Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 215233 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Hubertus Hasan
"ABSTRAK
Dalam sistem perencanaan Pembangunan Nasional, Bappeda Tingkat II merupakan badan staf yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Bupati kepala derah Tingkat II Badan tersebut mempunyai tugas membantu Bupati Kepala Daerah Tingkat II dalam menentukan kebijaksanaan, evaluasi, monitoring pembangunan dan melaksanakan kegiatan perencanaan pembangunan di daerah dengan mengusahakan keterpaduan antara rencana nasional dan daerah. Salah sate fungsi dari tugas pokok tersebut adalah menyusun program-program tahunan sebagai pelaksanaan dan Pola Dasar Pembangunan Daerah dan Repelita Daerah.
Dalam menyusun program tahunan, khususnya program sosial tahunan kemampuan adnninistratif Bappeda Tingkat II Kabupaten Bandung, yang dijadikan sebagai studi kasus termasuk dalam kategori rendah. Sebab, cara merumuskan program/proyek sosiaal tahunan dan hasilnya belum mencerrminkan asumsi dasar, prinsip dan ciri ciri perencanaan sosial. Hal ini ditunjukan oleh program/proyek sosial tahunan yang dirumuskan masih bersifat penyediaan fasilitas pelayanan. Belum melihat aspek manusia sebagai pusat dan potensi pembangunan. Pendekatan dalam merunniskan program/proyek masm cenderung dari atas sehingga belum menampung aspirasi masyarakat bawah.
Hasil yang dicapai oleh Bappeda Tingkat II Kabupaten Bandung seperti tersebut di atas, temyata dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan ekstemal organisasi Bappeda Tingkat II Faktor internal yang mempengaruhi adalah struktur organisasi, sistem informasi manajemen, fasilitas partisipasi dan fasditas interaksi dengan lingkungan. Faktor tersebut belum berfungsi secara maksimal dalam merumuskan program-program sosial tahunan. Faktor eksternal yang mempengaruhi hasil kerja Bappeda Tingkat II adalah kedudukan Bappeda Tingkat II dalam sistem perencanaan nasional "
1995
T2499
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
M. Djamilludin
"ABSTRAK
Dalam undang undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokokdi daerah, ditegaskan bahwa titik berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II yakni Kabupaten Kotamadya Daerah Tingkat II. Tujuan pemberian otonomi adalah untuk memungkinkan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna layanan pelaksanaan pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Ibukota Kabupaten berfungsi sebagai tempat kedudukan Kepala Daerah sekaligus kepala Wilayah, secara fungsional merupakan pusat pemerintahan, pembangunan dan layanan masyarakat harus Pokok Pemerintahan penyelenggaraan pemerintahan, masyarakat dan benar-benar terlaksana. Bagi Ibukota-Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II yang belum sepenuhnya menjalankan ke tiga fungsi tersebut, maka dalam rangka pembinaan kota dapat dilakukan pemindahan Ibukotanya. Landasan yuridis pemindahan Ibukota kabupaten Daerah Tingkat II terdapat dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah pasal 4 ayat 3 yang berbunyi : Perubahan batas yang tidak mengakibatkan suatu Daerah, perubahanan nama Daerah, dan pemindahan ibukotanya ditetapkan dengan penghapusan serta perubahan nama Peraturan Pemerintah. Prioritas pemindahan Ibukota dilaksanakan bagi ibukota Tingkat II yang berada di wilayah yurisdiksi Kotamadya Daerah Tingkat II. Sejak 5 tahun 1974, telah ada 15 buah Kabupaten Daerah pemerintahan lain Cbaca berlaku Undang-Undang nomor Tingkat II yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah untuk dipindahkan dan baru 10 buah Ibukota kabupaten yang telah melaksanakan pemindahan ibukota kabupaten Daerah Daerah Tingkat II secara fisik. Pemindahan Ibukota kabupaten Daerah Tingkat II yang berlokasi dan sekaligus berfungsi sebagai Kota Administratif seperti Tangerang, selama ini belum pernah terjadi, kecuali Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II yang berfungsi sebagai Kota Administratif dan sekaligus Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I, seperti Kabupaten Kendari. Penelitian mengenai pemindahan Ibukota kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang menggunakan tipe penelitian deskriptif - analitis. Dalam Draft Sementara Pedoman Pemihdahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II disebutkan Empat kriteria yang harus dimiliki oleh alternatif lokasi Ibukota kabupaten Daerah Tingkat II yang baru adalah kriteria strategis, teknis, fungsional dan efisiensi biaya pembangunan. Adapun atribut yang dipakai meliputi Jumlah penduduk, kepadatan penduduk, migrasi penduduk, sentralisasi lokasi, topografi, perdagangan, prasarana perhubungan, lapangan kerja, tanah pertanian, kepadatan pemukiman dan status tanah. perkembangan penduduk, Dari hasil perhitungan alternatif lokasi Ibukota kabupaten Daerah Tingkat II yang baru, baik itu yang dibuat oleh Departemen Dalam Negeri maupun dengan menggunakan Multiatribute Utility Analysis MAU diperoleh Kecamatan Tigaraksa yang paling memenuhi persyaratan terbaik."
1990
S10639
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Djamilludin
"ABSTRAK
Dalam undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di daerah, ditegaskan bahwa diletakkan pada Daerah Tingkat II yakni Kabupaten / Kotamadya Daerah Tingkat II. TujUan pemberian otonomi adalah untuk memungkinkan daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, dalam rangka meningkatkan daya guna dan hasil guna masyarakat pelaksanaan pembangunan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka Ibukota Kabupaten berfungsi sebagai tempat kedudukan Kepala Daerah sekaligus kepala Wilayah, secara fungsional merupakan pusat pemerintahan, pembangunan dan layanan masyarakat harus benar-benar terlaksana. titik berat otonomi penyelenggaraan pemerintahan, layanan dan Bagi Ibukota-Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II yang belum sepenuhnya menjalankan ke tiga fungsi tersebut, maka dalam rangka pembinaan kota dapat dilakukan pemindahan Ibukotanya. Landasan yuridis pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II terdapat dalam Undang-undang nomor 5 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah pasal 4 ayat (3) yang berbunyi : Perubahan batas yang tidak mengakibatkan penghapusan suatu Daerah, perubahanan nama Daerah, serta perubahan nama dan pemindahan ibukotanya ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Prioritas pemindahan Ibukota dilaksanakan bagi ibukota Tingkat II yang berada di wilayah yurisdiksi Kotamadya Daerah Tingkat II). Sejak 5 tahun 1974. telah ada 15 buah Kabupaten Daerah pemerintahan lain (baca berlaku Undang-Undang nomor t Tingkat II yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah untuk dipindahkan dan barU 10 buah Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II yang telah melaksanakan pemindahan ibukota Kabupaten Daerah secara fisik. Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II yang berlokasi dan sekaligus berfuhgsi sebagai Kota Administratif seperti Tangerang, selama ini belum pernah terjadi, kecuali Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II yang berfungsi sebagai Kota Administratif dan sekaligus Ibukota Propinsi Daerah Tingkat I, seperti Kabupaten Kendari. Penelitian mengenai pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II Tangerang menggunakan tipe penelitian deskriptif - analitis. Dalam Draft Sementara Pedoman Pemindahan Ibukota Kabupaten Daerah Tingkat II disebutkan Empat kriteria yang harus dimiliki oleh alternatif lokasi Ibukota kabupaten Daerah Tingkat II yang baru adalah kriteria strategis, teknis, fungsional dan efisiensi biaya pembangunan. Adapun atribut yang dipakai meliputi jumlah penduduk, kepadatan penduduk, migrasi penduduk, perkembangan penduduk, sentralisasi lokasi, topografi, perdagangan, prasarana perhubungan, lapangan kerja, tanah pertanian, kepadatan pemukiman dan status tanah. Dari hasil perhitungan alternatif lokasi Ibukota kabupaten Daerah Tingkat II yang baru, baik itu yang dibuat oleh Departemen Dalam Negeri maupun dengan menggunakan Multiatribute Utility Analysis (MAU) diperoleh Kecamatan Tigaraksa yang paling memenuhi persyaratan terbaik."
1990
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eddy Rudianto
"Analisis kemampuan dan kemauan membayar masyarakat terhadap tarif pelayanan kesehatan bertujuan untuk mendapatkan gambaran kemampuan membayar (ATP) dan kemauan membayar (WTP) terhadap- tarif pelayanan kesehatan di Puskesmas Cikole Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung, dikaitkan dengan adanya perubahan tarif dan Rp. 700,- menjadi Rp. 2000,- sesuai Perda No. X Tahun 1997. Penelitian merupakan analisis deskriptif dengan rancangan cross sectional. Pengumpulan data dengan mengadakan wawancara menggunakan kuesioner yang mengacu pada instrumen Survey Sosial Ekonomi Nasional 1995 terhadap keluarga yang pernah berobat ke Puskesmas setelah adanya kenaikan tarif. Hasil penelitian dideskripsikan melalui analisis persentase masyarakat yang "tersingkir" pada tarif tertentu. Hasil analisis antara lain terlihat masyarakat masih mempunyai kemampuan dalam membayar tarif Puskesmas sesuai Perda No. X Tahun 1997. Hal ini ditunjukkan dalam simulasi ATP1 (pengeluaran bukan makanan) dan ATP2 (pengeluaran non esensial), sedangkan bila disimulasikan dengan ATP3 (5% pengeluaran bukan makanan) maka sebesar 6% masyarakat akan "tersingkir ". Apabila biaya pelayanan berada di atas tarif yang ditetapkan yaitu misalnya ditambah dengan adanya pembebanan bagi pembelian jarum suntik, dimana tambahan biaya pembebanan juga meningkat dengan adanya kenaikan harga akibat krisis moneter akan mengakibatkan biaya pelayanan Puskesmas Cikole semakin tinggi, dan semakin banyak masyarakat yang tersingkir dari pelayanan Puskesmas. Turunnya kunjungan Puskesmas Cikole setelah diberlakukannya tarif baru - Rp.2000,- bukan sekedar disebabkan oleh adanya peningkatan tarif tersebut, tetapi merupakan dampak akumulatif dari adanya peningkatan tarif dan situasi moneter. Masyarakat yang tersingkir perlu didukung dengan program kartu sehat dan juga melaksanakan efisiensi biaya operasional untuk mengurangi pembebanan biaya pelayanan.

People's Ability to Pay and Willing to Pay Analysis upon the Health Service Tariff of Puskesmas Cikole, Kabupaten Daerah Tingkat II BandungPeople's ability to pay and willing to pay analysis upon the health service tariff' is aimed for getting the view of ability to pay and willing to pay upon the health service tariff at Puskesmas Cikole Kabupaten Daerah Tingkat II Bandung, related to the increasing tariff from Rp. 700,- to Rp. 2000,- according to Perda No. X /1997. This research is a descriptive analysis with cross sectional outline. The data gathered by carrying out interviews using questionaires according to " Survey Sosial Ekonomi Nasional 1995 " instrument to the families who have gone to get a medicaL treatment at the Puskesmas after the tariff increasing. The result of this reseach is described through the percentage analysis of people eliminated at a certain tariff. From the analysis, it seems that people still have the ability to pay Puskesmas tariff according to Perda No. X / 1997. This is shown in ATP 1 ( non - food expenses ) and ATP 2 ( non - essensial expenses) simulation, whereas if it was simulated by the ATP 3 ( 5% non - food expenses ), the 6 % of people will be eliminated. If the service cost is higher than the stated tariff; for example, addition with expenses for purchasing syringe, where the addition was also increased by the increasing prices as the result of monetary crisis, will make the service cost at Puskesmas Cikole higher, and more people will be eliminated from the Puskesmas services. The decreasing visits to Puskesmas Cikole after the new tariff Rp. 2000,-implemented, is not only because of the increase tariff; but also a cummulative effect from the increased tariff and monetary situation. The peoplie who are eliminated need to be supported by the " Kartu Sehat " program and also by carrying out operational cost efficiency to lessen cost burdening."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmad Sobana
"Dalam GBHN, masyarakat adalah pelaku utama pembangunan nasional, pemerintah membimbing, mengarahkan serta menciptakan ildim usaha yang menunjang. Kegiatan masyarakat dan pemerintah saling mengisi, saling melengkapi dan saling mendukung. Hal tersebut berarti pemerintah memberikan peranan yang besar pada dunia usaha dan berupaya memberdayakan masyarakat dengan mendorong, mengembangkan pralcarsa serta kreatifitas masyarakat. Diterbitkannya UU no. 1 Tabun 1967 tentang PMA dan TJU no. 6 tahun 1968 tentang PMDN, dan serangkaian kebijakan di sektor moneter, fiskal serta perdagangan, rnerupakan upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif untuk menarik penanaman modal. Pengaturan serta pelayanan perijinan penanaman modal bukan saja dilakukan oleh instansi di tingkat pusat saja, melainkan juga oleh instansi di daerah.
Masalahnya seberapa jauh pengaturan dan pelayanan perijinan di daerah agar tetap konsisten dengan kebijakan dan tatkala pelayanan perijinan yang ditetapkan oleh pusat. Tata laksana pelayanan ijin menyangkut tata cara, prosedur dan sistem kerja pelaksanan fungsi dan tugas pemerintahan yang bersifat sederhana, terbuka, lancar, tepat waktu serta memberikan jaminan dan perlindungan pada pemohon ijin.
Dengan metode penelitian deskriptif analisis dilakukan pengumpulan dan penelusuran pengaturan perijinan penanaman modal mulai dari tingkat kebijakan sampai pelaksanaan pelayanan ijin di Kabupaten Bandung unit studi kasus. Di samping itu dilakukan pula penelitian kepustakaan untuk mengungkap pandangan para pakar di bidangnya masing-masing yang relevan serta mendukung dan mempertajam penelusuran kebijakan dan pengaturan serta pelaksanaan pelayanan perijinan.
Hasil penelitian dengan metode seperti diuraikan diatas, ditemukan tata laksana pelayanan ijin lokasi pembebasan tanah, yang ditetapkan dalam Keputusan Bupati Kepala Daerah tahun 1991 dan memungut retribusi perijinan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tahun 1981 dan 1992. Prosedure dan pemungutan retribusi tersebut di atas tidak konsisten dengan kebijakan penyederhanaan perijinan yang ditetapkan oleh pusat.
Hai tersebut terjadi karena Kepala Wilayah, alat pusat di daerah tidak berfungsi mengawasi penyelenggaraan pemerintahan di daerah, dan dalam dirinya melekat jabatan Kepala Daerah Otonom yang bertanggung jawab dalam mengurus rumah tangganya lebih dominan. Disarankan mekanisme hubungan pusat dan daerah terintegratif dan optimal dalam mengendalikan dan mengawasi peraturan daerah untuk memelihara konsistensi kebijakan dan pengaturan pusat dan daerah."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triwandha Elan
"Untuk mewujudkan manusia yang berkualitas, perlu peningkatan kualitas manusia mulai sejak pembuahan. Peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak merupakan titik intervensi yang paling strategis dalam upaya tersebut. Kondisi kesehatan di Kabupaten Bogor masih memprihatinkan. Hal ini digambarkan dengan angka kematian bayi 67.67 per 1000 kelahiran hidup, dan angka kematian ibu 420 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu umumnya terjadi pada kelompok ibu hamil risiko tinggi. Disamping itu kematian bayi pada masa perinatal juga masih tinggi. Kematian ini seharusnya dapat dicegah, bila kelompok ibu hamil risiko tinggi terdeteksi sedini mungkin dan pelayanan pada masa perinatal ditingkatkan. Hal ini bisa dicapai dengan meningkatkan pelayanan kehamilan.
Pada penelitian ini telah dianalisis pelaksanaan kegiatan pelayanan kehamilan, dengan menggunakan indikator cakupan K1, K4, Fel, Fe3, TT1, dan TT2. Dianalisis keterkaitan antara cakupan pelayanan kehamilan dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan, pelayanan neonatal, deteksi ibu hamil risiko dan akseptor aktif per pasangan usia subur. Secara tidak langsung dapat pula diidentifikasi proporsi pertolongan persalinan oleh dukun dan persalinan yang tidak termonitor. Analisis dilakukan pada tingkat kabupaten dan tingkat kewedanaan.
Hasil analisis menunjukkan bahwa dibandingkan dengan target, pada seluruh kewedanaan di Kabupaten Bogor. Pencapaian K1 cukup baik {76 % - 102 %), namun pencapaian K4 masih kurang (57 % - 84 %). Bila ditinjau kualitas pelayanan kehamilan dengan indikator ?5T'', terlihat bahwa masih cukup banyak pemeriksaan kehamilan yang tidak memenuhi standar "5T" tersebut.
Pada penelitian ini terlihat bahwa pencapaian K1 dan K4 belum mampu " mengungkit " kegiatan kesehatan ibu dan anak yang lain, terutama terhadap cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan. Lebih lanjut lagi, bila cakupan K1 dibandingkan dengan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dan dukun, terlihat adanya persalinan di masyarakat yang tidak termonitor (15 % - 49 %).
Penelitian ini menunjukkan perlunya dilakukan analisis dan evaluasi lintas program yang berkesinambungan pada semua tingkat. Hasil analisis dan evaluasi lintas program tersebut perlu ditindaklanjuti untuk mempercepat peningkatan kualitas kesehatan ibu dan anak. Secara khusus perlu diperhatikan bahwa intervensi dan penentuan target tidak dapat disamakan untuk semua kecamatan. Kondisi dan potensi dari masing-masing wilayah perlu dipertimbangkan. Untuk mengkaji kualitas pelayanan kehamilan secara mendalam perlu dilakukan penelitian lebih lanjut yang mencakup aspek masukan, proses, dan keluaran.
Daftar Pustaka : 17 ( 1976 - 1997 )

The improvement of mother and child health is the most strategic factor in this effort. The health status in Bogor Regency is still very low. It is represented by infant mortality rate (IMR) 67.67 per 1000 life birth and mother mortality rate (NfNR) 420 per 100.000 life birth. Mother mortality generally happens to the group of high risk pregnant mother. Besides infant mortality rate in the prenatal period is still high. This mortality actually could be prevented, if the group of high risk pregnant mother is detected as early as possible and the service in the prenatal period enhanced. This case can be achieved by improving antenatal care.
In this research the performance of antenatal care activity has been analyzed by using indicator of Kl, K4, Fel, Fe3, TT1, dan TT2 coverage. Also being analyzed the relation between antenatal care coverage and birth coverage conducted by health worker, neonatal care, detection of high risk pregnant mother and active acceptor per fertile couple. Indirectly it also could be identified the proportion birth service by traditional medical practitioner. This analysis is conducted at regency and district level.
Analysis result shows that the achievement of K1 in all districts in Bogor Regency is quite good (76 % - 102 %), nevertheless the achievement of K4 is still low (57 % - 84 %). If antenatal care quality observed by using "5T' indicator, it's found many pregnant service which doesn't fulfill '5T' standard.
In this research also found that the achievement of K1 and K4 is still unable to "increase" another mother and child activities, especially concerning birth coverage by health worker. So far, if the Kl coverage compared with birth coverage by health worker and traditional medical practitioner, found child birth among the people which is un monitored (15 % - 49 %).
This research shows the importance of performing continuous program crossing analysis and evaluation for all levels. The result of crossing program analysis and evaluation should be followed up to accelerate the improvement of mother and child health quality. It is necessary to consider that intervention and target determination can't be similari2ed for all sub districts. Condition and potential of each sub districts is necessary to be considered.
To observe the quality of antenatal care in detail it is necessary to conduct further investigation that cover all input, process, output aspects.
Library list : 17 ( 1976 - 1997 )
"
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Warsono
"LATAR BELAKANG
Menurut sejarahnya, koperasi timbul sebagai akibat dari Revolusi Industri di Eropa sekitar tahun 1770 yang telah menimbulkan kesengsaraan bagi kaum buruh.
Pada tahun 1844 dikota Rochdale, lahirlah yang pertama kalinya koperasi atas inisiatif 28 orang buruh yang mengusahakan kebutuhan sehari-hari. Koperasi ini dipimpin oleh seorang buruh yang bernama Charles Howarth, dan koperasi tersebut diberi nama The Equitable of Rochdale, yang mempunyai arti "Pelopor-pelopor yang dapat dipercaya dari Rochdale".
Koperasi Rochdale mempunyai lima dasar pokok koperasi, yaitu:
a. Koperasi dikendalikan/dikemudikan oleh anggota-anggota sendiri.
b. Keuntungan dibagi antara anggota berdasar besarnya jasa-jasanya didalam memajukan koperasi.
c. Setiap orang dapat diterima menjadi anggota koperasi secara sukarela (VOLUNTARY), tanpa adanya paksaan dan tanpa memandang perbedaan politik, perbedaan kepercayaan/agama, modal dan lain-lain. Kepada setiap anggota koperasi diperkenankan mengundurkan diri dari keanggotaannya karena mereka menghendakinya.
d. Setiap anggota mempunyai hak dan kewajiban yang sama.
e. Sebagian dari laba disediakan untuk dana pendidikan.
Gerakan koperasi ini kernudian menyeberang kenegara-negara lain, termasuk juga kenegara Belanda, yang kemudian dibawa ke Indonesia.
Di Indonesia dapat dikatakan bahwa koperasi baru mulai tumbuh pada tahun 1896 di Purwokerto oleh seorang Patih yang bernama R. Aria Wiria Atmadja dengan mendirikan Bank Penolong dan Tabungan, yaitu suatu Lembaga yang mirip dengan koperasi. Mula-mula usahanya terbatas hanya untuk lingkungan priyayi/teman-temannya saja, tetapi setelah usahanya tersebut berhasil, mereka memperluas usahanya dikalangan pertanian, sehingga nama dari Banknya dianggap perlu untuk ganti nama yaitu Bank Penolong, Tabungan dan kredit Pertanian.
Kehidupan koperasi terutama pada masa penjajahan Belanda dan penjajahan Jepang mengalami pasang surut, karena pemerintah penjajah sengaja memecah belah persatuan serta menindas/memeras ekonomi bangsa Indonesia, sehingga citra koperasi menjadi benar-benar rusak.
Menurut Undang-undnng Republik Indonesia No. 12 Tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perkoperasian, Koperasi Indonesia adalah sebagai organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan, yang mempunyai fungsi:
a. Sebagai alat perjuangan ekonomi untuk mempertinggi kesejahteraan rakyat.
b. Sebagai alat pendemokrasian ekonomi nasional.
c. Sebagai salah satu urat nadi perekonomian Indonesia.
d. Sebagai alat pembina insan masyarakat untuk memperkokoh kedudukan ekonomi bangsa Indonesia serta bersatu dalam mengatur tata laksana perekonomian rakyat.
Uraian diatas mencerminkan bahwa pandangan hidup bangsa Indonesia yang sosialistis dengan semangat kolektivisme, dimana hal ini akan memperkuat sifat koperasi sebagai soko-guru perekonomian bangsa."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Spenyel, Womsiwor
"Air Bersih merupakan Kebutuhan dasar (Basic Need) yang sangat perlu bagi manusia. Sebagian besar tubuh manusia memperoleh sumbangan paling besar dari air untuk kehidupannya. Terpenuhinya kebutuhan air bersih dapat memberikan kesehatan dasar pada manusia, baik untuk minum, memasak makanan dan keperluan sehari-harinya. Kesehatan manusia ini dapat menunjang kegiatan manusia sebagai pelaku pembangunan.
Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan Jawa Tengah, memang dijuluki sebagai daerah gersang, yang tidak tanpa alasan. Kualitas dan kuantitas air yang belum memadai menyebabkan banyaknya penyakit yang berhubungan dengan hal itu berjangkit. Upaya penanggulangan sering dilak.ukan, namun masih sukar untuk menurunk.an jumlah penderita, bahkan dalam lima tahun terakhir ini, prioritas perhatian terhadap penyakit masyarakat masih cenderung didominasi oleh penyakit yang mempunyai hubungan dengan air yang kurang memadai. Hasil upaya mengurangi berjangkitnya penyakit-penyakit tersebut merupakan upaya memperbaiki komponen penting yang ikut menentukan derajat kesehatan masyarakat.
Salah satu cara yang dapat diperaunakan untuk: menanggulangi berjangkit secara luasnya penyakit tersebut yaitu dengan meningkatkan kuantitas penggunaan air, walaupun segi kualitasnya masih belum memenuhi standar. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian Saunders dan Was-ford pada tahun 1976 dengan hasil yang menunjukkan kemajuan pesat di bidang ini. Oleh karena itu, kualitas air yang nampaknya masih sukar diperbaiki dapat segera ditanggulangi dengan upaya mencapai target kuantitas.
Penelitian ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bahwa pencapaian target penyediaan air bersih yang dilaporkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Grobogan tidak sesuai dengan kenyataan lapangan dan bahwa aspek kelembagaan implementasi merupakan pokok penting yang hasus diperbaiki, sehingga dapat menunjang program air bersih mencapai target riil. Pencapaian target tersebut mendorong perbaikan derajat kesehatan dengan menurunnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan kuantitas dan kualitas air yang tidak memadai. Segi kelembagaan merupakan kelemahan dalam implementasi program pembangunan yang dimotori oleh pernerintah dalam upaya mensukseskan program air bersih. Kelemahan penelitian ini ada pada penggunaan teori implementasi yang lebih cenderung bagi model penelitian kasus. Selain itu, kendala paling berat adalah model penelitian survey dengan waktu dan tenaga yang tidak memadai sehingga banyak hal yang nampak, diselesaikan tergesa-gesa.
Faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan seperti: Komunikasi, Sumberdaya, Sikap/Watak dan Struktur Dirokrasi dalam kelembagaan implementasi program dapat memberikan sumbangan besar untuk perbaikan program, terutama pencapaian target kuantitas secara riil. Kelemahan kelembagaan pada faktor-faktor tersebut merupakan salah satu kunci pokok upaya mencapai target kuantitas air bersih yang dapat mendorong perbaikan kualitas harus benar terwujud dalam implementasi program air bersih. Dengan wujud nyata kelembagaan impiementasi yang baik dalam program-program pembangunan, maka sekaligus proses Administrasi Negara dapat menyentuh bidang kesehatan sebagai bagian pelayanan masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>