Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 48717 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Theresia Maharini
"Dari berbagai kehilangan yang djumpai di usia lanjut, salah satunya yang terberat adalah kehilangan pasangan melalui kematian. Secara umum, kematian pasangan mendatangkan tekanan yang amat berat bagi individu yang mengalaminya terbukti dari dijumpainya peristiwa ini pada peringkat pertama dari skala penyesuaian diri atas sejumlah peristiwa dalam kehidupan, yang disusun oleh Hoimes & Rahe (1967). lndividu yang ditinggal mati pasangannya dapat dikatakan mengalami bereavement, yaitu situasi dimana individu kehilangan orang yang dicintainya melalui kematian.
Berbagai Iiteratur yang ada menunjukkan bahwa wanita lebih mampu bertahan dalam menghadapi kehidupan sendiri setelah ditinggal mati pasangan, dibandingkan dengan pria. Pada pria umumnya ataupun pria Ianjut usia khususnya, dijumpai masalah-masalah yang berkisar dari kehilangan peran sebagai pasangan, masalah rumah tangga, dan perubahan jaringan sosial. Mengingat penyesuaian terhadap kematian pasangan merupakan salah satu tugas perkembangan yang harus dihadapi pada masa usia Ianjut (Turner & Helms, 1995), maka individu yang ditinggal mati pasangan harus melakukan upaya untuk menghadapi tuntutan ataupun kesulitan yang kemudian timbul dari peristiwa ini. Secara umum, upaya yang dilakukan individu untuk menghadapi tuntutan yang mendatangkan tekanan disebut coping (Lazarus, 1976).
Secara garis besar Lazarus & Folkman (1984) membagi coping menjadi 2 dimensi yaitu coping yang mengarah pada masalah, dan coping yang mengarah pada emosi. Untuk setiap dimensi, coping dapat terjadi pada taraf kognitif, perilaku, maupun secara bersamaan. Lebih lanjut Mikulincer & Florian (1996) mengembangkan klasirikasi respon coping khusus pada situasi bereavement, dengan diferensiasi pada coping yang mengarah pada emosi yang telah dikemukakan oieh Lazarus & Folkman, yaitu meliputi strategi berfokus pada masalah, reappraisal atau penilaian ulang, reorganisasi, dan penghindaran. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana lanjut usia pria rnengatasi kesulitan yang timbul akibat kematian pasangan. Dengan menggunakan metode studi kasus, dilakukan wawancara terhadap empat Ianjut usia pria yang ditinggal mati istri dalam kurun waktu maksimal dua tahun, sesuai perkiraan Iamanya individu pulih dari bereavement menurut Cook & Dworkin (1992).
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa jenis coping disesuaikan dengan karakteristik masalah. Untuk masalah-masalah praktis (separti masalah rumah tangga, pendamping dalam menghadiri acara sosial), coping perilaku yang mengarah pada masalah banyak dijumpai. Sedangkan untuk masalah-masalah emosi (rasa sedih), subyek banyak menggunakan upaya kognitif untuk meredakannya. Coping yang menonjol dari para subyek dalam menghadapi emosi yang menekan adalah berpaling pada keyakinan religius. Strategi berfokus pada masalah dengan melakukan tindakan tertentu juga efektif meredakan emosi yang menekan. Strategi reappraisai atau penilaian ulang banyak dijumpai dalam bentuk pengarahan atensi secara selektif terhadap informasi positif seputar peristiwa kematian istri. Keempat subyek sudah menunjukkan upaya reorganisasi dengan berbagai pengalaman positif maupun negatif selama menjalani masa kehilangan. Adapun faktor yang berperan dalam membantu mengatasi kesulitan pada masa bereavement dapat dibedakan menjadi faktor dari dalam diri subyek dan dari Iuar. Faktor dari dalam berupa iman, karakteristik kepribadian, dan pengalaman terlibat dalam tugas kerumahtanggaan, sedangkan faktor dari Iuar meliputi dukungan sosial serta masih adanya kesibukan rutin untuk dijalani. Dari hasil penelitian ini, disarankan untuk mengembangkan pusat penanganan masalah bagi para Ianjut usia yang mengalami kehilangan pasangan. Penelitian lanjutan dapat diarahkan untuk mengetahui perbedaan pengaruh dukungan sosial yang diperoleh lanjut usia berdasarkan sumber dukungan (dari pihak keluarga ataukah teman-teman), maupun bentuk-bentuk dukungan sosial yang diperiukan Ianjut usia sesuai dalam tahapan waktu tertentu selama menjalani masa kehilangan pasangan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2618
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ikarie Monitha Arthos
"Kematian berarti berakhirnya daur kehidupan seseorang dan merupakan bagian dari eksistensi manusia yang perlu dikenali sebagai komponen yang alami dalam daur kehidupan, yang pada akhirnya dapat memberi arti pada keberadaanya sebagai manusia. Kematian menetapkan batasan dalam kehidupan dan mengingatkan manusia untuk memanfaatkan waktu yang dimiliki dengan sebaikbaiknya. Tetapi, bagi orang lain pada siapa kematian tersebut membawa pengaruh, hal ini tetap merupakan faktor yang harus diintegrasikan ke dalam daur kehidupan yang sedang berlangsung (Peterson, 1984). Sebab, bagi orang yang ditinggalkan, kematian tersebut dapat menimbulkan kesedihan yang dapat dianggap sebagai saat krisis dan berpengaruh besar terhadap perkembangan kehidupannya.
Ada 2 kehilangan yang dapat dikatakan paling mengganggu dan mungkin menjadi tekanan, yaitu kehilangan anak dan kehilangan pasangan. Dalam daur kehidupan manusia, terdapat suatu periode di mana masalah kehilangan pasangan merupakan salah satu penyesuaian yang harus dilalui dalam tahap perkembangannya, yaitu tahap dewasa akhir (late adulthood). Bagi pasangan lanjut usia, lamanya hidup bersama telah membuat mereka mengembangkan suatu hubungan yang nyaman melalui kegiatan rutin sehari-hari dan membuka kesempatan untuk memperdalam hubungan serta lebih menerima dan memahami pasangan. Oleh sebab itu, pasangan diasumsikan mengalami penderitaan paling besar dalam perpisahan karena kematian.
Kematian seseorang dapat menimbulkan kehilangan (bereavement) dan rasa sedih (grief) yang muncul sebagai reaksi normal terhadap kehilangan. Masa kehilangan kemudian membawa dua tantangan, yaitu menyelesaikan kesedihan akibat kehilangan orang yang dicintai dan membangun kehidupan baru sebagai individu (Brubaker, 1985 dalam Lemme, 1995). Ada tiga hal yang dapat dijelaskan sehubungan dengan pengalaman kehilangan, yaitu proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang timbul sebagai akibat kehilangan tersebut. Pengetahuan akan hal ini akan dapat digunakan sebagai dasar pemberian bantuan bila terjadi kesulitan saat menjalaninya. Dengan memperhatikan kekhususan pada tingkat perkembangan dewasa akhir dan perbedaan dalam respon terhadap rasa kehilangan pada pria dan wanita, dalam penelitian ini ingin diperoleh gambaran proses kehilangan dan kesedihan wanita lanjut usia yang kehilangan pasangan, dengan mengacu pada aspek proses yang dilalui, faktor-faktor yang mempengaruhi dan konsekuensi yang dirimbulkan.
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif dan menggunakan teknik wawancara dan observasi untuk mengumpulkan data. Subyek penelitian terdiri dari 5 orang wanita lanjut usia yang telah menjanda selama IV2 sampai 2 tahun 4 bulan. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan melakukan wawancara terhadap kelima subyek, yang dipandu dengan pedoman wawancara berstruktur. Setelah data selesai dikumpulkan, dilakukan analisa secara kualitatif untuk mendapatkan gambaran proses kehilangan dan kesedihan pada wanita lanjut usia akibat kematian pasangan. Proses analisa data yang digunakan berasal dari definisi analisa data yang dikemukakan oleh Miles & Huberman (1994).
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa gambaran proses berduka yang dialami oleh subyek mempunyai perbedaan-perbedaan bila dibandingkan dengan apa yang dikemukakan oleh teori mengenai proses berduka dari Phyllis Silverman dan Parkes. Pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses berduka dan konsekuensi setelah kehilangan pasangan terlihat adanya keunikan pada tingkat perkembangan dewasa akhir ini, dengan faktor usia dan lamanya menikah sebagai dasar perbedaannya. Hal-hal yang terjadi dalam kehidupan subyek dan karakteristik dari tingkat perkembangan dewasa akhir kemudian digunakan untuk menjelaskan kenapa perbedaan dengan teori itu terjadi. Faktor agama yang muncul dalam menjalani kehilangan juga menjadi hal yang menarik untuk didiskusikan.
Saran terhadap penelitian meliputi penggunaan metode longitudinal untuk penelitian selanjutnya dan menambah penggunaan wawancara terhadap orang yang mengetahui bagaimana subyek menjalani kehilangannya. Selanjutnya penelitian mengenai fenomena yang sama pada tingkat perkembangan yang berbeda dan mengetahui pengaruh faktor-faktor lain terhadap pengalaman berduka seseorang akan menambah pengetahuan mengenai fenomena kehilangan dan kesedihan akibat kematian. Pada akhirnya pengetahuan yang dimiliki diharapkan dapat dijadikan dasar pemberian bantuan bagi orang-orang yang mengalami kesulitan dalam melalui proses tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Djamaludin Suryohadikusumo
Jakarta : Harapan prima printing, 2009
920 Dja p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2001
S2996
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A.V.S Lestari Sandjoyo
"ABSTRAK
Masa lanjut usia (selanjutnya disebut lansia) adalah tahap akhir perkembangan
kehidupan seseorang dan merupakan masa yang paling dekat dengan kematian. Pada
masa ini terjadi proses menua {aging) yang ditandai dengan terjadinya penurunan
kemampuan fisik yang tidak bisa dihindari dan antara lain bisa meningkatkan
terjadinya. kecelakaan dan timbulnya penyakit.
Semakin bertambah tua seseorang dengan segala kemunduran yang
dialaminya, pikiran-pikiran mengenai kematian mulai timbul. Teori Levinson (1978)
yang menekankan pada adanya masa transisFpada setiap taliap kehidupan manusia
pun menganggap bahwa pada saat itu kehidupan tidak lagi dipandang sebagai waktu
yang kita miliki sejak kita dilahirkan, tapi lebih sebagai waktu yang tersisa sampai
pada akliir kehidupan. Erikson (1963) menambahkan pentingnya merencanakan
kehidupan dalam sisa waktu tersebui mengisinya dengan hal-hal yang berguna dan
pada akhirnya mampu menghadapi kematian tanpa rasa takut yang berlebihan. Jika
mereka percaya akan adanya kehidupan setelah kematian, maka penting adanya
persiapan-persiapan untuk memasuki suatu babak kehidupan baru.
Dalam kehidupan sehari-hari, profesi yang paling sering menghadapi
kematian adalah dokter. Sebagai ahli dalam bidang kesehatan, sebagian besar waktu dan hidupnya dihabiskan untuk mengobati orang sakit, bahkan untuk dokter spesialis
tertentu seringkali harus berhadapan dengan pasien-pasien yang menderita terminal
diseases. Menurut Kasper (dalam Feifel, 1959) seorang dokter mempunyai pekerjaan
tambahan untuk melawan takdir manusia : kematian. Dalam ha! ini kematian dilihat
sebagai kenyataan obyektif yang terjadi pada orang lain; padahal kematian terjadi
pada semua orang, tak terkecuali dirinya.
Kematian sebagai kenyataan obyektif tentu berbeda dengan dekatnya
kematian sebagai penghayatan subyektif. Di balik semua usalianya untuk mengobati
pasien dan menghindarkan mereka dari kematian, dokter tahu bahwa dia akan
menghadapi kematian juga seperti pasien-pasiennya selama ini (Wheelis, 1958; dalam
Feifel, 1959), Maka bagaimana para dokter menghayati keadaan dirinya sebagai
manusia yang tidak terlepas dari kematian -apalagi saat mereka memasuki masa
lansia- serta bagaimana persiapan-persiapan yang mereka lakukan, merupakan
permasalahan yang menarik.
Penghayatan terhadap keadaan yang dialami seseorang sehubungan dengan
kematian merupakan masalah yang sensitif dan seringkali bersifat subyektif, baik itu
menyangkut sikap, emosi maupun proses-proses internal lainnya (Bern; dalam Deaux
& Wrightsman, 1984); maka penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan
mengambil 6 orang pensiunan dokter yang berusia antara 60-79 tahun sebagai
subyek, yaitu meliputi 2 kategori penggolongan menurut Burnside (1979; dalam
Craig, 1986) yaitu The Young-Old (60-69 tahun) dan The Middle-Aged Old (70-79
tahun). Penelitian ini mengambil pensiunan dokter sebagai subyek karena kehilangan
pekerjaan yang disebabkan karena faktor usia menyadarkan seseorang bahwa dirinya
sudah memasuki tahap akliir dalam kehidupan. Dengan berkurangnya aktivitas dan
tuntutan masyarakat, lansia pun mulal menyadari kondisi fisiknya yang menurun serta
merasakan keluhan-keluhan kesehatan; saat inilah lansia mulai berpikir akan akhir
kehidupannya. Profesi dokter yang dibutulikan dalam penelitian ini adalah spesialisasi yang memungkinkan dokter tersebut dalam masa kerjanya berhadapan dengan banyak
kematian pasien, sehingga wawasan pengetahuan dan pengalaman yang 'lebih' akan
membantu mengungkapkan penghayatannya akan kematian.Usia subyek tidak
melebihi 80 tahun, karena menurut Burnside umumnya orang yang telah memasuki
usia 80 tahun keatas akan mengalami penurunan kondisi kesehatan, penurunan
kemanipuan adaptasi, serta peningkatan kesulitan dalam berhubungan dengan
sekelilingnya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dan dalam peiaksanaannya
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara mendalam
{depth interview) karena menyangkut perasaan dan pengalaman, serta penghayatan
subyek tentang hal yang sangat sensitif. Wawancara ini dibantu dengan pedoman
wawancara berupa kuesioner yang bersifat open-ended.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa subyek penelitian menyadari
adanya penurunan kondisi fisik dan mental sebagai akibat dari proses menua.
Menghadapi hal itu subyek memilih untuk tetap beraktivitas, tetap praktek walaupun
dalam frekwensi yang terbatas, bersibuk diri dengan hobi yang sebeiumnya tidak
sempat dilakukan, atau memilih untuk lebih banyak berkumpul dengan keluarga.
Mengenai kegiatan praktek, hal ini tampaknya berkaitan dengan usaha mereka untuk
menghayati eksistensi mereka sebagai keberadaan yang bermakna. Dengan
melanjutkan prakteknya mereka merasa tetap bisa berguna sekaligus terhindar dari
kesadaran akan kemunduran flsik dan mental serta rasa ketidakberdayaan yang sering
dialami iansia, Penyakit yang didcrita pun tidak menghalangi mereka untuk tetapoptimis,
dilihat dari usaha mereka untuk melawan penyakit itu.
Mengenai kematian yang selama masa kerjanya dilihat sebagai sesuatu yang
terjadi diluar diri, subyek menyadari bahwa hal itu pun akan terjadi pada diri mereka.
Subyek mempunyai pandangan religius mengenai kematian; mereka berpendapat
bahwa kematian merupakan takdir yang berlaku bagi manusia, dan cepat atau lambat pasti akan tiba saatnya tanpa mungkin menghindarinya. Bagi subyek, kematian adalah
saal peralihan menuju kehidupan lain yang lebih kekal. Karena pandangan ini
diperoleh dan ajaran agama masing-masing, maka subyek pada sisa hidupnya
umumnya berusaha untuk meiaksanakan perintah agamanya masing-masing, berbuat
baik kepada sesama agar mendapat pahala dalam kehidupan sesudah kematian.
Bahkan ada diantaranya subyek yang lebih optimistik menghadapi kematian, karena
percaya bahwa kehidupan sesudah kematian lebih banyak menjanjikan kenikmatan.
Subyek juga menyatakan harapan agar kematiannya tidak didahului oleh rasa sakit
dan beban penderitaan baik bagi dirinya maupun bagi orang lain.
Sebagai realisasi dari kesadaran akan datangnya kematian, subyek mulai
melakukan persiapan-persiapan. Persiapan itu meliputi hal-hal yang bersifat material
seperti menyediakan rumah yang layak bagi keluarganya, tabungan dan deposito
untuk menghindari kesulitan ekonomi keluarga, dan mempersiapkan pembagian
warisan agar sepeninggalnya nanti tidak terjadi sengketa antara sesama anggota
keluarga. Persiapan material ini lebih ditujukan pada keluarga yang ditinggalkan
seperti anak, istri, dan cucu. Dalam hal ini tampaknya kedua subyek wanita dalam
penelitian tidak terlalu terbebani. Mungkin karena kedua subyek ada dalam situasi
sedemikian rupa sehingga beban pikiran mengenai persiapan material tidak seberat
pada subyek pria; satu subyek sudah bercerai dan subyek lain tidak menikah. Selain
itu subyek penelitian tidak menyinggung urusan pemakaman sebagai salah satu hal
yang perlu diperhatikan dalam persiapan. Hasil lain yang menarik adalah kepasrahan
salah satu subyek yang luar biasa sehingga tidak membuat persiapan apapun yang
bersifat material.
Untuk ketenangan diri subyek dalam menghadapi kematian sebagai sesuatu
yang tidak diketahui secara pasti, subyek meningkatkan sikap religius; antara lain
dengan menjalankan kehidupan yang sesuai dengan ajaran agama masing-masing,
banyak mawas diri, meiaksanakan shalat lima waktu, menunaikan ibadah haji, rajin pergi ke gereja, rajin mengikuti pengajian dan ceramah keagamaan, membaca bukubuku
keagamaan, dan kegiatan lainnya yang dapat mempertebal keyakinan agama
masing-masing. Subyek umumnya sudah merasa cukup puas dengan kehidupannya
selama ini dan tidak merasa perlu meminta apa-apa lagi kecuali hanya bersyukur
kepada Tuhan atas segala karunianya. Selain keyakinan agama yang kuat, hal yang
juga mendukung ketenangan subyek ialah keberadaan mereka dalam lingkungan
keluarga yang akrab satu sama lain.
Diharapkan hasil penelitian ini -walaupun hasilnya belum dapat
digeneralisasikan- dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam hal kematian
yang masih sangat langka di Indonesia; kliususnya dari tinjauan ilmu psikologi,
terutama bagaimana lansia mengatasi rasa takutnya terhadap kematian dan
memberikan gambaran mengenai apa saja yang perlu dipersiapkan untuk dapat
menghadapi kematian dengan tenang, sehingga mereka dapat mempergunakan sisa
hidupnya dengan hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya."
1997
S2572
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Venus Eleonora
"Kecemasan terhadap kematian adalah perasaan yang tidak menyenangkan, yang ditimbulkan oleh kematian dan atau proses menjelang kematian ataupun antisipasi terhadap kematian dan hal-hal yang berkaitan dengannya. Menurut Lonetto & Templer (1986) setiap orang memiliki kecemasan terhadap kematian tetapi intensitasnya berbeda-beda, Demikian pula dengan orang lanjut usia yang diasumsikan sudah mendekati kematian tentunya juga memiliki kecemasan tersebut.
Erikson (dalam Miller, 1989) mengatakan bahwa orang lanjut usia mengalami dua krisis psikososial, yaitu integritas dan keputusasaan. Akan tetapi ia tidak mengatakan bahwa orang yang mencapai integritas memiliki kecemasan tersebut, sebaliknya orang yang mengalami keputusasaan memilikinya. Orang lanjut usia yang mencapai integritas merasa puas akan hidupnya sedangkan orang lanjut usia yang mengalami keputusasaan merasa kurang puas dengan hidupnya, Berdasarkan perbedaan tersebut penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kecemasan terhadap kematian yang dimiliki oleh orang lanjut usia dan apakah terdapat perbedaan yang signifikan dari kecemasan terhadap kematian pada orang lanjut usia yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan.
Metode penarikan sampel adalah non-probability sampling, yaitu sampel diambil dengan kriteria tertentu yaitu orang lanjut usia. Teknik pengambilan sampel adalah random sampling sesuai dengan kriteria subyek penelitian. Terdapat dua alat ukur, pertama Alat Ukur Kecemasan Terhadap Kematian yang dirancang oleh Hartanto pada tahun 1995 dan dimodifikasi oleh penulis, Terdiri dari 34 item, Uji reliabilitas mendapatkan nilai alpha 0,9042. Alat kedua adalah alat ukur untuk raembedakan orang yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan, alat ini penulis susun sendiri. Terdiri dari 32 item. Uji reliabilitas menunjukkan nilai alpha 0,6443.
Tipe penelitian ini adalah non-eksperimental dengan metode kuantitatif yaitu mem band ingkan dua kelompok dengan melakukan data secara statistik. Penelitian ini menggunakan t-test untuk membandingkan skor rata-rata antar dua kelompok dan anova satu arah untuk mengetahui perbedaan antar lebih dari dua kelompok. Metode pengolahan data menggunakan bantuan SPSS (Statistical Package for Social Studies).
Hasil penelitian adalah didapatnya perbedaan yang signifikan padda tingkat kecemasan pada kelompok orang lanjut usia yang mencapai integritas dan yang mengalami keputusasaan. Perbedaan tersebut signifikan pada los 0,05."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1998
S2655
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pohan, Lifina Dewi
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2971
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mariska Hendraely
"ABSTRAK
Perkawinan merupakan bentuk hubungan interpersonal antara pria dan wanita
yang sifatnya paling intim, sangat berbeda dengan bentuk-bentuk hubungan interpersonal
lainnya dan cenderung dipertahankan (Argyle & Henderson, 1985). Pada dasarnya
Undang-Undang Perkawinan dan Hukum Islam menganut asas monogami, walaupun
demikian perkawinan poligami diperbolehkan sebagai suatu pengecualian. Pengecualian
diperbolehkannya poligami disertai dengan adanya batasan-batasan yang berat berupa
syarat-syarat dan tujuan yang mendesak (Thalib, 1986).
Setiap perkawinan baik monogami ataupun poligami tidak mungkin akan selalu
berjalan mulus tanpa menghadapi suatu masalah perkawinan apapun. Bentuk perkawinan
poligami adalah suatu bentuk keluarga yang lebih besar, segala hak dan kewajiban dalam
perkawinan harus dijalankan untuk dua keluarga Hal ini dapat menjelaskan bahwa
masalah yang akan timbul dalam perkawinan akan lebih banyak.
Potensi masalah akan lebih besar bila perkawinan berlanjut hingga pria yang
berpoligami menginjak lanjut usia Hal ini karena pada saat lanjut usia secara alamiah
terjadi penurunan dalam berbagai kemampuan sementara kewajiban yang harus dipenuhi
tetap. Penurunan yang paling jelas terutama pada kemampuan fisik yang kemudian ikut
mempengaruhi perkembangan kognitif, emosi dan sosialnya (Bee, 1996). Hal ini akan
menyebabkan kemampuan untuk memenuhi segala kewajiban menjadi menurun.
Sedangkan saat ini populasi lanjut usia semakin meningkat sebagai akibat keberhasilan
pembangunan yang didukung oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta pelayanan
kesehatan. Peningkatan jumlah lanjut usia ini menunjukkan usia harapan hidup yang
semakin meningkat. Perkawinan poligami yang berlanjut sampai lanjut usia pun
tampaknya akan semakin meningkat. Walaupun Undang-Undang Perkawinan dan Hukum
Islam yang membatasi peluang untuk berpoligami cukup ketat, namun pada kenyataannya
hal tersebut tidak terlalu menghalangi orang-orang untuk menikahi lebih dari seorang
istri.
Menurut Steinberg & Silverberg (dalam Davidson & Moore, 1996) masa lanjut
usia merupakan masa keemasan bagi pasangan suami-istri dalam menjalani
perkawinannya, karena pada masa ini pasangan suami-istri akan lebih banyak
menghabiskan waktunya dalam keluarga dan menjalani kegiatan bersama pasangan
hidupnya Walaupun demikian setiap suami-istri tidak dapat menghindari potensi
timbulnya masalah akibat proses penuaan yang bersifat menurun. Tentunya bagi pria
yang berpoligami potensi masalah yang dihadapi akan lebih besar karena tetap harus
memenuhi segala kewajiban pada dua keluarga.
Berdasarkan hal tersebut dalam penelitian ini ingin diperoleh gambaran masalah
yang dihadapi pria yang berpoligami menginjak lanjut usia, dengan mengacu pada faktorfaktor
yang mempengaruhi seseorang untuk berpoligami, perbedaan masalah poligami yang dialami sebelum dan sesudah lanjut usia serta faktor-faktor yang berperan
membantu mengatasi masalah poligami. Penelitian dilakukan dengan menggunakan
metode kualitatif serta menggunakan teknik wawancara mendalam dan observasi untuk
mengumpulkan data. Subyek penelitian terdiri dari lima orang pria lanjut usia yang
berpoligami sebelum menginjak lanjut usia. Setelah data selesai dikumpulkan, dilakukan
analisa secara kualitatif untuk mendapatkan gambaran masalah pria yang berpoligami
menginjak lanjut usia
Hasil penelitian menunjukkan faktor yang mendorong seorang pria untuk
berpoligami adalah keinginan untuk mempunyai keturunan, jatuh cinta pada wanita lain,
menolong calon istri kedua dan ada ketidakcocokkan dengan istri pertama Hasil lain
menunjukkan umumnya pada setiap subyek ditemukan masalah dari perkawinan
poligaminya sebelum lanjut usia. Sesudah lanjut usia masalah tersebut sebagian besar
terus berlanjut, tetapi ada pula masalah yang selesai atau baru timbul sesudah lanjut usia
Secara umum masalah poligami sebelum lanjut usia adalah masalah komunikasi, masalah
keadilan dan tanggung jawab, masalah ekonomi dan masalah kondisi fisik istri pertama
Sesudah lanjut usia masalah poligami yang timbul berkaitan dengan penurunan kondisi
fisik subyek penelitian. Sedangkan faktor-faktor yang membantu mengatasi masalah yang
timbul akibat poligami adalah mendekatkan diri pada agama, menyibukkan diri dengan
pekerjaan, melakukan meditasi, memahami kondisi istri, kehadiran anak dan hubungan
yang baik antara kedua istri. Hasil tambahan yang terdapat dalam penelitian ini adalah
manfaat poligami yang dirasakan setiap subyek, gambaran perasaan setiap subyek dalam
menjalani poligaminya selama ini dan saran yang diberikan setiap subyek untuk generasi
selanjutnya yang ingin berpoligami.
Hal-hal yang cukup menarik untuk didiskusikan dalam penelitian ini adalah
faktor yang mendorong seorang pria berpoligami dihubungkan dengan teori Nasir (1976),
masalah-masalah poligami dihubungkan dengan teori Nasir (1976), partisipasi kelima
subyek penelitian yang sudah menginjak lanjut usia dihubungkan dengan dua teori
partisipasi lanjut usia dalam lingkungan sosialnya, yaitu dari Cumming & Henry (dalam
Tumer & Helms, 1995) serta dari Maddox (dalam Santrock, 1992), kedekatan pada
agama setelah lanjut usia dihubungkan dengan teori Koening, Georgen & Siegler (dalam
Perlmutter & Hall, 1992), subyek yang menghadapi masalah terberat, pembuktian teori
Landis & Landis (1970) tentang beberapa bidang utama yang membutuhkan penyesuaian
diri pada pasangan perkawinan serta waktu yang diperlukan untuk mencapai kesesuaian
dalam berbagai bidang kehidupan perkawinan, manfaat poligami dihubungkan dengan
teori Aj-Jahrani (1996) dan terakhir berhubungan dengan pembagian tempat tinggal untuk
dua orang istri. Saran untuk penelitian lanjutan meliputi menambah wawancara
mendalam terhadap pihak istri, dapat pula masalah poligami dibandingkan dengan pria
yang menikahi lebih dari dua istri dan menambah jumlah subyek agar memperoleh
gambaran yang lebih lengkap. Saran praktis pada penelitian ini lebih ditujukan pada pria
yang bermaksud untuk berpoligami agar mendapatkan masukan tentang gambaran
masalah poligami yang mungkin akan ditemui."
1999
S2911
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agnes Retno Hascaryani
"ABSTRAK
Penelitian ini dilakukan dengan latar belakang teori yang mengemukakan bahwa cara pandang seseorang terhadap kematian berasal dari dan sangat erat kaitannya dengan konteks kultural (Papalia, Olds, & Feldman, 2004; Santrock, 2002; Swasono, et al. 1996; Zaman, 1996). Kübler-Ross (1986), dan diperkuat hasil penelitian Swasono, et al. di Jakarta, menyatakan bahwa banyaknya pilihan hidup dan kesenangan duniawi. membuat lanjut usia masih belum merasa puas dalam kehidupannya, sehingga helum merasa siap untuk menerima kematian. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran tingkat kepuasan hidup lanjut usia di Jakarta dan gambaran mengenai persiapan kematian mereka. Penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ini memakai alat ukur berupa Skala Kepuasan Hidup yang dibuat oleh Salomon dan Conte, yang versi Indonesianya diterjemahkan dan telah pula digunakan dalam penelitian Subyantoro (2003), serta wawancara untuk menggali data tentang persiapan menghadapi kematian. Penelitian ini menggunakan 3 Subyek lanjut usia, dengan usia 60 tahun ke atas dan telah tinggal di Jakarta sedikitnya selama 10 tahun, dan dalam kondisi sehat. Selain kedelapan aspek kepuasan hidup yang dikemukakan Salomon dan Conte (dalam Connery, 1996), ada faktor lain yang turut mempengaruhi kesiapan individu menghadapi kematian, seperti ibadah, kepribadian; namun tampaknya kepuasan hidup merupakan aspek yang terelevan bagi golongan lanjut usia dan persiapan menghadapi kematian. Hasil dari penelitian ini memperlihatkan bahwa pada Subyek yang memiliki tingkat kepuasan hidup tergolong tinggi, memiliki pula persiapan menghadapi kematian; pada Subyek yang memiliki tingkat kepuasan hidup rendah, tidak memiliki persiapan menghadapi kematian, dan Subyek yang kepuasan hidupnya tergolong sedang, persiapan menghadapi kematian pun tergolong belum matang dan belum tertata. Usia tampaknya tidak berpengaruh sama sekali terhadap kesediaan Subyek untuk melakukan persiapan menghadapi kematian."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2006
T38336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Ceti Prameswari, suthor
"Kegemukan pada wanita merupakan salaii satu masaiah yang berhubungan dengan penampilan fisik, karena seiain mengganggu kesehatan, kegemukan juga dapat mengurangi daya tank fisik seseorang. Menurut Unger dan Crawford (1992), wanita cenderung dinilai berdasarkan penampilan fisiknya dan faktor tersebut dijadikan kriteria penting dalam memilih pasangan, terutama oleh kaum pria. Kondisi tersebut seolah-olah menutup kemungkinan bagi wanita gemuk untuk mendapatkan perhatian dan dipilih pria menjadi pasangannya. Namun berdasarkan pengamatan dan wawancara awal terhadap beberapa wanita gemuk diketahui bahwa ternyata tidak sedikit wanita gemuk yang dipilih pria sebagai pasangan.
Dengan latar belakang tersebut disusun suatu penelitian untuk mengetahui hubungan antara persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dengan kecenderungan memilih pasangan. Dalam penelitian ini digunakan alat ukur berupa dua buah kuesioner, untuk mengukur persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dan kecenderungan memilih wanita gemuk sebagai pasangan. Subyek penelitian terdiri dari 52 pria lajang, berusia antara 25 sampai 33 tahun, berpendidikan minimal SMU, bekerja dan berdomisili di Jakarta. Metode analisa masaiah utama berupa penghitungan korelasi dengan rumus Pearson Product Moment dan dari hasil penghitungan diperoleh nilai r sebesar 0,3168 dengan p<0,05.
Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dengan kecenderungan memilih pasangan. ini berarti subyek yang tidak menilai bentuk tubuh wanita gemuk sebagai sesuatu yang negatif, tidak berkeberatan memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Sebaliknya, subyek yang menilai bentuk tubuh wanita gemuk sebagai sesuatu yang negatif cenderung tidak mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Pada pengukuran persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita gemuk tidak ditemukan perbedaan frekuensi yang signifikan antara subyek yang mempersepsi wanita gemuk secara positif dan subyek yang mempersepsi wanita gemuk secara negatif.
Hasil lain yang juga diperoleh yaitu adanya perbedaan mean yang signifikan antara persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita gemuk dan persepsi pria terhadap bentuk tubuh wanita langsing. Kemudian diketahui juga bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara frekuensi subyek yang cenderung mau memilih dan frekuensi subyek yang cenderung tidak mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya.
Dari hasil-hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa secara umum pria cenderung lebih menyukai wanita bertubuh langsing daripada wanita gemuk. Namun secara kualitatif diketahui bahwa tidak sedikit pria yang mempersepsi wanita gemuk secara positif dan mau memilih wanita gemuk sebagai pasangannya. Untuk menambah bobot penelitian ini masih diperlukan pendekatan kualitatif berupa wawancara mendaiam terhadap beberapa subyek."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2615
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>