Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 114286 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Yasmine Widyawati
"ABSTRAK
Manusia selalu merasakan kekurangan pada dirinya sehingga
kebutuhan untuk menutupi kekurangannya itu pun selalu mewarnai
kehidupannya. Kebutuhan ini dapat distimulasi oleh proses internal, tetapi
lebih sering oleh faktor-faktor lingkungan (Murray, 1938, dalam Hall & Lindzey,
1985).
Salah satu faktor lingkungan manusia adalah keluarga. Keluarga
merupakan lingkungan primer yang di dalamnya terjalin interaksi yang
mendalam. Seorang anak perlu mengalami iklim keluarga yang menyenangkan
sepanjang masa kanak-kanaknya. Lingkungan keluarga yang menyenangkan
adalah lingkungan yang mampu menyediakan kehangatan dan penerimaan
terhadap anak. Iklim rumah yang positif biasanya menjalankan disiplin yang
konsisten, menimbulkan kompetensi sosial dan emosional, dan responsif
terhadap kebutuhan pertumbuhan anak (Turner & Helms, 1995).
Namun demikian, banyak anak yang tidak memperoleh pengalaman
berada di lingkungan keluarga yang seharusnya. Mereka harus berpisah dari
orangtua dan menjalani masa kanak-kanak dan remaja di panti asuhan. Panti
asuhan memang dapat memenuhi banyak kebutuhan remaja, tetapi anak asuh
tidak dapat terus menggantungkan hidupnya pada panti asuhan. Begitu
menyelesaikan sekolah, anak asuh diharapkan sudah mampu untuk mandiri dan
menentukan pilihan hidupnya. Dengan kata Iain tuntutan hidup mereka lebih
berat daripada remaja yang bingung dalam di rumah bersama orangtuanya
Remaja, baik yang tingal di panti asuhan maupun di rumah bersama
orangtua, dituntut untuk menyesuaikan diri dengan banyak perubahan pada
dirinya. Walaupun demikian, tidak mudah bagi remaja untuk merencanakan
masa depannya. Sering ditemui remaja bingung dalam menentukan langkah dan
kesulitan dalam mengemukakan keinginannya.
Masa remaja juga ditandai dengan adanya kebutuhan. Para ahli sepakat
tentang adanya kebutuhan yang khas bagi remaja. Belum ada kesepakatan
tentang apa bentuk kebutuhan yang khas itu dan mana kebutuhan yang menonjol. Kalaupun ada ahli yang mengemukakan tentang kebutuhan remaja,
kebutuhan-kebutuhan itu tidak pasti dapat diberlakukan bagi seluruh remain.
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang
kebutuhan remaja yang tinggal di panti asuhan. Penelitian dilakukan di Jakarta,
yaitu membandingkan kebutuhan antara remaja yang baru tingal di panti
asuhan dengan yang lama tinggal di panti asuhan, antara remaja panti asuhan
perempuan dengan laki-laki, dan antara remaja panti asuhan dengan remaja non
panti asuhan.
Pengambllan subyek dilakukan dengan teknik incidental sampling. Subyek
adalah penghuni panti asuhan dan bukan penghuni panti asuhan yang berusia
15 sampai 19 tahun. Subyek sejumlah 35 orang berasal dari Panti Asuhan
Tanjung Barat di Tanjung Barat, Panti Asuhan Al-Khairiyah di Terogong, Panti
Asuhan Jos Sudarso di Cilandak, dan Panti Asuhan Harapan Remaja di
Rawamangun. Subyek yang tinggal bersama keluarga di luar panti asuhan
berjumlah 45 orang. Alat pengumpul data yang digunakan adalah Edwards
Personal Preference Schedule (EPPS) dan pertanyaan terbuka untuk menambah
analisis data. Dalam analisis data digunakan analisis statistik deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan kebutuhan remaja yang tinggal di panti
asuhan dan yang tidak tinggal di panti asuhan yang menonjol adalah kebutuhan
afiliasi. Kebutuhan remaja yang tinggal di panti asuhan yang paling tidak
menonjol adalah kebutuhan dominasi, sementara bagi remaja yang tidak tinggal
di panti asuhan adalah kebutuhan untuk patuh (need for deference). Baik pada
remaja perempuan maupun remaja laki-laki yang tinggal di panti asuhan
memiliki kebutuhan afiliasi yang menonjol dan kebutuhan dominasi yang sangat
tidak menonjol. Begitu pula pada penghuni yang baru maupun yang lama pada
panti asuhan.
"
1999
S2566
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Oktaviany
"Kecemasan Interaksi Sosial merupakan suatu kegelisahan yang timbul sebagai pertentangan dalam diri individu saat melakukan hubungan sosial antara dua individu atau lebih, yang dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin dan tingkat pendidikan seseorang. Penelitian deskriptif dengan pendekatan potong lintang (cross-sectional) ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kecemasan interaksi sosial remaja tunarungu. Sampel sebesar 37 responden yang dipilih dengan teknik total sampling di dua SLB wilayah Depok. Hasil penelitian menyatakan bahwa sebagian besar responden mengalami fobia sosial. Institusi pendidikan keperawatan diharapkan dapat lebih mengeksplor dan mengajarkan konsep serta teori keperawatan terkait masalah psikologis pada klien berkebutuhan khusus, khususnya pada remaja tunarungu.

Social Interaction Anxiety is an anxiety, worries, and fears that appears when performing or engaging in a social relationship between two individuals or more, which is influenced by age, gender and education level. This descriptive study with cross-sectional aims to reveal the level of anxiety in adolescents with hearing impairment of social interaction. The sample of 37 respondents were selected with a total sampling technique from two Extraordinary School in Depok. The study showed that most of the respondents have social phobia. Nursing education institutions are expected to explore more about nursing concepts and theories related to psychological problems in special needs clients. especially adolescents with hearing impairment.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
S61477
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Akibat dari bencana Tsunami banyak remaja yang kehilangan orangtua, hal ini dapat
menimbulkan goncangan psikologis yang sangat besar bagi remaja, sedangkan pada
perkembangan psikologis remaja im sendiri berada dalam tahap transisi dari anak-anak
ke dewasa. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi dampak psikologis pada
remaja usia 12-20 tahun terhadap kehilangan orangtua pasca Tsunami. Penelitian ini
dilakukan di Nanggro Aceh Darussalam dengan jumlah responden 100 orang terdiri dari
Iaki-laki dan perempuan. Desain penelitian yang digunakan adalah deskriptif sederhana
dengan menggunakan proporsi, yang rnenujukan tahapan psikologis marah sebesar
63,6%. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa remaja yang kehilangan orangtua
berada pada tahapan marah. Sehingga diperlukan penanganan yang Iebih serius terhadap kegiatan-kegiatan kearah yang Iebih positif."
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2005
TA5437
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hanna Qudsiyah
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara self-esteem dan motivasi berprestasi dalam hope of success dan fear of failure pada remaja jalanan. Self-esteem ialah komponen evaluasi diri, penilaian afektif yang berpengaruh pada konsep diri. Motivasi berprestasi adalah kebutuhan untuk menampilkan sesuatu dengan baik atau berjuang untuk sukses dan dibuktikan dengan ketekunan dan usaha dalam menghadapi kesulitan. Motivasi berprestasi dapat dikatakan sebagai kombinasi dari dua variabel kepribadian yaitu kecenderungan untuk mencapai kesuksesan dan kecenderungan menghindari kegagalan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Pengukuran self-esteem menggunakan Rosenberg’s Self-Esteem Scale (RSES) dan pengukuran motivasi berprestasi menggunakan alat ukur Achievement Motives Scale-Revised (AMS-R). Partisipan berjumlah 58 remaja jalanan.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara self-esteem dan hope of success pada remaja jalanan (r=0,286; p=0,029) dan hubungan negatif yang signifikan antara self-esteem dan fear of failure pada remaja jalanan (r=-0,437; p=0,01). Remaja jalanan yang memiliki self-esteem tinggi akan lebih termotivasi untuk meraih kesuksesan dalam kehidupannya.

This research was conducted to find the relationship between self-esteem and achievement motivation in hope of success and fear of failure among street youth. Self-Esteem is self-evaluation components, affective appraisal which affects the self-concept. Achievement motivation is the need to perform well or the striving for success, evidenced by persistence and effort in the face of difficulties.
This study used quantitative method. Self-esteem was measured by Rosenberg’s Self-esteem Scale (RSES) and achievement motivation was measured by Achievement Motives Scale-Revised (AMS-R). Data was analyzed using Pearson Product-Moment Correlation technique. The participants were 58 street youth.
The result of this study showed that there is a positive significant correlation between self-esteem and hope of success (r=0,286; p=0,029) and a negative significant correlation between self-esteem and fear of failure (r=-0,437; p=0,01). Street youth with high self-esteem will be more motivated to achieve success in life.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S61989
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Lasvita
"Penelitian yang dilakukan Beiz dan Fitzgerald (1987) mengemukakan bahwa proses perkembangan karier pada perempuan temyata lebih kompleks dibandingkan dengan proses yang terjadi pada laki-laki. Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan mengapa proses perkembangan karier perempuan Iebih sulit adalah kurangnya kesempatan untuk perempuan, kurangnya keterampilan yang dimiliki dan adanya fokus untuk menyeimbangkan antara karier dan tanggung jawab keluarga. Untuk itu perempuan perlu mendapatkan pendidikan khusus yang sesuai dengan kebutuhan jenis kelaminnya. Sekolah homogen atau single-sex school adalah sekolah yang muridnya perempuan saja atau Iaki-Iaki saja. Pada sekolah model ini murid perempuan atau murid laki-Iaki tidak memperoleh kesempatan yang sama dan pendidikan yang tersedia bagi mereka disesuaikan menurut kebutuhan masing-masing jenis kelamin.
Melihat adanya kecenderungan anak akan merasa lebih dekat dengan ibu dan ibu bertanggung jawab dalam mendidik dan membesarkan anak, mengakibatkan peran ibu dalam proses pemilihan karier anaknya tidak sedikit. Keadaan ibu yang bekerja dan tidak bekerja sangat berpengaruh pada pemilihan karier anak terutama remaja puteri karena remaja puteri Iebih mengidentifikasi dirinya terhadap ibu dibandingkan remaja putera. Hoffman mengatakan bahwa remaja puteri yang ibunya bekerja di luar rumah memiliki aspirasi tinggi pada karier dibandingkan dengan remaja puteri yang ibunya tidak bekerja. Selama bertahun-tahun, berbagai penelitian hanya membahas karier perempuan dari segi tradisional dan nontradisional. Bidang pekerjaan nontradisional adalah pekerjaan yang sebagian besar pekerjanya adalah Iaki-Iaki. Sedangkan bidang pekerjaan tradisional adalah pekerjaan yang sebaian besar pekerjanya adalah perempuan.
Masalah yang ingin diungkap dalam penelitian ini adalah melihat apakah kelekatan remaja puteri terhadap ibu ada hubungannya dengan orientasi karier yang dipilih oleh remaja puteri tersebut. Jika remaja puteri dekat dengan ibu, diharapkan mereka mempunyai orientasi karier nontradisional. Hal Iain yang juga ingin diungkap adalah melihat apakah memang ada hubungan antara ibu bekerja dan tidak bekerja dengan orientasi karier remaja puteri. Remaja puteri yang ibunya bekerja diharapkan memiliki orientasi karier yang nontradisional, Instrumen untuk mengukur orientasi karier pada remaja puteri dibuat berdasarkan peta penyebaran pekerjaan (cognitive map of occupations) oleh Gottfredson. lnstrumen ini terdiri dari 47 jenis pekerjaan yang terbagi menjadi 3 golongan, yaitu maskulin, netral dan feminin. Pllihan jawaban yang disediakan adalah ya, tidak dan ragu-ragu. Sedangkan instrumen yang digunakan untuk mengukur kelekatan dengan ibu dibuat berdasarkan instrumen IPPA (Inventory of Parent and Peer Attachment).
Instrumen dalam penelitian ini terdiri dari 60 item yang terbagi menjadi 3 dimensi, yaltu kepercayaan, komunikasi dan alienasi. Skala yang digunakan adalah skala model Likert dengan rentang 1-5. Subjek dalam penelitian ini adalah murid kelas 3 semua jurusan, yaitu IPA, IPS dan Bahasa, di SMU Talakanita 1 sebagai salah satu sekolah homogen khusus perempuan di Jakarta. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 206 orang dan tergolong dalam masa remaja akhir (late adolescence) dengan rentang usia sekitar 16 sampai 18 tahun. Untuk melihat apakah ada hubungan antara kelekatan dengan ibu dan orientasi. karier remaja puteri digunakan metode korelasi Pearson Product-Moment. Sedangkan untuk melihat apakah hubungan ibu bekerja dan tidak bekerja dalam orientasi karier remaja puteri digunakan metode one-way ANOVA. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner yang disebar di semua jurusan kelas 3 SMU Tarakanlta 1.
Uji reliabilitas dan analisis item dari instrumen kelekatan dengan ibu dan orlentasi karier menggunakan metode konsistensi intemal dengan teknik koefisien Cronbach Alpha. Koefisien Cronbach Alpha yang dihasilkan sebesar 0.9224 sehinga dapat dikatakan reliabilitas instrumen kelekatan dengan ibu sedang cenderung tinggi. Koefisien Cronbach Alpha dalam instrumen orientasi karier sebesar 0.8730 sehingga dapat dikatakan sedang cenderung tinggi. Hasil korelasi dengan Pearson Product-Moment antara orientasi karier dan kelekatan dengan ibu sebesar -0.013 dan p< sig 0.05 (dan label Q dalam Guilford & Fruchter sebesar 0.137). Sedangkan hasil perhitungan F test dalam ANOVA antara ibu bekerja dan tidak bekerja dengan orientasi karier sebesar O.926. Hasil ini leblh kecil dan level sinifikansi 0-05 ( dalam tabel F dari Gulford & Fruchter sebesar 3.8894).
Dari hasil perhitungan di atas, maka hipotesis nol pertama yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara orienlasi karier dan kelekatan denga ibu pada remaja puteri di sekolah homogen khusus perempuan, dlterima. Sedangkan hipotesis pertama yang menyatakan ada hubungan yang signifikan antara orientasi karier dan kelekatan dengan ibu pada remaja puteri di sekolah homogen khusus perempuan, ditolak. Demikian juga dengan hipotesis nol kedua yang menyatakan tidak ada perbedaan yang slgnifikan dalam orientasi karier remaja puteri di sekolah homogen khusus perempuan yang ibunya bekerja dan yang tidak bekerja, diterima. Sedangkan hipotesis kedua yang menyatakan ada perbedaan yang signifikan dalam orientasi karier remaja puteri di sekolah homogen khusus perempuan yang ibunya bekerja dan yang tidak bekerja, ditolak."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2000
S2978
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Pustaka Antara, 1996
155.5 MEN
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Tambusai, Yuninengri
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan emosi malu dan bersalah antara
remaja yang tinggal di Jakarta dan remaja di daerah Penyangga. Dalam mengukur
emosi malu dan bersalah, digunakan alat ukur TOSCA-3 hasil adaptasi oleh Dr.
Lucia RM Royanto, M.Si, MSp Ed.dan tim penyusun yang kemudian di revisi oleh
peneliti untuk penggunaan pada remaja. Sampel penelitian berjumlah 233 orang
dengan rincian 156 remaja di Jakarta dan 77 remaja di daerah penyangga. Hasil
penelitian menunjukkan tidak terdapat perbedaan emosi malu dan bersalah antara
remaja yang tinggal di Jakarta dan remaja di daerah Penyangga (Bogor, Depok,
Tangerang, dan Bekasi). Adapun berdasarkan analisis gambaran kategori situasi tidak
ada perbedaan dalam hal kategori situasi emosi bersalah antara remaja yang tinggal di
Jakarta dan remaja yang tinggal di daerah penyangga (Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi)

ABSTRACT
This research seeks to discover the differences of shame and guilt between
adolescents living in Jakarta and suburban areas such as Bogor, Depok, Tangerang,
and Bekasi. To measure shame and guilt, TOSCA-3 adapted by Dr. Lucia RM
Royanto, M.Si, Msp Ed. was used after revision for use on teenagers. The sample
consists of 156 adolescents from Jakarta and 77 adolescents from suburban areas,
making the total of 233 respondents. The result shows that there’s no difference in
shame and guilt between adolescents living in Jakarta and adolescents living in
suburban areas (Bogor, Depok, Tangerang, and Bekasi)."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53917
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Febrianti
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara psychological well-being dan identitas nasional pada remaja yang tinggal di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia. Sebagai tambahan, penelitian ini juga dilakukan untuk melihat gambaran tingkat psychological well-being dan identitas nasional pada remaja di kedua negara tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Psychological well-being diukur menggunakan Ryff?s Scale of Psychological Wellbeing yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Sapto Ashardianto dkk di tahun 2012 sedangkan identitas nasional diukur menggunakan Collective Self- Esteem. Responden penelitian ini berjumlah 298 orang yang terdiri dari 149 orang Malaysia dan 149 orang Indonesia. Hasil utama penelitian ini menunjukkan bahwa psychological well-being berkorelasi secara signifikan dengan identitas nasional (r = 0.624; p = 0.000, signifikansi pada L.o.S 0.01) untuk responden Indonesia sedangkan pada Malaysia (r = 0.607; p = 0.000, signifikansi pada L.o.S 0.01). Hal ini berarti, semakin tinggi tingkat psychological well-being seseorang maka menunjukkan semakin tinggi pula identitas nasionalnya.

This study was conducted to find the correlation between psychological well-being and national identity in adolescence that lives in the border area of Indonesia and Malaysia. In addition, this research also aimed to depict psychological well-being and national identity among adolescence in these countries. This research used quantitative approach. Psychological well-being was measured using the Ryff 's Scale of Psychological Well-being adopted from previous research by Sapto Ashardianto et al. in 2012, and national identity was measured using the Collective Self-Esteem. The participant of this research are 298 people consist of 149 people of Malaysia and Indonesia 149 people. The main result of this research showed that psychological well-being correlated significantly with national identity (r = 0.624; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01) for the Indonesia participant and in Malaysia (r = 0.607; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01) , That is, the higher psychological wellbeing of one?s own, the higher his/her national identity."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S62032
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bianca C.Y. Mardikoesno
"Remaja sebagai individu yang sedang berada pada masa transisi menuju ke dewasa, dituntut untuk membentuk ?sense of identity' dan melihat dirinya berbeda dan terpisah dari individu lain. Pencapaian identitas diri pada masa ini penting untuk keberhasilan remaja dalam menjalankan perannya di tahap berikutnya, yaitu tahap isolation vs intimacy (Erikson, 1968). Namun keadaan krisis biasanya mengiringi proses pembentukan identitas diri remaja, dan bila tidak dapat terselesaikan akan menyebabkan remaja terus berada pada kebingungan identitas dan tidak dapat menjalankan perannya sebagai individu yang utuh.
Pembentukan identitas diri terjadi melalui pencapaian physical self sexual self vocational self social self dan phylosophic self (Erikson, 1963). Sejalan dengan kompleksnya tugas perkembangan yang harus dihadapi oleh remaja, keadaan ekonomi dan pendidikan yang rendah dapat menjadi faktor yang menyulitkan remaja dalam membentuk identitas dirinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Marcia (1989) yang menyatakan bahwa keterbatasan ekonomi dan pendidikan menyulitkan remaja dalam mencapai identitas pada domain vocational. Pernyataan ini dikuatkan pandangan Erikson, yang mementingkan faktor pendidikan dan pekerjaan sebagai pembentuk identitas utama.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana gambaran diri remaja miskin yang putus sekolah tercapai dengan melihat pencapaian identitas diri melalui penghayatan dan pemahaman remaja akan dirinya pada 5 domain. Oleh karena itu teknik yang digunakan dalam pelaksaan penelitian adalah metode studi kasus melalui wawancara mendalam. Sample yang digunakan dalam penelitian adalah remaja akhir dengan batasan usia antara 18-20 tahun. Alasan penggunaan batasan usia ini karena pada masa remaja akhir diasumsikan sudah dapat berpikir abstrak dalam mengintegrasikan seluruh pengalamannya dan membentuk identitas dirinya.
Dari 4 orang subyek yang diwawancara, peneliti memperoleh hasil bahwa pencapaian identitas diri pada remaja miskin yang putus sekolah memiliki kecenderungan yang besar berada pada status diffusion, namun masih ada kemungkinan remaja berada pada status foreclosure. Fenomena ini terjadi karena subyek terbatas dalam dua faktor penting dalam 5 domain pencapaian identitas diri.
Melihat hasil yang diperoleh dari penelitian ini, peneliti berpendapat penerimaan diri pada remaja miskin yang putus sekolah cukup baik, dan mereka cukup realistis dalam menentukan tujuan hidupnya. Ketidakberhasilan remaja miskin dalam mencapai salah satu domain identitas diri lebih disebabkan keadaan ekonomi yang kurang menguntungkan dan minimnya keterampilan pekerjaan sehingga sulit bagi remaja miskin mendapat pilihan-pilihan. Hal lain yang cukup menarik dari penelitian ini adalah ditemukannya persamaan pada semua sample penelitian dalam memilih bidang pekerjaannya.
Penelitian ini dapat dikembangkan lebih lanjut dengan melihat perbedaan identitas diri antara remaja miskin laki-laki dengan remaja miskin perempuan, dan mengapa remaja miskin cenderung memilih bidang pekerjaan yang sama."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2018
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Wulandari
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2669
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>