Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 125313 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ricci Vicika
"ABSTRAK
Kehidupan manusia tidak terlepas dari emosi. Apapun jenisnya, emosi menyebabkan
bergesernya sistem fisiologis, kognitif dan sosial individu dari keadaan homeostatis menjadi non
homeostatis. Pergeseran ini mengganggu fungsi individu. Oleh karena itu, ketiga sistem tersebut
harus dikembalikan ke dalam keadaan homeostatis. Caranya adalah dengan menyalurkan
(?channeling") emosi baik melalui perilaku verbal maupun non verbal. Salah satu perilaku
verbal adalah perilaku menceritakan emosi kepada orang lain. Perilaku bercerita pengalaman
emosi adalah perilaku mendiskusikan pengalaman emosi dengan orang lain (Rime et.al, 1991).
Idealnya, semua orang dapat menceritakan pengalaman emosinya dengan leluasa. Namun
kenyataannya, pria cenderung memilih untuk tidak menceritakan pengalaman emosinya kepada
orang lain (Caldwell & Peplau, 1982 dalam Lips, 1988). Mengapa pria tidak menceritakan
pengalaman emosinya kepada orang lain? Hal ini disebabkan karena adanya "pendidikan" yang
diberikan bagi pria. Pria dididik untuk bersikap sebagai individu yang kuat, obyektif mampu
bertahan, tidak sentimentil, dan tidak ekspresif secara emosional (Jourad, 1971 dalam Dindia &
Allen, 1992). Pendidikan ini muncul karena adanya standar yang disebut sebagai norma
maskulinitas (Pleck, 1981 dalam Levant & Pollack, 1995). Dari uraian teoritis di atas, diduga
ada hubungan yang negatif antara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaan
pria untuk menceritakan pengalaman emosinya. Dalam penelitian ini, kesediaan bercerita
pengalaman emosi dioperasionalisasikan menjadi tiga aspek yaitu (1) muncul tidaknya perilaku
bercerita pengalaman emosi; (2) kedalaman cerita pengalaman emosi; dan (3) kesediaan untuk
menceritakan pengalaman emosi untuk peristiwa yang belum terjadi. Penelitian ini akan melihat
lima jenis emosi yaitu sedih, marah, takut, malu dan bersalah. Emosi sedih dan takut digolongkan sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan pria [Levant et al., 1996). Emosi
malu dan bersalah digolongkan oleh peneliti sebagai emosi yang tidak boleh diekspresikan pria
karena menggambarkan kelemahan. Pria juga dilarang untuk mengeskpresikan emosi yang
menggambarkan kelemahan. Sedangkan marah merupakan emosi yang boleh diekspresikan pria.
Pembagian emosi menjadi dua jenis ini menyebabkan munculnya dugaan lain mengenai hubungan
antara keterikatan terhadap norma maskulinitas dengan kesediaan bercerita pengalaman emosi
pada pria. Diduga, pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia untuk menceritakan
pengalaman emosi sedih, takut, malu dan bersalah kepada orang lain. Sebaliknya, untuk emosi
marah, justru diduga bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas bersedian untuk
menceritakan pengalaman emosi marahnya kepada orang lain.
Penelitian ini melibatkan 45 subyek mahasiswa pria. Teknik penarikan sampel yang
digunakan adalah teknik insidental yaitu penarikan sampei yang didasarkan atas kemudahan
mancari sampel. Pengumpulan data dilakukan melalui penyebaran kuesioner yang dapat diisi
sendiri tanpa bantuan wawancara. Data yang diperoleh diolah secara kuantitatif.
Secara umum didapat hasil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas tidak bersedia
menceritakan pengalaman emosinya kepada orang Iain. Hasil ini tercermin melalui tiga aspek
kesediaan bercerita pengalaman emosi di atas. Namun, hasil ini hanya berlaku pada emosi sedih
dan marah. Pada kedua emosi ini, ketiga aspek kesediaan bercerita pengalaman emosi sedih dan
marah menunjukkan hubungan yang negatif dengan keterikatan pria terhadap norma
maskulinitas. Sedangkan pada emosi malu dan bersalah, keterikatan pria terhadap norma
maskulinitas tidak berhubungan dengan kesediaan bercerita pengalaman emosi malu dan
bersalah. Keanehan terjadi pada emosi takut. Pada kedua aspek pertama didapatkan hasil bahwa
keterikatan pria terhadap norma maskulinitas tidak berhubungan dengan (1) muncul tidaknya
perilaku bercerita pengalaman emosi takut dan (2) kedalaman cerita pengalaman emosi takut.
Sedangkan pada aspek ketiga, diperoleh basil bahwa pria yang terikat pada norma maskulinitas
tidak bersedia untuk menceritakan pengalaman emosi takutnya untuk peristiwa lain yang belum
terjadi. Keanehan ini, mungkin, disebabkan karena alat yang dipakai tidak dapat menangkap
kompleksitas pengalaman emosi takut.
Untuk penelitian lanjutan, disarankan untuk menambah beberapa pertanyaan yang dapat
menangkap pengalaman emosi secara lengkap. Selain itu, disarankan untuk melakukan
wawancara secara mendalam terhadap subyek."
1997
S2643
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Putu Sri Mahayani
"ABSTRAK
Masa remaja merupakan suatu masa yang penting dalam periode
perkembangan manusia. Pada masa ini, remaja mengalami suatu periode peralihan
{transition) dari masa kanak-kanak, yang ditandai dengan adanya kebutuhan
untuk bergantung pada orang lain {dependent), menuju masa kedewasaan yang
ditandai dengan adanya keinginan untuk bebas dari campur tangan orang lain
{independent).
Periode peralihan ini juga ditandai dengan adanya perubahan-perubahan
baik secara fisik, kognitif, maupun psikologis. Perubahan psikologis yang paling
menonjol ditandai dengan perubahan emosi, baik emosi positif maupun emosi
negatif, ketika menghadapi berbagai persoalan baik yang datangnya dari
lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan, maupun lingkungan sekolah.
Pada masa ini peran keluarga sangat penting, karena keluarga memiliki
pengaruh terhadap pengalaman emosi remaja. Kesadaran emosi pada masa remaja
membantu remaja untuk tumbuh dan berkembang menjadi individu yang sehat
secara fisik dan psikologis. Keluarga harus bisa menyediakan lingkungan yang
postif, yang baik bagi kesehatan mental remaja. Untuk itu keluarga harus bisa
menciptakan keseimbangan dalam komunikasi, kohesivitas atau kedekatan dan
fleksibilitas dalam keluarga.
Dari fenomena diatas, peneliti tertarik untuk mengetahui, apakah remaja
yang keluarganya memiliki keseimbangan yang bagus dalam hal komunikasi,
kohesivitas, dan fleksibilitas, memiliki pengalaman emosi positif. Sebaliknya,
apakah remaja yang keluarganya tidak memiliki keseimbangan dalam tiga hal
tersebut, memiliki pengalaman emosi negatif. Kemudian bagaimana perbandingan
kesiapan aksi antara pengalaman emosi positif dan negatif, yang ditimbulkan oleh
peristiwa-peristiwa dalam keluarga.
Untuk mendukung penelitian ini, peneliti memilih murid SMU kelas 1
sebagai subjek penelitian. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam
penelitian ini adalah purposive sampling (bertujuan). Penelitian ini menggunakan
empat buah alat pen^uran, yaitu Family Assessment dari Herbert Lingren untuk
melihat gambaran sistem keluarga subjek. Alat kedua digunakan untuk
memancing perasaan subjek berkaitan dengan hubungan dalam keluarganya. Pada
alat ketiga, subjek diminta untuk menceritkan peristiwa keluarga, baik yang
menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Terakhir adalah kuesioner
emosi untuk memperoleh gambaran tentang pengalaman emosi yang berkaitan
dengan peristiwa keluarga dan kesiapan aksi.
Basil yang didapat dari alat pertama adalah keadaan keluarga subjek
sebagian besar dapat digolongkan sebagai keluarga yang memiliki komunikasi,
kohesivitas dan fleksibilitas yang cukup baik, namun masih diperlukan usahausaha
lebih lanjut untuk bisa mempertahankan kebersamaan dalam keluarga.
Dari hasil perhitimgan korelasi, didapat bahwa tidak ada hubungan yang
signifikan antara sistem keluarga (komunikasi, kohesivitas dan fleksibilitas)
dengan pengalaman emosi baik yang positif maupun yang negatif. Tidak adanya
hubungan antar keduanya kemungkinan disebabkan karena subjek memiliki
kecenderungan untuk menampilkan apa yang seharusnya dimiliki oleh sebuah
keluarga dan bukan berdasarkan apa yang sebenamya dimiliki oleh keluarga
subjek. Selain itu kesulitan dalam memahami istilah-istilah emosi juga dapat
mempersulit penelitian emosi.
Dengan menggunakan perhitungan t-test, terlihat adanya perbedaan
kesiapan aksi pengalaman emosi positif dan emosi negatif, yang dimunculkan
oleh peristiwa dalam keluarga dalam hal: keinginan untuk menghindar, keinginan
untuk menghapus atau menghilangkan peristiwa, keinginan untuk melakukan atau
mengatakan sesuatu yang menyakitkan, keinginan untuk merusak sesuatu,
keinginan untuk menangis, perasaan santai atau tenang, perasaan tak berdaya,
keinginan untuk melawan, keinginan untuk dapat meluruskan masalah, keinginan
untuk menghilang, keinginan melarutkan diri dalam kesedihan.
Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengalaman emosi,
tetapi tentu saja dengan menggunakan alat yang lebih sederhana dan tidak ambigu
agar dapat lebih mudah dipahamai dan dimengerti oleh subjek. Kemudian hasil
dari penelitian ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk memberdayakan para
remaja, orang tua dengan anak remaja, dan juga dapat memberikan sumbangan
bagi ilmu psikologi, terutama untuk memperbanyak konseling untuk remaja."
2001
S2857
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kartika Sari
"Keserasian dalam hubungan antar manusia, antar kelompok, antar bangsa, dan di dalam suatu masyarakat adalah suatu hal yang perlu dibina dan dikembangkan agar terwujud pribadi-pribadi yang sehat, cerdas, dan kreatif. Umumnya dalam suasana kehidupan serasi, individu-individu berada dalam kondisi mental sehat dan emosi positif. Salah satu hal yang dapat menganggu keserasian dalam hubungan antar manusia, antar kelompok, antar bangsa, dan di dalam suatu masyarakat adalah dialaminya emosi-emosi negatif seperti marah, kecewa, iri, dendam, benci, dan lain-lain, yang bila intensitasnya cukup tinggi dapat menjadi pemicu perilaku maladaptive (Proposal Penelitian Payung SSM).
Penelitian ini adalah merupakan bagian dari penelitian payung. Secara khusus penelitian ini ingin melihat pengalaman emosi marah dan kesiapan aksi pada pria dan wanita suku Aceh serta apakah ada perbedaan antara pengalaman emosi marah dan kesiapan aksi pria dan wanita suku Aceh. Dimensi penilaian yang tujuan/keterhambatan, kesejahteraan orang lain, keadilan, kebaruan/sudah dikenal atau belum, ketiba-tibaan, harapan akan akhir, kejelasan tentang akhir, kemungkinan diubah/finalitas, dapat/tidak dapat dihindarkan, tanggung jawab sendiri, tanggung jawab orang lain, keterkendalian, harga diri, penghargaan orang lain, kejelasan, antisipasi usaha, dapat diatasi/ditanggung, dapat diharapkan, dapat diharapkan oleh orang lain, kepentingan, kesesuaian dengan norma menurut diri sendiri, dan kesesuaian dengan norma menurut orang lain, diteliti meliputi 24 item yaitu valensi, kemudahan mencapai ketertarikan, Sedangkan dimensi kesiapan aksi terdiri dari 36 item yaitu mendekat, berhenti melihat (menolak), menghapus kejadian (menghilangkan), darah mendidih, tidak perhatikan (tidak berminat), menangani situasi (reakstan), menarik diri (menutup diri), memasukkan situasi (ada bersama dengan), bemyanyi/bergerak (kegembiraan), melukai/merusak (melawan), tidak dapat teruskan (interupsi), membiarkan orang lain berinisiatif (ketergantungan), menangis (ketidak berdayaan), melindungi diri (menjauhi), tenang/hening (istirahat/santai), situasi terus berpikir (preokupasi), perhatikan penuh (memperhatikan), tahu/dapat lakukan (menguasai), tidak bemiat/menyerah (apati), bersikap lembut (ada bersama dengan), ketidak berdayaan, menjauhkan (penolakan), menentang (melawan), membetulkan, menghilang dari pandangan, menyerahkan diri (mengikuti), memiliki (mendekati), menghindar/kabur (menjauhi), tertawa (kegembiraan), hentikan hubungan (mendidih di dalam), santai, muka jadi merah (menghilang dari pandangan), terhambat/kosong/lumpuh (inhibisi/keterhambatan), tidak dapat diam/bergerak-gerak (semangat), dukungan orang lain (ketergantungan), tegang (semangat).
Subjek penelitian yang digunakan adalah pria dan wanita suku Aceh berusia 17-40 tahun, dipilihnya suku Aceh karena banyaknya pelanggaran yang terjadi akibat DOM yang membawa kesengsaraan bagi rakyat Aceh, sehingga ingin diteliti apakah terdapat perbedaan pengalaman emosi marah antara pria dan wanita suku Aceh. Untuk memperoleh data yang diperlukan, dilakukan pengambilan data dengan menggunakan kuesioner emosi Frijda dan Markam (1992). Kuesioner diberikan kepada 60 subjek (30 subjek pria dan 30 subjek wanita). Dari hasil pengolahan data, diperoleh dimensi yang paling menonjol pada pengalaman emosi marah pria suku Aceh adalah dimensi valensi, keadilan, harga diri, dan dapat diharapkan. Dimensi penilaian yang menonjol pada pengalaman emosi marah wanita suku Aceh adalah valensi, dapat diharapkan. Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi penilaian kejelasan tentang akhir, harga diri, dan dapat diharapkan oleh orang lain pada pengalaman emosi marah pria dan wanita suku Aceh. Sedangkan dimensi kesiapan aksi yang paling menonjol pada pria suku Aceh adalah dimensi menangani situasi (reaktans), tahu/cepat lakukan (menguasai), menentang (melawan), dan membetulkan. Dimensi kesiapan aksi yang paling menonjol pada wanita suku Aceh adalah menghapus kejadian (menghilangkan), darah mendidih di dalam, menangani situasi (reaktans), tahu/cepat lakukan (menguasai), melindungi diri (menjahui), menentang (melawan), membetulkan, dan dukungan orang lain (ketergantungan). Terdapat perbedaan yang signifikan pada dimensi kesiapan aksi yaitu berhenti melihat (menolak), bemyanyi/bergerak (kegembiraan), menangis (ketidak berdayaan), melindungi diri (menjauhi), terhambat/kosong/lumpuh (inhibisi/keterhambatan) pada pria dan wanita suku Aceh.
Hasil dari penelitian ini dapat digunakan sebagai data awal untuk memberikan gambaran mengenai dimensi penilaian dan kesiapan aksi pengalaman emosi marah pria dan wanita suku Aceh. Penelitian ini masih banyak memiliki kekurangan antara lain hanya menggunakan metode kuesioner sebagai metode pengumpulan data, untuk mendapatkan data yang lebih mendalam dapat menggunakan metode wawancara."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3155
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Ceti Prameswari, suthor
"Kegemukan pada wanita merupakan salaii satu masaiah yang berhubungan dengan penampilan fisik, karena seiain mengganggu kesehatan, kegemukan juga dapat mengurangi daya tank fisik seseorang. Menurut Unger dan Crawford (1992), wanita cenderung dinilai berdasarkan penampilan fisiknya dan faktor tersebut dijadikan kriteria penting dalam memilih pasangan, terutama oleh kaum pria. Kondisi tersebut seolah-olah menutup kemungkinan bagi wanita gemuk untuk mendapatkan perhatian dan dipilih pria menjadi pasangannya. Namun berdasarkan pengamatan dan wawancara awal terhadap beberapa wanita gemuk diketahui bahwa ternyata tidak sedikit wanita gemuk yang dipilih pria sebagai pasangan.
Dengan latar belakang tersebut disusun suatu penelitian untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dengan kecenderungan memilih pasangan. Dalam penelitian ini digunakan alat ukur berupa dua buah kuesioner, untuk mengukur persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dan kecenderungan memilih wanita gemuk sebagai pasangan. Subyek penelitian terdiri dari 52 pria lajang, berusia antara 25 sampai 33 tahun, berpendidikan minimal SMU, bekerja dan berdomisili di Jakarta. Metode analisa masaiah utama berupa penghitungan korelasi dengan rumus Pearson Product Moment dan dari hasil penghitungan diperoleh nilai r sebesar 0,3168 dengan p<0,05.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dengan kecenderungan memilih pasangan. ini berarti subyek yang tidak menilai bentuk tubuh wanita gemuk sebagai sesuatu yang negatif, tidak berkeberatan memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Sebaliknya, subyek yang menilai bentuk tubuh wanita gemuk sebagai sesuatu yang negatif cenderung tidak mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Pada pengukuran persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita gemuk tidak ditemukan perbedaan frekuensi yang signifikan antara subyek yang mempersepsi wanita gemuk secara positif dan subyek yang mempersepsi wanita gemuk secara negatif.
Hasil lain yang juga diperoleh yaitu adanya perbedaan mean yang signifikan antara persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dan persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita langsing. Kemudian diketahui juga bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara frekuensi subyek yang cenderung mau memilih dan frekuensi subyek yang cenderung tidak mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya.
Dari hasil-hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum pria cenderung lebih menyukai wanita bertubuh langsing daripada wanita gemuk. Namun secara kualitatif diketahui bahwa tidak sedikit pria yang mempersepsi wanita gemuk secara positif dan mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Untuk menambah bobot penelitian ini masih diperlukan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendaiam terhadap beberapa subyek."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2615
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1996
S2936
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Agnes Gautama
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji hubungan antara grief dan dukungan sosial pada pria yang memiliki pasangan dengan pengalaman keguguran. Pengukuran grief dilakukan dengan menggunakan alat ukur Perinatal Grief Scale (PGS) (Toedter, Lasker, dan Alhadeff ,1988) dan pengukuran dukungan sosial dengan menggunakan Berlin Social Support Scale (BSSS) (Schwarzer dan Schulz,2003). Partisipan penelitian berjumlah 38 pria yang memiliki pasangan dengan pengalaman pregnancy loss, dimana 31 pria memiliki pasangan yang pernah mengalami keguguran dan tujuh pria memiliki pasangan yang pernah mengalami stillbirth. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan dan negatif antara grief dan dukungan sosial pada pria yang memiliki pasangan dengan pengalaman pregnancy loss.

This study aimed to examine the relationship between grief and social support among men whose partners experienced miscarriage The measurement of grief use Perinatal Grief Scale (Toedter, Lasker, and Alhadeff, 1988) and the measurement of social support use Berlin Social Support Scale (BSSS) (Schwarzer and Schulz, 2003). The participants for the research are 38 males whose partners have experienced pregnancy loss, in which 31 males have a partner who have experienced miscarriage and seven males have a partner who have experienced stillbirth. The result of these research indicate that there is no significant relationship and negative correlation among men whose partners have experienced pregnancy loss."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S52559
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gandya Parmeswari Wardhani
"Salah satu faktor penting untuk mencapai kesuksesan implementasi perubahan organisasi adalah kesiapan karyawan untuk berubah atau yang dikenal sebagai individual readiness for change. Untuk itu, perlu diketahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kesiapan individu untuk berubah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan antara kepercayaan karyawan terhadap manajemen dan keterikatan karyawan dengan kesiapan individu untuk berubah. Penelitian ini dilakukan di sebuah BUMN di Indonesia yang melibatkan 134 karyawan Direktorat Produksi PT. X dengan metode accidental sampling.
Hasil penelitian dengan menggunakan korelasi berganda menunjukkan adanya hubungan yang positif dan signifikan antara kepercayaan terhadap manajemen dan keterikatan karyawan secara bersama-sama dengan kesiapan individu untuk berubah. Secara mandiri, kedua variabel tersebut juga terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan kesiapan untuk berubah. Kepercayaan terhadap manajemen berkorelasi negatif dengan kesiapan individu untuk berubah, sedangkan, keterikatan karyawan berkorelasi positif dengan kesiapan individu untuk berubah. Korelasi negatif antara kepercayaan terhadap manajemen dengan kesiapan individu untuk berubah menunjukkan bahwa semakin individu tidak percaya terhadap manajemen, maka semakin siap ia untuk berubah. Sebaliknya, korelasi positif antara keterikatan karyawan dengan kesiapan individu untuk berubah menunjukkan bahwa semakin individu terikat maka semakin siap ia untuk berubah. Tidak ditemukan korelasi antara kepercayaan terhadap manajemen dengan keterikatan karyawan, maupun antara variabel demografis dengan kesiapan individu untuk berubah.

One of the most important factors that must be met in order to be successful in the process of implementation is individual readiness for change. In this regard, the factors that can affect individual readiness to change. The purpose of this study is to determine whether there is any relationship between trust in management and employee engagement with individual readiness for change. The study was held in one of BUMN in Indonesia and involved 134 employees of the Production Directorate of PT. X by accidental sampling method, which belongs to non-random sampling.
The results of data analysis using multiple correlation at this study as follows, there is a positive and significant relationship between trust in management and employee engagement together with the individual readiness for change. Independently, both these variables also proved to be correlated with the readiness for change. Trust in management negatively correlated with individual readiness for change, means that the lower trust in management, the higher individual readiness to change. However, the study also shows that employee engagement is positively correlated with individual readiness to change. It means that the higher employee engagement, the higher individual readiness to change. There is no correlation between trust in management with employee engagement, as well as between demographic variables with readiness for change."
Depok: Universitas Indonesia, 2010
S3617
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albertus Edy Subandono
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1995
S2470
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Aries Sulaiman
"HIV/AIDS masih menjadi masalah pandemik diseluruh negara dibelahan dunia, salah satu yang memiliki berkontribusi pada bertambahnya jumlah kasus adalah pada pasangan seksual akibat dari ketidakterbukaan salah satu pasangan khususnya laki-laki terhadap status HIV nya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan dukungan sosial, stigma dan maskulinitas ODHA pria terhadap keterbukaan status HIV pada pasangannya. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan teknik consecutive sampling pada 110 orang ODHA laki-laki dewasa (>18 tahun) dibawah pengawasan LSM Yayasan Tanpa Batas Kupang, dengan 4 jenis kuesioner penelitian (Brief HIV Stigma Scale, Perceived Social Support in HIV/PSS-HIV, Masculinity Attribute Questionaire/MAQ dan Brief HIV Disclosure and Saffer sex efficacy). Hasil : Pada analisis bivariat ditemukan hubungan yang signifikan antara maskulinitas dan stigma dengan keterbukaan dengan nilai p masing-masing (0,000 dan 0,042 : α 0,05), tetapi tidak terdapat hubungan yang bermakna antara dukungan sosial dengan keterbukaan status HIV ODHA pria (p = 0,621 ; α = 0,05). Pada analisis multivariat regresi logistik ganda didapatkan hasil bahwa maskulinitas memiliki hubungan negatif yang secara signifikan dan paling memiliki hubungan dengan keterbukaan status HIV ODHA pria kepada pasangannya (p = 0,000, α = 0,05 ; OR = 0,154) sehingga diperlukan konseling yang mendalam untuk membantu mengatasi masalah dan dampak keterbukaannya terhadap kondisi maskulinitas nya serta edukasi terhadap resiko penularan pada pasangan.

Introduction: HIV is still a pandemic problem in all countries around the world, one that contributes to the increasing number of case, namely in sexual partners due to the lack of disclose from partners, especially men to their HIV status.
Research objective: The purpose of this study was to identify the relatioship of social support, stigma anf masculinity among male PLWH with HIV disclosure to their spouse. This study using cross sectional design wit consecutive sampling technique on 110 adult male PLWH (>18 years old) under the supervision of NGO's Yayasan Tanpa Batas in Kupang, and using 4 types of reserach questionaires (Brief HIV Stigma Scale, Perceived Social Support in HIV/PSS-HIV, Masculinity Attribute Quastionaire/MAQ, and Brief HIV Disclosure and Saffer sex Efficacy).
Results: In bivariate analysis found a significant correlation between stigma and masculinity to HIV disclosure with their respective p value (0,042 and 0,000 : α = 0,05), but there was no significant correlate between social support with HIV disclosure (p = 0,621 : α = 0,05). In Multivariate multiple logistic regression analysis, it was found that masculinity had a negative and most significant correlate with HIV disclosure of male PLWH to their spouse (p = 0,000 : α = 0,05, OR = 0,154). So, in-depth counseling is needed to help addressing problems and the impact of their disclosure on masculinity conditiona and education on the risk of transmission to their spouse.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>