Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 113992 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Endang Susalit
"ABSTRAK
Penderita gagal ginjal kronik progresif yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif akan mengalami gagal ginjal tahap akhir. Untuk kelangsungan hidupnya, penderita gagal ginjal tahap akhir memerlukan terapi pengganti yang bisa berupa hemodialisis, dialisis peritoneal atau transplantasi ginjal (1,2).
Penanggulangan gagal ginjal di Indonesia belum mencapai hasil yang diinginkan, walaupun sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, karena sarana yang ada sekarang masih terbatas (3). Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanggulangan gagal ginjal tahap akhir yang ideal karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal (3). Selain itu, transplantasi organ tubuh merupakan prosedur klinik yang sudah diterima di seluruh dunia (4).
Cyclosporine-A (siklosporin) merupakan obat imunosupresif pilihan pada transplantasi organ karena sudah berhasil meningkatkan angka ketahanan hidup (survival) organ tanpa menimbulkan supresi sumsum tulang (5). Meskipun pada transplantasi ginjal siklosporin telah dapat meningkatkan angka ketahanan hidup ginjal dan penderita secara dramatis (6), obat ini mempunyai beberapa efek camping, antara lain yang terpenting adalah efek nefrotoksisitas (7).
Efek nefrotoksisitas siklosporin dalam klinik dapat terjadi secara akut dan kronik. Mekanisme yang paling sering dikemukakan pada tipe akut adalah penurunan aliran darah ginjal akibat vasokonstriksi arterial aferen glomerulus. Sedangkan pada tipe kronik disebabkan oleh iskemia kumulatif, akibat vasokonstriksi arteriol aferen glomerulus pada fase akut dan lesi iskemik vaskuler yang berupa arteriolopati, akibat pengaktifan trombosit lokal (8). Efek nefrotoksisitas akibat penggunaan siklosporin jangka panjang yang berupa arteriolopati sukar dihambat, sedangkan efek vasokonstriksi akut siklosporin masih mungkin dikurangi, misalnya dengan penambahan obat seperti antagonis kalsium yang bisa menghambat efek vasokonsriksi lersebut.
Antagonis kalsium dikenal sejak tiga dekade yang lalu, namun baru pada dekade terakhir golongan obat ini diselidiki secara lebih mendalam tentang manfaatnya terhadap fungsi ginjal (9). Antagonis kalsium [ermasuk dalam golongan obat antihipertensi yang pemakaiannya semakin banyak di Indonesia (10).
Beberapa penelitian sudah dilakukan dengan mencoba memberikan antagonis kalsium bersama siklosporin, baik pada hewan percobaan maupun dalam penelitian klinik (11-13). Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa antagonis kalsium verapamil dan diltiazem agaknya bermanfaat mengurangi nefrotoksisitas yang disebabkan oleh siklosporin, walaupun faktor yang berperan belum diketahui secara pasti. Antagonis kalsium verapamil dan diltiazem dilaporkan dapat meninggikan kadar siklosporin dalam darah resipien, yang disebabkan oleh metabolisme kompetitif pada sistem enzim sitokrom P-450 dalam hepar (14). Antagonis kalsium golongan dihidropiridin, kecuali nikardipin (15), dilaporkan tidak mengganggu metabolisme siklosporin, karena golongan that ini tidak terlalu terkonsentrasi dalam hepar (16).
Amlodipin yang termasuk dalam golongan dihidropiridin generasi terbaru, mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kelebihan tersebut di antaranya adalah mempunyai rasio selektivitas vaskuler yang sangat tinggi dan dosis hanya sekali sehari, serta tidak menimbulkan efek inotropik negatif, aritmia dan tahikardia. Selain itu, efek samping seperti sakit kepala, pusing dan edema lebih ringan, dan lebih jarang terjadi (17). Amlodipin dengan dosis 5-10 mg sekali sehari sudah dibuktikan dapat menaikkan laju filtrasi glomerulus 13% dan aliran plasma ginjal efektif 19%, serta menurunkan resistensi vaskuler ginjal 25% pada penderita hipertensi esensial (18). Seperti diketahui laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal efektif menggambarkan fungsi glomerulus dan tubulus, dan secara keseluruhan kedua fungsi tersebut juga menggambarkan fungsi ginjal.
Siklosporin menyebabkan gangguan perfusi ginjal kemungkinan besar dengan Cara peningkatan tonus arteriol aferen glomerulus, karena obat ini sendiri bersifat vasokonstriktor (19). Siklosporin juga bisa menimbulkan efek vasokonstriksi tersebut secara tidak langsung, misalnya melalui stimulasi sistem renin-angiotensin (11) dan atau stimulasi sistem saraf simpatis (20), melalui stimulasi produksi hormon vasokonstriktor endotelin (21) atau akibat perubahan keseimbangan produksi prostaglandin lokal antara yang bekerja sebagai vasokonstriktor dan vasodilator (22). Efek nefrotoksik akut siklosporin yang khas adalah penurunan aliran plasma ginjal efektif dan laju filtrasi glomerulus sekitar 40 %, dan ini berarti bahwa fungsi ginjal transplan menjadi sekitar 60 % dari nilai semula (7). Penurunan kedua parameter ini umumnya sebanding sehingga fraksi filtrasi biasanya tidak banyak berubah (23).
Penelitian yang dilakukan pada hewan percobaan menunjukkan bahwa antagonis kalsium meningkatkan aliran plasma ginjal efektif dan laju filtrasi glomerulus dengan cara pengurangan efek vasokonstriksi berbagai vasokonstriktor seperti angiotensin ll, norefinefrin, tromboksan, dan endotelin pada arterial aferen tanpa mempengaruhi tonus arteriol eferen (16).
Pada resipien transplantasi ginjal yang mendapat siklosporin, penambahan antagonis kalsium amlodipin diharapkan akan dapat mengurangi efek vasokonstriksi arteriol aferen oleh siklosporin tersebut. Sampai saat ini belum ada data mengenai manfaat antagonis kalsium amlodipin terhadap penghambatan penurunan fungsi ginjal pada resipien transplantasi ginjal yang mendapat siklosporin. Selain itu, pengetahuan tentang mekanisme yang mendasari manfaat tersebut sangat menarik untuk diselidiki. Andaikan memang benar bermanfaat, namun masih belum diketahui pula apakah penghambatan penurunan fungsi ginjal oleh amlodipin tersebut melalui penurunan sintesis berbagai vasokonstriktor ataukah melalui cara lain."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D374
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dories Septiana
"Latar Belakang. Transplantasi ginjal masih menjadi pilihan terbaik sebagai terapi pengganti ginjal terutama pada pasien penyakit ginjal stadium akhir, yang dapat meningkatkan kualitas hidup terkait kesehatan dari berbagai aspek terutama aspek kesehatan fisik dan fungsi psikososial dan dapat menurunkan efek penyakit serta dapat mengurangi risiko kematian bila dibandingkan dengan terapi konservatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status kualitas hidup resipien setelah menjalani transplantasi ginjal beserta faktor-faktor yang berhubungan.
Metode. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang. Subyek penelitian adalah pasien penyakit ginjal kronik yang telah menjalani transplantasi ginjal di RS dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2018-Desember 2020. Penilaian kualitas hidup dilakukan dengan menggunakan kuesioner SF-36. Dilakukan analisis univariat, bivariat, dan multivariat pada variabel independen baik terhadap 8 domain dari SF-36, komponen MCS dan PCS, serta skor total keseluruhan dari SF-36.
Hasil. Durasi dialisis, kadar hemoglobin, ECOG dan depresi berkontribusi terhadap komponen PCS kualitas hidup (R2= 21,4%), sedangkan kadar hemoglobin dan depresi berkontribusi terhadap komponen MCS (R2= 33,6). Sedangkan faktor-faktor yang berhubungan dengan kualitas hidup secara keseluruhan adalah kadar hemoglobin, ECOG dan depresi (R2=40,7%).
Kesimpulan. Kualitas hidup resipien pasca transplantasi ginjal secara keseluruhan pada penelitian ini tinggi, dengan kualitas hidup pada komponen fisik lebih tinggi bila dibandingkan dengan komponen mental. Adapun faktor-faktor yang berkontribusi dan bermakna secara statistik terhadap keseluruhan kualitas hidup adalah kadar hemoglobin, status ECOG, dan depresi. Namun di samping itu, durasi dialisis dan ECOG juga berkontribusi terhadap komponen fisik terhadap kualitas hidup.

Objective. This study aims to determine and identify factors associated with QoL after kidney transplantation.
Methods. This study used a cross-sectional design. We enrolled 107 consecutive subjects who had kidney transplantation at the Kidney transplantation center at Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital. from January 2018-December 2020. QoL was performed by the SF-36 questionnaire. Univariate, bivariate, and multivariate analyzes were performed on the independent variables and dependent variable (SF-36). Each analyzes of independent variables divided into 8 domains, the MCS and PCS components, and the overall total score of the SF-36.
Result. Duration of dialysis, hemoglobin levels, ECOG and depression were contributed to the PCS component of quality of life (R2= 21.4%) while hemoglobin levels and depression contributed to the MCS component (R2= 33.6). And factors related to total score of SF-36 were hemoglobin levels, ECOG status, and depression (R2=40.7%).
Conclusion. We found that overall QoL status after kidney transplantation in this study was high, with the PCS component being higher than MCS component. Factors that contributed and were statistically significant to Qol status were hemoglobin levels, ECOG status, and depression. Besides, the duration of dialysis and ECOG status also contributed to the physical component of SF-36.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Utami Susilowati
"Latar Belakang: Transplantasi ginjal telah menjadi pilihan utama terapi bagi pasien dengan penyakit ginjal tahap akhir, baik yang berasal dari donor hidup maupun donor jenazah. Transplantasi ginjal memiliki risiko yang lebih rendah baik untuk mortalitas maupun kejadian kardiovaskular, serta memiliki kualitas hidup yang lebih baik dibandingkan pasien yang menjalani dialisis kronis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal. Penelitian ini bertujuan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kesintasan transplantasi ginjal di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017.
Metode: Penelitian Desain penelitian ini adalah kohort retrospekstif menggunakan data rekam medis pasien transplantasi ginjal. Sampel penelitian adalah resipien transplantasi ginjal ≥ 18 tahun di di RSUPN Ciptomangunkusumo tahun 2010-2017, yaitu sebanyak 548 pasien.
Hasil: penelitian probabilitas kesintasan resipien transplantasi ginjal selama pengamatan 5 tahun adalah 84,1% Hasil analisis dengan regresi cox menunjukkan bahwa resipien dengan donor yang berusia ≥ 40 tahun lebih cepat 1,487 kali untuk meninggal dibandingkan resipien dengan donor yang berusia < 40 tahun, resipien yang berusia ≥ 45 tahun lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang berusia <45 tahun, lama hemodialisis ≥ 24 bulan lebih cepat 2,356 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang lama hemodialisisnya < 24 bulan, skor charlson > 1 lebih cepat 2,861 kali untuk meninggal dibandingkan pasien yang skor charlson ≤ 1, resipien yang memiliki DM lebih cepat 2,947 kali untuk meninggal dibandingkan dengan yang tidak DM.
Simpulan: Kesintasan lima tahun di Indonesia cukup baik. Insiden kematian relatif tinggi, menyebabkan penurunan kelangsungan hidup pasien lima tahun. Namun, hasil keseluruhan masih sebanding dengan negara-negara berkembang lainnya.

Background: Kidney transplantation has become the main choice of therapy for patients with end-stage kidney disease, both from living donors and donor bodies. Kidney transplantation has a lower risk for both mortality and cardiovascular events, and has a better quality of life than patients who undergo chronic dialysis, both hemodialysis and peritoneal dialysis. This study aims to determine the factors that influence the survival of kidney transplants in Ciptomangunkusumo Hospital in 2010-2017.
Methods: A retrospective cohort study with total consecutive sampling is performed on all kidney transplant recipients in Cipto Mangunkusumo Hospital from March 2019 until May 2019. Data is acquired by analysing medical records and contacting patients directly. Each recipient is followed from the day of transplant until death or december 2018, whichever comes first. Five-year death and patient survival is documented. Kaplan-Meier Curve is used to describe patient survival until the end of study and analysis with Cox regression.
Result: which was as many as 548 patients. The results of this study indicate the probability of survival of kidney transplant recommendations during the 5-year observation was 84.1%. The results of the analysis with Cox regression showed that donors aged ≥ 40 years were 1,487 faster to die than recipients with donor aged <40 years, prescriptions aged ≥ 40 years 2,356 times faster to die than patients aged <40 years, duration of hemodialysis ≥ 24 months faster 2,356 times to die compared to patients with long hemodialysis <24 months, Charles score> 1 faster 2,861 times to die than patients who score charlson ≤ 1, the recipients who have DM are 2.97 times faster to die compared to those without DM.
Conclusions: The outcome of five-year death in Indonesia is very satisfactory. The incidence of death is relatively high, causing a decline in five-year patient survival. However, the overall results are still comparable to other developing countries.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T53713
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latar Belakang: Pruritus menjadi salah satu gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Pruritus yang berasosiasi dengan PGK mayoritas terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan dapat terjadi pada resipien transplantasi ginjal (RTG). Gejala pruritus yang tidak ditangani dengan baik dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup. Belum terdapat penelitian yang membandingkan proporsi derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, dan korelasi berbagai faktor biokimia antara pasien HD dengan RTG di Indonesia. Tujuan: Membandingkan derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, serta korelasi kadar hs-CRP, kalsium, fosfat, dan e-GFR antara pasien PGK yang menjalani HD dengan RTG. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Setiap SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Skala gatal 5 dimensi (5-D) digunakan untuk evaluasi derajat keparahan pruritus dan Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD) digunakan dalam menilai kualitas hidup. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan nilai kemaknaan yang digunakan adalah p <0,05. Hasil: Dari 30 SP di masing-masing kelompok, proporsi pruritus derajat sedang-berat sebesar 76,7% pada kelompok HD sedangkan pada kelompok RTG sebanyak 83,3% mengalami pruritus derajat ringan (RR = 4,6; IK 95% = 2,02–10,5; p <0,001). Median skor IKHD pada kelompok HD adalah sebesar 5 (3–6) sedangkan pada kelompok RTG sebesar 3 (2–4) (p <0,001). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara hs-CRP dengan skor skala gatal 5-D pada kelompok HD (r = 0,443; p <0,05). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara e-GFR dengan skor skala gatal 5-D pada RTG (r = -0,424; p <0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar kalsium dan fosfat dengan skor skala gatal 5-D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pasien HD lebih banyak mengalami pruritus derajat sedang-berat dibandingkan pada RTG. Pruritus pada kelompok HD berdampak ringan hingga sedang terhadap kualitas hidup sedangkan pada kelompok RTG pruritus berpengaruh ringan terhadap kualitas hidup. Pada pasien HD, semakin tinggi kadar hs-CRP maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D. Pada pasien RTG, semakin menurun nilai e-GFR maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D.

Background: Pruritus is one of the symptoms experienced by patients with chronic kidney disease (CKD). Most patients with chronic kidney disease-associated pruritus (CKD-aP) occur in dialysis patients and could also happen in kidney transplant (KT) recipients. Inappropriate management of pruritus could impact the quality of life (QoL). No studies have compared the severity of pruritus, QoL, and the correlation of various biochemical factors between hemodialysis (HD) and KT recipients in Indonesia. Objective: To compare the severity of pruritus, QoL, and the correlation of hs-CRP, calcium, phosphate, and e-GFR levels between HD and KT recipients. Methods: This is a cross-sectional analytic observational study. Medical history, physical examination, and laboratory examination were conducted on each subject. The 5-dimensional (5-D) itch scale was used to evaluate the severity of pruritus. Dermatology Life Quality Index (DLQI) was used to assess the QoL. Appropriate statistical analysis was conducted to prove the research hypothesis with a significance value of p <0.05. Results: Out of 30 subjects in each group, the proportion of moderate to severe pruritus was 76.7% in the HD group. In the KT group, 83.3% experienced mild pruritus (RR = 4.6; CI 95% = 2.02– 10.5; p <0.001). The median DLQI score in the HD group was 5 (3–6), while in the KT group was 3 (2–4) (p <0.001). There was a significant positive correlation between hs-CRP and the 5-D itch scale in the HD group (r = 0.443; p <0.05). The KT group had a significant negative correlation between e-GFR and the 5-D itch scale (r = -0.424; p <0.05). Both groups had no statistically significant correlation between calcium and phosphate levels and the 5-D itch scale. Conclusion: Moderate-to-severe pruritus was more common in HD patients than in KT recipients. Pruritus in HD patients had a mild to moderate effect on QoL, whereas pruritus in KT recipients had a mild impact on QoL. A higher level of hs-CRP in HD patients results in a higher 5-D itch scale. In KT recipients, the lower the e-GFR value, the higher the 5-D itch scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hazia Hanifa Bilqis
"ABSTRACK
Transplantasi ginjal dapat mengalami komplikasi delayed graft function yang merupakan salah satu bentuk gangguan ginjal akut. Terdapat banyak faktor yang dapat memengaruhi delayed graft function, yakni faktor intraoperatif dan ekstraoperatif. Studi ini meneliti faktor-faktor yang dapat menyebabkan delayed graft function pada faktor ekstraoperatif khususnya dari segi donor dan resipien. Tujuan: Mengetahui hubungan antara faktor donor (usia, hubungan kekerabatan dengan resipien) dan faktor resipien (usia, penyebab gagal ginjal) dengan kejadian delayed graft function pada resipien. Metode: penelitian ini menggunakan metode studi potong lintang dan melibatkan 483 sampel yang merupakan pasien transplantasi ginjal di RSCM periode November 2011-September 2018. Hasil: chi square dan fisher menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara usia donor (p=0,023), usia resipien (p=0,006), dan hubungan kekerabatan donor dan resipien (p=0,008) dengan delayed graft function. Tidak terdapat hubungan antara penyebab gagal ginjal diabetes mellitus, hipertensi, infeksi, penyakit autoimun, dan penyebab lain gagal ginjal. Diskusi: Dari analisis multivariat didapatkan adanya hubungan bermakna antara hubungan kekerabatan donor dan resipien dengan delayed graft function (p= 0,011. Disimpulkan bahwa hubungan kekerabatan donor dan resipien merupakan faktor yang paling berhubungan dengan terjadinya delayed graft function pada resipien transplantasi ginjal RSCM dibandingkan dengan faktor usia donor, usia resipien, dan penyebab gagal ginjal resipien.
ABSTRACT
Background: Kidney transplant patients may have complications, such as delayed graft function which is one of acute kidney injury. There are a lot of factors that can affect delayed graft function, such as intraoperative and extraoperative factors. In this study we discussed more about extraoperative factors, specifically from donor and recipient factors. Objective: To determine the association between donor factors (age, relation with recipien)t, recipient factors (age, cause of kidney failure) and delayed graft function in transplant recipient. Methods: Cross-sectional study design was used in this study  by collecting 483 patient data of medical record from data recapitulation of renal transplant by Departement of Urology, Cipto Mangunkusumo National Hospital, from November 2011-September 2018. Results: Bivariat analysis with chi square and fisher test result showed that there was a significant association between donor age (p=0,023), recipient age (p=0,006) and donor and recipient relation status (p=0,008) with delayed graft function. There were no significant association between recipient age, and causes of kidney failure. Discussion: From the multivariate analysis it was found that there was a significant association between donor and recipient relation status (p=0,011) with delayed graft function.From these result we concluded that donor and relation status are the most  associated factor with delayed graft function in recipients."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erico Wanafri
"Kemoterapi dengan cisplatin merupakan modalitas utama pada terapi pada kanker ovarium, walaupun telah diketahui toksisitasnya pada berbagai organ termasuk ginjal. Kurkumin, senyawa fenolik yang diperoleh dari Curcuma longa, diketahui memiliki efek proteksi pada ginjal akibat cisplatin pada berbagai model toksisitas in vivo. Namun, efek kurkumin pada ginjal dibatasi oleh bioavailabilitasnya yang rendah. Kelompok penelitian kami telah berhasil mengembangkan formulasi kurkumin nanopartikel baru yang telah terbukti memperbaiki efikasi cisplatin pada model kanker ovarium. Namun, belum diketahui apakah formulasi kurkumin nanopartikel ini juga dapat memperbaiki fungsi dan kondisi inflamasi pada ginjal yang disebabkan oleh cisplatin.
Metode Sebanyak 24 ekor tikus Wistar betina dibagi menjadi: 6 ekor tikus normal (sham treatment) dan 18 ekor tikus yang diinduksi menjadi kanker ovarium dengan DMBA. Tikus kanker ovarium dibagi menjadi 3 kelompok masing-masing 6 ekor yang menerima cisplatin 4 mg/kgBB/minggu atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu +kurkumin 100 mg/kgBB/hari atau cisplatin 4 mg/kgBB/minggu + nanokurkumin 100 mg/kgBB/hari. Terapi diberikan selama 4 minggu, kemudian dilakukan terminasi dan diambil darah dan organ ginjal untuk analisis penanda fungsi ginjal dan inflamasi.
Hasil Nanokurkumin dapat menurunkan kadar ureum serum signifikan dibandingkan kelompok cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar kreatinin dan sedikit menurunkan kadar neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL). Nanokurkumin tidak berhasil menurunkan kadar penanda inflamasi: TNF-, IL-1β dan IL-6.
Kesimpulan
Nanokurkumin memiliki kecenderungan untuk memperbaiki beberapa penanda fungsi ginjal dalam darah pada model kanker ovarium yang diberikan cisplatin, namun tidak mempengaruhi kadar penanda inflamasi di ginjal.

The effects of nanocurcumin on kidney function and inflammatory
markers in rat model of ovarian cancer treated with cisplatin
Cisplatin remains the main modality of treatment for ovarian cancer, despite its known toxic effects to various organs, including the kidney. Curcumin, a phenolic compound derived from Curcuma longa, was known to have a renoprotective effect on cisplatin- induced in vivo models. However, the beneficial effect of curcumin on the kidney is limited by its low bioavailability. Our research group has successfully developed a novel curcumin nanoparticle formulation that has been shown to improve the efficacy of cisplatin in ovarian cancer models. However, it is not yet known whether this curcumin nanoparticle formulation can also improve kidney function and inflammatory conditions caused by cisplatin in ovarian cancer models.
Method
A total of 24 female Wistar rats were divided into: 6 normal rats (sham treatment) and 18 rats induced to develop ovarian cancer with DMBA. Ovarian cancer rats were divided into 3 groups of 6 each receiving cisplatin 4 mg/kgBW/week or cisplatin 4 mg/kgBW/week + curcumin 100 mg/kgBW/day or cisplatin 4 mg/kgBW/week + nanocurcumin 100 mg/day. kgBB/day. Therapy was given for 4 weeks, then terminated and blood and kidney were taken for analysis of markers of kidney function and inflammation.
Results
Nanocurcumin lowered serum urea levels significantly compared to the cisplatin group. However, nanocurcumin did not alter creatinine levels and slightly reduced serum neutrophil gelatinase-associated lipocalin (NGAL) concentrations. Nanocurcumin was did not affect the inflammatory markers studied: TNF-, IL-1β and IL-6.
Conclusion
Nanocurcumin has a tendency to improve several markers of kidney function in cisplatin- treated ovarian cancer models. However, the effect was not associated by the alteration of inflammatory cytokines in the kidney.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanifa Ahdan Badrani
"ABSTRACT
Pada pasien penyakit ginjal tahap akhir, transplantasi ginjal merupakan pilihan terbaik bagi pasien; akan tetapi, delayed graft function dapat menjadi komplikasi bagi pasien yang dapat berkembang menjadi rejeksi (penolakan) terhadap organ donor, sehingga menggagalkan transplantasi. Tujuan: Mengetahui hubungan antara faktor intraoperatif (warm ischemia time 1, cold ischemia time, warm ischemia time 2, waktu urin keluar, dan kompleksitas pembuluh darah) dan kejadian delayed graft function pada resipien. Metode: Peneliti melakukan studi potong-lintang dengan mengambil 611 data rekam medis pasien dari data rekapitulasi transplantasi ginjal di Departemen Urologi, Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, dari rentang waktu November 2011-September 2018. Peneliti kemudian melakukan analisis bivariat dan multivariat untuk menentukan signifikansi hubungan variabel. Hasil: Dari lima variabel yang diteliti, tidak terdapat satu pun variabel yang memiliki hubungan signifikan (p = 0,996; p = 0,125; p = 0,677; p = 0,332; p = 0,748; secara berurutan) dengan kejadian delayed graft function, dari total 545 pasien yang diteliti. Diskusi: Hubungan variabel yang tidak signifikan dapat dijelaskan oleh jenis donor pada penelitian ini yang sepenuhnya donor hidup, sehingga meminimalkan dampak buruk dari stress iskemik dan reperfusion injury yang disebabkan oleh faktor intraoperatif.

ABSTRACT
For patients with end-stage renal disease, transplantation is the best option for renal replacement therapy; however, Delayed Graft Function can complicates the transplantation, and even progresses into organ rejection, resulting in a failed transplantation. Objective: The purpose of this study was to determine the association between intraoperative factors (warm ischemia time 1, cold ischemia time, warm ischemia time 2, time of first urine output, and blood vessels complexity) and delayed graft function in transplant recipient. Methods: Researcher used cross-sectional study design by collecting 611 patient data of medical record from data recapitulation of renal transplant by Departemen of Urology, Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital, from November 2011-September 2018. Selected patient data were then analyzed using bivariate and multivariate analysis. Results: From five variables in this study, none of them have significant association (p = 0,996; p = 0,125; p = 0,677; p = 0,332; p = 748; respectively) with delayed graft function, from a total of 545 patients. Discussion: The insignificant association of variables may be explained by the type of donor in this study, that is compromised entirely of living donor, which reduce the negative impact of ischemic stress and reperfusion injury caused by the intraoperative factors."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Amaliandini
"ABSTRAK
Setelah melakukan transplantasi ginjal, pasien diduga akan rentan mengalami stres. Berbagai usaha dapat dilakukan untuk menurunkan pengaruh stres terhadap kualitas hidup salah satunya dengan memiliki self-efficacy yang tinggi. Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana pengaruh self-efficacy dalam memoderasi pengaruh stres terhadap kualitas hidup pada pasien transplantasi ginjal. Terdapat 4 alat ukur yang digunakan, meliputi Quality of Life Scale Flanagan, 1970 , Perceived Stress Scale Cohen, 1983 , Transplant-Related Stressor Scale Frazier, 1995 , dan The Kidney Transplantation Self-Care Self- Efficacy Scale Weng, 2008 . Dari 55 partisipan ditemukan bahwa stres umum maupun spesifik secara signifikan menurunkan kualitas hidup t 53 =- 3,631,p

ABSTRACT
After a kidney transplantation, patients are prone to stress. Various ways can be done to reduce the influence of stress on quality of life, one of which by having a high level of self efficacy. This study examined the effect of stress on quality of life with self efficacy as the moderator among kidney transplant patient. This study used 4 measures, which were Quality of Life Scale Flanagan, 1970 , Perceived Stress Scale Cohen, 1983 , Transplant Related Stressor Scale Frazier, 1995 , and The Kidney Transplantation Self Care Self Efficacy Scale Weng, 2008 . This study found that general stress and specific stress can decrease quality of life significantly t 53 3,631,p"
2017
S67190
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sirma I Mada
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan hemoglobin yang diturunkan secara autosomal resesif terbanyak di dunia, termasuk di Indonesia. Eritropoiesis inefektif dan hemolisis yang mengakibatkan terjadinya anemia, disertai kelebihan besi, dan toksisitas kelasi besi dapat menganggu fungsi organ, salah satunya ginjal.
Tujuan: Mengetahui profil tubulus ginjal dan faktor yang memengaruhi pada transfusion dependent thalassemia (TDT) remaja
Metode: Penelitian deskriptif analitik yang dilakukan dengan potong lintang. Subyek adalah TDT remaja usia 10-18 tahun yang datang ke RSCM pada Januari 2024 sampai Februari 2024. Subyek diekslusi jika terdapat riwayat penyakit ginjal, demam, gejala infeksi saluran kemih, serta mendapatkan kortikosteroid, trimetoprim, aminoglikosida atau sefalosporin generasi pertama dalam 1 minggu terakhir berdasarkan anamnesis dan catatan medik. Setelah informed consent didapatkan dari orangtua, dilakukan pengambilan data demografi dasar, pengukuran status antropometri, dan pengukuran tekanan darah. Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum transfusi rutin dan pengambilan sampel urin pertama di pagi hari untuk dilakukan pemeriksaan fungsi ginjal. Hasil: Dari 55 subyek, proporsi jenis kelamin 1:1 dengan median usia 14 (10-17) tahun. Median usia terdiagnosis thalassemia adalah 24 (2-180) bulan. Mayoritas subyek adalah thalassemia-! (72,7%), sedangkan thalassemia-!/HbE 27,3%. Status nutrisi gizi baik 45,5%, gizi kurang 34,5%, dan gizi buruk 20%. Jenis kelasi besi yang diberikan antara lain, deferipron (DFP) 61,8%, deferasiroks (DFX) 29,1%, dan kombinasi (DFP dan DFX) 7,3%, sedangkan 1 pasien tanpa terapi. Rerata kadar hemoglobin adalah 8,5 (SD 1,1) g/dL dengan nilai median feritin 4.604,2 (753,86-30.472,67) ng/dL. Prevalens disfungsi tubulus ginjal adalah 96,3%, meskipun prevalens penurunan fungsi ginjal hanya 1,8%. Profil fungsi tubulus ginjal berupa hiperurikosuria (94,5%), proteinuria (39,1%), peningkatan NGAL/kreatinin urin (23,6%), hiperkalsiuria (21,8%), dan hiperfosfaturia (20%). Tidak terbukti hubungan rasio NGAL/kreatinin urin terhadap anemia pre- transfusi, status kelebihan besi, dan jenis kelasi besi. Hiperfiltrasi glomerulus terjadi pada 63,6% subyek dan NGAL/kreatinin urin dan proteinuria memiliki hubungan yang bermakna terhadap hiperfiltrasi glomerulus dini (p=0,029 dan p=0,025).
Kesimpulan: Disfungsi tubulus banyak ditemukan pada TDT remaja. Tidak terbukti hubungan rasio NGAL/kreatinin urin terhadap anemia pre-transfusi, status kelebihan besi, dan jenis kelasi besi. Pemeriksaan fungsi ginjal sebaiknya dilakukan secara rutin pada TDT remaja.

Background: Thalassemia is the most common hemoglobin disorder in Indonesia. Ineffective erythropoiesis and haemolysis result in anemia, accompanied by iron overload, and iron chelation toxicity can disrupt organ function, one of which is the kidneys.
Objective: To determine renal tubule function and its contributing factors in transfusion dependent thalassemia (TDT) adolescents.
Method: This is an analytical descriptive study in cross-sectional. Subjects were TDT adolescent aged 10-18 years who came to RSCM from December 2023 to January 2024. Subjects were excluded if they had a history of kidney disease, fever, symptoms of urinary tract infection, and received corticosteroids, trimethoprim, aminoglycosides or first generation cephalosporins within the last 1 week based on anamnesis and medical records. Informed consent was obtained from the parents and basic demographic data, anthropometric status measurements and blood pressure measurements were taken. Blood samples are taken before routine transfusions and first morning urine samples are taken to check kidney function.
Results: Of the 55 subjects, the gender proportion was 1:1 with a median age of 14 (10- 17) years. The median age at diagnosis was 24 (2-180) months. The majority of subjects were !-thalassemia (72.7%), while !-thalassemia/HbE was 27.3%. The nutritional status was normal 45.5%, wasting 34.5%, and severe wasting 20%. The types of iron chelation given included deferiprone (DFP) 61.8%, deferasirox (DFX) 29.1%, and combination (DFP and DFX) 7.3%, while 1 patient had no therapy. The mean hemoglobin level was 8.5 (SD 1.1) g/dL with a median ferritin value of 4,604.2 (753.86-30,472.67) ng/dL. The prevalence of renal tubular dysfunction is 96.3%, although the prevalence of decreased renal function is only 1.8%. The renal tubular function profile consisted of hyperuricosuria (94.5%), proteinuria (39.1%), increased urinary NGAL/creatinine (23.6%), hypercalciuria (21.8%), and hyperphosphaturia (20%). There is no correlation between the urine NGAL/creatinine ratio and pre-transfusion anemia, iron overload status, and type of iron chelation. Glomerular hyperfiltration occurred in 63.6% subjects and urinary NGAL/creatinine and proteinuria had a significant correlation to early glomerular hyperfiltration (p=0.029 and p=0.025).
Conclusion: Tubular dysfunction is often found in adolescent TDT. There is no relationship between the urine NGAL/creatinine ratio and pre-transfusion anemia, iron overload status, and type of iron chelation. Kidney function evaluation should be carried out routinely in adolescent TDT.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Harnavi Harun
"Transplantasi ginjal dapat memperbaiki fungsi jantung Penelitianeksperimental pada binatang membuktikan bahwa peningkatan kadar hormoneritropoetin memperbaiki fungsi jantung namun secara klinis masih menjadi bahanperdebatan Tujuan: Untuk menilai hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanfungsi jantung pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Metoda: Penelitian Kohor prospektif pada pasien gagal ginjal yang menjalanitransplantasi di RSCM Jumlah subyek 21 orang yang dikumpulkan dalam kurunwaktu Maret September 2013 Pengambilan data ekokardiografi dan kadareritropoetin dilakukan sebelum dan 3 bulan sesudah transplantasi ginjal Analisisstatistik dengan uji korelasi Pearson atau Spearman Hasil: Penelitian ini menunjukkan peningkatan bermakna kadar eritropoetin 7 58 2 56 mlU ml menjadi 18 1 6 4 mlU ml Terdapat hubungan peningkatan kadareritropoetin dengan LVEDD r 0 56 p0 05 Kesimpulan: Terdapat hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikanLVH LVEDD pada pasien gagal ginjal yang menjalani transplantasi Tidak ada hubungan peningkatan kadar eritropoetin dengan perbaikan LVEF
Kidney transplantation improved cardiac function Based on animaltrials elevated levels of erythropoietin hormone can improved cardiac function butin clinically still debate Aim: To determine association between elevated levels of erythropoietin andimprovement cardiac function on renal failure who underwent transplantation Methods: Prospective cohort study on renal failure who underwent kidneytransplantation at Cipto Mangunkusumo Hospital The study include 21 subjects whocollected it from Marct to September 2013 Data of echocardiography anderythropoietin level were collected at time prior to kidney transplantation and repeat 3months there after The association between elevated levels of erythropoietin andcardiac function was analyzed using Pearson correlation and Spearman test Results: The study showed a significantly elevated levels of erythropoietin from7 58 2 56 to 18 1 6 4 mlU ml There was statistically significant association between elevated levels of erythropoietin and LVEDD r 0 56 p Conclusions: There was association elevated levels of erythropoietin and improvement of LVH, LVEDD on renal failure who underwent transplantation, however, there was no association of elevated levels of erythropoietin level and improvement of LVEF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>