Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 168840 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Venus Eleonora
"Kecemasan terhadap kematian adalah perasaan yang tidak menyenangkan, yang ditimbulkan oleh kematian dan atau proses menjelang kematian ataupun antisipasi terhadap kematian dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Menurut Lonetto & Templer (1986) setiap orang memiliki kecemasan terhadap kematian tetapi intensitasnya berbeda-beda, Demikian pula dengan orang lanjut usia yang diasumsikan sudah mendekati kematian tentunya juga memiliki kecemasan tersebut.
Erikson (dalam Miller, 1989) mengatakan bahwa orang lanjut usia mengalami dua krisis psikososial, yaitu integritas dan keputusasaan. Akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa orang yang mencapai integritas memiliki kecemasan tersebut, sebaliknya orang yang mengalami keputusasaan memilikinya. Orang lanjut usia yang mencapai integritas merasa puas akan hidupnya sedangkan orang lanjut usia yang mengalami keputusasaan merasa kurang puas dengan hidupnya, Berdasarkan perbedaan tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecemasan terhadap kematian yang dimiliki oleh orang lanjut usia dan apakah terdapat perbedaan yang signifikan dari kecemasan terhadap kematian pada orang lanjut usia yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan.
Metode penarikan sampel adalah non-probability sampling, yaitu sampel diambil dengan kriteria tertentu yaitu orang lanjut usia. Teknik pengambilan sampel adalah random sampling sesuai dengan kriteria subyek penelitian. Terdapat dua alat ukur, pertama Alat Ukur Kecemasan Terhadap Kematian yang dirancang oleh Hartanto pada tahun 1995 dan dimodifikasi oleh penulis, Terdiri dari 34 item, Uji reliabilitas mendapatkan nilai alpha 0,9042. Alat kedua adalah alat ukur untuk raembedakan orang yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan, alat ini penulis susun sendiri. Terdiri dari 32 item. Uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha 0,6443.
Tipe penelitian ini adalah non-eksperimental dengan metode kuantitatif yaitu mem band ingkan dua kelompok dengan melakukan data secara statistik. Penelitian ini menggunakan t-test untuk membandingkan skor rata-rata antar dua kelompok dan anova satu arah untuk mengetahui perbedaan antar lebih dari dua kelompok. Metode pengolahan data menggunakan bantuan SPSS (Statistical Package for Social Studies).
Hasil penelitian adalah didapatnya perbedaan yang signifikan padda tingkat kecemasan pada kelompok orang lanjut usia yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan. Perbedaan tersebut signifikan pada los 0,05."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lanniwati Yapianto
"Kematian pasangan hidup merupakan stressor terbesar dalam hidup seseorang yang mempengaruhi seluruh aspek kehidupan. Kesepian merupakan stress emosional yang paling menekan adalah masalah utama yang dihadapi oleh janda dan duda usia lanjut (Perlman & Peplau, 1982; Kimmel, 1992; Journal of applied family & child studies, 1986, vol 35). Menikah kembali dapat menjadi jalan keluar bagi para usia lanjut untuk terbebas dari kesepian (Journal of marriage & the family, 1978, vol 40; Hurlock, 1983; Papalia & Olds, 1992). Pada usia lanjut beberapa aspek seperti aspek fisik dan kognitif mengalami penurunan. Kesehatan emosi berkaitan dengan kehidupan yang telah dilalui; seseorang yang merasa bahagia dan mampu melihat kehidupannya di masa lalu tanpa merasa menyesal dan bersalah akan mengalami emosi positif (Vaillant & Vaillant dalam Papalia & Olds, 1992). Interaksi sosial sangat penting bagi usia lanjut agar mereka tidak merasa tersisih dari masyarakat.
Hubungan dengan pasangan hidup mempengaruhi kepuasan hidup seseorang; keberadaan pasangan hidup membantu orang usia lanjut dalam mencapai kesejahteraan emosional dan membuat mereka merasa penting dan diperlukan (Papalia & Olds, 1992). Oleh karena itu kehilangan pasangan hidup menimbulkan masalah-masalah praktis dan emosional bagi usia lanjut. Bagi duda usia lanjut kesepian yang mereka alami ditambah pula dengan keadaan mereka yang tidak terbiasa mengurus diri sendiri; sehingga mereka sangat membutuhkan pendamping di usia tua (Berardo dalam Bell, 1971). Janda usia lanjut walaupun mempunyai dukungan sosial dari anak dan sahabat tetap membutuhkan kehadiran pendamping dalam hidup mereka. Mereka menempatkan companionship sebagai alasan untuk menikah kembali (Gentry & Schulman, 1988; Bengston, 1990 dalam Aiken 1995). Menikah kembali memberikan pengaruh positif karena membuat para usia lanjut lebih bahagia (Butler &, Lewis, dalam Aiken, 1995). Namun para usia lanjut yang menikah kembali harus melalui penyesuaian yang cukup berat sebab selain adanya perbedaan latar belakang; harapan dan kebiasaan yang terbentuk selama pernikahan pertama dijadikan dasar dalam pernikahan kedua ini sehingga mereka sering membandingkan pasangan saat ini dengan pasangan yang dulu (Furstenberg, dalam Hall & Perlmutter, 1992).
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan wawancara mendalam sebagai bentuk pengumpulan data. Subyek dalam penelitian ini diperoleh melalui cara informal dan formal. Dari keempat subyek yang diwawancarai, kebutuhan akan pendamping merupakan alasan mereka menikah kembali. Selain itu perasaan kasihana pada pasangan juga menjadi dasar pertimbangan ketika memutuskan untuk menikah kembali. Adanya perbedaan latar belakang antar suami istri kerapkali menimbulkan masalah dalam penyesuaian diri. Menikah kembali setelah kematian pasangan hidup dapat menjadi pilihan bagi usia lanjut jika didukung oleh adanya kesamaan latar belakang, persetujuan keluarga, mengetahui kebutuhan pasangan dan adanya penghasilan yang memadai. Menikah kembali di usia lanjut membutuhkan pertimbangan matang."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2947
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Anna Febriana Tri Astuti
"Dengan semakin tingginya usia harapan hidup, makin jumlah orang lanjut usia (lansia) meningkat di masa yang akan datang. Pemberian perhatian pada peran pengasuhan terhadap orang lanjut usia menjadi hal yang tak terelakkan. Perempuan dalam keluarga selama ini telah menjadi sumber utama pengasuhan lansia; namun dengan pergeseran fungsi keluarga, pergeseran peran perempuan menjadi pencari nafkah, telah menggarisbawahi pentingnya peran sektor pengasuhan formal, seperti panti werdha, dalam menduukng para caregiver dari pihak keluarga lansia. Makin tinggi kebutuhan akan tersedianya pengasuhan lansia tersebut, makin tinggi pulalah tuntutan akan tersedianya caregiver yang efektif, yaitu memiliki keterampilan dan kemampuan yang relevan, sumber daya emosional dan material yang memadai, serta motivasi untuk menyediakan pengasuhan. Tuntutan yang tinggi dari masyarakat, tidak tersedianya sumber daya secara memadai dalam institusi formal tempat bekerja, serta karakteristik lansia yang dihadapi meningkatkan resiko terhadap terjadinya burnout pada caregiver.
Burnout memiliki tiga dimensi yaitu kelelahan emosional, depersonalisasi dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Burnout dapat timbul karena tiga faktor yaitu faktor keterlibatan dengan lansia, faktor seting pekerjaan dan lingkungan kerja, serta faktor karakteristik individual. Selain itu, karena caregiver yang diteliti adalah perempuan, faktor keluarga juga dimasukkan sebagai tambahan. Proses burnout yang terjadi pada caregiver juga diteliti di sini. Proses burnout dianalisa berdasarkan gabungan dari model proses transaksional menurut Chemiss (1980) dan model transaksional dari stres pekerjaan menurut Cox (1993). Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan memperolah gambaran tentang burnout yang terjadi pada caregiver, meliputi penyebab terjadinya burnout, gambaran dimensi burnout dan proses terjadinya.
Diperoleh hasil bahwa perempuan yang bekerja sebagai caregiver lansi mengalami burnout, dengan tingkat keparahan dan kemunculan dimensi burnout yang berbedabeda. Kelelahan emosional dan depersonalisasi dialami oleh setiap caregiver terutama karena keterlibatan dengan lansia. Sedangkan faktor seting pekerjaan menimbulkan kelelahan emosional dan penurunan hasrat pencapaian prestasi diri. Burnout rentan terjadi pada caregiver yang cenderung memilih perilaku coping pertahanan intrapsikis yang bersifat paiiiative. Pelatihan keterampilan sosial dan pembentukan support group secara formal serta pengoptimalan fungsi penyelia dan pertemuan rutin dalam pemberian feedback dan peningkatan partisipasi caregiver menjadi saran praktis dari penelitian ini. Dari penelitian ini nampak pula pentingnya pemahaman tentang segi psikologi perkembangan orang lanjut usia memberikan pengasuhan yang efektif bagi lansia. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3103
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Lifina Dewi
"ABSTRAK
Kematian merupakan suatu peristiwa yang tidak hanya melibatkan orang yang meninggal, namun juga orang yang ditinggalkan. Peristiwa ini merupakan awal dari suatu proses transisi bagi orang yang ditinggalkan. Kematian dianggap wajar dan lebih mudah diterima jika terjadi pada orang berusia lanjut, namun kematian anak berusia muda yang mendahului orangtuanya seringkali dianggap sebagai peristiwa tragis dalam suatu keluarga yang bertentangan dengan kondisi alamiah manusia. Orangtua yang mengalami kematian anak seringkali mengalami grief selama bertahun-tahun setelah kematian terjadi (Sarafino, 1994). Dalam menghadapi kematian anak usia remaja, orangtua seringkali mengalami saat-saat yang dirasakan menyulitkan untuk menyadari apakah mereka telah mengambil keputusan yang tepat dengan membebaskan anak mereka saat memasuki masa remaja, terutama jika kebebasan yang diberikan mengakibatkan kematian anak tersebut.
Penelitian ini menggunakan alat ukur Texas Revised inventory o f Grief (TRIG) yang dikembangkan oleh Thomas R. Faschingbauer, Richard A. DeVaul dan Sidney Zisook pada tahun 1981. Pengembangan TRIG dalam bentuk brief paper-and-pendi questionnaire bertujuan untuk mengukur intensitas dari reaksi grief individu. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif untuk menguji reliabilitas dan validitas dari Texas Revised inventory of Grief yang telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi grief pada orangtua yang mengalami kematian anak usia remaja.
Subyek dalam penelitian ini adalah individu yang mengalami kehilangan seseorang yang memiliki hubungan kedekatan (attachment) akibat kematian, yaitu hubungan keluarga antara orangtua dan anak. Pemilihan subyek tersebut didasari pemikiran bahwa ikatan antara orangtua dan anak merupakan ikatan yang kuat dan mendalam dalam sejarah kehidupan dan struktur psikologis orangtua. Hasil penelitian diperoleh dari 51 subyek yang menjadi responden dalam penelitian ini. Dari perhitungan uji reliabilitas terpakai dengan metode alpha cronbach terhadap TRIG bagian 1 didapat hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,8685 dan terhadap TRIG bagian 2 didapat hasil koefisien reliabilitas sebesar 0,8986 yang berarti alat ukur ini mengukur behavior domain yang sama yaitu grief setelah kematian terjadi (melafui bagian 1) dan grief pada saat ini (melalui bagian 2).
Uji validitas dilakukan melalui corrected item-total correlation dimana nilai signifikansi untuk jumlah responden sebanyak 51 orang pada l.o.s.0.05 adalah 0,276, diperoleh hasil bahwa dari seluruh item dalam bagian 1 secara signifikan mengukur grief pada masa setelah kematian terjadi, sedangkan seluruh item dalam bagian 2 secara signifikan mengukur grief pada saat ini.
Dari seluruh subyek yang menjadi sampel dalam penelitian ini, sebanyak 45,1 % memperoleh total skor grief antara 21 hingga 62 pada bagian 1 dan bagian 2 , yang berarti kondisi grief yang dialami sehubungan dengan kematian anak tergolong cukup rendah hingga sedang, sedangkan 54,9 % memperoleh total skor grief antara 63 hingga 104 pada bagian 1 dan bagian 2t yang berarti kondisi grief yang dialami sehubungan dengan kematian anak tergolong cukup tinggi hingga tinggi.
Dari perhitungan korelasi antara jawaban subyek pada bagian 3 dengan skor grief, diperoleh hasil bahwa item 2 dan item 4 pada bagian 3 memiliki korelasi yang signifikan dengan skor grief pada bagian 1, skor grief pada bagian 2 dan total skor grief yang diperoleh Berdasarkan jawaban subyek pada bagian terakhir Texas Revised Inventory of Griefi diperoleh gambaran bahwa pada sebagian besar subyek, upaya yang dilakukan untuk dapat menerima kehilangan anak karena kematian dihubungkan dengan hal-hal keagamaan.
Untuk penelitian selanjutnya disarankan untuk menggabungkan metode penelitian kuantitatif dengan metode penelitian kualitatif, karena kondisi grief merupakan kondisi emosional tinggi dan mendalam sehingga diperlukan wawancara mendalam untuk memperoleh gambaran sebenarnya dari kondisi grief individu yang mengalami kematian orang yang dicintai. Hasil yang diperoleh dari penggunaan alat ukur dalam metode kuantitatif hanya menunjukkan indikasi kondisi grief namun dibutuhkan metode lain untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan menyeluruh."
2004
T38124
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisfie Masitach Hoesin
"ABSTRAK
Dalam kehidupan wanita, terdapat beberapa transisi penting, transisi masa menarche
(masa permulaan haid), masa kehamilan dan masa menopause. Curtis dan Fraser
(1991) mengatakan, menopause merupakan masa transisi yang paling sering
mengundang masalah. Hal ini disebabkan karena pada masa ini sering muncul keluhan-
keluhan baik yang bersifat fisik maupun bersifat psikologis (emosional). Akan tetapi,
berdasarkan beberapa penelitian, temyata tidak semua wanita mengeluhkan datangnya
masa ini. Keluhan bahwa menopause bermasalah dalam hal fisik maupun psikologis,
datang dari wanita yang tinggal dan dibesarkan dalam budaya western atau di negara-
negara industri, seperti di Amerika. Sebaliknya pada wanita yang tinggal dan dibesarkan
dalam budaya non-western atau negara-negara non industri, keluhan-keluhan di atas,
tidak ditemukan (Beyene dkk, 1999; Souza, 1994).
Dari Iiteratur yang diperoleh, penelitian mengenai menopause Iebih banyakdilakukan di
negara-negara barat. Karenanya perlu dipertanyakan bagaimana pandangan terhadap
menopause pada wanita-wanita di negara-negara Iain yang tinggal dan dibesarkan
dalam budaya ketimuran, umumnya di Asia. Meskipun pernah dilakukan penelitian Iintas
budaya di Asia, seperti penghayatan wanita India, Cina dan Jepang terhadap
menopause yang ternyata Iebih positif dibandingkan dengan penghayatan wanita yang
tinggal di negara-negara dengan budaya kebaratan (Matlin, 1987), sejauh ini peneliti
belum menemukan hasil penelitian mengenai bagaimana penghayatan wanita Indonesia
terhadap menopause, ataupun penelitian yang mengemukakan apakah menopause
dianggap bermasalah atau tidak bagi wanita Indonesia. Di satu pihak, jika diperhatikan,
di Jakarta sudah berdiri klinik-klinik menopause di beberapa kawasan strategis (Kemang
dan Kebayoran) yang berdasarkan informasi, bergerak di bidang pelayanan HRT
(Hormone Replacement Therapy) untuk mengantisipasi dampak menopause (agar tidak
mudah terserang osteoporosis, menunda proses penuaan, menjaga stamina dan
sebagainya). Di Iain pihak, beberapa wanita menyatakan bahwa menopause tidak
menimbulkan keluhan apa-apa, bahkan mereka tidak membutuhkan treatment apapun
untuk mengatasinya. Sebagian dari mereka justru menantikan datangnya masa ini.
Sampai di sini peneliti masih mempertanyakan bagaimana sebenarnya wanita Indonesia
memandang datangnya menopause? Menyenangkankah sehingga dinantikan kedatangannya, atau justru dianggap bermasalah sehingga diperlukan perlakuan
khusus untuk mengatasinya.
Anggapan bermasalah tidaknya menopause, menurut Paltiel (dalam Koblinsky dkk,
1993) disebabkan karena adanya kaitan antara peristiwa menopause dengan
penilaian masyarakat terhadap fungsi dan peran seorang wanita. Menurut Lanson
(1981) penilaian ini selanjutnya mempengaruhi persepsi wanita, baik terhadap
datangnya menopause maupun persepsi terhadap wanita yang mengalaminya.
Peneliti berasumsi, wanita yang memandang menopause sebagai suatu perubahan
yang wajar dan akan dialami oleh setiap wanita, maka persepsi terhadap keadaan ini
akan positif, yang selanjutnya dapat dilalui tanpa kesukaran dan keluhan. Namun bagi
mereka yang memiliki persepsi negatif akan cenderung menganggap bahwa
menopause merupakan awal dari suatu keadaan yang tidak menyenangkan. Akan tetapi
persepsi dapat berubah akibat pengaruh belajar dan pengalaman individu terhadap
obyek yang ia persepsikan tersebut (Dember, 1971).
Dari adanya pandangan yang berbeda terhadap menopause pada wanita yang peneliti
temukan, tampaknya wanita Indonesia ada yang beranggapan bahwa menopause
sebagai bermasalah dan ada juga yang tidak menganggapnya demikian. Karenanya,
peneliti tertarik untuk melihat bagaimana gambaran kecenderungan persepsi wanita
Indonesia terhadap keadaan ini. Selain itu, karena persepsi dapat berubah akibat
pengaruh belajar dan pengalaman, peneliti tertarik juga untuk meneliti lebih lanjut
apakah faktor pengalaman dan belajar ini mempengaruhi menopause (premenopause), baru
mengalami menopause (perimenopause) dan sudah lama mengalami menopause
(postmenopause)
Penelitian dilakukan terhadap tiga kelompok subyek, yang diambil dengan
menggunakan metode accidental sampling. Subyek penelitian ini adalah wanita berusia
40 tahun ke atas. Alat yang digunakan adalah kuesioner dengan skala 1 sampai 6
dengan mengikuti bentuk skala Likert. Data yang terkumpul diolah dengan teknik
Analisa Varians (F-test) untuk melihat adanya perbedaan persepsi terhadap menopause
di antara ketiga kelompok tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan adanya gambaran bahwa menopause secara umum
dipandang sebagai tidak bermasalah (mean = 4.05). Jika dilihat per aspeknya,
responden cenderung memandang bahwa menopause tidak mengandung masalah
yang bersifat psikologis maupun seksual. Adapun masalah yang cenderung dianggap
timbul pada masa ini adalah masalah yang berkaitan dengan perubahan fisik dan
keluhan-keluhan yang menyertainya.
Hasil dari perbandingan terhadap ketiga kelompok menunjukkan adanya perbedaan
yang signifikan di antara kelompok premenopause, perimenopause dan postmenopause
dalam memandang menopause secara umum (F= 3.156, p = .O46). Jika dilihat per
aspeknya, perbedaan yang signifikan ini hanya terdapat pada persepsi terhadap kondisi
fisik (F= 4606, p=.012) dan kondisi psikologis (F= 4395, p= ,O14), sedangkan persepsi
di antara ketiga kelompok responden terhadap kondisi seksual, menunjukkan adanya
perbedaan yang tidak signifikan (F= .285 , p= .752)."
1996
S2843
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Chandra
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3154
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kornelia Larasati Suhardi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2010
S3594
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Agustin Setianingrum
"Masa lanjut usia sering disebutkan sebagai 'usia keemasan' akan ketenangan dan kesentosaan. Orang lanjut usia pun dikenal sebagai orang yang hangat, ramah dan bijaksana. Namun di lain pihak orang lanjut usia juga sering dianggap tidak aktif kurang produktif senang menggerutu dan mengasihani diri sendiri, terisolasi dari keluarga dan teman-teman serta lebih senang menghabiskan waktunya dengan menonton televisi atau mendengarkan radio.
Periode lanjut usia yang dimulai pada saat seseorang berumur 60 tahun, terutama ditandai dengan berbagai macam perubahan yang mengarah pada kemunduran. Penurunan kemampuan fisik baik secara eksternal maupun internal, kemudian dapat pula ikut mempengaruhi perkembangan kognitif, kepribadian dan sosialnya.
Perkembangan sosial pada orang lanjut usia pada dasarnya ditemukan oleh partisipasinya dalam peran sosial serta aktivitas-aktivitas yang dapat dilakukan sesuai dengan usianya. Dalam hal ini, kontak sosial tetap merupakan aktivitas penting yang berlangsung saat orang menjadi tua (Levy, Digman & Shirrefs, 1984). Dalam Social Breakdown-Reconstruction Theory dikemukakan bahwa pemberian dukungan pada partisipasi aktif bagi orang lanjut usia dalam masyarakat akan meningkatkan kepuasan hidupnya dan perasaan positif terhadap diri mereka sendiri. Dalam Teori Aktivitas juga dikatakan apabila orang lanjut usia semakin aktif, maka semakin puas pula mereka terhadap kehidupannya. Disamping itu, individu hendaknya juga terus melanjutkan peran-peran sosialnya. Apabila ada peran yang hilang dari mereka, maka penting untuk menemukan peran pengganti yang dapat membuat orang lanjut usia tetap aktif dan terlibat dalam aktivitas sosial. Dalam hal ini, diantara peran-peran sosial yang dapat memberikan arti bagi kehidupan orang lanjut usia adalah keterlibatannya dengan keluarga dan teman-teman (Aiken, 1995).
Berkaitan dengan hilangnya peran sosial dari kegiatan formal, maka sebenarnya orang lanjut usia tersebut tidak benar-benar kehilangan peran. Orang Ianjut usia merasa tidak berguna karena tidak lagi berperan sebagai pencari nafkah setelah pensiun atau tidak lagi aktif berpartisipasi dalam lingkungan pekerjaan pasangan hidupnya. Padahal sebenarnya mereka dapat menjalankan peran lain yaitu di dalam lingkungan keluarganya. Bagi orang lanjut usia, hubungan dengan keluarga tetap merupakan sumber kepuasan baginya. Mereka merasa bahwa hidupnya sudah Iengkap dan merasa bahagia apabila berhasil menjadi orang tua, dapat berfungsi bagi anak cucu dan menjadi bagian dari keluarga (Duvall & Miller, 1985).
Peran yang dapat dilakukan orang lanjut usia di dalam keluarga sehubungan dengan adanya cucu adalah sebagai kakek atau nenek. Peran yang dijalankan dapat berbentuk formal, mencari kesenangan sebagai orang tua pengganti, sumber kebijaksanaan keluarga serta figur berjarak (Neugarten & Weinstein, 1964 dalam Perlmutter & Hall, 1992).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti tertarik untuk menggali lebih jauh tentang peran-peran apa saja yang dijalankan oleh orang lanjut usia sebagai kakek-nenek. Mengingat bahwa peran kakek nenek terhadap cucu dipengaruhi oleh usia, kondisi kesehatan, jarak geografis, latar belakang suku bangsa dan jenis kelamin kakek-nenek (Denham & Smith, 1989; Hetherington, 1989; Presser, 1989 dalam Vander Zanden, 1993), maka penelitian ini akan dikhususkan pada peran wanita lanjut usia sebagai nenek dalam konteks kebudayaan Jawa. Pemilihan nenek di sini adalah didasarkan pada teori bahwa nenek lebih dekat dan memiliki hubungan yang hangat dengan cucu daripada kakek. Nenek pun lebih memperoleh kepuasan dalam menjalankan perannya dengan adanya cucu (J.L. Thomas, 1986 dalam Papalia & Olds, 1992), sehingga diharapkan penelitian ini akan memberikan hasil yang kaya. Sedangkan pemilihan kebudayaan Jawa adalah dengan pertimbangan bahwa Jawa merupakan kelompok etnis dengan jumlah terbesar dari 10 kelompok etnis besar di Indonesia (Volkstelling, 1930 dalam Ekadjati, 1995) dan secara khusus disebutkan bahwa dalam kebudayaan Jawa, kakek-nenek berperan penting sebagai sumber bantuan material dan kebijaksanaan bagi cucu (Suseno, 1993). Disamping itu, kedudukan orang-orang tua dalam masyarakat Jawa dianggap penting dan keberadaannya dihormati oleh orang-orang yang lebih muda. Kewajiban orang muda untuk menghormati orang-orang yang tua juga diperkuat dengan adanya kepercayaan bahwa orang tua dapat memberikan restu sekaligus hukuman atau "walat" (Mulder, 1996).
Subyek dalam penelitian ini adalah wanita lanjut usia Jawa berusia 60 sampai 79 tahun, yang tinggal bersama keluarga anak dan memiliki cucu berusia 2 sampai 6 tahun (tergolong anak pra-sekolah). Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara mendalam dengan pedoman wawancara berbentuk pertanyaan terbuka. Data yang diperoleh akan diolah dianalisis secara kualitatif dengan bantuan program Ethnograph.
Dari wawancara yang dilakukan terhadap 7 orang subyek, diketahui bahwa wanita lanjut usia Jawa yang berperan sebagai nenek menjalankan kelima tipe peran seperti yang dilcemukakan oleh Neugarten dan Weinstein (1964 dalam Perlmutter & Hall, 1992). Secara formal, nenek menyerahkan tanggung jawab pengasuhan cucu kepada orang tua cucu dan bertindak sebagai pihak yang mengawasi dan mengingatkan dengan rnenganut prinsip Tut Wuri Handayani. Dalam peran mencari kesenangan, nenek melakukan kegiatan bersama-sama cucu yang memberikan kesenangan bagi kedua belah pihak, misalnya melakukan suatu pemainan bersama-sama, jalan-jalan atau ngobrol-ngobrol dengan cucu. Sebagai orang tua pengganti, nenek ikut berperan membentuk disiplin kepada cucu untuk mematuhi aturan waktu-waktu makan, belajar, tidur serta membaca doa. Beberapa nenek juga ikut mengajarkan pelajaran sekolah pada cucu. Sedangkan sebagai sumber kebijaksanaan keluarga, nenek rnengajarkan tata krama dalarn kehidupan sehari-hari kepada cucu serta memberikan nasehat, baik kepada cucu maupun orang tua cucu. Selain gambaran tentang peran yang dijalankan nenek tersebut, juga diketahui bahwa kehadiran cucu memberikan perasaan bahagia kepada nenek. Perasaan nenek seakan-akan lebih sayang kepada cucu daripada kepada anak dan nenek ikut merasa sedih dan tidak tega apabila cucu dimarahi oleh orang tuanya, dimana hal ini rnenunjukkan adanya ikatan emosional yang erat antara nenek dengan cucu. Sebagai orang Jawa, nenek juga menginginkan agar cucunya sudah mulai mengenal berbagai tradisi dalam kebudayaan Jawa, yang disampaikan melalui dongeng, lagu serta bahasa.
Hal menarik yang ditemukan dari penelitian ini adalah adanya petuah Jawa yang dikenal dengan nama Panca Mutiara yang berasal dari Eyang Manglcunegoro III, dimana petuah tersebut diterakan oleh nenek dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan petuah Jawa tersebut merupakan wujud kepatuhan dan rasa hormat nenek kepada aturan orang tua dan tatanan budaya.
Sehubungan dengan hasil penelitian, maka pada keluarga besar dimana keluarga anak tinggal bersama orang tuanya, maka kakek-nenek hendaknya diikut-sertakan dalam kegiatan mengasuh cucu. Sedangkan bagi keluarga yang tinggal terpisah, hendaknya secara rutin mengunjungi kakek-nenek, sehingga kakek-nenek mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk berinteraksi dengan cucunya, dimana kehadiran cucu menimbulkan perasaan bahagia dalam diri kakek-nenek sebagai orang lanjut usia.
Untuk penelitian selanjutnya, disarankan untuk mengadakan cross-checked pada orang tua dan cucu tentang aktivitas yang hiasa dilakukan nenek bersama cucu dan untuk memperkaya ruang lingkup penelitian maka dapat dilakukanstudi perbandingan mengenai peran yang dijalankan oleh kakek atau sekaligus kakek nenek dari latar belakang suku bangsa lainnya yang ada di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2665
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>