Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 62643 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Haryati
"Sejalan dengan arus liberalisasi dan kebijakan negara yang berfokus pada pembangunan, partisipasi wanita sebagai warga negara dianggap sama penting dengan partisipasi pria. Namun dalam kenyataannya, partisipasi politik wanita hanya tinggi pada saat pemilihan umum. Bentuk dan intensitas partisipasi politik yang lebih tinggi lagi, terutama di institusi politik, begitu sulit dijangkau oleh wanita. Penelitian tentang wanita anggota DPR RI periode 1999-2004 ini memiliki tujuan untuk mengetahui: 1) tingkat partisipasi politik mereka: 2) hambatan partisipasi politik mereka dan 3) hubungan antara hambatan partisipasi politik dengan tingkat partisipasi politik mereka. penelitian ini didesain sebagai suatu survai yang bersifat eksplanatori. Hambatan partisipasi politik yang memiliki pengaruh terhadap tingkat partisipasi politik wanita, dalam penelitian ini dibatasi pada tiga hal, yaitu: 1) hambatan kultural: 21 hambatan struktural dan: 3) hambatan psikologis. Partisipasi politik sebagai variabel terikat dalan penelitian ini diukur dari: 1) frekuensi kehadiran rapat: 2) intensitas keikutsertaan dalam panitia dan badan DPR: 31 intensitas kunjungan kerja: komunikasi dengan pemilih dan 41 tingkat populasi penelitian adalah seluruh wanita anggota DPR RI periode 1999-2004 yang diangkat sejak tahun 1999 berjumlah 42 orang. Walaupun penelitian ini dirancang sebagai suatu sensus namun responden yang berhasil ditemui hanya mencapai 25 orang sehingga penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian sensus tidak lengkap. Analisis data menggunakan prosedur Korelasi Spearman. Hasil penelitian menunjukkan mayoritas responden mengalami hambatan partisipasi politik yang sedang sebanyak 60 persen. Sekitar 72 persen zesponden semiliki tingkat partisipasi politik yang juga sedang. Dari hasil uji Korelasi Spearman tidak terlihat adanya asosiasi di antara variabel-variabel tersebut. Berdasarkan hasil secara peneltiian, teoritik pendapat yang dikemukakan oleh para ahli seperti Vicky Randall, Nadezhda Svhedova, penelitian sebelumnya Ani mengenal Sutjipto pengaruh dan temuan hambatan partisipasi politik terhadap tingkat partisipasi politik dapat dikatakan tidak selalu sejalan. Untuk itu serangkaian penyempurnaan dalam studi sejenis perlu dilakukan. Hal penting yang disarankan bagi studi di masa depan adalah penggunaan konsep partisipasi politik bagi elit politik sehingga dapat digunakan variabel-variabel yang lebih sesuai dan penggunaan multi teknik pengumpulan data.

In line with the current of liberalization and state policies that focus on development, women's participation as citizens is considered as important as men's participation. However, in reality, women's political participation is only high during general elections. Higher forms and intensity of political participation, especially in political institutions, are very difficult for women to reach. This research on women members of the DPR RI for the period 1999-2004 aims to determine: 1) their level of political participation: 2) barriers to their political participation and 3) the relationship between barriers to political participation with their level of political participation. This research was designed as an explanatory survey. Barriers to political participation that have an influence on the level of women's political participation, in this study are limited to three things, namely: 1) cultural barriers: 21 structural barriers and: 3) psychological barriers. Political participation as a dependent variable in this research is measured from: 1) frequency of meeting attendance: 2) intensity of participation in DPR committees and bodies: 31 intensity of working visits: communication with voters and 41 levels. The research population is all female members of the DPR RI for the 1999-2004 period who were appointed since 1999 totaling 42 people. Even though this research was designed as a census, only 25 respondents were found, so this research can be categorized as incomplete census research. Data analysis used the Spearman Correlation procedure. The research results showed that the majority of respondents experienced moderate obstacles to political participation, amounting to 60 percent. Around 72 percent of respondents have a moderate level of political participation. from the test results Spearman's correlation does not show any association between these variables. Based on research results, theoretical opinions expressed by experts such as Vicky Randall, Nadezhda Svhedova, Ani's previous research regarding Sutjipto, the influence and findings of barriers to political participation on the level of political participation can be said to not always be in line. For this reason, a series of improvements in similar studies need to be carried out. An important thing that is recommended for future studies is the use of the concept of political participation for political elites so that more appropriate variables can be used and multiple data collection techniques can be used."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
S5744
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Lidya
"Keberadaan kader Golkar wanita di DPR berhubungan erat dengan pelaksanaan fungsi rekrutmen politik Golkar. Rekrutmen politik dimaksudkan sebagai proses pencalonan kader-kader untuk menduduki jabatan politik di DPR. Seorang kader wanita dapat menjadi anggota DPR bila ia mampu menempatkan namanya di urutan posisi "nomor jadi" dalam daftar calon tetap anggota DPR.
Penelitian ini mencoba untuk mengungkapkan rekrutmen politik anggota DPR Wanita Fraksi Karya Pembangunan (FKP) tahun 1992. Ada beberapa pertimbangan untuk membatasi masalah pada persoalan rekrutmen anggota DPR Wanita FKP. Pertama, jumlah anggota DPR wanita FKP selalu lebih banyak dari fraksi-fraksi lainnya. Kedua, sejak Golkar mengikuti pemilu (tahun 1971), kader wanita di FKP jumlahnya terus meningkat walaupun Golkar mengalami penurunan perolehan kursi DPR. Ketiga, Golkar memberikan perhatian serius pada masalah peningkatan peranan wanita di bidang politik yang tercantum dalam program umum Golkar sejak 1978 (hasil MUNAS II). Keempat, peningkatan jumlah kader-kader Golkar wanita di FKP pada pemilu 1992 tidak sebesar periode sebelumnya.
Dalam menghadapi pemilu 1992, Golkar melakukan beberapa perubahan. Kader-kader yang memperoleh nomor urut pertama sampai dengan nomor yang diperkirakan masuk sebagai anggota DPR kini langsung menjadi anggota DPR sehingga tidak lagi ditemui kader kader yang mengundurkan diri. Istilah Vote Getter yang selama ini dilekatkan pada kader-kader tertentu dan dipasang pada nomornomor awal di daftar caleg sekarang tidak lagi ditemukan karena semua kader yang masuk sebagai caleg tetap seluruhnya merupakan Vote Getter. Akibatnya, terjadi perubahan dalam mengisi keanggotaan MPR. Biasanya dari posisi nomor urut dapat diperkirakan kader-kader yang akan masuk sebagai anggota MPR, tetapi karena terjadi perubahan susunan nomor urut maka terdapat skala prioritas bagi kader yang akan duduk sebagai anggota MPR.
Walaupun Golkar telah mencoba meningkatkan jumlah kader wanita di FKP sebagaimana yang terjadi pada pemilu 1982 dan 1987, tetapi peningkatan itu tidak berlanjut pada pemilu berikutnya. Dalam keanggotaan DPR periode 1992-1997 prosentase pertambahan kader wanita di FKP mengalami penurunan sebesar 31,25 % dari periode sebelumnya. Pada 2 periode sebelumnya prosentase pertambahan anggota DPR wanita di FKP sebanyak 33,33% sementara pada pemilu 1992 hanya 2,08%. Rendahnya pertambahan kader wanita di FKP pada tahun 1992 tidak dapat dilepaskan dari rekrutmen politik Golkar.
Penelitian ini mencoba mengungkapkan bagaimana rekrutmen politik anggota DPR wanita FKP periode 1992-1997. Diasumsikan bahwa ada beberapa pertimbangan tertentu yang diambil Golkar dalam memberikan "nomor jadi" pada kader wanita di dalam daftar calon tetap anggota DPR pada pemilu 1992. Pertimbangan yang dianggap amat menentukan keberadaan kader wanita di DPR yaitu menyangkut kebijakan Golkar terhadap pencalonan kader wanita, pemenuhan kriteria yang ditetapkan Golkar terhadap calon anggota DPR wanita dan pertimbangan unsur primordial. Untuk menjawab permasalahan penelitian dikumpulkan 2 macam data yaitu data kepustakaan dan data lapangan. Data lapangan didapat melalui wawancara mendalam dengan para informan yang dianggap mengetahui persoalan rekrutmen kader wanita sebagai anggota DPR pada pemilu 1992 dengan menggunakan pedoman wawancara.
Hasil penelitian menunjukan bahwa rekrutmen kader Golkar wanita untuk dicalonkan sebagai anggota DPR tahun 1992-1997 dilandasi oleh suatu kebijakan yang mentargetkan jumlah kader wanita sebesar 15%, walaupun kenyataannya sejak pemilu 1987 jumlah mereka di DPR telah mencapai 16,05%. Akibatnya, laju pertambahan kader wanita pada pemilu 1992 menjadi tertahan bahkan dapat dikatakan dibatasi oleh kebijakan 15%. Pertambahan 2,08% kader wanita di FKP pada tahun 1992 tidak memiliki arti bila dibandingkan dengan pertambahan yang terjadi pada periode sebelumnya yaitu 33,33%. Rekrutmen anggota DPR wanita FKP tahun 1992 secara tidak langsung ditentukan juga oleh unsur kemampuan dan pengaruh yang ditetapkan Golkar. Walaupun unsur ini dapat berdiri sendiri-sendiri namun kader wanita yang akan menduduki kursi DPR dituntut memiliki perpaduan keduanya. Mereka merupakan kader-kader yang memiliki nilai lebih sehingga dianggap istimewa. Jumlahnya amat terbatas sehingga mereka sesungguhnya hanya mewakili sekelompok kecil kaum wanita Indonesia. Secara eksplisit memang tidak dinyatakan pentingnya pertimbangan unsur primordial dalam rekrutmen kader Golkar sebagai anggota DPR, tetapi dari hasil penelitian terungkap bahwa unsur agama dan suku/daerah ternyata sangat berperan dalam penempatan seorang kader wanita terutama yang berdomisili di Jakarta untuk masuk sebagai caleg di suatu daerah pemilihan tertentu. Ini disebabkan karena unsur suku/daerah atau agama yang melekat dalam diri seseorang dapat digunakan sebagai strategi untuk mempengaruhi masyarakat dan secara politis berdampak pada perolehan suara Golkar di daerah pemilihan tersebut."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1995
T3929
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Windyastuti Budi Hendrarti
"ABSTRAK
Di dalam pranata masyarakat modern, acapkali muncul berbagai ragam tuntutan publik, termasuk juga tuntutan akan perluasan partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik lebih dipahami sebagai suatu proses menumbuhkembangkan kesadaran dan keterlibatan warga negara dalam aktivitas politik tanpa mengenal segregasi peran jenis kelamin.
Khususnya melihat partisipasi politik wanita, dapat dilihat dari keterlibatan wanita yang dapat duduk di lembaga-lembaga perwakilan, baik di tingkat Pusat maupun di Daerah. Namun demikian, keterlibatan politik wanita bukan dinilai dan ditentukan semata-mata oleh banyaknya wanita yang mampu duduk di lembaga perwakilan saja, akan tetapi yang lebih penting adalah sejauh manakah keaktifan, intensitas, penampilan dalam setiap kegiatan dan sikap politiknya.
Menurut pengamatan penulis, keterlibatan politik wanita di kelembagaan DPRD Tingkat I Jawa Timur dapat diklasifikasikan masih rendah. Kenyataannya, rendahnya partisipasi politik wanita lebih disebabkan oleh sistem nilai yang berlaku dan dikembangkan dalam kelembagaan DPRD yang memang tidak kondusif bagi pengembangan dan aktualisasi peran wanita secara maksimal. "
1993
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Hasnah Pujiastuti
"ABSTRAK
Tema dari penulisan skripsi ini adalah partisipasi politik wanita Jepang kontemporer (pasca Perang Dunia II-tahun 90-an). Dengan berakhirnya Perang Dunia II, Jepang kemudian menjadi daerah pendudukan Sekutu selama kurang lebih 7 tahun. Pada masa pendudukan ini, pihak Sekutu telah mengadakan banyak perubahan dan tekanan terhadap pemerintah Jepang. Salah satu bentuk perubahan itu antara lain adalah disahkannya hak pilih bagi kaum wanita Jepang. Dengan perubahan itu, untuk pertama kalinya pada tahun 1946, kaum wanita Jepang kemudian menggunakan hak suaranya pada pemilihan umum yang ke-22. Meskipun demikian perjuangan untuk mendapatkan hak suara tersebut sebenarnya telah dirintis jauh sebelum masa itu. Pada tahun 1919, sebuah organisasi politik wanita pertama yang disebut dengan Shin Fujin Kyookai dibentuk untuk menyuarakan hak-hak politik wanita, kemudian wanita diperbolehkan mengikuti organisasi-organisasi politik meskipun mereka tetap tidak memiliki hak pilih sampai dengan tahun 1946. Sejak saat itu partisipasi politik wanita Jepang dalam pemilihan umum dapat dikatakan tinggi dan persentasenya malah melebihi kaum prianya. Meskipun demikian partisipasi mereka pada level elite politik sangat rendah. Sesuai dengan tujuan skripsi ini, yaitu untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang partisipasi politik wanita Jepang, dengan menggunakan metode kepustakaan dan setelah melakukan analisa penulis kemudian dapat menarik kesimpulan bahwa partisipasi politik wanita Jepang dalam kategori keikutsertaan dalam pemilihan umum dapat dikatakan tinggi. Akan tetapi tingginya persentase tersebut tidak diikuti dengan representasi yang cukup di pariemen dan partai-partai poltik. Hal ini antara lain disebabkan karena kultur masyarakat Jepang yang patriarkis vertikal. Kultur masyarakat ini kemudian mempunyai implikasi yang luas dalam kehidupan politik. Implikasi-implikasi tersebut antara lain adalah kultur politik Jepang, pandangan terhadap demokrasi dan kehidupan politik, praktek money politics dan pandangan terhadap wanita sebagai obyek. Hal tersebut kemudian menjadi kendala dalam rendahnya partisipasi politik wanita Jepang pada level elite politik.

"
2001
S13579
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tulus Guritno
"Dengan otonomi daerah maka diharapkan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan di daerah tersebut semakin tinggi karena salah satu hakekat sekaligus tujuan diadakannya otonomi adalah terjadinya peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Berbagai hasil studi mengidentifikasi bahwa faktor yang paling mempengaruhi atau berhubungan positip dengan partisipasi politik adalah faktor Status Sosial Ekonomi (SSE) yang terdiri dari variabel tingkat pendidikan dan tingkat penghasilan.
Penelitian ini pada dasarnya merupakan suatu verifikasi terhadap sebuah teori yang melihat adanya pengaruh yang signifikan antara tingkat Status Sosial Ekonomi dengan tingkat Partisipasi Politik yang mengambil setting pada masyarakat di Kabupaten Banyumas selama menjadi Daerah Percontohan Otonomi.
Dari berbagai teori mengenai partisipasi politik dan hasil-hasil penelitian terdahulu di dapati bahwa untuk meneliti partisipasi politik harus diteliti pada setiap bentuk menurut intensitasnya. Karena partisipasi politik merupakan konsep payung di mana setiap bentuk partisipasi politik yang ada di dalamnya merupakan variabel yang berdiri sendiri.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskripftiv/survey, pengambilan sampel dilakukan dengan cara cluster random sampling dengan jumlah responden sebanyak 198 orang. Sedangkan analisa data menggunakan analisis regresi logistik dan pengujian hipotesis memakai taraf signifikansi 5 %.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel pendidikan dan penghasilan secara bersama-sama berpengaruh secara signifikan terhadap berbagai bentuk partisipasi politik yang diteliti. Namun secara parsial baik variabel pendidikan maupun penghasilan tidak selalu memiliki pengaruh yang signifikan tehadap berbagai bentuk partisipasi politik.
Dari hasil penelitian ini disarankan agar pemerintah daerah berhati-hati dan cermat dalam mengelola partisipasi politik ini dan secara mandiri mengadakan mobilisasi politik yang positip yang bertujuan menciptakan iklim yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya partisipasi politik masyarakat."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T1984
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Setiarini
"Undang-undang pada dasarnya adalah aktualisasi dari kebijakan publik. Keputusannya akan mengikat dan berpengaruh terhadap masyarakat. Kenyataannya undang-undang hanya dibahas oleh sejumlah kecil anggota DPR yang dianggap sebagai perwakilan masyarakat . Untuk menjamin diterimanya undang-undang oleh masyarakat , sangat diperlukan partisipasi masyarakat dalam proses pembahasannya.
Undang-undang Partai Politik dipilih sebagai studi kasus karena undang-undang tersebut mendapat sorotan dan tanggapan yang ramai dari masyarakat. Undang-undang tersebut dibuat karena diperlukannya dasar hukum untuk melaksanakan pemilu dalam rangka dimulainya suatu tatanan Politik yang baru di Indonesia.
Untuk mengetahui seberapa besar partisipasi masyarakat ini, Penulis membandingkan hasil akhir undang-undang dengan rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintah, dengan melihat masukan masyarakat dalam bentuk seminar yang dilaksanakan oleh fraksi-fraksi dan sebagian kliping Koran . Untuk mengetahui kepekaan fraksi di DPR dalam hal menampung aspirasi masyarakat tersebut, Penulis melihat daftar inventaris masalah yang disampaikan oleh fraksi-fraksi dan risalah rapat.
Penulis juga menganalisis norma proses tahapan analisis kebijakan publik dalam pembuatan keputusan dengan aturan mekanisme proses pembuatan undang-undang didalam tata tertib DPR-RI , Keppres 118 tahun 1998, serta tugas-tugas Sekretariat Jenderal yang berkenaan dengan proses tersebut. Dalam hal ini Penulis membandingkan dengan mekanisme yang terdapat di Inggris.
Berdasarkan penelitian ,ternyata partisipasi masyarakat dalam proses pembahasan undang-undang Partai Politik di DPR rendah. Hal ini disebabkan mekanisme pembahasan di DPR tidak mendukung terjaringnya partisipasi masyarakat tersebut , kepentingan golongan yang menonjol, anggaran yang terbatas serta sosialisi rancangan undang-undang yang sangat kurang. Untuk menjaring parsipasi masyarakat, diperlukan perubahan Tata tertib DPR , dan perubahan uraian tugas Sekretariat Jenderal DPR , serta penambahan anggaran pembahasan undang-undang.
Faktor-faktor di luar mekanisme intern DPR juga ikut mempengaruhi rendahnya partisipasi tersebut, seperti misalnya ; hubungan antara fraksi dan daerah pemilihan, kesadaran masyarakat untuk ikut berpartisipasi, serta rendahnya pendidikan masyarakat secara umum."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
T7657
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfahmi
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1998
S5922
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ani Purwanti
"Affirmative Action (tindakan khusus sementara) untuk perempuan di bidang politik, pertama kali termuat dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik dan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR RI, DPD dan DPRD. Regulasi tersebut berlanjut pada Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 dan Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik dan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD dan DPRD (Legislatif). Ketentuan tersebut merupakan hal baru di Indonesia karena mengatur keadilan gender dalam rekruitmen dan manajemen partai politik dan memasukkan 30% keterwakilan perempuan dalam pencalonan anggota legislatif, selain itu ada keharusan partai politik untuk memasukkan setidaknya 1 orang perempuan dalam setiap 3 bakal calon Legislatif (zipper system).
Politik hukum dianggap sebagai kebijakan hukum (legal policy) yang diharapkan bisa membantu mencapai tujuan yang diinginkan masyarakat, karena politik akan mempengaruhi hukum dengan cara melihat konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukumnya serta akan dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah. Politik Hukum adalah aktivitas memilih cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan tujuan hukum tertentu. Undang-Undang Paket Politik yang ada sejak Reformasi merupakan representasi dari keinginan masyarakat (perempuan) untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan di bidang Legislatif, dan hasilnya pada Pemilu Legislatif pada Tahun 2004 jumlah keterwakilan perempuan sebesar 11,3 %. Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009, setelah Keputusan Mahkamah Konstitusi tentang suara terbanyak, keterwakilan perempuan di DPR sebesar 18,04% , di DPRD Provinsi sebesar 16,0 % dan pada DPRD Kabupaten/Kota sebesar 12,0 % .Jumlah tersebut lebih tinggi dibandingkan pada masa sebelum diterapkannya affirmative action pada masa Orde Lama dan Baru yaitu pada Pemilu Tahun 1992 (sebesar 12,50%).
Penelitian dalam disertasi ini melihat hukum dalam konsepnya sebagai norma sekaligus perilaku dan implementasinya, metode yang digunakan adalah sosio legal research, dengan demikian teks yang mengatur partisipasi perempuan dikaji dengan konteksnya di masyarakat. Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) bagaimana perkembangan politik hukum pengaturan partisipasi perempuan di bidang politik khususnya di Lembaga Legislatif (Perwakilan), (2) bagaimana implementasi pengaturan keterwakilan perempuan di bidang Legislatif sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif. Sedangkan permasalahan (3) adalah merumuskan bagaimana sebaiknya pengaturan partisipasi perempuan di Legislatif (Perwakilan) yang akan datang.
Penelitian ini termasuk kedalam jenis penelitian kualitatif dengan mengunakan teori dari Hans Kelsen, Teori Responsif Philippe Nonet dan Philippe Selznick, Teori Hukum Progresif, Lawrence M Friedman dan William J Chambliss dan Robert B Seidman, dan Teori Pembentukan Agenda dari J.M.Otto Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Tengah, Sumatera Barat dan Bali, dengan perbandingan negara Swedia, The Netherlands dan Malaysia dan 3 Partai Politik yaitu PDI Perjuangan, Golkar dan PKB.
Hasil dari penelitian ini adalah (1) perkembangan politik hukum terutama sejak era reformasi tahun 1998 mendorong meningkatnya partisipasi perempuan di bidang politik khususnya di lembaga Legislatif (Perwakilan), (2) Budaya patriarkhi yang masih berkelindan pada stakeholder termasuk partai politik dan masyarakat pemilih termasuk perempuan menjadi kendala belum optimalnya partisipasi perempuan di Legislatif (Perwakilan) di Jawa Tengah, Sumatra Barat dan Bali. (3) pengaturan ideal keterwakilan perempuan di bidang politik khususnya pada Legislatif (Perwakilan) memerlukan pengaturan yang bersifat responsif dan progresif khususnya pada pembentukan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif yang akan datang.
Partai Politik segera memasukkan program terkait dengan pendidikan politik dan pemberdayaan perempuan di dalam Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga. dengan demikian Partai Politik dapat melaksanakan program kaderisasi, rekruitmen, pendidikan politik bagi perempuan, sehingga akan tersedia cukup banyak calon legislatif perempuan yang berkualitas. Hasil lainnya adalah memaksimalkan lembaga suprastruktur, infrastruktur dan lembaga non departemen dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas perempuan di bidang politik.
Berdasarkan hasil penelitian diatas, penelitian ini merekomendasikan agar tetap memasukkam prinsip affirmatif action di dalam Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu Legislatif. Selain itu Partai Politik sebagai stakeholder utama diwajibkan memasukkan program pemberdayaan perempuan dalam AD/ART sebagai syarat utama menjadi peserta pemilu Legislatif. Hal ini disebabkan karena dari 12 partai politik peserta pemilu tahun 2014 hanya 3 partai politik yang mempunyai program pemberdayaan perempuan di dalam AD/ART yaitu (PKB, Gerindra, dan PAN). Partisipasi perempuan di Lembaga Legislatif akan meningkat sebagaimana diamanatkan Undang-Undang yaitu sebesar 30% jika pada Paket Undang-Undang Politik yang akan datang menggunakan sistem proporsional dengan daftar tertutup, dengan syarat partai politik mempunyai komitmen yang kuat terhadap peningkatan partisipasi perempuan di lembaga Legislatif.

Affirmative Action is temporary special measure for woman in political area has regulated on Act of Political Party (UU Nomor 31 Tahun 2002) and Act of Parliament Election (UU Nomor 12 Tahun 2003), it is regulate further and revised on Act Number 2 Year 2008 and Act Number 2 Year 2011 on Political Party and Act Number 10 Year 2008 and Act Number 8 Year 2012 on Parliament Election. Those regulation on affirmative action for woman are considered as a "new stuff" in Indonesia that specificly regulate about the gender equility on political party recruitment and management thats include the 30% woman representation on legislative candidate selection, it is also regulate that political party have to included at least one woman in every three candidate of preliminary legislative (zipper system).
Legal policy are considered as a legal policy that expected to change purpose on society because political will in law making process could make an impact on law from the basis of the configuration of political background process on law making process in legislative. The Act of Political Parties which had been exist since reformation can be considered as reflaction of people will to influence on policy making. The result from Legislative Election at 2004 has make woman representation in parliament about 11,3% and Legislative Election at 2009, after Constitutional Court Decree result 18,04 woman representation in Legislative and 16% on Province Legislative and 12% on City Legislative , those numbers are higher if its compared to the legislative election on the new order regime (12,5% on the 1992 election).
This doctoral research is trying to see the problem of woman representation based on law as norm and also behavior include its implementation by using socio legal research method to actualize law on its text and context. The problem that appear on this research are : first, how the development of the legal policy on woman representation in the political field especially in legislative, the second is how the regulation of woman representation works in reality according to the Act of Political Parties and the Act of Parliament Election, and third is how to formulate the ideal regulation of woman political legislative participation in the upcoming election.
This qualitative research using the theories from, Hans Kelsen, , Lawrence M Friedman and William J Chambliss and Robert B Seidman, Satjipto Rahardjo Progressive Law Theories and Agenda?s Theories from JM Otto. This research took place in Central Java, West Sumatra and Bali, with the comparison three different nation state Swedia, Netherlands dan Malaysia, the study of political party in Indonesia take place on PDI Perjuangan, Golkar and PKB.
The results from this research are (1) the development of the legal policy especially in reformation era after 1998 is very determining woman representation in political field especially legislative field. (2) Patriarkhi culture is still give an impact to the stakeholders such as political party and the voters include women it self become the main factor in the optimalization of woman participation number in Central Java, West Sumatra and Bali. (3) The ideal woman legislative representation should be regulate with progressive and responsif laws which is required in the formulated of Political Party Acts should held women empowering programme on their basic principles, so they could run and should be given on the party that doesnt obey the woman political representation both on the recruitment or in the management of the party.
Political parties as the main stakeholders that related to the woman participation especially political party should have a clear agenda to achieve the ideal condition of woman representation in political field from the level of caderization, recruitment, political education for woman, that have a clear impact both on the quality and quantity on the woman politician. The Maximalization of the suprastructure and infrastructure institution, and even the grassroot political movement and woman movement from NGO's.
Based on these Research, I recommend that the future Political Party Act and Legislative Election Acts should maintain the affirmative action principles. On the other hand, all of the stakeholders that correlated with empowering woman, on political area, especially the Political Party to held an woman empowerement programmes. So far, there are only three among twelve party on the 2014 election that has already have woman empowerement program on their rule of conduct; PKB, Gerindra and PAN. On the future,the rule of conduct that consist the woman empowerement and political agenda as one of the election's verification reqruienment. The number of woman participation on Parliament could raised if on the future election act is using the Proportional Closed List System, plus the commitment of political party to enhance the number of woman member is a must.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
D1469
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
S7679
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>