunyai hubungan negatif tetapi tidak signifikan. Namun pada SWNCEM hasilnya negatif dan signifikan yang berarti akumulasi pengelolaan laba jangka panjang dilakukan pada sebelum dan pada tahun IPO berdampak negatif pada ROE selanjutnya.
Variabel Year yang dihasilkan menunjukkan koefisien positif dan signifikan pada keenam regresi baik berdasarkan total akrual ataupun setelah dibagi menjadi dua komponen akrual, hal ini dapat membuktikan adanya perbedaan besarnya perubahan industry adjusted ROE, dimana pada periode non krisis cenderung lebih tinggi dibanding pada periode krisis.
Berikutnya dilakukan pula regresi untuk menganalisa dampak negatif pengelolaan laba terhadap kinerja perusahaan yang diukur melalui abnormal return perusahaan. Pada variabel TAEMt4 tidak ditemukan hubungan yang signifikan. Sebaliknya untuk variabel TAEMt ditemukan adanya bukti dampak negatif yang signifikan mempengaruhi abnormal return. Ini artinya investor yang pada awalnya mempunyai harapan yang tinggi dari pertumbuhan laba masa depan selanjutnya tidak dapat terpenuhi. Dengan kata lain investor dan para analis telah disesatkan oleh pengelolaan laba yang oportunistik yang dilakukan pada tahun IPO. Hasil ini sesuai dengan penelitian oleh DuCharme et al. (2001). Tetapi jika pengelolaan laba satu tahun sebelum dan pada saat IPO digabungkan (STAEM) kembali tidak signifikan. Ini mungkin disebabkan TAEM yang tidak signifikan lebih dominan dibandingkan TAEMt yang signifikan.
Hasil yang sama juga didapatkan ketika pengelolaan laba total akrual di pisah menjadi dua komponen yaitu modal kerja dan non modal keija akrual. Dimana pada variabel WCEM dan NWCEM tidak didapat hasil yang signifilkan. Begitu pula. untuk variabel WCEM dan NWCEMt dimana hasilnya dapat membuktikan bahwa pengelolaan laba pada tahun IPO ternyata signifikan mempengaruhi penurunan abnormal retumt+I. Hal yang sama juga terjadi pada akumulasi pengelolaan laba antara sebelum dan pada tahun IPO baik pada SWCEM dan SNWCEM, dimana mendapatkan hasil yang tidak signifikan.
Untuk variabel Year pada keenam regresi yang menghubungkan managed accrual dengan abnormal retum walaupun didapat hubungan positif tetapi tidak signifikan, maka dapat disimpulkan tidak terdapat perbedaan antara abnormal return periode non krisis dengan krisis. Hal ini mungkin disebabkan perusahaan sampel penelitian adalah perusahaan IPO yang mempunyai kecenderungan berkembang dan tumbuh dengan cepat den berdampak pada tingginya abnormal return. Dan hal ini tidak dipengaruhi oleh keadaan dalarn mesa krisis atau tidak.
Penelitian ini memiliki keterbatasan yang mungkin dapat diperbaiki pada penelitian lanjutan yaitu periode pengamatan yang singkat dan sedikitnya jumlah sampel serta adanya kelemahan model Jones dalam mengidentifikasi pengelolaan laba, Perlu juga untuk mengkontrol tingkat disclosure yang berbeda pada tiap perusahaan yang dapat mempengaruhi basil penelitian dan memperluas penelitian dengan menganalisa rasio keuangan lain yang berpengaruh pada pengelolaan laba."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2002
T20195
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>