Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 120528 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Retno Wulandari
"Kegiatan pokok perdagangan eceran melakukan penjualan barang secara langsung kepada konsumen akhir dalam partai kecil. Bentuk usaha eceran terdiri dari usaha eceran tradisional dan modern. Bentuk usaha eceran secara tradisional umumnya masih menggunakan sarana toko atau pasar dan merupakan usaha perorangan dengan jumlah barang yang dijual terbatas macam dan jumlahnya. Bentuk usaha eceran lain adalah usaha eceran modern dengan modal besar yang menjual beragam barang (lengkap) dan memiliki tempat-tempat usaha yang strategis dengan berbagai sarana dan prasarana (one-stop shopping).
Ekspansi usaha pedagang eceran besar dan juga dengan terbukanva perdagangan eceran bagi penanam modal asing menimbulkan kekhawatiran usaha pedagang eceran kecil akan hancur. Selain itu, usaha perdagangan eceran dengan storeiless store seperti multilevel marketing, TV Shopping, dan lain-lain juga menambah persaingan dalam usaha eceran. Berdasarkan pengertian ini, persaingan yang terjadi dalam perdagangan eceran adalah antara sesama pedagang eceran besar baik lokal maupun asing. Meskipun demikian usaha untuk melindungi kepentingan pedagang eceran kecil sekaligus meningkatkan kualitas usahanya perlu dilakukan baik dari pihak pemerintah, khususnya Departemen Perindustrian dan Perdagangan, organisasi pedagang eceran, maupun akademisi. Usaha-usaha pokok dimaksud meliputi lokasi usaha, program kemitraan, dan perlindungan hukum.
Aspek perlindungan hukum yang masih perlu diperbaiki mencakup perizinan usaha, permodalan, kemitraan, distribusi barang dan persaingan usaha. Pengertian persaingan usaha yang sehat tidak hanya mencakup ketentuan hukum tertulis, namun mencakup pula pengertian hukum tidak tertulis seperti etika bisnis. Untuk mencegah persaingan usaha yang tidak sehat dalam usaha eceran terdapat dua Cara pokok, yaitu perbaikan peraturan perundang-undangan di bidang usaha eceran serta penegakannya dan peningkatan kualitas usaha pedagang eceran kecil.

The main activity of retailing business is to sell goods in small quantities to the end user. There are traditional and modern retailing businesses. The traditional retailing business usually uses shop or market in selling its limited quantity and variety of goods. The modern retailing business that owns big capital sells various goods. Its store locates in strategic business area and has modern facilities (one-stop shopping). This retailer is called big retailer.
The concern of the destruction of small retailers comes up since the expansion of the local big retailers as well as the disclosure of retailing business for foreign investment. The store less store such as multi-level marketing, TV Shopping, etc increases the competition on retailing business. Based on this research, the competition of retailing business occurs among local and foreign big retailers. The small retailers needs the government, particularly the Department of Industry and Commerce, retailers' organization, and academic institution assistance to protect the interest of small retailers as well as to enhance the quality of their businesses. Such assistances include the business location, partnership program and legal protection.
The aspects of legal protection that needs to be improved are business permit, capitalization, partnership, distribution of goods and business competition. The meaning of fair business competition covers the written law and unwritten law such as business ethics. There are two main methods in protecting the unfair competition on retailing businesses, i.e. the improvement of regulations on retailing business and its enforcement, as well as the enhancement of business quality of small retailers."
Depok: Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supandji Homdjidin
"Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia, memiliki kedudukan dan peranan yang penting, baik dalam mendukung dan memperlancar penyelenggaraan pemerintahan Negara Republik Indonesia, maupun dalam membangun masyarakatnya yang sejahtera, dan mencerminkan citra budaya bangsa Indonesia. Oleh karena itu upaya pembangunan dan pengembangan Jakarta perlu dilaksanakan secara mantap. Atas pertimbangan inilah untuk Jakarta disiapkan peraturan tersendiri berupa Undang-undang Republik Indonesia nomor 11 tahun 1990. Undang-undang ini mengatur tentang Susunan Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Jakarta. Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia yang setingkat dengan Propinsi lainnya adalah Tingkat I. Sebagai Daerah Tingkat I, Jakarta mempunyai ciri tersendiri berbeda dengan Daerah Tingkat I lainnya, yang bersumber dari beban tugas, tanggung jawab dan tantangan, yang lebih kompleks."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Moh. Dulkiah
"Dalam konteks transaksi, biasanya antara penjual dan pembeli selalu dikaitkan dengan perhitungan untung rugi dalam bentuk tawar-menawar. Seorang penjual berharap barangnya dapat dibeli dengan harga yang tinggi, begitu pun pembeli, berharap mendapatkan barang yang sesuai dengan keinginan dan harganya. Hubungan mereka biasanya hanya sebatas menjual dan membeli barang, tidak lebih dari itu.
Namun, ada juga pola transaksi yang tidak hanya bertujuan pada pembelian dan penjualan barang dalam jangka pendek semata, tetapi lebih mengarah pada pola transaksi yang sifatnya jangka panjang. Pola transaksi model ini biasanya disamping melakukan transaksi jual-beli, juga menerapkan hubungan relasional untuk mempertahankan kelangsungan usaha mereka. Dan prasyarat yang paling dominan dalam membangzm hubungan relasionaI ini adalah adanya saling percaya (mutual trust) dari masing-masing pihak yang menjalin hubungan tersebut.
Mengenai bagaimana cara membuat dan mempertahankan kepercayaan adalah permasalahan tersendiri yang dihadapi oleh para pedagang. Karena itu, penelitian ini berusaha untuk menelusuri pola-pola kepercayaan yang terbentuk dan terpelihara dikalangan pedagang serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, khususnya yang terjadi diantara pedagang grosir dan eceran di Pasar Induk Tegal Gubug Cirebon.
Secara metodologis, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan mendasarkan pada metode deskriptif Ada tiga teknik metode penggalian informasi pada penelitian ini, diantaranya: Pertarna, menggunakan studi dokumentasi, kedua, observasi di lapangan, dan ketiga, wawancara mendalam (indepth interview).
Sedangkan landasan teori yang digunakan adalah teori radius of trust Francis Fukuyama. Konsep ini meniscayakan adanya kriteria keberhasilan suatu kerja sama sangat dipengaruhi oleh besar kecilnya kepercayaan yang terbangun diantara pihakpihak yang melakukan kerjasama tersebut. Kerja sama akan berhasil bertahan lama jika didukung oleh norma-norma atau nilai-nilai yang mengandung derajat kepercayaan tinggi. Sebaliknya, kerja sama akan mullah hancur jika norma-norma atau nilai-nilai yang mendukungnya memiliki derajat kepercayaan rendah.
Dari penelitian ini ditemukan beberapa hal diantaranya: Pertama, hubungan relasional yang dilakukan para pedagang berupa penyediaan barang dan pembayaran dilakukan atas dasar saling percaya (mutual trust) dalam bentuk kesepakatankesepakatan informal. Mutual trust secara informal ini, terlihat dalam proses penyediaan barang dan pembayaran sistem kredit yang berfungsi bukan hanya memberikan pinjaman semata, tetapi lebih diorientasikan untuk menstabilkan hubungan. Dan untuk memperoleh besar kecilnya kredit pada gilirannya ditentukan oleh tingkat reputasi dan status sosialnya (haji dan kaya).
Kedua, interaksi yang dilakukan para pedagang untuk membangun jaringan temyata masih menggunakan ikatan-ikatan sosial kekerabatan(kekeluargaan, pertemanan (sebelum/sesudah berdagang), dan ketetanggan. Untuk ikatan kesukuan atau etnis tidak begitu ditonjolkan oleh para pedagang. Alasan paling dominan kenapa ikatan-ikatan sosial semacam ini yang diterapkan adalah karena ikatan-ikatan tersebut lebih acceptable, terutama jika dilihat dari segi norma yang berlaku serta kemampuan personal untuk memperluas jaringannya.
Ketiga, hubungan relasional antara pedagang yang dilandasi mutual trust temyata tidak hanya diterapkan pada dimensi ekonomi saja (an economic dimension), namun juga diperluas pada dimensi sosial (social dimension). Dan dimensi sosial ini, seperti adanya arisan, solidaritas sosial dilingkungan pasar dan sekitar pasar, dan partisipasi di masyarakat (RT/RW dan desa), mengisyaratkan bentuk moral pedagang yang masih memiliki kepedulian terhadap lingkungan sosialnya. Dan mutual trust yang tercermin dari dimensi sosial ini dapat dianggap sebagai modal sosial yang dimiliki oleh para pedagang.
Dengan pola relasional ini, kepercayaan dapat bermanfaat pada beberapa hal, diantaranya: Pertama, mengurangi Maya transaksi karena adanya sikap saling memudahkan dalam hubungan perdagangan. Kedua, mengurangi keperluan mengurus kontrak karena tidak perlu adanya kesepakatan-kesepakatan formal, tetapi cukup secara informal. Ketiga, munculnya kesadaran untuk saling memahami terhadap situasi yang dihadapinya, baik dari segi ekonomi maupun dari segi sosial.
Sedangkan kesimpulan teoritik dalam penelitian ini pada dasarnya berupa penguatan terhadap "kebenaran" teori. Kenyataan bahwa hubungan yang dilandasi oleh rasa saling percaya dan didukung oleh norma-norma atau nilai-nilai yang ada, akan mampu merekatkan hubungan kerja sama. Hal ini dibuktikan oleh para pedagang di Tegal Gubug yang mengembangkan hubungan relasional dengan radius of trust yang cukup tinggi. Tetapi diakui, ada beberapa kenyataan yang berbeda dari teori ini, terutama pada piranti pendukung berupa ikatan-ikatan primordial seperti kekerabatan, yang oleh Fukuyama dianggap kurang memberikan kontribusi pada mutual trust, ternyata temuan dilapangan menemukan kenyataan yang sebaliknya. Karena itu penggalian lebih jauh terhadap penerapan teori ini perlu ditinjau kembali, disesuaikan dengan tempat dan situasi yang dimiliki oleh masing-masing komunitas."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10835
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunardi
"ABSTRAK
Sektor perdagangan menempati urutan kedua dalam menyumbangkan Produk Domestik Bruto (PDB), setelah sektor perindustrian. Sektor perdagangan semakin memberikan harapan yang lebih baik bagi pembangunan ekonomi, karena kemampuan membeli dari (anggota) masyarakat semakin meningkat. Sejalan dengan peningkatan ini tµntutan akan pelayanan yang lebih baik dari pedagang kepada konsumen juga akan semakin meningkat, sehingga beralihnya konsumen pasar tradisional ke pasar swalayan merupakan bukti dari permintaan tersebut. Persoalannya adalah bahwa (di samping) pasar tradisonal berfungsi sebagai penampung lapangan kerja dan telah menciptakan nilai-nilai sejarah dalam dunia perdagangan eceran di Indonesia, keberadaannya kian lama, kian terancam oleh pertumbuhan pasar swalayan.
Bagaimana peranan hukum dan etika dalam menjaga persaingan antara pasar swalayan dan pasar tradisional menjadi persaingan yang sehat. Persaingan sehat adalah persaingan yang saling menunjang kemajuan dan menjamin kelangsungan berusaha setiap (anggota) masyarakat yang ingin berdagang.
Berkaitan dengan permasalahan tersebut di belakang, tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah ingin mengetahui apa (substansi) hukum persaingan perdagangan eceran antara kedua jenis pasar tersebut, dan bagaimana peranan dan fungsinya. Oleh karena itu, menarik untuk dikaji apa dan bagaimana peranan hukum persaingan antara kedtianya. Dalam penelitian ini, di samping data yang bersumber dari bahan-bahan hukum primer, sekunder dan tarsier, juga digunakan data pustaka lainnya yaitu data statistik dan laporan-laporan penelitian, serta data lapangan melalui observasi terhadap perilaku pedagang dan konsumen.
Hasil penelitian ini telah menujukan bahwa persaingan antara kedua jenis pasar tersebut tidak seimbang, jika tidak ingin disebut sebagai persaingan yang tidak sehat. Ketidak seimbangan ini disebabkan karena kurang tanggap dan ketidak mainpuan pedagang pasar tradisional memenuhi tuntutan konsumen, dan ketidakmampuan pedagang pasar tradisional mengelola usaha dagangannya dengan efisien. Sementara itu pihak pengusaha pasar swalayan telah melakukan beberapa pelanggaran hokum, di antaranya menyangkut. perizinan; jarak pasar swalayan dengan pasar tradisional; jam buka pasar swalayan; Berita adanya kelemahan yang diperlihatkan oleh pihak pengelola perpasaran, Perusahaan Daerah Pasar Jaya, dalam membina pedagang pasar tradisional. (GND)"
1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agusman Badaruddin
"Konstribusi sektor perdagangan terhadap PDRB mencapai 17,42 % pada tahun 1995 dan angka ini merupakan konstribusi tertinggi dibandingkan lapangan usaha lainnya. Dilihat dan penyerapan tenaga kerja sektor ini sebesar 28,2 % dari total tenaga kerja di DKI Jakarta. Sektor perdagangan dimasa yang akan datang peranannya akan lebih penting ditambah lagi dengan dicanangkannya DKI Jakarta sebagai kota jasa (service city). Untuk Meningkatkan Ketahanan Daerah DKI Jakarta akan mencoba melihat permasalahan yang timbul antara pedagang eceran skala kecil yang ada dipasar tradisional dengan pedagang eceran skala besar yang ada di pasar modern. Pasar modern berkembang sangat pesat di DKI Jakarta dan ini merupakan indikasi bahwa keberadaan pasar modern diterima dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dilain pihak pasar tradisional yang jumlahnya 151 pasar dengan jumlah 84.413 pedagang memiliki banyak kelemahan, cukup sulit bersaing dengan pasar modern. Ancaman kelangsungan usaha pedagang tradisional dapat memberikan dampak buruk terhadap ketahanan daerah, baik dilihat dari gatra politik, ekonomi, sosial-budaya serta ketahanan keamanan. Permasalahan mendasar yang perlu dipecahkan adalah : Bagaimana menciptakan strategi dan kebijakan perdagangan eceran yang menserasikan kehidupan pedagang pasar tradisional dengan pedagang pasar modern sehingga dapat mendukung ketahanan daerah di DKI Jakarta.
Dari rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian dalam tesis ini adalah :
a. Menyajikan suatu analisa Internal Pasar Tradisional untuk mengindentifikasi dan menganalisis kekuatan dan kelemahan dari Pasar Tradisional.
b. Menganalisis lingkungan strategik pasar tradisional dengan melakukan analisa faktor eksternal pasar tradisional dengan tujuan pasar tradisional dapat bereaksi terhadap kekuatan eksternal baik yang dapat menimbulkan kesempatan atau peluang maupun ancaman atau hambatan yang punya pengaruh langsung terhadap kegiatan pasar tradisional.
c. Merumuskan strategi dan kebijaksanaan yang dapat mempertahankan kehidupan pasar tradisional dari sudut pandang Ketahanan Nasional.
Dalam melakukan analisa digunakan data primer dan sekunder. Data primer didapat dengan mengirimkan kuesioner pada 3 pelaku pedagang eceran yaitu :
q Pedagang tradisional
q Pengelola pasar modem
q Pejabat Pemda DKI Jakarta
Pengolahan data primer dilakukan dengan menggunakan metode Proses Hirarki Analitik dari Thomas L. Saaty. Dari analisa dengan menggunakan Proses Hirarki Analitik (PHA) atas perspektif pedagang pasar modern, diketahui fokus perhatiannya adalah pada peningkatan keuntungan, kemudian perluasan usaha, dan kelangsungan usaha. Kebijakan yang lebih disukai oleh pedagang pasar modern adalah persaingan bebas dengan pasar tradisional. Sedangkan kebijakan yang paling tidak diinginkan adalah kebijakan pembatasan jumlah pasar modern.
Sedangkan perspektif pedagang pasar tradisional, yang menjadi fokus perhatian utamanya adalah kelangsungan usaha baru, peningkatan keuntungan dan peluasan usaha. Prioritas utama kebijakan yang dipilih adalah pembatasan jumlah pasar modern. Sedangkan kebijakan yang paling tidak diinginkan adalah pesaingan bebas. Perbedaan perspektif antara pasar tradisional dan pasar modern baik dalam fokus perhatian maupun dalam preferensi kebijakan dapat menjadi potensi konflik. Apalagi perbedaan ini cukup kontras. Yang menjadi prioritas utama pedagang pasar tradisional merupakan prioritas yang paling tidak diinginkan oleh pedagang pasar modern, demikian pula sebaliknya.
Disamping itu fokus perhatian pemerintah daerah dalam upaya menciptakan sistem perdagangan yang adil prioritas gatra dari asta gatra yang paling penting adalah gatra ekonomi, sedangkan berdasarkan pertimbangan kedelapan gatra tersebut kebijakan yang memperoleh kebijakan tertinggi adalah pembatasan jumlah pasar modern. Kebijakan dalam perspektif Pemerintah Daerah dalam kasus ini sama dengan perspektif pedagang pasar tradisional. Berarti potensi konflik kebijakan dengan pedagang pasar tradisional relatif kecil. Namun demikian potensi konflik dengan pedagang pasar modern masih terbuka. Namun demikian pemerintah daerah harus tetap mengambil kebijakannya, dengan beberapa catatan, karena kebijakan tersebut telah mempertimbangkan semua aspek asta gatra secara menyeluruh.
Kebijakan yang mengandung pembelaan kepada pedagang pasar tradisional memiliki beberapa dimensi penting dalam Ketahanan Daerah di DKI Jakarta antara lain :
a) Kebijakan ini akan membuat semakin baiknya keseimbangan para pelaku perdagangan eceran sehingga kesempatan usaha semakin luas dan kesenjangan pendapatan akan semakin terkurangi. Hal ini akan memberi kekuatan pada stabilitas ekonomi daerah yang merupakan pencerminan dari Ketahanan Daerah.
b) Pengembangan perdagangan eceran skala kecil dapat meningkatkan kualitas sumber daya manusia yang pada akhirnya akan dapat mengolah potensi sumber daya alam sehingga memberikan dampak positif bagi Ketahanan Daerah.
c) Dengan semakin majunya sumber daya manusia kemampuan untuk memadukan kekuatan ilmu pegetahuan dan teknologi serta modal dengan potensi alam dan geografi akan meningkatkan keunggulan kompetitif daerah sehingga lebih tangguh dalam menghadapi tantangan dari luar.
d) Pembinaan pedagang pengecer kecil akan mempercepat hilangnya kemiskinan melalui pemerataan usaha dan pendapatan sehingga kesenjangan sosial dan kecemburuan sosial dapat diatasi. Kondisi ini akan semakin memantapkan Ketahanan Daerah."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noviar Gustriandi
"Dewasa ini kehadiran para pencari kerja migran dalam jumlah yang tinggi di beberapa kota di Indonesia, membuat kota menjadi semakin padat dan tidak terkendali. Sektor formal yang secara umum memerlukan tenaga kerja yang mempunyai keahlian tertentu, berproduktivitas tinggi, modal yang besar, dan pemanfaatan teknologi yang serba canggih dan mutakhir, ternyata tidak menyediakan ruang bagi para migran pencari kerja. Para migran tersebut lalu membentuk usaha baru yang disebut sektor informal. Salah satu kegiatan dari sektor informal yang menjadi jenis pekerjaan yang penting adalah pedagang kaki lima. Pada umumnya nasib pedagang kaki lima kurang menguntungkan. Tidak jarang karena karakteristik yang melekat pada jenis pekerjaan ini membuat mereka sering terkena razia dan dikejar-kejar oleh petugas. Namun di sisi lain, sebagaimana yang ditunjukkan oleh besarnya jumlah pedagang kaki lima di Kota Pontianak (10.339 orang) mengindikasikan bahwa sektor ini mampu menjadi katup pengaman bagi meledaknya angka pengangguran. Sektor ini juga akan memberikan pemasukan yang tidak kecil bagi PAD Pemerintah Kota Pontianak, roda perputaran uang setiap harinya relatif cukup besar, yaitu mencapai 5,5 milyar rupiah dengan total omset sebesar 1,7 milyar rupiah. Kapabilitas yang ditunjukkan oleh sektor ini tidak lepas dari aktivitas yang mereka lakukan sehari-hari yang diikat oleh norma-norma informal yang menjadi aturan bagi sikap dan perilaku pedagang kaki lima dengan berbagai pihak sebagai modal sosial. Oleh karenanya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besar kecilnya modal sosial pedagang kaki lima di Kota Pontianak yang dapat dilihat dari bagaimana mereka dapat mengimplementasikan norma-norma informal secara lugas atau dengan kata lain mereka memiliki kepercayaan (trust) dengan berbagai pihak di dalam maupun di luar jaringannya. Jika sebagian besar norma-norma tersebut lebih berlandaskan kepada trust, maka dapat dikatakan pedagang kaki lima di Kota Pontianak memiliki modal sosial yang besar. Sebaliknya, jika sebagian besar norma-norma tersebut kurang berlandaskan kepada trust, maka pedagang kaki lima di Kota Pontianak dapat dikatakan memiliki modal sosial yang kecil. Penelitian ini juga bermaksud untuk mengetahui bagaimana proses terbentuknya suatu jaringan dari kerja sama yang terjadi antara pedagang kakilima dengan berbagai pihak dan norma-norma informal apa saja yang terdapat dalam jaringan pedagang kaki lima tersebut.
Dalam pelaksanaan penelitian ini, penulis menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Jenis penelitian ini dipandang relevan untuk digunakan dalam mengamati perilaku dan kondisi sosial pedagang kaki lima sehari-hari. Dari metode kualitatif ini akan dapat digambarkan keadaan riil di lapangan berdasarkan dukungan fakta dan informasi yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data studi kepustakaan (library research), observasi, dan wawancara yang dilakukan secara mendalam kepada informan (indepth interview). Penulis dengan sengaja memilih informan penelitian melalui teknik pemilihan informan purposive sampling, yaitu memilih pedagang kaki lima, baik yang berjualan di pasar-pasar tradisional maupun di pinggiran-pinggiran jalan, yang pada umumnya mereka menggunakan sebagian dari lahan publik. Dari 6 (enam) orang calon informan penelitian yang telah dipilih, ternyata pedagang kaki lima yang memenuhi beberapa kriteria informan yang telah penulis tetapkan, hanya 2 (dua) orang, yaitu pedagang kaki lima yang berjualan telur di Pasar Flamboyan dan pedagang kaki lima berjualan pakaian bekas (lelang) di Pasar Dahlia. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terbentuknya jaringan pedagang kaki lima dengan berbagai pihak adalah dari kerjasama yang dilandasi hubungan moral kepercayaan. Temuan di lapangan menunjukkan ada 4 (empat) pedagang kaki lima dengan berbagai pihak, yaitu jaringan dengan keluarga, agen, sesama pedagang kaki lima, dan Iangganan. Keempat jaringan tersebut dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) jaringan, yaitu jaringan keluarga, jaringan pertemanan, dan jaringan usaha. Ketiga jaringan pedagang kaki lima ini masing-masing memiliki pola hubungan sosial yang berbeda.
Hasil analisis temuan menunjukkan bahwa kedua pedagang kaki lima memiliki norma-norma informal yang sama, yaitu 16 (enam belas) norma. Hasil analisis trust terhadap norma-norma informal tersebut, memperlihatkan bahwa norma-norma informal yang lebih berlandaskan trust, yaitu sebanyak 11 (sebelas) norma (68,75%), sedangkan yang kurang berlandaskan trust sebanyak 5 (lima) norma (31,25%). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa norma-norma informal kedua pedagang kaki lima (penjual telur dan penjual pakaian bekas) memiliki modal sosial yang besar. Hasil analisis temuan menunjukkan bahwa norma-norma informal yang kurang berlandaskan kepada trust, ternyata merupakan norma-norma kunci yang dipegang teguh oleh pedagang kaki lima dalam menjalankan usahanya.
Disarankan dalam penelitian ini agar Pemerintah Kota Pontianak dapat merencanakan pembangunan sosial di daerah dengan mengembangkan potensi pedagang kaki lima yang terbukti memiliki modal sosial yang besar, termasuk memperluas peruntukan lahan pasar bagi pembangunan pasar-pasar tradisional untuk menampung sebagian besar pedagang kaki lima yang masih berada di pinggiran jalan serta memberikan bantuan modal dengan akses yang lebih mudah kepada pedagang kaki lima. Oleh karena hasil penelitian ini belum dapat digeneralisasikan sebagai modal sosial pedagang kaki lima yang berlaku umum, maka disarankan kepada peneliti-peneliti lainnya untuk meneliti modal sosial pedagang kaki lima jenis usaha lainnya, termasuk bagaimana ikatan kekeluargaan dan solidaritas sosial dilihat dari kesukubangsaan pedagang kaki limanya."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21691
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1992
S33344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alwizar Rosman
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1994
S9950
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rindang Azizah
"Skripsi ini membahas mengenai gambaran perilaku pencegahan covid-19 pada pedagang pasar tradisional. Informan dalam penelitian berjumlah 13 orang yang terdiri dari 10 orang informan utama dan 3 orang informan kunci. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan rapid assessment procedures (RAP). Teori yang digunakan adalah Health Belief Model. Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar informan tidak merasa rentan terhadap covid-19 dan tidak menganggap covid-19 penyakit yang dapat menimbulkan bahaya karena gejala yang ditimbulkan dianggap sudah sering dijumpai. Namun informan masih menganggap penerapan pencegahan penting dilakukan sebagai langkah antisipasi. Adanya kendala berupa ketidaknyamanan penggunaan masker dan kendala dalam melakukan jaga jarak di pasar membuat praktik pencegahan covid-19 menjadi kurang optimal. Disamping itu, praktik cuci tangan, konsumsi sayur dan buah, serta aktifitas fisik sudah cukup bagus.

This thesis discusses the description of Covid-19 prevention behavior in traditional market traders. The number of informants in the study was 13 people consisting of 10 main informants and 3 key informants. This study is a qualitative study using a rapid assessment procedures (RAP) approach. The theory used is the Health Belief Model. The results showed that most informants did not feel vulnerable to Covid-19 and did not consider Covid-19 a disease that could cause harm because the symptoms it caused were considered to be common. However, the informants still considered the implementation of prevention as important as an anticipatory step. The existence of obstacles in the form of discomfort using masks and obstacles in maintaining distance in the market make the practice of preventing Covid-19 less optimal. Besides that, the practice of washing hands, consuming vegetables and fruits, and physical activity is quite good."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>