Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 198607 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anita Chandra
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Astuti
"Keluarga sudah sejak lama diketahui sebagai penyedia pendampingan atau bantuan terbesar bagi para lansia dengan gangguan fisik dan kognitif (Brody, dalarn Gatt, Bengtson, & Blum, 1990). Alasan mengapa para lansia ini membutuhkan bantuan, berkaitan erat dengan konteks epidemiologis akibat munculnya penyakit-penyakit Icronis yang mengarah pada gangguan fisik dan kerusakan kognitif Gangguan serta kerusakan tersebut menempatkan sebagian besar lansia pada posisi membutuhkan pendampingan atau bantuan dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Keadaan ini mengakibatkan timbulnya tuntutan akan peran caregiving atau pemberian pengasuhan yang lebih aktif dari anak-anak yang telah mencapai usia dewasa (adult children). Dalarn banyak situasi caregiving, anggota keluarga yang berperan sebagai primary. caregiver mengemban tanggung jawab yang lebih besar dalam memberikan pengasuhan. Hal ini sesuai dengan definisi dari caregiving itu sendiri yaitu intera1csi dimana salah satu anggota keluarga membantu pihak lain dalam mengeIjakan tugas atau aktivitas sehari-hari yang pada umwnnya bisa dilakukan secara mandiri. Salah satu jenis penyakit kronis yang kemunculannya meningkat sering dengan pertambahan usia adalah demensia Demensia merupakan gangguan fungsi kognitif yang berdampak pada timbulnya gangguan emosi dan tingkah laku pada diri penderitanya Memberikan pengasuhan serta perawatan kepada penderita demensia atau jenis gangguan mental lainnya, secara umum lebih sulit dibandingkan dengan merawat lansia yang mengalami gangguan fisik tapi sedikit atau sarna sekali tidak memperlihatkan adanya gangguan emosional dan tingkah laku (Birkel, Pearson et. aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). Menurut sebagian besar caregiver, gangguan emosional dan tingkah laku ini selain sangat menyuJitkan juga mampu membuat mereka merasa sangat tertekan (Teri et.aI., Levine, et.aI., dalam Zarit & Edwards, 1999). "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3508
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Achmadi Jayaputra
Jakarta: Jakarata : Puslit PKS , 2005
305.26 ACH p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Resi Yuki Bramani
"ABSTRAK
Dalam kehidupan sosial, mayoritas individu manusia dalam suatu titik tertentu akan menjadi seorang kakek atau nenek. Lebih dari tiga-perempat orang dewasa-tua (olcleradulls) di Indonesia dan di Amerika Serikat adalah kakek atau nenek (Achir, 2001; Roberto & Stroes, 1992). perubahan perpanjangan rata-rata usia manusia (longevity) dalam beberapa dekade terakhir menyebabkan peningkatan waktu yang dihabiskan oleh manusia sebagai kakek-nenek (Smith, 1991). Kecenderungan ini juga terlihat dari usia atau angka harapan hidup penduduk Indonesia akhir-akhir ini yang telah meningkat secara bermakna yaitu 45, 7 tahun pada tahun 1970, menjadi 59,8 tahun pada tahun 1990 dan diproyeksikan menjadi 71,7 tahun pada tahun 2010 (Achir, 2001). Alasan-alasan tersebut menggugah peneliti untuk meneliti tentang peran mengasuh-cucu di Indonesia. Sayangnya, penelitian yang meneliti pengasuhan-cucu (grandparenting) sangatlah sulit didapatkan di Indonesia, berbeda dengan penelitian yang meneliti pengasuhan-anak (parenting).
Pengasuhan cucu (grandjxirenling) dapat menjadi dasar yang sangat penting dalam kesejahteraan psikologis manusia dalam masa-masa kedewasaan (adulthood). Dalam teori psychosocial developmenl, Erik Erikson (1963, 1980 dalam Thomas, 1989) menyatakan bahwa dewasa muda (middle aged) dan dewasa tua (older adults) akan menghadapi krisis perkembangan dimana mereka harus beijuang untuk menyeimbangkan generativity (memikirkan untuk membimbing generasi yang lebih muda) dan stagnation (tidak beraktifitas, menganggur, dan tidak berarti dalam hidup).
Pada tahun 1964, penelitian yang dilakukan oleh Weinstein dan Neugarten (1964 dalam Peterson, 1999) menemukan bahwa mengasuh-cucu di Amerika Serikat merupakan hal yang tidak menyenangkan karena melelahkan dan less rewarding. Penelitian tersebut ditentang oleh Peterson (1999) yang melakukan penelitian terhadap kakek-nenek dari Australia yang melaporkan bahwa mengasuh-cucu merupakan hal yang menyenangkan. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa jumlah kontak dengan cucu memiliki korelasi positif dengan kepuasan dalam mengasuh-cucu (grandparenting satisfaction). Penelitian ini bertujuan untuk meneruskan penelitian dari Peterson (1999) dengan subyek kakek-nenek dari Indonesia.
Dalam penelitian ini digunakan alat ukur berupa kuesioner yang diadaptasi dari Peterson (1999). Kuesioner ini juga memiliki open ended qnestions yang akan dimasukan ke dalam kategori-kategori hal terbaik maupun terburuk dari peran mengasuh-cucu. Subyek (49 kakek dan 29 nenek) dalam penelitian ini tidak tinggal satu rumah dengan cucunya akan tetapi tetap tinggal satu kota dengan cucunya. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa jumlah kontak langsung memliki korelasi yang signifikan dengan kepuasan dalam mengasuh-cucu. Akan tetapi tidak ditemukan korelasi antara jumlah kontak tidak langsung (telepon atau surat menyurat) dengan kepuasan mengasuh-cucu. Diharapkan penelitian ini akan menyumbang penelitian tentang peran menagsuhcucu dan merangsang penelitian-penelitian yang akan datang. Kelemahan-kelemahan metodologi dan saran-saran juga dibahas dalam penelitian ini."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S3427
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gamajanti Zulkarnaen
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Devi Tri Astuti
"Di Jakarta banyak terlihat anak usia sekolah yang karena keterbatasan ekonomi keluarganya harus bekerja untuk mencari nafkah, di jalan-jalan atau tempat-tempat umum lainnya. Bagi kita yang belum pernah terjun langsung dalam kehidupan mereka mungkin akan membayangkan bahwa mereka adalah anak-anak yang tidak berdaya, bodoh, tidak beruntung, sedih atau keadaan lain yang kurang menguntungkan. Secara teoritis disebutkan bahwa anak-anak yang berasal dari golongan sosial ekonomi rendah cenderung memiliki harga diri yang rendah pula (Coopersmith, 1967 & Rice, 1981). Hal ini bertentangan dengan penelitian yang telah dilakukan pada anak-anak jalanan di Jakarta. Pada kenyataannya mereka justru merasa bebas, gembira, tidak keberatan akan pekerjaan yang dilakukan dan tetap optimis memandang masa depannya serta yakin dapat merasa bahagia dalam hidupnya.
Dalam penelitian ini akan dilihat bagaimana gambaran taraf harga diri yang mereka miliki. Agaknya tantangan hidup dan stressor dari lingkungan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak-anak jalanan. Dalam situasi seperti ini tentunya mereka membutuhkan dukungan dan pertolongan dari pihak lain untuk dapat membantu. Apalagi sebagian besar dari anak yang bekerja di jalan itu tidak tinggal bersama ayah ibunya. Penelitian ini juga ingin melihat bagaimana gambaran taraf dukungan sosial yang diperoleh anak-anak itu dari lingkungan sosialnya. Meskipun secara teoritis dukungan sosial membawa pengaruh positif bagi perkembangan individu termasuk pada perkembangan harga dirinya, dalam penelitian ini akan diuji apakah ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan harga diri pada anak yang bekerja di jalan, di Jakarta.
Subyek dalam penelitian ini berjumlah 34, adalah anak-anak yang bekerja di jalan, dari lima wilayah di DKI Jakarta, berusia antara 7 sampai 12 tahun, mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dan keluarganya. Sedangkan alat ukur yang digunakan adalah kuesioner harga diri yang diadaptasi dari Self Esteem Inventory yang dibuat oleh Coopersmith (1967) dan kuesioner dukungan sosial yang diadaptasi dari social Provision Scale yang dibuat oleh Russel dan Cutrona (1986). Untuk melihat ada atau tidaknya hubungan diantara kedua variabel yang diteliti, digunakan teknik korelasi Pearson's Product Moment, dengan R=833 (signifikan pada l.o.s 0,05 maupun 0,01). Hal ini berarti bahwa ada hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dan harga diri pada anak yang bekerja di jalan, di Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yeni Kuswarini
"Setiap pasangan suami isteri yang telah menikah tentunya rnengharapkan memiliki anak yang sehat, namun apabila ternyata anak yang mereka menderita suatu penyakit kronis tertentu, seperti leukemia, hal ini merupakan suatu situasi yang tidak dapat mereka hindari. Memiliki anak yang cacat atau menderita penyakit yang kronis, telah diketahui sejak lama dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Kazak, 1989). Banyak hasil penelitian yang menyatakan bahwa pengaruh yang negatif ini terutama dirasakan oleh ibu. Kondisi anak menciptakan perasaan-perasaan negatif pada ibu, seperti perasaan tidak berdaya, ketakutan, terlalu melindungi anak, dan perasaan yang berlebihan akan tanggung jawab (Silver, bauman, & Ireys, 1995). Dari keadaan ini terlihat bahwa ibu dari anak yang menderita penyakit kronis, merupakan individu yang berhadapan dengan situasi yang dievaluasi sebagai penuh ancaman dan tuntutan. Keadaan seperti ini oleh Lazarus (1976) dinamakan stres.
Individu yang menghadapi situasi yang dinilai mengandung stres, kemudian mengevaluasi sumber-sumber daya yang dimilikinya baik dari dalam diri dan diluar diri individu. Sumber-sumber daya ini kemudian membantu individu menampilkan perilaku yang ditujukan untuk menghadapi situasi stres. Perilaku ini dinamakan coping. Coping tampil baik berupa tingkah laku nyata ataupun berupa kegiatan kognitif (Lazarus & Folkman, dalam Kaplan dkk, 1993). Secara umum coping terbagi dalam dua jenis. Yang pertama, coping terpusat masalah (problem-focused coping),yaitu suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah atau dengan mengubah situasi. Yang kedua, coping terpusat emosi (emotion-focused coping), yaitu coping yang ditujukan untuk mengatur respon emosional terhadap situasi stres. Oleh Caver & Scheier (1989), masing-masing jenis coping dibedakan dalam lima variasi.
Individu yang melakukan coping tidak terlepas dari pengaruh orang-orang dan lingkungan dimana ia berada. Orang-orang ini dapat memberikan dukungan bagi individu yang berfungsi sebagi penahan (buffer) yang mereduksi akibat dari stres. Dukungan-dukungan seperti ini dinamakan dukungan sosial (Smet, 1994). Bentuk dukungan sosial ada lima, yaitu dukungan informasi, dukungan instrumentalmateri, dulcungan emosi, dukungan penghargaan, dan dukungan persahabatan (Oxford, 1992). Sedangkan sumber dukungan sosial dapat dibagi dari kalangan profesional, non profesional (significant others), dan kelompok dukungan social (social support group). Persepsi dari individu terhadap tersedianya dukungan sosial di lingkungan disekitarnya merupakan salah satu sumber daya yang dapat digunakan dalam menghadapi situasi stres.
Dengan demikian terlihat bahwa dukungan sosial dapat mempengaruhi perilaku coping yang ditampilkan. Dukungan sosial dapat menjadi sumber daya bagi ibu untuk menampilkan perilaku coping. Maka penting untuk mengetahui gambaran dukungan sosial yang didapat ibu dan gambaran perilaku coping yang ditampilkan ibu dalam menghadapi anak yang menderita leukemia, serta gambaran pengaruh dukungan sosial yang didapat terhadap tampilnya perilaku coping ibu. Sebelumnya juga perlu dillhat bagaimana gambaran stres yang dialami ibu.
Penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif Keabsahan penelitian dijaga dengan menggunakan triangulasi analis, yaitu menggunakan analis lain selain peneliti untuk menganalisis hasil penelitian, dan triangulasi data, yaitu menggunakan observasi selain wawancara dalam mengumpulkan data. Sedangkan keajegannya dijaga dengan dibuatnya pedoman wawancara. Subyek yang digunakan sebanyak 5 orang, yaitu para ibu yang memiliki anak penderita leukemia yang dirawat di RSCM Jakarta.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak yang menderita leukemia, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ibu menampilkan kedua jenis perilaku coping. Coping terpusat masalah dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, sedangkan perilaku coping terpusat emosi ditampilkan dalam menghadapi emosi negatif. Semua bentuk dukungan sosial pemah didapatkan ibu. Hanya kelompok dukungan sosial sebagai sumber dukungan yang tidak didapat para ibu. Selain itu juga didapat hasil bahwa dukungan sosial memiliki peran yang cukup penting terhadap munculnya perilaku coping pada ibu.
Berdasarkan hasil penelitian ini juga diketahui bahwa para ibu memiliki harapan yang besar untuk mendapatkan infomaasi yang lengkap dan jelas dari dokter. Mempertimbangkan hal ini maka disarankan dari kalangan profesional, seperti dokter dan paramedis agar dapat meluangkan waklunya untuk memberikan masukan yang jelas dan lengkap sesuai tingkat pemahaman para ibu. Juga disarankan untuk membentuk kelompok dukungan yang dipandu oleh kalangan profesional. Melalui kelompok ini para ibu dapat saling bertukar pengalaman dan berbagi perasaan, sehingga akhirnya diantara mereka dapat saling memberikan dukungan sosial. Peran ayah dalam menghadapi anak yang menderita leukemia juga nampaknya cukup berat. Selain ikut membantu ibu merawat anak, para ayah juga memiliki tanggung jawab dalam mencari nafkah untuk membiayai pengobatan anak. Dengan memperhatikan hal ini, menjadi sangat menarik bagi yang hendak mengembangkan penelitian sejenis, untuk melakukan studi perhandingan dengan subyek para ayah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kaihatu, V.A.M.
"Dietary diseases adalah penyakit yang merupakan hasil dari malnutrisi yang diderita individu, sedangkan infectious diseases adalah penyakit akibat masuknya benda berbahaya atau mikroorganisme asing di dalam tubuh individu (Sarafino, 1990). Hipertensi termasuk dalam dietary diseases dan kini makin banyak dialami oleh individu dalam masyarakat. Prevalensi hipertensi berkisar antara 10 sampai dengan 20 persen penduduk dewasa Indonesia. (Kumala, 2000). Ada 2 jenis hipertensi, yaitu hipertensi sekunder (secondary hypertension) dan hipertensi esensial (essential hypertension). Essential hypertension adalah jenis hipertensi yang penyebab utamanya tidak dapat diketahui secara pasti, namun faktor-faktor yang mungkin menjadi pemicunya adalah obesitas, elemen-elemen pola makan (diet), konsumsi alkohol yang berlebihan, ketidakaktifan fisik, sejarah hipertensi dalam keluarga dan juga faktor-faktor psikososial, misalnya: stres dan perilaku emosional (Sarafino, 1990).
Tiap individu memiliki respon yang berbeda-beda terhadap stres. Variasi ini sering kali muncul sebagai hasil dari faktor psikologis dan faktor sosial yang memodifikasi pengaruh stresor terhadap individu. Salah satu cara individu untuk berespon terhadap stresor adalah dengan melakukan coping. Coping merupakan cara yang dapat dilakukan dalam mengatasi stres (Sarafino, 1990). Coping yang dilakukan individu untuk mengatasi situasi stres mungkin bervariasi dan tidak selalu memberikan penyelesaian. Namun selain untuk memperbaiki atau mengatasi masalah, coping juga dapat menolong seseorang untuk mengubah pemahaman akan suatu masalah, melakukan toleransi atau menerima akibat yang ditimbulkan oleh masalah, bahkan untuk menghindari situasi tersebut (Lazarus &Folkman, 1984b; Moos & Schaefer, 1986, dalam Sarafino, 1998).
Coping memiliki dua dimensi luas (Lazarus & Folkman dalam Sarafino, 1990), yaitu problem-focused coping dan emotional-focused coping. Cara lain untuk memodifikasi stres sehingga mengurangi pengaruhnya terhadap kesehatan adalah dengan memunculkan dukungan sosial (social supporf) kepada individu. Dukungan sosial menurut Cobb, Gentry & Kobasa, Walston, Alagna, DeVellis & DeVellis, Wills (dalam Sarafino, 1990) merujuk pada adanya perasaan nyaman, perhatian, kepercayaan, dukungan moral dan bantuan yang diperoleh individu dari orang atau kelompok lain.
Dukungan-dukungan ini dapat berasal dari berbagai pihak seperti significant others yang dimiliki individu atau rekan kerja, dokter maupun komunitas organisasi yang diikuti oleh individu. Lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial (social supporf) yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990) adalah emotional supporf, esteem supporf, tangible atau instmmental supporf, informational supporf dan network supporf. Penekanan dalam penelitian ini adalah pada dukungan sosial berupa emotional supporf. Dukungan ini diberikan dalam bentuk ekspresi empati, caring dan kepedulian terhadap individu yang bersangkutan. Berdasarkan latar budaya yang ada di Indonesia, tugas dan kewajiban perempuan masih sangat erat dikaitkan dengan pengelolaan, pemeliharaan dan perawatan keluarga. Sehubungan dengan hal ini, fungsi perempuan dalam rumah tangga masih mendominasi bagian pengaturan pemenuhan kebutuhan keluarga.
Dengan demikian, pemilihan gaya hidup dan pola nutrisi keluarga juga diserahkan pada perempuan, khususnya pada ibu rumah tangga. Pengaturan mengenai makanan dan minuman menjadi tanggung jawab mereka sehingga pada akhirnya mempengaruhi kondisi kesehatan keluarganya. Bila seorang ibu rumah tangga menderita hipertensi, maka ia harus mengubah pola makannya dan mengikuti diet tertentu untuk mempertahankan tekanan darahnya di posisi normal. Hal ini berarti pola makannya berbeda dengan pola makan keluarganya. Peneliti kemudian tertarik untuk melakukan penelitian terhadap ibu rumah tangga yang menderita hipertensi sehingga harus mengubah pola makannya, namun harus tetap mengatur pola makan keluarganya.
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran stres, coping dan dukungan sosial yang diterima oleh ibu rumah tangga penderita hipertensi. Penelitian ini menggunkan metode kualitatif dengan dua cara pengumpulan data yaitu wawancara dan observasi. Subyek penelitian terdiri dari empat orang ibu rumah tangga yang tinggal dengan minimal seorang anak yang mengikuti pola makan ibunya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa masing-masing subyek umumnya memiliki pola stres dan coping yang sama. Mereka mengalami tahapan yang sama dalam mempersepsikan kondisi sakitnya, menilai sumber-sumber daya coping yang dimiliki dan pada akhirnya menggunakan strategi-strategi coping sesuai sumber daya yang mereka miliki. Keempat subyek memiliki dukungan sosial yang lengkap, mencakup lima klasifikasi dasar dari dukungan sosial yang dikemukakan oleh Cohen & McKay, Cutrona & Russel, House, Schaefer, Coyne & Lazarus (dalam Sarafino, 1990). Namun demikian, dukungan emosional yang diberikan oleh anak subyek dalam bentuk mengikuti pola makan yang sama ternyata tidak memiliki pengaruh yang besar terhadap keadaan stres dan coping subyek dalam menghadapi penyakit hipertensi yang dideritanya.
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah mengenai kelengkapan data tentang faktor penyebab penyakit hipertensi yang diderita oleh masing-masing subyek. Untuk itu perlu diadakan penelitian dengan pendekatan yang lebih menyeluruh terhadap subyek penelitian sehingga faktor-faktor yang berpengaruh dapat diteliti lebih lanjut. Hal ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif sehingga data yang diperoleh dapat saling melengkapi. Selain itu, penelitian juga dapat dikembangkan untuk meneliti stres dan coping yang dialami oleh individu yang anggota keluarganya menderita hipertensi."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3209
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aida Alawiyah
"Populasi lanjut usia terus meningkat dan hal ini dapat diiringi dengan peningkatan permasalahan kesehatan, salah satunya kesepian pada lansia. Kesepian adalah perasaan yang muncul karena adanya perbedaan antara kepuasaan terhadap jaringan sosial yang nyata dan yang diharapkan. Kesepian dapat terjadi jika dukungan sosial yang diterima rendah. Penelitian ini bertujuan meneliti hubungan antara dukungan sosial dan kesepian pada lansia yang berada di panti werdha Bina Bhakti Serpong. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional dengan responden sebanyak 40 lansia yang dipilih menggunakan total sampling. Instrumen untuk mengukur kesepian adalah UCLA Loneliness Scale dan untuk dukungan sosial adalah Social Support Questionaire (SSQ). Pada analisis data dengan chi square, diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan signifikan antara dukungan sosial dan kesepian pada lansia. Pada lansia dengan dukungan sosial tinggi, tingkat kesepian yang dialami rendah. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah penelitian dilakukan dengan jumlah responden lebih, beragam, dan penelitian tidak dilakukan di satu tempat.

Elderly population continues to increase, and this can be accompanied by increased health problems in the elderly, one example is loneliness. Loneliness is feeling that appear because there is difference between the real and the expected satisfaction of social network. Loneliness can be happen if social support is low. The purpose of this study is to know the relationship between social support and loneliness in elderly that live in Bina Bhakti Nursing Home. Design of the study is cross sectional with 40 respondents that selected with total sampling. Loneliness is measured by UCLA Loneliness Scale and social support is measured by Social Support Questionaire (SSQ). With chi-square analysis, the result is there is significant relationship between social support and loneliness in elderly. Elderly with high social support have low loneliness. Recommendations for the next study are the sample should be bigger, more vary, also the place should be more than one place."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S65393
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Yulianti
2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>