Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133553 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Noviyanti
"ABSTRAK
Manusia sebagai mahluk sosial memiliki kebutuhan untuk mencari dan
mempertahankan hubungan dengan orang lain, misalnya dengan keluarga, saudara,
teman, pasangan, dan sebagainya. Salah satu kebutuhan tersebut adalah kelekatan
(attachment). Sebagai proses yang penting dalam kehidupan manusia, kelekatan
tidak hanya mendorong berkembangnya kemampuan siirvival pada masa bayi,
tetapi juga mendorong perkembangan yang adaptif sepanjang rentang kehidupan.
Kelekatan yang terbentuk pada masa bayi mempengaruhi perkembangan
kompetensi sosial dan emosional manusia pada perkembangan selanjutnya karena
kelekatan tidak hilang begitu saja ketika individu mencapai usia dewasa. Kelekatan
menjadi sangat penting ketika manusia dewasa karena pada masa inilah manusia
harus memenuhi salah satu tugas perkembangannya yaitu menjalin hubungan yang
intim dengan orang lain.
Kelekatan juga membentuk perbedaan individual yang terlihat dalam
tingkah lakunya ketika berhubungan dengan figur kelekatan atau dalam hubungan
interpersonalnya. Yang menjadi perbedaan individual ini adalah gaya kelekatan
yang memiliki tiga tipe yaitu gaya kelekatan secure, avoidant, dan
arvcious/ambivalent. Penelitian ini ingin melihat pengaruh gaya kelekatan orang
dewasa terhadap tingkat kesepian pada individu dewasa muda yang tidak memiliki
pasangan. Tugas perkembangan individu dewasa muda adalah harus mampu
mengurangi kesepian yang dialaminya karena pada tahap perkembangan inilah
ditemukan adanya tingkat kesepian yang tinggi.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
kuantitatif. Peneliti menggunakan kuesioner sebagai alat ukur, yang terdiri dari
adaptasi Adult Attachment Scale Hazan & Shaver (1987) dan R-UCLA Loneliness
Scale. Subyek dalam penelitian ini adalah individu dewasa muda yang saat ini tidak
memiliki pasangan dan dipilih dengan menggunakan metode incidental sampling. Kriteria subyek adalah berpendidikan minimal SMU, telah menyelesaikan
pendidikannya dan telah bekeija.
Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: pertama, ditemui
adanya pengaruh yang signifikan gaya kelekatan orang dewasa terhadap tingkat
kesepian pada dewasa muda yang tidak memiliki pasangan. Kedua, gaya kelekatan
secara signifikan mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap tingkat kesepian
pada dewasa muda yang tidak memiliki pasangan. Subyek dengan gaya kelekatan
arvcious/ambivalent memiliki tingkat kesepian yang lebih tinggi dibanding subyek
dengan gaya kelekatan secure dan a\>oidant. Ketiga, proporsi penyebaran subyek
berdasarkan gaya kelekatannya sesuai dengan proporsi yang diperoleh pada
penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu persentase terbesar dari seluruh subyek
penelitian adalah subyek yang tergolong secure, diikuti oleh subyek yang tergolong
avoidant dan persentase terkecil adalah subyek yang tergolong gaya kelekatan
arvcious/ambivalent."
2003
S3291
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hanira
"ABSTRAK
Hubungan akrab dengan orang lain merupakan kebutuhan mutlak untuk
hampir setiap individu. Hubungan akrab merupakan sarana individu untuk
berbagi rasa, mengenal diri lebih mendalam dan juga sebagai tempat meminta
bantuan di kala membutuhkannya. Tidak dimilikinya hubungan yang akrab
tersebut merupakan pencetus timbulnya perasaan kesepian dengan sejumlah
akibat buruknya.
Tuntutan untuk memiliki hubungan akrab dengan orang lain ternyata
merupakan salah satu tugas penting bagi mereka yang berada di masa dewasa
awal. Keadaan di masa tersebut menyebabkan dibutuhkannya hubungan khusus
dengan orang lain terutama dengan pasangan atau lawan jenis sebagai tempat
berbagi dan juga sebagai persiapan mereka untuk tuntutan selanjutnya yaitu
membentuk keluarga. Namun tidak semua dewasa awal memiliki hubungan
seperti itu. Mereka tidak ?memiliki' orang lain yang akrab dengan dirinya, yang
dapat diajak berbincang dan berbagi dalam banyak hal. Keadaan ini merupakan
keadaan yang tidak menyenangkan dan seperti telah dijelaskan sebelumnya,
merupakan penyebab timbulnya perasaan kesepian.
Namun, untuk mendapatkan suatu hubungan yang berkualitas seperti itu,
diperlukan proses dan usaha tertentu. Individu perlu saling mengungkapkan
dirinya masing-masing secara jujur. Memberikan informasi yang sifatnya pribadi
dan mengungkapkan diri kepada orang lain merupakan perilaku yang memiliki
konsekuensi negatif. Akibat negatif yang mungkin timbul antara lain tidak
ditanggapinya pengungkapan diri yang telah dilakukan maupun penyalahgunaan
informasi yang telah diberikan melalui pengungkapan diri tersebut untuk tetap
dapat melakukan hal itu walaupun terdapat kemungkinan adanya konsekuensi
yang merugikan, individu harus memiliki rasa percaya terhadap orang lain. Rasa
percaya membuat individu berkeyakinan bahwa orang lain merupakan orang yang
baik dan pengungkapan diri yang ia lakukan tidak akan berefek negatif.
Perkembangan menuju suatu hubungan yang akrab terjadi melalui proses
keterbukaan diri yang dilandaskan rasa percaya tersebut. Dengan berkembangnya
hubungan tersebut, diharapkan individu tidak mudah terserang kesepian.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka timbul pertanyaan apakah
perasaan kesepian memiliki kaitan dengan rasa percaya terhadap orang lain.
Penelitian yang dilakukan untuk menjawab permasalahan ini menggunakan
sampel dewasa awal yang tidak memiliki pasangan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan yang erat antara
perasaan kesepian dengan rasa percaya pada orang lain. Semakin tinggi perasaan
kesepian yang dialami, semakin rendahlah rasa percayanya pada orang lain.
Sebaliknya bila perasaan kesepiannya rendah maka ia memiliki rasa percaya yang
tinggi pada orang lain.
Dari hasil penelitian tersebut, maka saran yang dapat diberikan untuk
mereka yang mengalami kesepian adalah agar mereka memperluas lingkup
pergaulannya dengan ikut serta dalam berbagai kegiatan. Cara lainnya adalah
melalui pelatihan tentang bagaimana meningkatkan rasa percaya dan
mengungkapkan diri kepada orang lain dengan tingkatan yang sesuai sehingga
timbul peluang untuk mengembangkan hubungan ke arah yang lebih akrab.
Namun, untuk dapat mengetahui secara lebih tepat kaitan kedua hal tersebut
maupun manfaat saran di atas, sebaiknya diadakan penelitian lain yang lebih
baik."
1997
S2295
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shara Sani Susanti
"Di Indonesia kesepian merupakan fenomena yang sering dijumpai, terutama di usia dewasa muda. Bahkan, pada penelitian yang dilakukan oleh Into the Light yang dilakukan di bulan Mei – Juni 2021 dengan 5.211 partisipan menunjukkan bahwa 2 dari 5 partisipan lebih memilih mati daripada harus merasakan kesepian. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa kesepian merupakan masalah yang serius. Penelitian- penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kelekatan dengan hewan bisa mengurangi tingkat kesepian, namun ada juga penelitian yang menunjukkan tidak ada hubungan antara keduanya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk memahami hubungan antara tingkat kesepian pada dewasa muda yang tidak memiliki pasangan dan kelekatannya dengan hewan peliharaan. Penelitian ini dilakukan dengan metode korelasional. Partisipan dalam penelitian ini adalah dewasa muda berusia 19-25 tahun yang tidak memiliki pasangan dan memiliki hewan peliharaan anjing dan/atau kucing (N= 103). Untuk memenuhi tujuan, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan menggunakan 2 alat ukur, yaitu UCLA Loneliness Scale version 3 dan Lexington Attachment to Pet Scale (LAPS). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tingkat kesepian dan kelekatan dengan hewan tidak memiliki korelasi yang signifikan (r(103) = 0,82, p = 0,206). Dengan demikian, penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kesepian individu dewasa muda yang tidak memiliki pasangan tidak berhubungan dengan tingkat kelekatan pada hewan peliharaan
Loneliness is a phenomenon often occurring in Indonesia, especially within your adults. In a research done by Into the Light in May - June 2021 with 5,211 participants, 2 out of 5 participants would rather choose to die than being lonely.Based on that data, we could concur that loneliness is a serious issue. Previous research has shown that attachment to animal could reduce the level of loneliness one might felt, but there are also research which shown that there are no correlation between the two. And for that reason, this research aims to understand the correlation between the loneliness levels in young adults that do not have romantic partners and their attachment with pets. This research was done with correlational method. The participants in this research are young adults age 19 to 25 that do not have romantic partners and taking care of pet(s) in the form of dog(s) and/or cat(s) (N= 103). To satisfy the condition, this research use quantitative method which used 2 measuring tools, which is UCLA Loneliness Scale version 3 and Lexington Attachment to Pet Scale (LAPS). The results shows that loneliness level and pet attachment does not significantly correlate with each other (r(103) = 0.82, p =206). And so this research shown that the loneliness level in young adults that do not have romantic partners does not correlate with the level of attachment to pets
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wesmira Parastuti
"Tingkah Iaku yang ditampilkan individu salah satunya ditentukan oleh motif yang ada dalam dirinya. Tidak semua motif disadari oleh individu, bahkan sebagian besar motif tidak disadari individu. Motif intimacy merupakan salah satu dari sejumlah motif yang dimiliki individu. Motif intimacy merupakan dorongan intemal individu dalam berbagi keterbukaan, kontak, komunikasi timbal balik, kesenangan Kasih saying dan perhatian pada orang lain. Intimacy semakin stabii saat inividu memasuki tahapan usia dewasa muda Pada S881 temebut motif dan kebutuhan untuk intimacy menjadi hal yang disadari penuh. Karena ini, individu mulai mencari pasangan yang tetap untuk mempersiapkan dalam tugas perkembangan selanjutnya, yaitu berkeluarga.
Adanya perbedaan stereotipi gender yang mengatakan bahwa wanita memiliki karakteristik yang lebih bisa menampilkan intimacy dibandingkan pria Untuk mengukur perbedaan motif intimacy ini dapat digunakan sistem skoring dari McAdams (1980) melalui suatu asesmen yang diesebut dengan Hiemaric' Apperception Test, yang berusaha mengungkap motif yang sifatnya beium tentu disadari sepenuhnya Sistem skoring ini terdiri dari 10 kategori motif intimacy. Dalam penelitian ini penulis berusaha melihat apakah motif intimacy yang terungkap pada TAT juga dapat terungkap dalam bentuk lapor diri (wawancara) yang bentuknya lebih disadari individu dan juga sebaliknya, apakah basil wawancara yang temngkap mendukung apa yang telah idapatkan berdasarkan TAT.
Penulis juga ingin mlihat apakah benar bahwa wanita pada umumnya memiliki motif intimacy yang lebih tinggi daripada pria Sesuai penelitian yang dilakukan McAdams, penulis memakai 7 kartu TAT, dan ditambah dengan metode kualitatif (wawancara) untuk mengungkapkan motif intimacy yang bentuknya iebfih disadari individu Jumlah subyek sebanyak 8 orang, yang terdiri dari pasangan pacaran pria dan wanita kelompok usia dewasa muda (4 orang wanita, dan 4 orang pria). Hal ini ditujukan untuk dapat sekaligus melihat dinamika keinginan untuk intimacy yang berbeda pada wanita dan pria pasangan yang sedang pacaran.
Hasil yang didapatkan sesuai dengan pandangan umum gender, yaitu rata-rata skor motif inrimacy berdasarkan TAT pada pasangan pacafan usia dewasa muda menunjukkan bahwa subyek wanita memiliki skor motif intimacy yang Iebih tinggi darioda subyek pria Ini menunjukkan bahwa pada subyek wanita umumnya memiliki dorongan intemal (yang bentuknya kurang/tidak disadari) yang lebih besar dalam berbagi keterbukaan, kontak, komunlkasi timbal balik., kesenangan, kasih sayang dan perhatian pada orang lain. Motif intimacy berdasarkan wawancam secara umum terungkap bahwa pada setiap subyek wanim secara sadar mengemukakan keinginan untuk lebih banyak menikmati kebersamaan dengan paaangannya (union) dan daiam bentuk escape to im'fmak.y.
Hal ini tidak terungkap pada subyek laki-Iaki pasangannya. Hampir seluruh kategori motif intimacy yang muncul pada TAT juga muncul pada wawancara Ini menunjukkan bahwa pada umumnya semua motif intimacy yang sifatnya tidak disadari dapat terungkap secara disadari. Sedangkan, ada banyak kategori motif intimacy yang hanya muncul pada wawancara, namun tidak muncul berdasarkan TAT. Ini menunjukkan bahwa wawancara mengungkapkan kategoli motif intimaqf yang tidak terungkap melalui TAT- Hal ini dapat te|jadi karena biasanya dalam bentuk laporan biografi dari individu (wawancara) banyak muncul Iapor diri yang diterima secafa sosial dan terlihat "normal". Sehingga keinginan/dorongan inrimacy -yang merupakan keinginan yang sangat diterima secara sosial dan terlihat "normal"~ lebih banyak muncul dari wawancara yang diperoleh Terlebih lagi subyek penelitian yang digunakan adalah kelompok usia dewasa muda yang memiliki kebutuhan untuk intimaqy yang disadari penuh.
Untuk penelitian selanjutnya, penulis menyarankan agar memperbanyak jumlah sampel agar dapat lebih digeneraiisasikan, membuat standarisasi motif intimacy dari McAdams, sehingga dapat ditentukan motifintimaqy yang tergolong tinggi, sedang atau rendah, dan mélihat perbedaan tingkah laku antara individu yang bermotif tinggi, sedang dan rendah melalui setting yang menyerupai kehidupan sehari-hari (misalnya psikodrama). Penulis juga menyarankan agar memperdaiam pertanyaan wawancara yang diberikan pada subyek penelitian, dengan menambahkan butir pertanyaan mengenai pandangan subyek wanita terhadap pasangannya, dan sebaliknya. Hai ini ditujukan unmk lebih memahami dinamika motif intimacy pada pasangan, sehingga hasil yang diperoleh lebih kaya dan mendaiam Penulis menyarankan agar melakukan penelitian ini pada berbagai kelompok usia, untuk mengetahui apakah motif intimacy (seperti juga motif-motif lainnya yang dapat diterima secara sosial) memang biasanya lebih banyak terungkap melalui wawancara (lapor diri yang disadari) dibandingkan melalui TAT. Iuga disarankan untuk penyekor scoring dengan memakai beberapa pemeriksa, sehingga reliabilitas penyekoran lebih sahih (dengan menggunakan inter rarer reliability), dan mempertimbangkan jangka waktu pacaran pada subyek penelitian. Terakhir, penulis menyarankan melakukan penelitian pada sejumlah kelompok yang dinilai memiliki sifat androgini untuk mengetahui apakah pada umumnya wanita dalam kelompok tersebut juga memiliki motif imimacy yang lebih tinggi daripada pria."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
T38207
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Nur Aini
"Dalam teori Psikologi Perkembangan dinyatakan bahwa setiap manusia memiliki tugas-tugas perkembangan dalam hidupnya. Pada masa usia dewasa muda, salah satu tugas perkembangan yang panting adalah membangun hubungan yang intim dengan orang lain (Erikson dalam; Papalia & Olds, [998). Dalam membangun suatu hubungan intim, pencarian pasangan merupakan hal yang tidak terpisahkan di dalamnya. Umumnya perempuan cenderung memilih pasangan laki-laki yang memiliki tingkat intelegensi yang lebih tinggi dan pekerjaan yang lebih mapan sebagai pasangan ideal. Sebalikuya, laki-laki cenderung memilih perempuan yang berusia lehih muda dan memiliki daya tarik fisik yang lebih sebagai pasangan ideal (Peplau, 1983; dalam Tumor & Helms, l995).
Namun kenyataannya, preferensi seorang perempuan dewasa muda untuk memilih pasangan laki-laki yang berusia lebih muda bukanlah hal yang aneh lagi pada kehidupan saat ini. Meskipun mendapat pro dan kontra dari lingkungan terdekat, terutama keluarga dan masyarakat luas, terbukti bahwa jumlah pasangan perempuan dengan laki-laki berusia lebih muda se makin meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menandakan adanya pengalaman khusus yang menyertai mereka, khususnya bagi perempuan dewasa muda, baik pada masa pra pacaran maupun masa pacaran yang sedang dijalani.
Jika ditinjau secara teori, beberapa tokoh yang mengemukakan bahwa hubungan pacaran yang demikian cenderung rentan terhadap konflik, baik konflik yang berkaitan dengan faktor intenal (masalah di antara pasaingan) maupun konflik yang berkaitan dengan faktor eksternal (melibatkan orang di luar pasangan). Namun dengan semakin banyaknya perempuan dewasa muda yang menjatuhkan pilihan mereka pada pasangan yang berusia lebih muda, maka mungkin saja konflik-konflik tersebut menjadi berkurang atau bahkan berubah menjadi suatu hubungan yang menyenangkan dan langgeng hingga ke jenjang pernigkahan, Untuk itu penulis tertarik untuk melakukan studi lebih jauh mengenai hubungan pacaran ini. Hal khusus yang ingin diteliti oleh penulis adalah mengenai gambaran konsep pacaran dan pengalaman berpacaran (terdiri dari alasan untuk berpacaran, konflik yang dihadapi, tanggapan orang tua dan significant athers keuntungan dan kerugian, dan perencanaan dalam kehidupan mendatang) dilihat dari sudut pandang perempuan dewasa muda. Penulis tertarik untuk memperoleh informasi dari sudut pandang perempuan, berkaitan dengan adanya pendapat bahwa perempuan cenderung memilih pasangan pria yang lua dan lebih mapan.
Tinjauan pustaka yang digunakan antara lain teori mengenai hubungan pacaran (delinisi dan konsep. alasan dan tujuan. tahapan, faktor yang mempengaruhi proses menuju hubungan pacaran, dan konflik-konflik yang dialami), perempuan dewasa muda, dan keterkaitan semua aspck tersebut.
Penulis menggunakan metode kualitatif dalam upaya memperoleh data. Hal ini dikarenakan konsep hubungan pacaran dan pengalaman berpacaran tidak terlepas pada penghayatan masing-masing individu, sehingga menjadikan mereka unik dan tidak dapat digeneralisasikan. Lewat pendekatan kualitatif juga, penulis dapat memahami hal-hal yang diteliti sebagaimana penghayatan individu yang bersangkutan. Penelitian kualitatif mengungkapkan data dari perspektif subyek yang diteliti, berusaha memahami gejala tingkah laku manusia menurut penghayatan si pelaku atau melalui sudut pandang subyek penelitian (Dooley, dalam Poerwandari, 1998). Dalam hal ini penulis menggunakan teknik wawancara sebagai teknik utama dalam memperoleh informasi dari subyek yang bersangkutan.
Untuk membantu menggali hal-hal khusus tersebut secara lebih jelas dan menangkap kompleksitas dari penghayatan tersebut secara utuh, penulis menggunakan tes kepribadian sebagai salah satu alat diagnostik tambahan dalam memperoleh data. Tes yang dipilih penulis adalah Thematic Appercepzion Test (TAT) sebagai salah satu tes kepribadian yang bersifat proyektif. TAT merupakan teknik untuk menginvestigasi dinamika kepribadian yang terrmanifestasikan dalam hubungan interpersonal dan dalam interpretasi bermakna terhadap Iingkungan. Kekuatan TAT terletak pada kemampuannya dalam mencetuskan isi dan dinamika hubungan interpersonal serta pola-pola psikodinamik yang tercakup di dalamnya (Bellalc, 1993).Sementara hubungan pacaran tidak terlepas dari ikatan hubungan interpersonal antara dua orang individu, di mana di dalamnya terkandung pandangan, dorongan, emosi, sentimen, konflik, serta kompleks pribadi. Karenanya, selain menggunakan teknik wawancara untuk menggali hal-hal yang secara sadar diungkapkan oleh subyek, penulis menilai pentingnya melakukan TAT untuk dapat membantu menggali hal-hal yang tidak disadari sehubungan dengan hal-hal yang dapat terukur dari TAT itu sendiri. Kartu-kartu TAT yang digunakan dalam penelitian ini berjumlah 5 kartu (kartu 4, 6GF, 9GF, 10, dan l3MF).
Subyek penelitian berjumlah 3 orang, dengan rentang usia sekitar 30 sampai 31 tahun, yang memiliki latar belakang pendidikan, pekerjaan, dan kehidupan sosial yang berbeda satu sama lain. Kriteria yang dibatasi oleh penulis adalah subyek beradapada rentang usia dewasa muda (20-40 tahun) dan memiliki pasangan minimal 5 tahun lebih muda darinya.
Dalam hasilnya, ditemukan bahwa ketiga subyek memiliki pandangan yang berbeda-beda terhadap konsep pacaran maupun pengalaman berpacaran yang mereka alami. Dari sekian karakteristik mengenai konsep pacaran yang mereka kemukakan, dua diantaranya sama-sama menyebutkan pacaran sebagai proses menuju pemikahan dan pacar mendapatkan prioritas utama dibandingkan dengan teman dan 0rang-orang lainnya. Meskipun demikian, pernikahan tersebut bukanlah merupakan sesuatu hal yang bersifat urgent untuk dilakukan, sehingga dua di antara tiga subyek saat ini belum juga memikirkan mengenai pernikahan secara serius dengan pasangan mereka masing-masing.
Dalam hal alasan, ketiga subyek pun memiliki pendapat yang berbeda-beda. Dua dari tiga subyek sama-sama mengalami konflik yang cukup besar, berkaitan dengan pihak eksternal, yakni ketidaksetujuan orang tua mereka dan juga orang tua pasangan terhadap hubungan yang sedang jalan saat ini. Rupanya konflik ini cukup mempengaruhi kepuasan mereka terhadap hubungan yang mereka jalin. Hal ini bisa dibandingkan dengan seorang subyek lainnya, yang mendapat dukungan penuh dari kedua pihak keluarga, bahwa ia memiliki tingkat kepuasan hubungan yang lebih besar. Namun konflik dengan pasangan dan konflik internal pun kerap mewamai kehidupan berpacaran mereka, meskipun ketiganya memiliki rentang keparahan yang berbeda-beda, serta pola penyelesaian konflik yang berbcda-beda pula. Keuntungan dan kerugian juga dirasakan oleh ketiga subyek secara unik dan subyektif. Mengenai perencanaan ke depan, satu orang subyek sudah memiliki kemantapan sehingga berani untuk memutuskan akan menjalani kehidupan pernikahan lewat pertunangan yang telah dilakukan beberapa waktu silam. Sementara dua subyek lainnya, yang masih dihadapkan seputar konflik dengan keluarga, masih mcrasa ragu untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan. Bahkan salah seorang diantaranya berpikir untuk mencari pasangan lain yang lebih mapan sesuai dengan harapan kedua orang luanya.
Penggunaan TAT sebagai alat bantu sekundar dalam penelitian ternyata dapat memperkaya penemuan, karena TAT terbukti mampu memberikan gambaran mengenai subyek secara lebih mendalam dan dapat membantu penulis dalam memahami subyek secara lebih utuh dari sekedar yang diperoleh dalam anamnesa. Pengalaman serta penghayatan subyek, khususnya yang bersifat tidak sadar, terhadap hubungan pacaran yang tidak terungkap dalam anamnesa ternyata terproyeksikan melalui TAT, Kelengkapan informasi yang diperoleh melalui TAT meliputi stmktur serta dorongan atau kebutuhan tidak sadar dari subyek, konflik yang sedang dialami serta bagaimana subyek mempersepsikan dan berelasi dengan orang lain serta lingkungannya.
Sebagai bahan diskusi, ditemukan bahwa ternyata tingkat kepuasan hubungan seorang perempuan dewasa muda sangatlah dipengaruhi oleh tanggapan orang tua mereka ataupun orang tua pasangan. Selain itu ketiga subyek ternyata tidak sedikitpun mempermasalahkan mengenai kondisi finansial pasangan pasangan mereka yang cenderung lebih rendah dari mereka. Hal ini dipahami oleh mereka secara baik dan penuh rasa maklum, sehingga masalah keuangan tidak terlalu menjadi masalah yang berarti bagi diri mereka-secara pribadi. Selanjutnya ditemukan bahwa kartu 9GF pada TAT terbukti kurang efektif digunakan dalam penelitian ini.
Dari segi teknis, ditemukan kesulitan dalam memperoleh subyek dan adanya pemikiran mengenai pentingnya memperoleh infonnasi dari pihak pasangan agar hasil dapat diperoleh secara menyeluruh dan lengkap. Untuk itu disarankan untuk ikut memasukkan pasangan sebagai significant other yang penting dalam melihat dinamika suatu hubungan pacaran, apapun temanya. Selain itu perlunya melakukan uji coba terlebih dahulu terhadap kartu-kartu TAT yang akan digunakan, agar pelaksanaan penelitian dapat berjalan secara lebih efektiti Meskipun demikian, secara umum TAT terbukti efektif digunakan dalam penelitian serupa dan sebagai acuan bagi psikolog dalam proses konseling nantinya."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tyas Handayani
"Penelitian ini dilatar belakangi oleh kondisi yang terjadi di perkotaan dewasa ini. Belakangan ini banyak dimunculkan permasalahan bahwa di kota besar, keinginan untuk menolong orang lain semakin berkurang, dan semakin munculnya pola tingkah laku yang hanya berorientasi pada kebutuhan dan kesenangan pribadi, bahkan lebih jauh lagi tingkah laku yang terjadi semakin menjurus pada tingkah laku antisosial. Oleh karena itu pembinaan untuk meningkatkan tingkah laku sosial yang positif (prososial) akan menjadi penting artinya. Salah satu pembinaan yang dapat dilakukan adalah melalui kelompok prososial. Dilihat dari berbagai program dan kegiatan yang dilaksanakan, tampaknya Karang taruna memungkinkan untuk dianggap sebagai kelompok yang memiliki orientasi prososial. Kondisi ini mendorong peneliti untuk mengadakan penelitian mengenai kecenderungan prososial pemuda dari beberapa kelurahan di Jakarta dengan mempertimbangkan apakah pemuda tersebut aktif dalam Karang Taruna atau tidak.
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah kecenderungan prososial pemuda. Kecenderungan prososial ini berdasarkan hubungan interpersonal antara pelaku dan orang yang dikenai tingkah laku, diuraikan menjadi : kecenderungan prososial terhadap orang tua, terhadap teman, terhadap tetangga dan kecenderungan prososial terhadap orang yang tidak dikenal. Sedangkan sebagai variabel bebas adalah partisipasi subyek dalam Karang Taruna, yang akan dilihat apakah partisipasi subyek aktif atau pasif. Dari pemuda yang aktif kemudian dilihat pula peranan dalam kepengurusan dan tingkat frekuensi kegiatan yang diikuti subyek. Jadi dalam penelitian ini penulis bermaksud untuk menguji hipotesa apakah kecenderungan prososial pemuda yang aktif berpartisipasi dalam Karang Taruna lebih tinggi dibandingkan dengan pemuda yang berpartisipasi secara pasif.
Yang menjadi subyek dalam penelitian ini adalah pemuda yang bertempat tinggal di kelurahan yang menjadi aampel penelitian. Dari subyek yang didapatkan, kemudian dilihat apakah subyek tergolong aktif atau pasif. Alat yang digunakan untuk melihat kecenderungan prososial subyek disusun berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Staub (1973), yaitu dengan melihat jaringan koginisi subyek.
Dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa Kecenderungan prososial pemuda yang aktif dalam Karang Taruna lebih tinggi dibandingkan yang berpartisipasi pasif. Kondisi ini secara konsisten terjadi baik itu pada kecenderungan prososial yang ditujukan terhadap orang tua, teman, tetangga maupun terhadap orang yang tidak dikenal. Kecenderungan prososial pengurus yang lebih tinggi dibandingkan dengan kecenderungan prososial anggota hanya terjadi pada kecenderungan prososial yang ditujukan pada orang yang tidak dikenal.
Dari penelitian ini disarankan agar mengadakan penelitian lanjutan, dengan melihat kembali alat yang dipergunakan dan memperhatikan faktor-faktor lain yang belum dibahas, seperti motivasi subyek mengikuti kegiatan Karang Taruna."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2695
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Trisna
"ABSTRAK
Hubungan interpersonal merupakan hal yang penting dalam menjalani
kehidupan, karena sebagian besar perjalanan hidup kita terbentuk berdasarkan
adanya keijasama dengan orang lain. Ketika telah mencapai tahap dewasa muda,
seseorang memiliki tugas penting yaitu mengembangkan intimate relationship
melalui pacaran. Dalam menjalani hubungan pacaran terkadang timbul
ketidakcocokan dan ketidakpuasan baik terhadap hubungan itu sendiri maupun
terhadap pasangan. Jika masalah sulit teratasi, maka alternatif cara untuk
mengatasinya adalah dengan mengakhiri hubungan. Salah satu masalah yang
menyebabkan putusnya hubungan dengan pasangan adalah perselingkuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pengambilan keputusan untuk
mengakhiri hubungan pacaran pada wanita dewasa muda yang pasangannya
berselingkuh.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan melalui metode wawancara dan didukung oleh metode observasi.
Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam pedoman wawancara mengacu
pada teori tahapan pengambilan keputusan untuk mengakhiri hubungan yang
diungkapkan oleh Loren Lee. Wawancara dan observasi ini dilakukan pada lima
orang subyek berusia 20-25 tahun dengan lama hubungan pacaran di atas enam
bulan, dan memiliki intensitas pertemuan minimal tiga kali dalam satu minggu.
Subyek juga telah mengakhiri hubungan dengan pasangan yang berselingkuh.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa tahapan yang diungkapkan
oleh Loren Lee tidak dengan mudah diterapkan secara utuh dalam mengambil
keputusan, khususnya dalam kasus pengakhiran hubungan karena perselingkuhan.
Lima tahapan yang diungkapkan oleh Loren Lee adalah discovery of
dissatisfaction, exposure, negotiation, resolution, dan transformation. Tiga orang
subyek telah melewati lima tahap secara berurutan dan memutuskan hubungan
dengan pasangan dengan membicarakannya berdua. Namun, dua orang subyek
tidak secara keseluruhan melalui lima tahap tersebut. Tahapan yang terlewat
adalah tahap negotiation, dimana kedua subyek tersebut tidak mendiskusikan
kelanjutan hubungan pacaran dengan pasangan. Satu subyek memutuskan melalui
pesan singkat (sms), dan satu subyek lain putus dalam keadaan tidak jelas. Untuk penelitian selanjutnya peneliti menyarankan agar dilakukan
wawancara terhadap pihak yang berselingkuh; wawancara terhadap subyek
dengan karakteristik yang bervariasi; dan menggunakan subyek yang lebih
banyak. Bagi wanita yang pernah mengalami perselingkuhan, untuk menghindari
kejadian perselingkuhan di masa datang hendaknya sejak awal mengembangkan
komunikasi dan keterbukaan dengan pasangan. Ini ditujukan untuk mengetahui
ketidakpuasan dan masalah sejak dini."
2002
S3175
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitanggang, Merry Hotma Ria
"Penelitian ini bermula dari adanya kecenderungan diberlakukannya sistem sekolah lima hari (full day school) di beberapa kota di Indonesia, khususnya di Jakarta. Sistem full day school diartikan sebagai sistem pendidikan yang penyelenggaraarmya berlangsung sepanjang pagi sampai sore hari, selama hanya lima hari yaitu dari Senin sampai Jumat. Tujuan yang ingin dicapai dari penerapan sistem full day school adalah untuk mengoptimalkan waktu belajar siswa di sekolah dengan aktivitas yang bermanfaat di bawah pengawasan pihak sekolah (Febriana & Sarbiran, 2001) serta untuk mencapai keseimbangan emosi, intelektual dan kerohanian siswa (Christianto, 2003).
Kemandirian dan kreativitas merupakan unsur kepribadian yang dianggap penting dalam hidup manusia dan merupakan salah satu aspek yang harus dicapai dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Mengingat masa remaja adalah masa dimana mereka lebih banyak menghabiskan waktunya dalam lingkungan teman sebaya (peers) daripada orangtua (Rogers, 1985), maka diperlukan pula kemampuan interpersonal agar mereka dapat diterima dan membina hubungan yang baik dengan teman-temannya (Buhrmester, Furman & Reis, 1988).
Penelitian ini dilakukan untuk menjawab salah satu permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem full day school ini. Banyak pihak yang tidak setuju, tapi tidak sedikit juga yang mendukung sistem ini. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mengetahui hubungan kemandirian dan kompetensi interpersonal dengan sikap kreatif pada siswa full day school dan non full day school (2) untuk mengetahui peran kemandirian dan kompetensi interpersonal terhadap sikap kreatif pada siswa full day school dan non full day school (3) untuk mengetahui perbedaan kemandirian, kompetensi interpersonal dan sikap kreatif yang dimiliki oleh siswa full day school maupun non full day school.
Sampel penelitian adalah siswa kelas I SMP yang berjumlah 160 orang. Sebanyak 72 orang berasal dari SLTP Tirta Marta, yang mewakili sekolah dengan sistem full day school dan 88 orang dari SLTP Charitas, mewakili non full day school. Alat ukur yang digunakan adalah skala kemandirian yang dimodifikasi dari Farida (2001) dan Ritandiyono (2002), skala kompetensi interpersonal merupakan hasil konstruksi peneliti sendiri, serta skala sikap kreatif dari Utami Munandar (1977) dan ditambah beberapa item oleh peneliti, serta pengubahan dalam menjawab kuesioner, dari pola jawaban Benar-Salah, menjadi Setuju sampai Sangat Tidak Setuju. Analisis data yang digunakan adalah t-test dan Pearson Product Moment Correlation.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kemandirian antara siswa full day school dan non full day school, namun terdapat perbedaan kompetensi interpersonal dan sikap kreatif pada kedua kelompok siswa tersebut. Hasil lain menunjukkan pada siswa full day school tidak ada hubungan antara kemandirian dengan sikap kreatif, tapi terdapat hubungan antara kompetensi interpersonal dengan sikap kreatif. Sementara itu, pada siswa non full day school terdapat hubungan antara kemandirian dan kompetensi interpersonal dengan sikap kreatif siswa. Pada kedua kelompok siswa tidak tampak peran kemandirian terhadap sikap kreatif siswa, tetapi ada peran kompetensi interpersonal terhadap sikap kreatif siswa.
Saran yang diberikan pada sekolah adalah memperhatikan kesiapan siswa, guru dan orangtua sebelum menyelenggarakan sistem sekolah full day school. Sekolah diharapkan dapat berusaha menumbuhkan, mengembangkan kemandirian, keterampilan sosial dan kreativitas siswa, melalui kegiatan-kegiatan yang merangsang siswa untuk ikut terlibat di dalamnya. Selain itu juga perlu diteliti variabel-variabel lain yang lebih dominan pada sistem full day school, yang membedakannya dari sistem sekolah regular, sehingga dapat diperoleh gambaran yang jelas tentang dampak dari penerapan sistem sekolah lima had ini. Terakhir, sekolah diharapkan dapat menumbuhkan, mengembangkan dan meningkatkan kemandirian, keterampilan sosial dan kreativitas siswa karena ketiga aspek tersebut merupakan aspek yang sangat panting bagi siswa untuk mencapai keberhasilan hidup."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T18528
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Birru Hayyu S.
"Mahasiswa yang tinggal sendiri di negara lain adalah salah satu populasi yang rentan mengalami loneliness. Loneliness pada mahasiswa asing dapat menyebabkan penurunan performa akademik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah faktor-faktor yang berasal dari variabel social network (jumlah hubungan sosial, frekuensi kontak dengan elemen-elemen sosial, dan kepuasan hubungan dengan elemen-eleman sosial) merupakan faktor yang mempengaruhi loneliness pada mahasiswa asing di Universitas Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan menggunakan alat ukur 6-Item De Jong Gierveld Loneliness Scale untuk mengetahui tingkat loneliness partisipan. Variabel social network dilihat dari isian partisipan pada kuesioner social network. Partisipan pada penelitian ini adalah 111 mahasiswa Asing Universitas Indonesia yang diperoleh berdasarkan teknik non-random sampling. Penelitian ini menggunakan teknik analisis multiple regression untuk menjawab permasalahan utama. Hasil penelitian berdasarkan model akhir menunjukkan kepuasan hubungan pertemanan merupakan satu-satunya faktor yang mempengaruhi loneliness pada mahasiswa asing. Evaluasi subjektif terhadap hubungan sosial lebih penting dibandingkan jumlah hubungan sosial maupun frekuensi melakukan kontak.

Students who live alone in another country is vulnerable to experience loneliness. Loneliness in foreign students can lead to decrease academic performance. This study aims to determine whether the factors derived from social network variables (the number of social relationships, frequency of contact with social elements, and relationship satisfaction with social elements) are factors that influence loneliness in foreign students at Universitas Indonesia. This study uses a quantitative method using the 6-item De Jong Gierveld Loneliness Scale to determine the participants' level of loneliness. Social network variables were identified from participants with social network questionnaire. There were 111 Universitas Indonesia Foreign Students in this study which were obtained by non-random sampling technique. This study used multiple regression analysis techniques to answer the main problem. The result in the final model showed that satisfaction of friendship is the only factor that significantly affected loneliness in foreign students. Subjective evaluation of the social relationship is more important than the number of social relationships as well as the frequency of contact."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46141
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wike Warzukni
"ABSTRAK
Sejak tahun 1964 sistem kepenjaraan di Indonesia digantikan dengan
sistem pemasyarakatan Harsono, 1995). Walaupun upaya-upaya untuk
memanusiawikan penjara telah diusahakan dalam sistem pemasyarakatan, ternyata
hukuman pidana penjara masih menimbulkan dampak negatif bagi narapidana
(napi), diantaranya kesepian. Kesepian merupakan pengalaman yang tidak
menyenangkan, yang muncul akibat berkurangnya hubungan sosial, baik secara
kualitas maupun kuantitas (Peplau & Perlman, 1982). Ada pendapat yang
mengatakan bahwa walaupun kesepian merupakan hal yang tidak menyenangkan,
tetapi dapat membawa konsekuensi positif (Moustakas, 1972). Skripsi ini
bertujuan untuk meneliti kesepian pada napi wanita, yaitu hal yang menyebabkan
kesepian, perwujudan kesepian, coping terhadap kesepian, serta jenis kesepian
yang dialami oleh napi wanita.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, karena kesepian
merupakan hal yang subyektif. Pengambilan data pada empat orang napi wanita
dilakukan dengan wawancara, serta observasi terhadap subyek dan tempat pada
saat wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pemicu kesepian pada napi
wanita adalah perpisahan dengan keluarga, terutama dengan anak dan ibu. Faktor
predisposisi situasional yaitu jarang dikunjungi dan predisposisi personal yaitu
tidak memiliki teman untuk berbagi selama di LP, ikut menyebabkan napi wanita
tetap berada dalam kesepian. Pada waktu merasa kesepian umumnya subyek
merasa sedih dan tegang, menurun motivasi untuk berinteraksi, dan ada yang
susah berkonsentrasi pada apa yang dilakukan. Sedangkan cara coping yang
dilakukan terhadap kesepian, napi wanita cenderung memilih kegiatan yang dapat
dinikmati sendiri. Walaupun napi wanita juga mengalami kesepian sosial karena
jauh dari teman-temannya, tetapi yang dominan terdapat pada napi wanita adalah
kesepian emosional, yang disebabkan oleh jauhnya mereka dari orang-orang yang
disayanginya, dan juga tidak ada teman berbagi selama di LP.
Sebagai penutup, peneliti menyarankan agar pihak LP menyediakan
psikolog atau konselor, dan agar petugas LP diberikan pelatihan psikologi.
Dengan ini diharapkan dapat menjadi sumber dukungan sosial tersendiri bagi napi
dalam menghadapi kesepian. Selain itu juga disarankan agar dibuat semacam
program pengembangan diri bagi para napi, yang bertujuan untuk meningkatkan konsekuensi positif dari kesepian. Peneliti juga menyarankan agar pada penelitian
selanjutnya, digunakan pedoman wawancara yang lebih baik dan memakai subyek
dalam jumlah yang besar, sehingga hasilnya dapat digeneralisasi."
2001
S3044
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>