Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102813 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2000
S5914
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1996
S5541
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dilla Namira
"Skripsi ini membahas keberhasilan politisasi identitas yang dilakukan oleh Bahujan Samaj Party (BSP) hingga menghasilkan kemenangan partai pada pemilu legislatif Uttar Pradesh tahun 2007. Kemenangan tersebut menjadi kemenangan terbesar pertama bagi BSP tanpa harus melakukan koalisi dengan partai lain. BSP merupakan partai nasional India yang membela Dalit dan kasta rendah lain yang selama ini mengalami diskriminasi dan marginalisasi di India. Berdasarkan sistem kasta Varna, Dalit adalah kasta paling rendah bahkan cenderung tidak diakui di India karena dianggap hina. Partai BSP sangat identik dengan identitas Dalit dan kasta rendah karena anggota dan ketua partai berasal dari kasta rendah. Kemenangan BSP menjadi keunikan tersendiri karena untuk pertama kalinya di India partai berbasis identitas kasta rendah dapat memenangkan pemilu di negara bagian terbesar yaitu Uttar Pradesh. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan sumber data studi literatur. Untuk melihat proses politisasi identitas, teori yang digunakan yaitu teori Politisasi Identitas oleh Ates Altinordu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemenangan BSP pada pemilu legislatif Uttar Pradesh tahun 2007 merupakan hasil akhir dari politisasi identitas yang berlangsung melalui tiga tahap, yaitu Kebangkitan (Revival) ditandai dengan munculnya Dr.Ambedkar sebagai pendiri kelompok Bahujan Samaj, Reaksi (Reaction) ditandai dengan transformasi kelompok Bahujan Samaj menjadi Bahujan Samaj Party (BSP), dan Politisasi (Politicization) ditandai dengan kemenangan BSP pada pemilu legislatif Uttar Pradesh tahun 2007.

This thesis discusses about the success of identity politicization carried out by Bahujan Samaj Party (BSP) until its victory in the 2007 legislative election in Uttar Pradesh. The victory was the first biggest victory of BSP without any coalitions. BSP is India's national party that defends Dalit and other low caste who have experienced discrimination and marginalization in India. Based on Varna Caste system in Hindu, Dalit is the lowest caste and tend not to be recognized because they considered as despicable caste. BSP party is very identical with Dalit and low caste identities because the party leaders and members are from low caste. The victory of the BSP in 2007 is unique because for the first time in India a lower caste identity-based party can win legislative election in the largest state, Uttar Pradesh. This study uses qualitative methods and literature study data sources. To see the process of identity politicization, the theory used is the theory of Identity Politicization by Ates Altinordu The results showed that the victory of BSP in the Uttar Pradesh legislative elections in 2007 was the end result of identity politicization which took place through three stages, namely Revival (reaction) marked by the emergence of Dr. Ambedkar as the founder of Bahujan Samaj, Reaction (Reaction) marked by the transformation of the Bahujan Samaj into Bahujan Samaj Party, and Politicization (Politicization) marked by BSP victory in Uttar Pradesh legislative election in 2007."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silaban, Shintia Geraldin
"Pada kontestasi Pemilu di negara dominan satu partai, perlu strategi khusus bagi partai oposisi agar eksistensinya dapat bersaing dengan dominasi partai mayoritas. Penelitian ini membahas mengenai strategi yang digunakan oposisi Workers’ Party (WP) melawan partai mayoritas People’s Action Party (PAP) di negara dominan satu partai Singapura, pada kontestasi Pemilu tahun 2020 di distrik Sengkang GRC. Penelitian ini akan dianalisis melalui studi literatur. Strategi khusus yang diterapkan oleh WP menggunakan pendekatan pemasaran politik, yakni menargetkan suara segmen keluarga muda di Sengkang GRC dengan cara mengajukan kandidat-kandidat yang dinilai mampu menjangkau dan membangun hubungan dengan segmen tersebut. Segmen keluarga muda dinilai dominan menghuni Sengkang GRC karena lebih dari 60% masyarakatnya berumur di bawah 45 tahun dan populasi anak-anak yang berumur di bawah 10 tahun mencapai 14,3% dari total penduduk. Hasil penelitian menunjukkan bahwa strategi pemasaran politik WP terdiri dari dua elemen, yakni pengembangan dan penyebaran pesan kampanye. Pengembangan pesan kampanye bertumpu pada proses segmentasi dan positioning yang didasari oleh pembangunan hubungan dengan penduduk Sengkang GRC selama bertahun-tahun lamanya. Selanjutnya pesan kampanye disebarkan terutama melalui media sosial sebagai platform paling strategis dalam menjangkau target segmen, serta didukung pula oleh situasi pandemi COVID-19 yang menjadikan masyarakat Singapura lebih aktif secara daring. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dalam kasus di Singapura yang penyelenggaraan Pemilu-nya dapat dikatakan relatif bebas, upaya pemasaran politik ini dapat dijadikan salah satu strategi bagi partai oposisi di negara dominan satu partai. Hal ini karena strategi pemasaran politik tidak hanya berfungsi agar para pemilih dapat lebih mengenal tim kandidat WP saja, melainkan juga berfungsi sebagai upaya riset mendalam untuk lebih memahami distrik Sengkang GRC sehingga dapat bermanfaat pada penyelenggaraan Pemilu.

In an electoral dynamics of single-party dominance setting, a distinctive strategy is necessary for the opposition parties in order to exist within the dominance of the majority party. This study discusses the strategy used by the opposition Workers’ Party (WP) against the majority People’s Action Party (PAP) in the single-party dominant state of Singapore, in the 2020 General Election at Sengkang GRC district. In the GE2020, WP defeated PAP in a new Sengkang GRC district, making it as the opposition party with the most number of seats in the history of Singapore's Parliament. This research applies qualitative methods by collecting data from literature studies. The research shows that the distinctive strategy applied by WP mainly consists of a political marketing strategy by focusing at two elements, namely the development and dissemination of campaign messages. The campaign messages development was based on the relationship-building strategy that has been carried out by WP candidates in the district since 2011 to understand the characteristics of voters in Sengkang GRC. Based on that, WP implemented a campaign strategy that targeted the votes dominated by young family in Sengkang GRC. First, the party selected relatively younger candidates to match the district’s demographic profile. Furthermore, the campaign message dissemination was undertaken mainly through social media, by emphasizing the narrative of the personal identity of the WP candidates as fellow young families. The research concludes that the opposition party is able to deploy political marketing strategy with a fair chance of gaining significant support in single-party dominant countries. Therefore, the application of political marketing strategy is not only functional as in-depth research to understand more about the voters’ political preference, but also beneficial for opposition party to establish and enhance relationships with the voters in their respective districts."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Nurul Iffat
"ABSTRAK
Kerja sama sub-kawasan merupakan bentuk kerja sama yang semakin berkembang dalam era kontemporer. Singapore ndash; Johor ndash; Riau Growth Triangle SIJORI merupakan kerja sama sub-kawasan yang mencakup tiga entitas di kawasan Asia Tenggara. Meskipun Johor dan Riau memiliki karakteristik entitas serta sejarah relasi hubungan ekonomi dengan Singapura yang serupa di tahun 1990 hingga 2003, namun keduanya ternyata memiliki tingkat perkembangan yang berbeda; di mana Singapura ndash; Johor mampu lebih berkembang ketimbang Singapura ndash; Riau. Maka dari itu, penelitian ini meneliti alasan mengapa kerja sama sub-kawasan Singapura ndash; Johor menjadi lebih berkembang dengan menganalisis empat variabel; 1 Jarak Geografis Geographical Proximity ; 2 Economic Complementarity dan Infrastruktur; 3 Komitmen Politik dan Partisipasi Sektor Swasta; 4 Keberadaan Katalis. Penulis menggunakan metode kualitatif dengan analisis komparatif melalui wawancara dan studi pustaka. Dari hasil penelitian, ditermukan bahwa bahwa alasan hubungan Singapura ndash; Johor lebih berkembang daripada hubungan Singapura ndash; Riau pasca 2004 disebabkan karena empat poin. Pertama, Singapura ndash; Johor memiliki kedekatan geografis dan konektivitas yang lebih baik daripada Singapura ndash; Riau. Kedua, Singapura ndash; Johor memiliki komplementaritas yang lebih unggul dalam aspek modal, tenaga kerja, dan lahan yang juga ditunjang dengan pembangunan infrastruktur. Ketiga, Singapura ndash; Johor memiliki komitmen politik yang lebih kuat yang tercermin dari koordinasi antarlevel pemerintah dan kejelasan birokrasi. Keempat, Singapura ndash; Johor memiliki Pemerintah Federal Malaysia sebagai katalis hubungan, sedangkan Singapura ndash; Riau belum memiliki katalisator pada pihak Riau. Dengan demikian, penelitian ini mampu menjawab pertanyaan penelitian melalui analisis komparatif antara keberhasilan hubungan Singapura ndash; Johor dengan Singapura ndash; Riau.

ABSTRACT
Sub regional cooperation is a growing form of cooperation in the contemporary era. Singapore ndash Johor ndash Riau Growth Triangle SIJORI is a sub regional cooperation that includes three entities in Southeast Asia. Although Johor and Riau have similar characteristics and historical relations to Singapore in terms of economic between 1990 to 2003, but they they have different trajectory after 2003 in which Singapore ndash Johor is able to develop more than Singapore ndash Riau. Therefore, this study investigates the reasons why the sub regional cooperation of Singapore ndash Johor is able to be more developed by analyzing four variables 1 Geographical proximity 2 Economic complementarity and infrastructure 3 Political commitment and private sector participation and 4 Catalyst. This study uses qualitative method through comparative analysis using interview and literature. Based on the findings, it can be concluded that the reason why Singapore ndash Johor is able to be more developed than Singapore Riau after 2004 was due to four points. First, Singapore ndash Johor has better geographical proximity and connectivity than Singapore ndash Riau. Second, Singapore ndash Johor has a better complementarity in terms of capital, labor, and land aspects that are also supported by infrastructure development. Third, Singapore ndash Johor has a stronger political commitment as reflected by multilevel governmental coordination and bureaucratic clarity. Fourth, Singapore ndash Johor has the Federal Government of Malaysia as a catalyst of relations, while the catalyts from Riau side in Singapore ndash Riau has not yet to be seen. Thus, this study is able to answer research question through a comparative analysis of the development of the Singapore ndash Johor and Singapore ndash Riau."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diar Nurbintoro
"Indonesia telah meratifikasi Persetujuan mengenai Pengembangan Sumber-sumber Air di Propinsi Riau dan Pemasokan Air dari Indonesia ke Singapura tahun 1991, yang membahas mengenai kerjasama pengembangan air/ekspor yang dilakukan oleh perusahaan patungan antara Indonesia-Singapura dengan mengambil sumber-sumber air di Propinsi Riau.
Persetujuan yang berjangka waktu 100 tahun tersebut, setelah melalui proses studi dan pengkajian ternyata terindikasi adanya kemungkinan terabaikannya koordinasi pusat-daerah. Terlebih dengan adanya UU No. 22 tahun 1999 mengenai Pemerintahan Daerah, UU No. 37 tahun 2000 tentang Hubungan Luar Negeri, UU No. 24 tahun 2002 tentang Persetujuan Internasional serta UU No. 25 tahun 2002 dari segi kepentingan daerah, maka semakin terasa mendesak perlunya Persetujuan 1991 tersebut untuk ditinjau kembali.
Persetujuan 1991 yang berpotensi merugikan kepentingan nasional ini di masa datang nampaknya akan sangat membebani pemerintah dan rakyat Indonesia, mengingat bahwa aspek kepentingan daerah pemasok air dari segi wilayah dan kemampuan serta kepentingan daerah telah berubah.
Selain itu Pemerintah Indonesia menanggung resiko yang berat untuk dapat konsisten memenuhi kewajiban-kewajiban dari Perjanjian Air 1991. Ketiadaan mekanisme revisi harga atas pelaksanaan dari persetujuan tersebut, tidak adanya ketentuan 'amendment' yang memungkinkan diadakannya perubahan terhadap persetujuan ini, juga perubahan yang terjadi di daerah seperti kondisi masyarakat, sistem pemerintahan, hukum, dan kondisi alam lingkungan yang tidak sesuai lagi dengan Persetujuan Air 1991 merupakan problem besar yang kita hadapi.
Dalam tesis ini, analisa kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman digunakan dengan mengkaitkan antara Persetujuan Air 1991 dengan keberadaan peraturan perundangundangan dan kepentingan nasional Indonesia, dengan mengidentifikasi elemen-elemen yuridis maupun non yuridis.
Langkah inisiatif untuk melakukan pengkajian ulang, re-negosiasi dan atau menghentikan berlakunya perjanjian (termination) persetujuan tersebut kiranya perlu segera diambil oleh pemerintah Indonesia agar kepentingan masyarakat setempat dan keseimbangan para pihak dalam persetujuan dapat dilindungi dan dilaksanakan secara adil dan baik."
Depok: Universitas Indonesia, 2004
T36618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S5608
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
L. Yessika S.D.S.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1992
S6764
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Jocelyn Kusuma Alvita
"Derasnya arus informasi di media sosial berdampak pada kemunculan berita palsu dan menyebabkan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, beberapa negara mengeluarkan regulasi untuk mengatur berita palsu, termasuk Singapura dengan kebijakan POFMA (Protection of Falsehood and Manipulation Act). POFMA diberlakukan kepada oposisi hingga masyarakat umum. POFMA juga diberlakukan pada masa Pemilihan Umum 2020 yang dimenangkan oleh partai berkuasa People’s Action Party (PAP) dalam kondisi Pandemi Covid-19. Penelitian ini berargumen bahwa POFMA dimanfaatkan oleh PAP sebagai salah satu cara untuk mempertahankan kekuasaannya. Sebelum POFMA dibentuk, PAP telah melakukan kontrol politik terhadap oposisi dalam struktur negara dan media massa serta masyarakat umum dengan pembentukan lembaga, skema pemilu, dan kebijakan yang membatasi kebebasan. Penelitian ini dianalisis menggunakan teori three pillars of stability milik Gerschewski yang membahas tiga pilar penting yang saling berkaitan untuk mempertahankan stabilitas rezim, yaitu pilar legitimasi, kooptasi, dan represi. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pengumpulan data yang bersumber dari studi pustaka berupa buku, jurnal, dokumen resmi, dan website. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pilar legitimasi didapatkan melalui survei persepsi masyarakat terhadap berita palsu, green paper, public hearing, dan dukungan masyarakat setelah POFMA disahkan. Masyarakat mendukung POFMA karena berperan dalam mengatasi berita palsu terutama dalam isu kepentingan publik. Pilar kooptasi dapat dilihat melalui kooptasi perusahaan media sosial, POFMA Office, dan civil servants. Pilar represi diperlihatkan melalui topik kasus yang diberlakukan POFMA, jenis koreksi yang dikeluarkan, dan pihak-pihak yang mendapat pemberlakuan POFMA. Kata kunci: POFMA, Mempertahankan Kekuasaan PAP, Pemilihan Umum 2020.

The rapid flow of information on social media has an impact on the emergence of fake news and causes conflict in society. Therefore, several countries have issued regulations to regulate fake news, including Singapore with the POFMA (Protection of Falsehood and Manipulation Act) policy. POFMA applies to the opposition until the general public. POFMA was also implemented during the 2020 General Election which was won by the ruling People's Action Party (PAP) during the Covid-19 pandemic. This study argues that POFMA is used by PAP as a way to maintain its power. Before POFMA was formed, the PAP had exercised political control over the opposition in the state structure and the mass media as well as the general public by establishing institutions, electoral schemes, and policies that limited freedom. This study was analyzed using Gerschewski's theory of three pillars of stability which discusses three important interrelated pillars to maintain regime stability, namely the pillars of legitimacy, co-optation, and repression. The research uses qualitative methods with data collection sourced from literature studies in the form of books, journals, official documents, and websites. The results showed that the pillars of legitimacy were obtained through a survey of public perceptions of fake news, green papers, public hearings, and community support after POFMA was ratified. The community supports POFMA because it plays a role in overcoming fake news, especially in issues of public interest. The pillar of co-optation can be seen through the co-optation of social media companies, POFMA Office, and civil servants. The pillars of repression are shown through the topics of the cases imposed by POFMA, the types of corrections issued, and the parties to whom POFMA is enforced. Keywords: POFMA, Maintaining PAP's Power, General Election 2020."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akhmad Syauqi Widodo
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan pemasaran politik yang dilakukan oleh PDI Perjuangan pada Pemilu 2024 di Wilayah Tangerang Raya. Perlu diketahui bahwa PDI Perjuangan pada Pemilu 2024 mengalami kekalahan setelah berhasil menang dan menguasai perolehan kursi pada Pemilu 2019 di Wilayah Tangerang Raya. Untuk menganalisis fenomena tersebut, peneliti menganalisis perubahan pemasaran politik yang dilakukan PDI Perjuangan dengan menggunakan teori pemasaran politik melalui dua pendekatan yakni push marketing dan pull marketing. Sementara untuk memperoleh data dalam proses penelitian, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan dua sumber data yakni data primer dan data sekunder. Untuk data primer peneliti melakukan wawancara dan data sekunder diperoleh peneliti melalui studi literatur. Adapun temuan dari penelitian yang dilakukan bahwa perubahan yang terjadi dalam pemasaran politik PDI Perjuangan terlihat pada pemasaran melalui push marketing dan pull marketing. Pada push marketing perubahan yang terjadi yakni dari sepuluh caleg yang mengikuti pemilu, hanya tiga calon legislatif yang memiliki tim relawan. Berbeda pada Pemilu 2019 bahwa terdapat lima calon legislatif yang memiliki tim relawan. Sementara sebagian besar caleg yang tidak memiliki tim relawan bergantung pada jaringan relawan dari partai politik. Akan tetapi, konflik internal partai membuat kinerja dan solidaritas jaringan relawan terganggu yang membuat pemasaran politik menjadi tidak optimal. Kemudian, pada pull marketing terjadi perubahan dari dukungan partai politik dalam pendistribusian merchandise untuk pemasaran mengalami penurunan. Bahkan partai tidak lagi memberikan dukungan terkait penggunaan baliho sehingga sebagian besar caleg hanya memanfaatkan brosur yang disebarkan secara terbatas.

This study aims to understand the changes in political marketing carried out by PDI Perjuangan during the 2024 elections in the Tangerang Raya area. It is known that PDI Perjuangan experienced a loss in the 2024 elections after successfully winning and dominating the seats in the 2019 elections in the Tangerang Raya area. To analyze this phenomenon, the researcher examines the changes in political marketing undertaken by PDI Perjuangan using political marketing theory through two approaches: push marketing and pull marketing. To obtain data for the research process, the researcher employs a qualitative research method using two data sources: primary data and secondary data. For primary data, the researcher conducts interviews, and for secondary data, the researcher collects information through literature studies. The findings of the research indicate that changes in PDI Perjuangan's political marketing are evident in both push marketing and pull marketing. In push marketing, the change is seen in that out of the ten legislative candidates who participated in the election, only three candidates had their own personal volunteer teams, compared to the 2019 elections where six candidates had their own personal volunteer teams. Meanwhile, candidates without personal volunteer teams relied on the volunteer network from the political party. However, internal party conflicts disrupted the performance and solidarity of the volunteer network, resulting in suboptimal political marketing. In pull marketing, the change is evident from the decreased support from the political party in utilizing campaign tools. The party no longer provided support for the use of billboards, so most candidates only used brochures that were distributed in a limited manner."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>