Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 236702 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Manurung, Oscar Frits
"Saat ini timbul permasalahan mengenai masyakat Batak yang tinggal di kota yang cenderung bersikap kompromis dan tidak taat terhadap adat istiadat leluhurnya. Namun demikian sikap masyakat Batak itu sendiri tidak seluruhnya seragam, ada yang menyatakan sikap mendukung (favor) atau tidak mendukung (disfavor) terhadap pelaksanaan adat istiadat. Sementara itu cerminan dari pelaksanaan adat tampak dari sikapnya terhadap pelaksanaan hukuman adat. Sikap penduduk kota dapat dipengaruhi oleh adanya situasi overload dan faktor kedekatan diantara anggota kelompok.
Atas dasar itulah penulis mencoba melihat pengaruh yang ditimbulkan oleh pengalaman seseorang dengan lingkungan perkotaan dan bentuk kehidupan sosial dengan sikap mereka terhadap pelaksanaan hukuman adat. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan gambaran hubungan antara penghayatan situasi overload dan kehidupan sosial dengan sikap terhadap pelaksanaan hukuman adat.
Metode penelitian adalah kuantitatif, dengan melihat penyebaran skor penghayatan situasi overload, kehidupan sosial, dan sikap terhadap pelaksanaan adat. Penelitiaan ini dilakukan pada kelompok masyarakat Batak yang bertempat tinggal di Jakarta. Dalam penelitian ini akan digunakan tiga instrumen, yaitu instrumen pertama untuk mengukur penghayatan situasi overload adalah, dengan menggunakan skala Guttman. Alat ini telah dibuat oleh saudara Myrna Ratna Maulidina dan disempurnakan lebih lanjut. Sedangkan instrumen yang kedua bertujuan mengukur sikap terhadap hukuman adat, dengan menggunakan skala Likert. Dan pada instrumen ketiga bertujuan untuk menggolongkan seseorang pada bentuk kehidupan sosial yang selama ini dijalaninya. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan gambaran mengenai penghayatan situasi overload dan sikap terhadap hukuman adat pada masyarakat Batak yang tinggal di Jakarta.
Pelaksanaan pengambilan data di lapangan dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada responden yang memenuhi kriteria penelitian. Jumlah kuesioner yang disebarkan sebanyak 300 buah, meliputi beberapa gereja di wilayah Jakarta. Penyebaran kuesioner dilakukan mulai tanggal 16 Juni, dan terkumpul pada tanggal 28 Juli 1997. Dari 300 buah kesioner yang disebarkan disejumlah gereja yang berlokasi di Jakarta, kenyataan yang diperoleh hanya terkumpul 97 buah.
Gambaran sampel, adalah pria Batak dewasa yang telah menikah, terbanyak berusia antara 30-55 tahun dan tergolong memiliki pendidikan yang baik, hampr 45% adalah sarjana. Umumnya mereka terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan bekerja pada hampir semua sektor yang ada. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penghayatan situasi overload dengan sikap terhadap hukuman adat. Begitu pula pada bentuk kehidupan sosial yang mempunyai hubungan signifikan dengan penghayatan situasi overload, maupun dengan sikap terhadap pelaksanaan hukuman adat. Dari data yang ada, diperoleh gambaran bahwa bentuk kehidupan sosial yang disintegrasi, adalah mereka yang paling merasakan adanya situasi overload dan bersikap kurang mendukung terhadap pelaksanaan hukuman adat. Sedangkan persistensi dan transformasi kurang merasakan situasi overload, dan nampaknya masih cenderung bersikap mendukung terhadap pelaksanaan hukuman adat.
Kesimpulannya yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini adalah bahwa penghayatan situasi overload dan bentuk kehidupan sosial pada masyarakat Batak yang tinggal di Jakarta mempunyai hubungan yang signifikan dengan sikap yang mereka tunjukkan terhadap adanya pelaksanaan hukuman adat saat ini, khususnya di daerah perkotaan. Dari hasil penelitian ini, penulis menyarankan agar metode penelitian disempurnakan, yaitu dari segi alat ukur, pengambilan data di lapangan, jumlah sampel dan analisis data. Pada segi teoritis diperlukan pembahasan yang lebih mendalam mengenai situasi overload, agar lebih sesuai dengan kondisi perkotaan, khususnya dengan kota-kota di Indonesia."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2433
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuni Haryati
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2706
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ellen Tuwaidan
"Salah satu tugas perkembangan dewasa muda adalah memilih pasangan hidnp. Namun, perailihan pasangan hidup individu tidak sepenuhnya berada di tangan individu yang bersangkutan. Lingkungan sosial di luar individu juga ikut berperan. Keluarga dalam hal ini orangtua- merupakan faktor di luar individu yang paling berperan dalam pemilihan pasangan hidup. Saat ini, dalam pemilihan pasangan hidup orangtua cenderung tidak lagi menjodohkan individu dengan pasangan yang mereka anggap. Peran orangtua telah bergeser ke arah di mana individu memilih sendiri pasangannya namun perlu persetujuan orangtua.
Kecenderungan orangtua untuk melakukan evaluasi tentang pasangan yang dipilih individu berbeda antara pria dan wanita, di mana orangtua lebih cenderung untuk mengevaiuasi pasangan anak wanitanya. Mengingat hal itu, penelitian ditujukan pada wanita.
Dari pengalaman beberapa wanita tampak bahwa tampaknya ketidaksetujuan orangtua terhadap pasangan yang dipilih individu menimbulkan kebimbangan untuk melanjutkan hubungan ke pemikahan. Di satu sisi, ketidaksetujuan orangtua merupakan tekanan yang tidak dapat diabaikan begitu saja, sementara itu hubungan pacaran sendiri melibatkan banyak afek. Oleh karena itu dilakukan penelitian guna mendapatkan gambaran tentang seberapa besar kecenderungan wanita untuk menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua serta memahami faktor-faktor apa saja yang b^engaruh dalam pengambilan keputusan tersebut. Dengan kata lain, dilakukan penelitian tentang intensi menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua.
Dalam penelitian ini, pengkajian dilakukan dengan menggunakan kerangka teori Planned Behavior dari Ajzen (1988). Teori ini merupakan perluasan dari teori Reasoned Action, di mana teori Planned Behavior ini digunakan untuk tingkah laku yang tic^ sepenuhnya berada di bahwa kontrol kehendak individu. Menumt kerangka teori ini, intensi ditentukan oleh tiga determinan, yaitu: (1) sikap terhadap tingkah laku, (2) norma subyektif, dan (3) perceived behavior control. Ketiga determinan mtensi ini sendiri dibentuk oleh seperangkat belief yang menonjol, yang disebut salient belief. Teon ini juga membuka kemungkinan bagi masuknya variabel lain dalam meramalkan intensi pada situasi tertentu.Tingkah laku yang menjadi fokus penelitian im adaiah tingkah laku yang secara teoritis sesuai dengan keinginan individu namun berlawanan dengan harapan lingkungan sosial, yaitu tingkah laku menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua. Dalam menentukan pilihan salah satu faktor yang diduga ikut berperan adaiah penghayatan otonomi, yang mengacu pada pengertian sejauh mana individu mempersepsikan diri sebagai seseorang yang bebas bertmu sesuai dengan keinginan sendiri. Oleh karena itu, variabel penghayatan otonomi juga dijadikan determinan pembentuk intensi.
Subyek penelitian ini adaiah wanita dewasa muda yang bertahan untuk tetap berpacaran dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua. Pengambilan sampel dilakukan dengan teknik sampling insidental dan berhasil dilibatkan sebanyak 43 orang subyek. Alat pengumpulan data adaiah kuesioner yang terdiri dari skala-skala yang men^kur sikap terhadap tingkah laku, norma subyektif, perceived behavior control dan intensi berdasarkan format yang disarankan Ajzen (1980). AJat ukur penghayatan otonomi dibuat dengan mengacu pada alat ukur otonomi dari Ryff (1989) dan literatur tentMg otonomi lainnya. Pengolahan data dilakukan dengan melakukan analisa deskriptif, mean, korelasi serta penghitungan korelasi berganda. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer SPSS for Windows Release 6.
Dari hasil pengolahan data terlihat bahwa skor intensi untuk menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua cenderung berada di tengah, atau dengan kata lam cenderung ra^. Sikap subyek terhadap tingkah laku menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua cenderung. Secara umum terlihat bahwa signidicant others bagi subyek cenderung mengharapkan subyek agar tidak menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangta. Subyek penelitian menganggap tingkah laku menikah dengan pasangan yang tidak disetujui orangtua sebagai tingkah laku yang sulit diwujudkan, meskipun subyek mempersepsikan diri sebagai individu yang bebas bertmdak sesuai dengan apa yang diinginkaimya.
Perhitungan korelasi menunjukkan bahwa keempat determinan intensi tersebut berkorelasi positif dan signifikan dengan intensi. Lewat analisis regresi berganda didapatkan mlai korelasi berganda yang signifikan. Dengan kata lain, keempat variabel tersebut secara bersama-sama raemberikan peramalan yang signifikan terhadap intensi. Namun, bila dilihat sumbangan unik masing-masing variabel, hanya variabel perceived ehavior control saja yang memberikan sumbangan unik yang signifikan dalam meramalkan intensi.
Variabel sikap, norma subyektif, otonomi, dan perceived behavior control mengukur common factors yang tercakup pada perceived behavior control. Hal ini juga ditunjang oleh adanya korelasi yang signifikan antar prediktor. Sebagaimana telah luraikan di atas, penghayatan otonomi diduga ikut meramalkan intensi. Hasil penelitian menunjukan bahwa tampaknya penghayatan otonomi sudah direfleksikan di dalain sikap dan norma subyektif sehingga masuknya variabel otonomi tidak membenkan tambahan peramalan yang signifikan."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1997
S2431
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Myrna Ratna Maulidiana
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1987
S2419
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Juli Komalasari
"ABSTRAK
Aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para buruh mendatangkan masalah dan
kerugian yang tidak sedikit, baik bagi pihak perusahaan maupun bagi para buruh itu
sendiri. Aksi mogok kerja sebagai salah satu bentuk reaksi agresi, termasuksalah satu
cara yang digunakan oleh buruh untuk memperbaiki keadaan yang dipersepsikan tidak
setimpal. Kendala dalam mendapatkan responden yang sedang atau baru mengikuti
aksi mogok kerja mengakibatkan permasalahan untuk melihat hubungan antara
persepsi ketidaksetimpalan dengan aksi mogok kerja menjadi bergeser. Variabel yang
kemudian dipilih untuk diteliti adalah variabel sikap, karena sikap dapat menjadi
determinan penting bagi terjadinya tingkah laku agresi, termasuk aksi mogok kerja.
Penelitian ini kemudian berusaha untuk menelaah hubungan antara persepsi
ketidaksetimpalan dengan sikap terhadap aksi mogok kerja. Diasumsikan buruh yang
memiliki persepsi ketidaksetimpalan tinggi akan memillki sikap yang positif terhadap
aksi mogok kerja. Lalu, jika buruh yang melakukan aksi mogok kerja dapat dikatakan
menampilkan bentuk reaksi agresi, apakah buruh yang bersikap positif terhadap aksi
mogok kerja juga akan cenderung menampilkan bentuk reaksi agresi ? Sebaliknya,
apakah buruh yang bersikap negatif terhadap aksi mogok kerja akan cenderung menampilkan bentuk reaksi lain, yaitu reaksi substitusi atau reaksi melarikan diri ?
Penelitian ini bertujuan untuk memberi kemungkinan agar aksi mogok kerja ini dapat
diantisipasi. Penelitian ini dilakukan terhadap 77 orang buruh produksi yang bekerja di
pabrik-pabrik di wilayah Tangerang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan
adalah teknik incidental sampIing.AIat ukur yang digunakan berupa kuesioner
berbentuk skala Likert, terdiri dari skala sikap terhadap aksi mogok kerja, skala
persepsi ketidaksetimpalan, dan skala bentuk reaksi frustrasi. Hasil utama penelitian
ini menunjukkan adanya korelasi yang positif dan signifikan antara persepsi
keidaksetimpalan dengan sikap terhadap aksi mogok kerja. Hasil utama lainnya
adalah tidak ada perbedaan bentuk reaksi frustrasi antara kelompok buruh yang
bersikap positif dengan kelompok buruh yang bersikap negatif terhadap aksi mogok
kerja. Saran untuk penelitian berikut adalah melanjutkan penelitian, tetapi bukan lagi
sekedar meneliti sikap, melainkan kecenderungan tingkah laku mogok kerja."
1995
S2393
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1977
S5487
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Patricia Rini Harmianti
"Dalam semua organisasi, setiap anggotanya akan berinteraksi dan tergantung satu sama lain pada saat melakukan pekerjaan. Saling ketergantungan ini dapat menciptakan suatu kerja sama di antara mereka dan kerja sama itu menjadi merupakan faktor penting yang dapat melandasi koordinasi antar anggota organisasi untuk mencapai tujuan organisasi. Di dalam organisasi, kerja sama tidak selalu tercipta dalam semua situasi kerja, sebaliknya justru konfliklah yang sering mewarnai kehidupan organisasi. lvancevich dan Matteson (1990) menyatakan bahwa situasi saling ketergantungan dapat menyebabkan dua hal yang bertolak belakang yaitu kerja sama atau konflik. Konflik ini dapat terjadi bila sedikitnya terdapat dua partisipan, baik individuai atau kelompok, yang memiliki tujuan atau prioritas yang berbeda.
Konflik dapat dialami oleh siapa saja dalam posisi apa saja, namun konfiik akan Iebih sering dihadapi oleh manajer karena posisi manajer di dalam organisasi yang terletak di posisi tengah (middle line) di antara manajer puncak dan karyawan operasional (Robbins,1989). Hal tersebut membuat manajer berinteraksi dengan banyak orang, yaitu dengan atasan, dengan rekan kerja yang setingkat atau dengan bawahannnya. Dalam interaksi tersebut, konflik dapat terjadi. Konflik harus diwaspadai oleh manajer karena kehadirannya dapat berkembang menjadi parah dan sulit terpecahkan karena terdapat kontes "menang-kalah". Akibat yang dihasilkan konflik dapat pula mengganggu kerja sama yang telah ada sebelumnya dan dapat mengakibatkan ketegangan individu. Secara Iebih luas konflik dapat pula menyebabkan motivasi kerja partisipan menurun sehingga dapat menghambat unjuk kerjanya atau kelompok (Wexley & Yuki, 1984).
Karena dalam perkembangannya konflik dapat berkembang menjadi merugikan maka gaya penanganan konflik yang tepat mutlak harus ditampilkan manajer. Thomas (dalam Sekaran 1989) menyatakan terdapat lima gaya penanganan konflik yang biasa di tampilkan manajer. Menurut Robbins (1989) tidak ada satu gaya penanganan konflik yang tepat untuk semua situasi. Namun pendapat itu berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh Kilmann & Thomas (dalam Robbins & Hunsaker, 1996) yang menyatakan bahwa walaupun variasi gaya penanganan konflik dapat ditampilkan oleh manajer sesuai konflik yang dihadapinya, setiap manajer memiliki kecenderungan untuk manampilkan satu gaya penanganan konflik. Gaya ini merupakan gaya konflik dasar yang ada pada diri manajer dan merupakan gaya penanganan konflik yang sering diandalkan manajer.
Dari kelima gaya penanganan konflik yang ada terdapat gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang menurut Benfari (1991) merupakan solusi menang-menang, sedangkan menurut Wexley & Thomas (1984) merupakan teknik pemecahan masalah yang integratif. Berdasarkan hal tersebut kolaborasi merupakan gaya penanganan konflik yang paling efektif karena akar masalah atau konflik yang dihadapi dapat diselesaikan dengan cara damai dan dapat memuaskan berbagai pihak. Dalam hal ini peneliti ingin meneliti mengenai sikap manajer terhadap gaya kolaborasi dengan pertimbangan bahwa dengan mengetahui sikap tersebut peneliti dapat mengetahui kecenderungan manajer untuk menampilkan perilaku kolaboratif daiam menghadapi situasi konflik.
Untuk mengetahui penyebab internal yang dapat mempengaruhi konflik maka peneiiti mencoba untuk meiihatnya dari sudut pandang teori motivasi, karena motivasi dianggap dapat menjelaskan semua perilaku yang disadari manusia (Newstrom & Davis, 1993). Sedangkan teori motivasi yang akan dilihat hubungannya denga gaya penanganan konflik secara kolaborasi adalah teori motif sosial yang dikemukakan oleh McClelland, yaitu motif berprestasi (achievement motive), motif afiliasi (affiliation motive), dan motif kekuasaan (power motive). Sementara itu Robbins (1989) menyatakan bahwa ketiga motif itu terdapat daiam diri individu dengan derajat yang berbeda-beda. Dengan demikian setiap motif dapat memberikan sumbangan secara berbeda terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi. Berdasarkan hal tersebut peneliti ingin melihat (a) apakah motif berprestasi, motif afiliasi dan motif kekuasaan secara bersama-sama memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang dimiliki manajer (b) motif mana sajakah yang memberikan sumbangan yang paiing bemakna terhadap gaya penanganan konfiik secara kolaborasi.
Penelitian ini merupakan suatu penelitian korelasional dengan teknik pengambilan data lapangan dan tanpa memberikan manipulasi kepada responden penelitian, yang dilakukan pada 125 kepala bagian di PT. X yang berlokasi di darah Tangerang. Daiam penelitian ini ada dua instrumen yang digunakan untuk pengumpulan data. Instrumen pertama untuk mengukur motif sosial yang mengukur kedekatan seseorang dengan ciri-ciri orang yang memiliki motif tertentu secara teoritis (skala motif sosial) dan instrumen yang kedua untuk mengukur sikap terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi (skala gaya penanganan konflik secara kolaborasi).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada subjek peneiitian ini, motif berpresfasi, motif afiliasi dan motif kekuasaan secara bersama-sama ternyata tidak memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi karena secara jelas ditunjukkan bahwa hanya motif berprestasi yang memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya kolaborasi. Selain itu jika dilihat hubungan masing-masing motif terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi dengan teknik koreiasi parsial diperoleh hasil bahwa motif berprestasi memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara koiaborasi dan kedua motif yang Iain, motif afiliasi dan motif kekuasaan tidak memberikan sumbangan yang bermakna terhadap gaya penanganan konflik secara kolaborasi. Penelitian ini juga mengungkapkan adanya perbedaan yang signifikan antara gaya penanganan konflik secara kolaborasi yang dimiliki responden yang berlatar belakang SMA, Akademi dan perguruan tinggi.
Untuk penelitian lebih Ianjut peneliti menyarankan agar pengukuran variabel gaya penanganan konflik juga dilakukan pada gaya kompetisi, kompromi, menghindar dan akomodasi agar dapat diperoleh gambaran yang menyeluruh gaya penanganan konflik yang ada pada diri manajer. Selain itu untuk mempertajam hasil penelitian, subjek peneiitian juga dapat diambil dari kalangan manajer lini pertama dan manajer puncak sehingga dapat diketahui perbedaan yang ditampilkan ketiga golongan manajer dalam menghadapi konflik Sedangkan untuk alat yang digunakan daiam penelitian ini sebaiknya dilakukan pengukuran construct validity agar lebih yakin bahwa alat ukur tersebut memang mengukur suatu konstruk variabel yang hendak diukur."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2736
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Margaretha Langen Sekar Lelyana
"Pandemi Covid-19 membuat sebagian besar organisasi terpaksa menerapkan sistem kerja fleksibel dan memberikan dampak negatif terhadap kondisi work-life balance (WLB) karyawan generasi milenial. Tujuan dari penelitian ini adalah membuktikan apakah dukungan atasan melemahkan hubungan antara sikap terhadap sistem kerja fleksibel dengan WLB. Desain penelitian ini adalah korelasional dengan jumlah partisipan sebanyak 168 karyawan yang termasuk dalam generasi milenial. Pengukuran variabel menggunakan Flexible Working Option Questionnaire (FWOQ), Skala Dukungan Atasan, dan Skala WLB yang telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Penyebaran skala-skala ini dilakukan secara dari menggunakan Google Form. Analisis data dilakukan menggunakan Process Macro Hayess untuk menguji model 1, yaitu moderasi sederhana.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa dukungan atasan tidak memberikan efek moderasi pada hubungan antara sikap terhadap sistem kerja fleksibel dengan WLB. Hal ini dapat terjadi karena karyawan generasi milenial memiliki keinginan untuk dapat mengelola waktu kerja dan tempat kerjanya secara mandiri. Penelitian selanjutnya dapat melakukan penelitian serupa dengan sektor bisnis yang lebih spesifik
.The Covid-19 pandemic forced most organizations to implement a flexible work system and had a negative impact on the work-life balance (WLB) of millennial employees. The purpose of this study is to prove whether superior support strengthens the relationship between flexible work systems and WLB. The design of this study was correlational with the number of participants as many as 168 employees belonging to the millennial generation. The measurement of variables uses the Flexible Working Option Questionnaire (FWOQ), the Supervisor Support Scale, and the WLB Scale which had been translated into Indonesian. The distribution of these scales is done by using Google Forms. Data analysis was performed using Process Macro Hayess to test model 1, namely simple moderation. The results showed that supervisor support did not have moderating effect to the relationship between the flexible working arrangement and WLB. This happened because millennial generation employees had the desire to be able to manage their work time and workplace independently. Future research can conduct similar research with more specific business sectors."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia , 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>