Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 194189 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tri Astuti
"Keluarga sudah sejak lama diketahui sebagai penyedia pendampingan atau bantuan terbesar bagi para lansia dengan gangguan fisik dan kognitif (Brody, dalarn Gatt, Bengtson, & Blum, 1990). Alasan mengapa para lansia ini membutuhkan bantuan, berkaitan erat dengan konteks epidemiologis akibat munculnya penyakit-penyakit Icronis yang mengarah pada gangguan fisik dan kerusakan kognitif Gangguan serta kerusakan tersebut menempatkan sebagian besar lansia pada posisi membutuhkan pendampingan atau bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya tuntutan akan peran caregiving atau pemberian pengasuhan yang lebih aktif dari anak-anak yang telah mencapai usia dewasa (adult children). Dalarn banyak situasi caregiving, anggota keluarga yang berperan sebagai primary. caregiver mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam memberikan pengasuhan. Hal ini sesuai dengan definisi dari caregiving itu sendiri yaitu intera1csi dimana salah satu anggota keluarga membantu pihak lain dalam mengeIjakan tugas atau aktivitas sehari-hari yang pada umwnnya bisa dilakukan secara mandiri. Salah satu jenis penyakit kronis yang kemunculannya meningkat sering dengan pertambahan usia adalah demensia Demensia merupakan gangguan fungsi kognitif yang berdampak pada timbulnya gangguan emosi dan tingkah laku pada diri penderitanya Memberikan pengasuhan serta perawatan kepada penderita demensia atau jenis gangguan mental lainnya, secara umum lebih sulit dibandingkan dengan merawat lansia yang mengalami gangguan fisik tapi sedikit atau sarna sekali tidak memperlihatkan adanya gangguan emosional dan tingkah laku (Birkel, Pearson et. aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). Menurut sebagian besar caregiver, gangguan emosional dan tingkah laku ini selain sangat menyuJitkan juga mampu membuat mereka merasa sangat tertekan (Teri et.aI., Levine, et.aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3508
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Kuswarini
"Setiap pasangan suami isteri yang telah menikah tentunya rnengharapkan memiliki anak yang sehat, namun apabila ternyata anak yang mereka menderita suatu penyakit kronis tertentu, seperti leukemia, hal ini merupakan suatu situasi yang tidak dapat mereka hindari. Memiliki anak yang cacat atau menderita penyakit yang kronis, telah diketahui sejak lama dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Kazak, 1989). Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengaruh yang negatif ini terutama dirasakan oleh ibu. Kondisi anak menciptakan perasaan-perasaan negatif pada ibu, seperti perasaan tidak berdaya, ketakutan, terlalu melindungi anak, dan perasaan yang berlebihan akan tanggung jawab (Silver, bauman, & Ireys, 1995). Dari keadaan ini terlihat bahwa ibu dari anak yang menderita penyakit kronis, merupakan individu yang berhadapan dengan situasi yang dievaluasi sebagai penuh ancaman dan tuntutan. Keadaan seperti ini oleh Lazarus (1976) dinamakan stres.
Individu yang menghadapi situasi yang dinilai mengandung stres, kemudian mengevaluasi sumber-sumber daya yang dimilikinya baik dari dalam diri dan diluar diri individu. Sumber-sumber daya ini kemudian membantu individu menampilkan perilaku yang ditujukan untuk menghadapi situasi stres. Perilaku ini dinamakan coping. Coping tampil baik berupa tingkah laku nyata ataupun berupa kegiatan kognitif (Lazarus & Folkman, dalam Kaplan dkk, 1993). Secara umum coping terbagi dalam dua jenis. Yang pertama, coping terpusat masalah (problem-focused coping),yaitu suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Yang kedua, coping terpusat emosi (emotion-focused coping), yaitu coping yang ditujukan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi stres. Oleh Caver & Scheier (1989), masing-masing jenis coping dibedakan dalam lima variasi.
Individu yang melakukan coping tidak terlepas dari pengaruh orang-orang dan lingkungan dimana ia berada. Orang-orang ini dapat memberikan dukungan bagi individu yang berfungsi sebagi penahan (buffer) yang mereduksi akibat dari stres. Dukungan-dukungan seperti ini dinamakan dukungan sosial (Smet, 1994). Bentuk dukungan sosial ada lima, yaitu dukungan informasi, dukungan instrumentalmateri, dulcungan emosi, dukungan penghargaan, dan dukungan persahabatan (Oxford, 1992). Sedangkan sumber dukungan sosial dapat dibagi dari kalangan profesional, non profesional (significant others), dan kelompok dukungan social (social support group). Persepsi dari individu terhadap tersedianya dukungan sosial di lingkungan disekitarnya merupakan salah satu sumber daya yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi stres.
Dengan demikian terlihat bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku coping yang ditampilkan. Dukungan sosial dapat menjadi sumber daya bagi ibu untuk menampilkan perilaku coping. Maka penting untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang didapat ibu dan gambaran perilaku coping yang ditampilkan ibu dalam menghadapi anak yang menderita leukemia, serta gambaran pengaruh dukungan sosial yang didapat terhadap tampilnya perilaku coping ibu. Sebelumnya juga perlu dillhat bagaimana gambaran stres yang dialami ibu.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif Keabsahan penelitian dijaga dengan menggunakan triangulasi analis, yaitu menggunakan analis lain selain peneliti untuk menganalisis hasil penelitian, dan triangulasi data, yaitu menggunakan observasi selain wawancara dalam mengumpulkan data. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara. Subyek yang digunakan sebanyak 5 orang, yaitu para ibu yang memiliki anak penderita leukemia yang dirawat di RSCM Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak yang menderita leukemia, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ibu menampilkan kedua jenis perilaku coping. Coping terpusat masalah dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, sedangkan perilaku coping terpusat emosi ditampilkan dalam menghadapi emosi negatif. Semua bentuk dukungan sosial pemah didapatkan ibu. Hanya kelompok dukungan sosial sebagai sumber dukungan yang tidak didapat para ibu. Selain itu juga didapat hasil bahwa dukungan sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap munculnya perilaku coping pada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa para ibu memiliki harapan yang besar untuk mendapatkan infomaasi yang lengkap dan jelas dari dokter. Mempertimbangkan hal ini maka disarankan dari kalangan profesional, seperti dokter dan paramedis agar dapat meluangkan waklunya untuk memberikan masukan yang jelas dan lengkap sesuai tingkat pemahaman para ibu. Juga disarankan untuk membentuk kelompok dukungan yang dipandu oleh kalangan profesional. Melalui kelompok ini para ibu dapat saling bertukar pengalaman dan berbagi perasaan, sehingga akhirnya diantara mereka dapat saling memberikan dukungan sosial. Peran ayah dalam menghadapi anak yang menderita leukemia juga nampaknya cukup berat. Selain ikut membantu ibu merawat anak, para ayah juga memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk membiayai pengobatan anak. Dengan memperhatikan hal ini, menjadi sangat menarik bagi yang hendak mengembangkan penelitian sejenis, untuk melakukan studi perhandingan dengan subyek para ayah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Chandra
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gamajanti Zulkarnaen
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellizah Adam
"Pengasuhan anak merupakan suatu proses yang penuh stres (stressful) namun juga membawa kepuasan emosional bagi pasangan suami istri (Carter & Mc Goldrick, 1982). Berbagai masalah yang ditemui dalam mengasuh anak dapat membuat kedua orang tuanya mengalami konflik baik di antara mereka berdua maupun dengan orang sekitarnya. Masalah-masalah yang dialami oleh orang tua anak dengan gangguan perkembangan tertentu biasanya lebih besar dari orang tua dengan anak normal (Mangunsong, 1998).
Dalam penelitian ini, penulis tertarik untuk meneliti mengenai orang tua anak penyandang autisma Autisma adalah suatu gangguan perkembangan yang dialami oleh anak sejak tiga tahun awal kehidupannya. Gangguan ini bersifat menetap dan mempengaruhi semua aspek kehidupan anak. Gejala pada anak adalah kesulitan berkomunikasi verbal, kesulitan menjalin hubungan dengan orang lain, serta obsesi kuat terhadap rutinitas. Pada umumnya anak penyandang autis tidak memperlihatkan ciri-ciri penampilan fisik yang menunjukkan kelainannya itu, sehingga terkadang orang tua mengalami kesulitan menerima diagnosa anak. Selain itu, para orang tua juga merasakan berbagai perasaan negatif yang diakibatkan diagnosa autisma anak. Penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran proses stres dan coping pada orang tua anak penyandang autisma.
Dalam menggambarkan proses stres yang dialami oleh para orang tua penyandang autisma, akan digunakan model appraisal yang dikembangkan oleh Lazarus (dalam Cooper & Pavne, 1991). Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu primary dan secondary appraisal. Dari hasil appraisal individu terhadap situasi yang dihadapinya maka individu akan menentukan bermasalah atau tidaknya situasi tersebut. Bila suatu situasi dirasa bermasalah, maka individu akan memunculkan respon untuk mengatasinya {coping). Model strategi coping yang digunakan adalah dari Carver, Wientraub & Scheier (1989) dengan skala COPE.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif yaitu melalui metode wawancara dan observasi. Yang menjadi subyek adalah tiga pasang suami-istri yang memiliki anak penyandang autisma. Semua subyek berdomisili di DKI Jakarta dengan tingkat pendidikan antara SMEA dan Strata-2 (pasca saijana). Tingkat sosial ekonomi subyek adalah menengah sampai menengah ke atas.
Dari hasil penelitian ditemukan bahwa sebelum mendapat diagnosa autisma anak, dua pasang orang tua tidak pernah mengetahui sama sekali tentang autisma sedangkan satu pasang sudah mengetahui dari media massa Ketidaktahuan mengenai autisma ini menyebabkan dalam penanganan anak menjadi kurang terarah dan juga kurang efektif. Di samping itu.diagnosa yang tidak pasti mengenai kondisi anak menimbulkan keresahan dan tekanan emosional pada kedua pasangan tersebut. Perilaku anak yang sulit dipahami dan tidak wajar juga menimbulkan masalah yang dirasa berat oleh semua subyek. Coping yang dilakukan pada saat ini biasanya berupa mencari informasi dan juga melampiaskan perasaan sedih dengan menangis atau berdoa.
Setelah mendapat diagnosa, ketiga pasangan mengaku merasakan berbagai emosi negatif seperti sedih, kasihan pada anak, tidak percaya, dan sebagainya. Untuk mengatasi ini, para orang tua selain berusaha mencari informasi dan penanganan bagi anak, juga mencari dukungan dari orang sekitar seperti keluarga, teman dan rekan keija. Sesudah mengetahui diagnosa anak, masalah yang dihadapi antara lain masalah keuangan kesulitan menemukan fasilitas terapi yang cocok dan juga memberikan penjelasan pada keluarga besar agar dapat menerima autisma anak mereka. Dalam pembagian tanggung jawab pengasuhan anak, dua pasangan memiliki bentuk keluarga tradisional di mana suami bekerja dan istri mengurus anak sedangkan satu pasangan memiliki bentuk keluarga di mana suami dan istri sama-sama beker]a dan pengasuhan anak di siang hari diserahkan kepada baby sitter dan orang tua dari istri.
Ditemukan adanya perbedaan di mana pada keluarga tradisional, istri yang lebih banyak terlibat dalam pengasuhan anak cenderung lebih mengetahui cara mendidik anak dan juga lebih tahu cara menerapkan hal-hal yang diajarkan pada terapi. Para suami dalam keluarga tradisional ini berusaha untuk mengikuti perkembangan anak namun banyak terhambat oleh kesibukan pekerjaan. Karena ketidaktahuan mereka, kedua orang ayah terkadang inkonsisten dalam mendidik anak sehingga melanggar aturan pengasuhan yang ditetapkan oleh istri mereka. Inkonsistensi ini dirasakan sebagai masalah yang amat besar oleh satu pasangan sedangkan tidak oleh pasangan yang lain. Pada keluarga yang kedua orang tuanya bekerja, pengetahuan dan perlakuan terhadap anak relatif sama meski sang istri mengakui bahwa suaminya lebih tegas.
Setahun terakhir, para subyek merasakan kepuasan yang berbeda terhadap berbagai penanganan yang mereka lakukan terhadap anak mereka Dua orang pasangan mengaku sudah melihat banyak kemajuan pada anaknya dan bahwa sebagian besar cara yang mereka pilih membawa hasil yang positif sementara satu pasangan merasa sangat tidak puas. Ketidakpuasan ini diakibatkan oleh inkonsistensi dari suami dan juga karena kurang intensifnya terapi pada tahuntahun awal diagnosa karena hambatan biaya Penelitian ini menemukan bahwa ada beberapa gejala coping yang tidak diungkap oleh Skala COPE yaitu perbandingan keberhasilan diri sendiri dengan orang lain (socicil comparison). Skala ini juga tidak membahas mengenai pemberian dukungan sosial kepada orang lain sebagai sebuah strategi coping."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3456
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
P. Maduretno
"Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang psrose penyesuaian diri istri yang suaminya terserang stroke. Stroke adalah penyakit kerusakan pada area otak yang ketika persediaan darah ke area tersebut terganggu dan menyebabkan otak kekurangan oksigen. Stroke dapat mengakibatkan penderitanya mengalami kelumpuhan fisik, gangguan kognitif dan emosi tergantung dari bagian otak mana yang terkena serangan. Penyakit stroke tidak hanya menimbulkan penderitaan atau kesulitan pada diri penderitanya saja, namun juga keluarganya, terutama orang yang memiliki ikatan emosi yang erat dengan penderita, seperti pasangan atau anak (Rolland dalam Herfianti, 1998). Istri yang suaminya menderita penyakit kronis harus menghadapi masalah-masalah baru yang berkaitan dengan penyakit dan ini menjadi stres tersendiri bagi istri (Kuyper & Wester, 1998). Seorang istri yang suaminya terserang stroke dituntut harus menerima dan menyesuaikan diri dengan kondisi suaminya yang mengalami perubahan setelah stroke.
Menurut Atwater (1983), penyesuaian diri meliputi perubahan dalam diri seseorang dan lingkungannya untuk mencapai hubungan yang baik dengan orang lain dan lingkungannya. Haber & Runyon (1984) mengemukakan karakteristik yang menunjukkan penyesuaian diri yang efektif meliputi persepsi yang akurat tentang realitas, kemampuan mengatasi stres dan kecemasan, gambaran diri (self-image) yang positif, kemampuan untuk mengekspresikan emosi, dan memiliki hubungan interpersonal yang baik. Penyesuaian diri yang dapat dilakukan oleh seorang istri yang memiliki suami yang menderita penyakit kronis adalah dengan membiasakan diri dan belajar hidup dari kenyataan atau keadaan yang ada, juga menyesuaikan jadwal sehari-hari dan menyesuaikan dengan keinginan penderita.
Penelitian dilakukan pada istri yang menjadi caregiver bagi suaminya yang terserang stroke. Untuk mendapatkan gambaran tentang proses penyesuaian diri istri yang suaminya terserang stroke, penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan wawancara dan obsercasi sebagai alat pengumpulan datanya. Dari hasil penelitian diperoleh gambaran bahwa masalah yang dialami istri yang suaminya terserang stroke berkaitan dengan masalah beban tugas merawat suami, masalah dengan kondisi sakit suami, dan masalah hubungan dengan orang-orang disekitamya. Istri penderita stroke menyesuaikan diri dengan berbagai tugas-tugas merawat suaminya dengan menerima dan menjalankannya. Mereka berusaha memahami dan menerima keadaan suaminya dan berusaha menghadapi setiap masalah yang muncul."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Wulandari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1990
S2344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asty Saskia Fabianto
"ABSTRAK
Setiap wanita tentunya mendambakan mempunyai suami dan keluarga yang
bahagia. Jika ada alternatif lain , maka keputusan untuk bercerai tentunya sangat
dihindari. Namun apabila seluruh jalan sudah ditempuh , segala macam cara telah
dilakukan oleh seorang istri kepada suami untuk mempertahankan keutuhan rumah
tangga tidak berhasil, maka terpaksa ia harus memutuskan bercerai.
Dalam penulisan skripsi ini, penelitian lebih difokuskan pada subyek wanitawanita
yang berstatus janda yang mengalami hidup tak bermakna, kemudian setelah
melalui proses^ia berhasil mengubah hidupnya menjadi bermakna. Adapun penelitian
ini adalah kualitatif dengan bersumber pada dua orang subyek yang telah menjadi
janda, serta berlandaskan teori Logotherapy dari Viktor Frankl.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana dan hal apa yang
dialami oleh wanita-wanita berstatus janda selama ia mengalami hidup tak bermakna
sampai ia dapat dikatakan berhasil merubah kehidupannya menjadi bermakna.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya kesejalanan antara kasus kedua
orang subyek penelitian dengan tahapan mencapai keberhasilan meraih hidup
bermakna, seperti yang diutarakan oleh teori Viktor Frankl, yaitu;
Tahap-tahap ini dapat digolongkan menjadi lima tahapan sebagai berikut;
a. Tahap Derita (peristiwa tragis, penghayatan tanpa makna)
b. Tahap Penerimaan Diri (pemahaman diri, pengubahan sikap)
c. Tahap Penemuan Makna Hidup (penemuan makna dan penentuan
tujuan-tujuan hidup)
d. Tahap Realisasi Makna (keikatan diri, kegiatan terarah untuk
pemenuhan makna hidup)
e. Tahap Kehidupan Bermakna (penghayatan bermakna,
kebahagiaan)
Yang secara keseluruhan, hasil analisis kedua subyek penelitian, dalam
proses dari kehidupan tak bermakna menjadi bermakna,membutuhkan waktu, effort
yang besar perjuangannya .Dan memerlukan waktu yang cukup lama ."
2004
S3252
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Sintesana Prasetyo
"Banyak penelitian yang menguji hubungan kemelekatan tidak aman dan depresi, namun belum ada yang menguji peran dukungan sosial yang dipersepsikan secara umum sebagai kemungkinan mediator dari hubungan tersebut. Peneliti menguji peran dukungan sosial sebagai mediator hubungan kemelekatan tidak aman dan depresi. Mahasiswa dari berbagai universitas di Indonesia (N=416) diuji menggunakan versi bahasa Indonesia dari Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), dan Hopkins Symptom Checklist 25 (HSCL-25) untuk melihat nilai tingkat depresi, pola kemelekatan, dan dukungan sosial yang dipersepsikan secara berurutan. Analisis mediasi sederhana menunjukkan bahwa dukungan sosial memediasi hubungan kemelekatan menghindar dan depresi, namun tidak untuk hubungan antara kemelekatan cemas dan depresi. Ada kemungkinan kedua tipe kemelekatan mempersepsi dukungan sosial secara berbeda, sehingga menyebabkan adanya perbedaan hasil mediasi. Berangkat dari hasil penelitian ini, mahasiswa dapat meningkatkan kesadaran atas dukungan sosial yang dipersepsikan sebagai usaha untuk menghindari depresi.

Many studies have examined the relationship between insecure attachment and depression, but no one has examined the role of perceived social support in general as a mediator of the relationship. Current study examined the role of perceived social support as the mediator of the relationship between insecure and depression. Students from various universities in Indonesia (N = 416) were tested using the Indonesian version of Experiences in Close Relationships-Revised (ECR-R), Multidimensional Scale of Perceived Social Support (MSPSS), and Hopkins Symptom Checklist 25 (HSCL-25) to see depression levels, attachment, and perceived social support, respectively. Simple mediation analysis shows that social support mediates the relationship between avoidant attachment and depression, but not the relationship between anxious attachment and depression. It is possible that the two types of attachment perceive social support differently, leading to different mediation results. Departing from the results of this study, college students can increase awareness of perceived social support as an effort to avoid depression."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidwina
2004
S3377
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>