Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174830 dokumen yang sesuai dengan query
cover
cover
Jakarta: Biro Humas Kementrian Negara PAN,
320 LPJ
Majalah, Jurnal, Buletin  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriani
"ABSTRAK
Era ini ditandai dengan globalisasi informasi dan persaingan yang ketat untuk dapat hidup dengan layak. Untuk itu, antara lain diperlakan pengetahuan dan penguasaan seseorang
pada bidang tertentu, dan hal tersebut memerlukan semangat atau motivasi yang tinggi untuk
terus-menerus mempelajari atau menekuni suatu bidang yang digeluti/ diminati.
Sehubungan dengan hal di atas, jika orangtua ingin agar anaknya bersemangat atau rajin dalam belajar. Keinginan tersebut muncul karena antara lain orang tua ingin agar anaknya menguasai materi pelajaran atan bertanggung jawab pada pendidikan yang sedang dijalaninya. "Rajin"-nya seorang anak belajar sebenarnya berkaitan erat dengan tanggung-jawab anak tersebut pada proses belajarnya sendiri. Bacon, 1991 (dalam Bacon, 1993) menyebutkan bahwa seorang anak yang bertanggung-jawab akan mengerjakan tugasnya tanpa diingatkan atan dipaksa oleh orang lain walaupun tanggung-jawab dalam belajar itu penting, pada kenyataannya, berdasarkan hasil dari suatu peuelitian yang dilakukan oleh Bacon (1993) diketahui bahwa sebagian besar dari anak sekolah yang ditelitinya memiliki persepsi bahwa suatu tanggung-jawab itu adalah sesuatn yang diberikan oleh orang lain ("being held responsible, bukannya "being responsible"). Selanjutnya Bacon mengatakan bahwa dalam situasi belajar. tindakan yang bertanggung jawab terdiri dari pengaturan diri (self-regulation) dan kontrol diri (self control).
Menurut Zimmerman (1986), Self Regulation (selanjutnya akan disingkat sebagai
SR) dslam belajar ialah suatu tingkat dimana individu adslah partisipan yang aktif bail:
secara mengkognitif/motivasi, dan tingkah laku dalam mengarahkan proses belajarnya Jika
dilibat definisi tersebut tampak bahwa SR tidak banya sekadar menggambmkan bahwa
seseorang mandiri dalam arti melakukan suatu aktivitas sendiri atan tidak tergantung,
namun juga terlibat "aktif" dalam proses belajamya Selain itu, anak yang
SR-uya tinggi dapat mengontrol aktivitas yang dilakakannya dengan mengarah kepada suatu
tujuan, sehingga prestasi belajarnya optimal (Sc~uuk & Zimmerman, 1994).
Deri uraian di atas kita melihat betapa peulingsya seorang anak memiliki SR. Namun
SR itu sendiri perlu dipelajari, seiring dengan peudupat yang mengatakan bahwa "belajar yang efektif" ialah proses yang dipelajari atan bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir (Resnick, 1989). Pertanyaan yang timbul kemudian Ialah dari mana seorang anak dapat mempelajari "cara belajar" yang efektif itu (sehngga ia memiliki SR), hal tersebut tidak tercantum dalam kurikulum di sekolah. Dengan demikian, dapat kita asumsikan bahwa suatu
intervensi di luar lingkungan sekolah yang memegang peranan penting dalam pembentukan
sikap belajar anak (tennasuk pembeutukan SR), hingga dijumpai anak-anak dengan lingkat SR
yang betbeda. Adanya intervensi itu tampaknya diperkirakan berasal dari lingkungan rumah,
atau orangtua, hasil dari berbagai penelitian menemukan bahwa keterlibatan orangtua dalam proses belajar anak: memegang peran penting dalam meraih prestasi belajar yang optimal (Henderto, 1987; Bloom, 1985; Cllllk. 1933; Clark, 1987; dalarn Wlodkowski &
Jayues, 1990). Bentuk dukungan psikologis dari lingkungan sosial si anak bimbingan ataupun
pangarahan dari orang dewasa (oranggtua), yang dikenal dengan istilah guided participation
(Rogofl; 1990; dalam Miller, 1993), Menurnt Vygolsky, 1978, bimbingan yang dilakukan
oleh orang dewasa (oranggtua) dalam rangka mengaktualisasi potensi yang berada dalam rentangan Zone of Proximal Development (Zl'D). Vygoteky menggambarkan betapa pentingnya keterlibatan orang dewasa dalaro mengoptimalkan perkembangan anak. Keterlibatan orang dewasa dalam situasi sehari-hari dapat dilihat dari pengasuhan terhadap anaknyn.
Pengasuhan secant umumdapat diidentikkan dengan pola asah. Pola asub belum tentu sama efektifnya atau belum pasti sama positifnya bagi semua imadisi social budaya.
Berdasarkan beberapa alasan di atas, peneliti tertarik untuk meneropong sejauh mana
orang dewasa - dalam hal ini orangtua diIndonesia (khususnya pada populasi yang akan
diteliti) mengasah anaknya, agar terbentuk ketrampilan SR yang tinggi pada anak. Di
samping itu, upa saja kODdisi yang barns ada (necessary conditions) sehubungan dengan
terbentuknya SR yang tinggi. Subyek yang akan digunakan dalam pengambilan data penelitian ini adalah anak yang berusia sekitar 12 tahun atau siswa SLTP kelas- di suatu sekolah di wilayah DKI, dan orang tuanya. Adapun pangambilan sampel dilakukan "Insidental sampling.
lnstrumen penelitian yang akan diganakan dalam penelitian ini adalah kerangka wawancara tingkat SR anak yang dikembangkan berdasarkan konsep Grow (1991). Selain itu peneliti akan melakukan wawancara mendalam untuk menggali apa saja yang Dikalukan oleh orang tua terbadap anaknya yang berkaitan dengan pengasahan. Instrument tersebut dikembangkan berdasarlom teori pola asuh dari Banmrind, 1968 den Maccoby, 1980 (dalam Berns, 1985), ser1a teori SR dari Zimmenmm (dalaro Scimak &. Zimmetmllll, 1994).
Hasil penelitian ini tidak dapat digeneralisasikan, kareoa terbatasnya jumlah obyek.
Namun dari penelitian ini minimal diperoleh wawasan, tentang adanya suatu kecenderungan-kecenderungan pada subyek yang memiliki karakteristik tertentu. yaitu tampak kecenderangan pola asuh yang antoritatif (detuokrada) pada oranglw! yang memiliki anak dengan SR tinggi. Necessary conditions pada peogasuhan orang tua dari anak yang memiliki SR tinggi dari hasil penelitian ini ada beberupa faktor, yaitu: aspek penerapan disiplin yang tegas dan fleksibel, konsistensi tindak orangtua, serta adanya kebebasan bagi anak untuk menentukan materi yang nkaa dipelajari dan kapan anak belajar. Bagi pihak yaag ingin melakukan penelitian lanjutan, agar meningkatkan jumlah subyek, lebih mengontrol yang dapat mempengaruhi hasil penelitian dan menggunakan metode kuantitatif untuk mengkonfirmasi seluruh hasil penelitian yang telah ditemukan, serta menggunakan sumber yaag lebih lengkap ( ayah & ibu diikutsertakan sebagai subyek penelitian) agar diperoleh hasil penelitian yang komprehensif."
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37941
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jannah Maryam Ramadhani
"ABSTRAK
Keberadaan figur alternatif menarik cenderung menjadi ancaman bagi terbinanya sebuah hubungan yang romantik. Penelitian eksperimen ini bertujuan untuk membuktikan peran regulasi diri melalui pengkondisian deplesi dan non-deplesi pada partisipan dengan orientasi seksual yang berbeda, yaitu 61 heteroseksual Studi 1 dan 65 homoseksual Studi 2 ketika dihadapkan pada figur alternatif menarik yang maskulin dan feminin. Hasil kedua studi menunjukkan bahwa pengaruh pengkondisian deplesi dan non-deplesi tidak menunjukkan perbedaan pemilihan antara figur menarik yang maskulin dan feminin dan orientasi seksual partisipan. Status relasi partisipan dan lamanya hubungan yang dijalani tidak berpengaruh signifikan terhadap kecenderungan untuk memilih figur alternatif lain yang maskulin maupun feminin. Temuan penelitian yang signifikan dalam penelitian ini adalah mengenai preferensi kemenarikan yang menunjukkan bahwa laki-laki heteroseksual akan cenderung memilih figur alternatif feminin, sebaliknya perempuan heteroseksual akan cenderung memilih figur alternatif maskulin.Kata kunci: preferensi kemenarikan, regulasi diri, orientasi seksual.

ABSTRACT
The existence of interesting alternative figures tends to be a threat to the establishment of a romantic relationship. This experimental study aims to prove the role of self regulation through depletion and non depletion conditioning in participants with different sexual orientations, 61 heterosexuals Study 1 and 65 homosexuals Study 2 when confronted with attractive, masculine and feminine alternative figures. The results of both studies show that the effect of depletion and non depletion conditioning does not indicate a difference in selection between the masculine and feminine attractive figures and the participant 39 s sexual orientation. The status of the participant rsquo s relations and the duration of the relationship undertaken did not significantly influence the tendency to choose other alternate figures that were both masculine and feminine. The research findings that are significant in this study are about the attractiveness preferences that show that heterosexual men will tend to choose feminine alternative figures, otherwise heterosexual women will tend to choose alternative masculine figures.Keywords preferences of attractiveness, self regulation, sexual orientation "
2017
T48107
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ruly Sulis Handayani
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara materialisme dan selfregulation pada remaja. Materialisme didefinisikan sebagai keyakinan yang dianut seseorang tentang seberapa pentingnya kepemilikan barang di dalam hidupnya (Richins & Dawson, 1992). Self-regulation didefinisikan sebagai kemampuan individu untuk mengembangkan, mengimplementasikan, dan secara fleksibel memonitor perilaku yang sudah direncanakan untuk meraih tujuannya (Kanfer, 1970). Responden penelitian adalah 146 remaja di Jabodetabek. Materialisme diukur dengan menggunakan MVS Short Form oleh Richins (2004a). Self-regulation diukur dengan dengan menggunakan Short Form Self-Regulation Questionnaire (Carey, Neal, dan Collins, 2004). Hasil utama penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara materialisme dan self regulation (r= -.205, p<0.05). Nilai coefficient of determination (Rsquare) r2= 0.042 atau sebesar 4.2% sehingga dapat diinterpretasikan bahwa variasi skor materialisme 4.2% dapat dijelaskan dari skor self-regulation. Sedangkan 95.8% sisanya dapat dijelaskan oleh faktor-faktor individu selain faktor self-regulation.

This research was conducted to find the correlation between self-regulation and materialism among adolescent. Materialism is defined as a centrally held belief about the importance of possessions in one?s life (Richins & Dawson, 1992). Selfregulation is defined as the ability to develop, implement, and flexibly maintain planned behaviour in order to achieve one?s goals (Kanfer, 1970). Participants of this research were adolescent in Jabodetabek area, with amounts 146 people. Materialism was measured using MVS Short Form by Richins (2004a). Selfregulation was measured using Short Form Self-Regulation Questionnaire (Carey, Neal, dan Collins, 2004). The main result of this research shows that there is significant relationship between materialism and self-regulation, (r= -.205, p<0.05). Coefficient of determination score (R square) r2= 0.042 or indicate that 4.2% materialism score variation can be explained by self-regulation score. Another 95.8% can be explained from another individual factors except selfregulation.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2014
S53986
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Esa Oktaviawati
"[ABSTRAK
Salah satu karakteristik anak usia prasekolah ialah adanya perkembangan yang sangat pesat pada kemampuan regulasi diri. Studi-studi terbaru menunjukkan kemampuan ini penting dimiliki anak usia prasekolah sebagai pembelajaran dasar yang dapat memudahkan anak saat transisi menuju ke pendidikan yang lebih formal. Kemampuan ini dapat berkembang atau tidak secara optimal bergantung pada pemberian stimulus yang diberikan oleh lingkungan sekitar khususnya melalui pendidikan anak usia dini karena anak di masa ini mulai bersekolah dengan harapan meraka mulai dapat menyenangi kegiatan belajar. Pengembangan kemampuan regulasi diri di sekolah usia dini sangat melibatkan peran guru melalui kegiatan-kegiatan harian yang dirancangnya. Bagaimana praktik yang guru terapkan dalam keseharian ini sangat dipengaruhi oleh teachers? beliefs yang dimiliki guru terhadap kemampuan regulasi diri anak. Hal ini dikarenakan untuk memahami cara seseorang mengajar dan berinteraksi, kita harus menyadari terlebih dahulu beliefs yang mendasari perilakunya. Oleh karena itu, penelitian ini ditujukan untuk mendapatkan gambaran kemampuan regulasi diri dan teachers? beliefs terhadap regulasi diri anak pada usia prasekolah. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif. Regulasi diri pada anak usia prasekolah diukur menggunakan challenge task, sedangkan teachers? beliefs terhadap regulasi diri anak diukur menggunakan alat ukur yang dibuat oleh peneliti dengan berdasarkan pengertian dari teachers? beliefs dan komponen regulasi diri.Responden penelitian ini berjumlah 39 orang anak prasekolah yang berasal dari sekolah yang berbeda-beda di Depok, Jawa Barat. Berdasarkan hasil penelitian, didapatkan bahwa teachers? beliefs yang dimiliki guru terhadap kemampuan regulasi diri anak usia prasekolah berperan dalam pembentukan kemampuan regulasi diri anak. Guru dengan teachers? beliefs terhadap kemampuan regulasi diri anak usia prasekolah yang tinggi akan membentuk anak didik yang memiliki kemampuan regulasi diri yang baik.
ABSTRACT
One of the characteristic of preschool age children is their tremendous progress on development of self-regulation ability. Some recent studies showed that the ability is very important for a preschool age children to have during their transition toward a more formal stage of education. The optimal development rate of this abilty depend on the stimulation that is given to the children, specifically through the preschool education because in this period, they started to go to school expecting that they like the learning activity. Developing the ability of self regulation in preschool age deeply involved teacher?s role through the daily activities that they designed. The practices that teachers implement in these daily activities excessively influenced by teachers? beliefs which they have toward students? self regulation, and to understand the way someone teach and have interaction, we have to analyze the beliefs that underlied teachers? behavior. To see that purpose, teachers? beliefs toward self-regulation and the self regulation ability preschool age children. This research is done using the quantitative methods. Self regulation on preschool age children is measured using a challenge task, whereas teachers? beliefs on children?s self regulation measured using measuring tools that have made by researcher based on the definition of teachers? beliefs and self regulation components. Respondent of this research is 39 preschool age children registered in different schools in Depok, West Java. Based on research?s result, its clear that teachers? beliefs which teachers have toward preschool age children?s self regulation involved in the development of children?s ability of self regulation. Teachers with high score of teachers? beliefs toward preschool age children?s self regulation will develop the children with good self regulation ability.
;One of the characteristic of preschool age children is their tremendous progress on development of self-regulation ability. Some recent studies showed that the ability is very important for a preschool age children to have during their transition toward a more formal stage of education. The optimal development rate of this abilty depend on the stimulation that is given to the children, specifically through the preschool education because in this period, they started to go to school expecting that they like the learning activity. Developing the ability of self regulation in preschool age deeply involved teacher?s role through the daily activities that they designed. The practices that teachers implement in these daily activities excessively influenced by teachers? beliefs which they have toward students? self regulation, and to understand the way someone teach and have interaction, we have to analyze the beliefs that underlied teachers? behavior. To see that purpose, teachers? beliefs toward self-regulation and the self regulation ability preschool age children. This research is done using the quantitative methods. Self regulation on preschool age children is measured using a challenge task, whereas teachers? beliefs on children?s self regulation measured using measuring tools that have made by researcher based on the definition of teachers? beliefs and self regulation components. Respondent of this research is 39 preschool age children registered in different schools in Depok, West Java. Based on research?s result, its clear that teachers? beliefs which teachers have toward preschool age children?s self regulation involved in the development of children?s ability of self regulation. Teachers with high score of teachers? beliefs toward preschool age children?s self regulation will develop the children with good self regulation ability.
, One of the characteristic of preschool age children is their tremendous progress on development of self-regulation ability. Some recent studies showed that the ability is very important for a preschool age children to have during their transition toward a more formal stage of education. The optimal development rate of this abilty depend on the stimulation that is given to the children, specifically through the preschool education because in this period, they started to go to school expecting that they like the learning activity. Developing the ability of self regulation in preschool age deeply involved teacher’s role through the daily activities that they designed. The practices that teachers implement in these daily activities excessively influenced by teachers’ beliefs which they have toward students’ self regulation, and to understand the way someone teach and have interaction, we have to analyze the beliefs that underlied teachers’ behavior. To see that purpose, teachers’ beliefs toward self-regulation and the self regulation ability preschool age children. This research is done using the quantitative methods. Self regulation on preschool age children is measured using a challenge task, whereas teachers’ beliefs on children’s self regulation measured using measuring tools that have made by researcher based on the definition of teachers’ beliefs and self regulation components. Respondent of this research is 39 preschool age children registered in different schools in Depok, West Java. Based on research’s result, its clear that teachers’ beliefs which teachers have toward preschool age children’s self regulation involved in the development of children’s ability of self regulation. Teachers with high score of teachers’ beliefs toward preschool age children’s self regulation will develop the children with good self regulation ability.
]"
Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2015
S62108
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Suhartono
"Perubahan pola pengembangan sumber daya manusia beruhan sejalan dengan perubahan lingkungan strategis dan lajunya proses reformasi disegala bidang yang menuntut segera diterapkannya desentralisasi penyelenggaraan diktat. Perkembangan ini juga diikuti dengan munculnya paradigma baru pembangunan aparatur pemerintah yang diarahkan pada semakin terwujudnya dukungan administrasi negara yang mampu menjamin kelancaran dan keterpaduan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat. Hal tersebut menuntut peningkatan kualitas sumber daya aparatur melalui upaya penyelenggaraan program diktat yang terpadu dan profesional yang dilaksanakan oleh lembaga diklat yang terakreditasi, melalui total quality education penyelenggaraan diklat dengan tiga pilarnya yaitu "quality standard, quality assurance dan quality control, daiam rangka mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance).
Untuk mewujudkan total quality education setidaknya telah tersedia perangkat peraturan yang mengawalnya yaitu PP 101 tahun 2000 dan Keputusan Kepala LAN Nomor 194/XIII/10/6/2001 sebagai perwujudan komitmen pemerintah melalui instansi Pembina diklatnya (LAN), berserta petunjuk teknis lainnya yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan satu dengan lainnya. Sebagai bagian dari akuntabilitas penyelenggaraan diklat, maka pelaksanaan akreditasi dilakukan melalui unsur-unsur yang terkait dengan kelembagaan diklat, program diklat, SDM penyelenggara dan widyaiswara, yang pada saat ini terdapat 62 lembaga diktat pemerintah, namun baru 10 lembaga diktat yang telah terakreditasi.
Melalui analisis cluster dengan metode non-hierarchical, lembaga diktat pemerintah dikelompokan menjadi 3 cluster yang memiliki perbedaan yang signifikan dari masing-masing cluster berdasarkan nilai pada variabel analisis cluster yang tegabung dalam unsur-unsur penilaian akreditasi yaitu unsur kelembagaan, program diktat, SDM penyelenggara dan widyaiswara.
Dari analisis cluster pada one-way anova dapat terlihat kelemahan pada lembaga diklat yang diakreditasi, sehingga memerlukan perlakuan khusus terhadap lembaga yang bersangkutan, yang antara lain dapat digambarkan bahwa : (1) Cluster 1 perlu dilakukan pengembangan khusus pada unsur program diktat dan pengembangan widyaiswara melalui : (a) re-deasin kurikulum, (b) penyelenggaraan berbagai diktat untuk widyaiswara; (2) Cluster 2 secara umum masih memerlukan pengembangan pada semua unsur akreditasi; dan (3) Cluster 2 hanya memerlukan pembinaan agar dapat mempertahankan akreditasi yang telah didapatkan.
Dengan melakukan identifikasi terhadap peraturan perundangan terlihat masih adanya peraturan yang kurang lengkap, seperti pada PP, Keputusan Kepala LAN, dan pedoman teknis pelaksanaan akreditasi. Apalagi dengan membandingkan dengan lembaga lain, menjadi lebih terlihat lagi bahwa masih banyak kekurangan/kelemahan dalam pelaksanaan akreditasi yang dilakukan oleh LAN, sehingga pada jangka panjang LAN dapat mengadopsi proses tersebut dari kedua lembaga yang diperbandingkan.
Melalui strategi jangka pendek dengan analisis SWOT, maka terdapat empat pilihan strategi yang dapat dilakukan dalam upaya pengembangan kapasitas lembaga diktat. Alternatif yang dapat ditawarkan adalah : (1) melakukan penguatan kelembagaan melalui mengembangan kapasitas lembaga diklat, (2) melakukan evaluasi dan penataan kelembagaan sesuai dengan kebutuhan organisasi (restrukturisasi), (3) membangun jejaring kerja dengan sesama lembaga diktat, dan (4) mengembangkan diklat unggulan."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2004
T13220
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lim Sing Meij
"ABSTRAK
Bidan sebagai tenaga kesehatan memiliki peran yang sangat sentral dalam pelayanan kesehatan dasar. Untuk menanggulangi tingginya Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi, sekolah kebidanan secara khusus didirikan pemerintah Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia melalui Departemen Kesehatan dan BKKBN terns mendorong pertumbuhan jumlah bidan. Menurut Profil Kedudukan dan Peranan Wanita 1995 balk di kota maupun di desa, perempuan lebih memilih bidan dalam memeriksakan kesehatan dan kehamilan mereka dari pada tenaga kesehatan iainnya. Habsjah dan Aviatri (dalam Oey-Gardiner 1996:393) mengungkapkan bahwa sejak tahun 1952 bidan sudah dikerahkan untuk mengelola Balai Kesehtan Ibu dan Anak. Ketika pada tahun 1968 puskesmas pertama kali diperkenalkan di Indonesia, Depkes mengeluarkan peraturan bahwa tenaga puskesmas harus terdiri atas tenaga dokter, bidan, mantri, dan perawat. Tetapi berbagai studi membuktikan bahwa banyak puskesmas yang hanya memiliki bidan atau mantri sebagai satu-satunya tenaga kesehatan yang setiap saat dapat dikunjungi oleh masyarakat. Bidan di Indonesia adalah ujung tombak pelayanan kesehatan dasar.
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa dalam melaksanakan tugas di desa yang sulit dijangkau, tugas bidan dirasakan terlalu banyak. Bidan tidak saja bertugas melayani ibu hamil dan balita, mereka juga melayani pertolongan kesehatan secara umum seperti menolong prang sakit, kecelakaan lalu lintas sampai menindik dan menyunat bayi yang Baru lahir. Selain menangani aspek klinis medis kebidanan dan umum, mereka juga menangani aspek administrasi dan manajerial. Tugas administrasi yang dituntut oleh puskesmas sering mengakibatkan tugas pokok menjadi terlantar.Puskesmas selalu meminta data diri yang sulit diperoleh. Membina hubungan dengan dukun bayi dan anggota masyarakat merupakan aspek sosial yang harus diperhatikan oleh seorang bidan. Dalam banyak hal bidan merasakan bekal dan kemampuannya amat terbatas untuk dapat menangani semua harapan masyarakat. Pendidikan lanjut baik berupa kursus singkat maupun seminar sangat mereka harapkan untuk dapat memperoleh bekal dalam menjalankan profesi mereka.
Hal tersebut mendorong penulis ini untuk mengetahui dan memahami lebih mendalam bagaimana peran dan penghasgan yang diperoleh bidan dalam menjalankan tugas mereka sebagai tenaga kesehatan baik di puskesmas maupun di praktek sore mereka di rumah.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan perspektif feminis. Keputusan untuk menggunakan pendekatan ini diambil karena pendekatan ini dapat mengungkap pengalaman subyektif perempuan dalam kehidupan yang nyata. Disamping itu penelitian dengan menggunakan perspektif feminis dapat mengungkap keberpihakan pada perempuan. Penelitian ini dilakukan di puskesmas Kusuma Buana (bukan nama sebenarnya), Jakarta Selatan. Informan penelitian adalah bidan yang bekerja di puskesmas dan membuka praktek sore di rumah. Informan digentukan secara purposive dengan mengunakan teknik bola salju. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap informan. Pengumpulan data juga dilakukan dengan melakukan wawancara dengan kepala puskesmas dan staf yang bekerja di Sudinkes.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran bidan adalah sentral dalam pelayanan kesehatan dasar. Namun, dalam menjalankan tugasnya, mereka mengalami deprofesionalisasi dan eksploitasi. Bidan yang awalnya bersifat mandiri telah tersisihkan. Tugas yang harus mereka laksanakan telah jauh melampaui tugas pokok seorang bidan yaitu menyelamatkan kehidupan ibu dan anak serta memberikan pelayanan KB. Sebaliknya, penghargaan yang diterima tidak sesuai dengan peran mereka sebagai tenaga kesehatan.Status mereka sebagai bidan puskesmas telah memungkinkan mereka untuk membuka praktek sore di rumah. Pelayanan kesehatan di praktik sore tidak mengenal jam praktek. Perilaku altruistik telah membawa bidan untuk selalu mengutamakan pelayanan kepada masyarakat. Dari pelayanan yang diberikan, penghasilan di praktek sore telah menjadi penghasilan utama bagi keluarga bidan. Namun, apa yang dilakukan oleh mereka tidak selalu memperoleh penghargaan yang diharapkan.
"
1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muchtazar
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1991
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>