Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 56292 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Afdhal Mahatta
"Konsep Pemerintahan Nagari sebagai pemerintahan terendah dan wilayah hukum adat di Sumatera Barat mengalami degradasi dengan munculnya Undangundang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Pemerintahan Nagari yang bersifat otonom dan demokratis telah diganti menjadi pemerintahan desa yang bersifat sentralistik. Pemerintahan Nagari hanya semata-mata merupakan kesatuan masyarakat hukum adat. Munculnya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana menggantikan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 memberikan kesempatan kepada Pemerintahan Nagari untuk kembali menunjukkan eksistensi nya. Kembali ke pemerintahan nagari diharapkan mampu menjadi solusi terhadap permasalahan yang terjadi dan untuk menggali lagi potensi dan peran serta masyarakat dalam upaya mempercepat pembangunan di daerah sebagaimana dulunya.

The government concept of Nagari as the lowest administration and as the region of customary law suffered from degradation with the emergence of 1979 Law Number 5 about Village Government. The autonomous and democratic Nagari Government has been replaced with a centralistic village governemnt. As a result, the Nagari government plays the role only as a unity of customary law society. The emergence of 2004 Law number 32 about Local Government as a replacement of 1999 Law number 22 gives the chance to the Nagari Government to represent its existence. The return to Nagari Administration is expected to be able to become the solution to the problem that happened and to explore again the potency and role of the society in the effort of quickening the development in the area as before now."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29447
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hani Adhani
"Pasca Amandemen UUD 1945, Proses pemilihan Kepala Daerah dilaksanakan melalui pemilihan langsung. Hal mengenai mekanisme pemilihan Kepala Daerah tersebut selanjutnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah.
Pelaksanaan demokrasi dalam Pilkada langsung ini menimbulkan konsekuensi yang besar terhadap kelangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia. Proses pelaksanaan Pilkada yang syarat dengan berbagai kepentingan akan menimbulkan konflik yang berkepanjangan dan selalu berujung dengan sengketa. Lembaga peradilan yang merupakan benteng terakhir untuk menyelesaikan sengketa Pilkada harus selalu dituntut untuk mengedepankan putusan yang menjunjung rasa keadilan bagi semua kepentingan yang terkait dengan sengketa Pilkada.
Adanya konflik yang berkepanjangan pasca putusan sengketa Pilkada oleh Mahkamah Agung menimbulkan kegamangan yang berujung dengan pengalihan kewenangan untuk mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak secara jelas mengatur tentang mekanisme pengalihan kewenangan mengadili sengketa Pilkada dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi, hal tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda terkait tenggat waktu pelimpahan kewenangan tersebut, meskipun pada akhirnya permasalahan tersebut berakhir setelah ditandatanganinya Berita Acara Pelimpahan Kewenangan Mengadili Sengketa Pilkada dari Mahkamah agung ke Mahkamah Konstitusi pada tanggal 29 Oktober 2008.
Proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi tidaklah jauh berbeda dengan penyelesian sengketa di Mahkamah Agung, adanya tenggat waktu 14 (empat belas) hari untuk menyelesaikan sengketa tersebut, menyebabkan proses penyelesaian sengketa tersebut harus dilaksanakan secara cepat dengan acuan yang menjadi dasar pertimbangan hakim adalah hal mengenai hasil penghitungan suara yang mempengaruhi terpilihnya pasangan calon. Adanya upaya hukum berupa kasasi dan peninjauan kembali yang dilakukan oleh Mahkamah Agung pasca putusan yang bersifat final dan mengikat, menyebabkan upaya menyelesaikan sengketa Pilkada berlarut-larut sehingga menimbulkan adanya ketidakpastian hukum. Hal tersebut yang menjadi salah satu pembeda antara proses penyelesaian sengketa Pilkada di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25202
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Harsanto Nursadi
"The changing on local budgeting control (APBD) had been already begun by Law No. 25 year 1999 and impacted the most extreme procedure on the process to get legitimating and responsibility that not more to central government, but to local parliament (DPRD). After revision by the newest law No. 32 and 34 year 2004 local budgeting needs province and central government evaluations prior to get approval. The author here does scrutiny that by the newest law has produced positive changing on the local budgeting responsibility. It is shown by report through APBD realizations that might to be audited by Financial Audit Board (BPK) prior to be accountable. Its meaning that from the financial aspects shall not happen local head falls that 's caused by the DPRD repudiation toward budgeting reports. Recently, clear definitions and criteria 's are significant to avoid through earlier experiences that has strengthened by applied national accounting system for local government in consistent."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005
HUPE-35-4-(Okt-Des)2005-456
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Luhur Kurnianto
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang masalah pengaturan hak pekerja dalam sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia pada tahun 2007-2013. Permasalahan yang menjadi topik tesis ini adalah mengenai; 1) pengaturan hak pekerja sesuai norma HAM dan perburuhan internasional dalam sistem hukum ketenagakerjaan Indonesia, 2) Permasalahan yang muncul diseputar upaya penegakan hak pekerja di era otonomi daerah, dan 3) kebijakan hukum yang diambil pemerintah pusat sebagai solusinya. Penelitan tesis ini menggunakan metode yuridis-normatif, dengan mengevaluasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hak pekerja serta melihat efektifitas struktur pemerintahan yang berwenang dalam menegakkan norma hak pekerja. Sehingga solusi yang dapat diterapkan dalam memperbaiki sistem hukum ketenagakerjaan agar meminimalisasi munculnya masalah pelanggaran hak pekerja melalui perbaikan sistem pengawasan ketenagakerjaan.

ABSTRACT
This thesis discusses the issue of workers rights arrangements in the Indonesian labor law system in the year 2007 to 2013. The issue of the topic in this thesis is about; 1) the arrangement of worker rights as human rights norm and international labor law at the indonesia employment law system, 2) the issue around the enforcement of the worker rights in the local aotonomy era, and 3) the legal policy from central government as the solution. This thesis research was conducted by normative-juridical methode and by evaluating legislation governing the rights of workers and see the effectiveness of the structure of government authorities in the enforcement of labor rights norms. So the solution can be applied to improve the legal system in order to minimize the emergence of labor rights violations of workers through improved labor inspection systems."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38900
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Marbun, Nindya Meylani
"Penyelesaian kerugian keuangan negara akibat kelalaian/kesalahan administrasi seharusnya merupakan penyelesaian administrasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Kerugian negara selalu diarahkan kepada hukum pidana dan mengabaikan hukum administrasi negara. Hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman mengenai teori hukum administrasi negara. Tidak semua penyimpangan khususnya dalam hal tindakan aparatur pemerintah dikenai sanksi pidana apabila hukum administrasi negara memberikan pedoman dan sanksi. Untuk itu, perlu dibuat adanya Standar Operasional agar penyelesaian kerugian keuangan negara akibat kesalahan/kelalaian admnistrasi dapat diselesaikan secara administrasi dan peningkatan pengawasan dari APIP dalam hal ?hal yang berhubungan dengan administrasi pemerintahan.

Solving Mechanism of State Financial Loss Due to Administrative Failure and/or error should be an administrative settlement in accordance with Law No. 1 of 2004 on State Treasury and Law No. 30 Year 2014 on Government Administration. State losses are always directed to the criminal law and the law ignores the state administration. This is due to lack of understanding of the theory of administrative law. Not all irregularities, especially in terms of the actions of government officials subject to criminal sanctions if the administrative law providing guidelines and sanctions. For that, need to be made that the completion of their Standard Operating state financial losses due to errors / omissions of Administrative can be resolved administratively and increased supervision of the APIP in those things which relate to government administration."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T46142
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prahesti Sekar Kumandhani
"Dalam negara kesatuan, peraturan daerah sebagai bagian dari hierarki peraturan perundang-undangan sekaligus wujud aktualisasi penyelenggaraan otonomi daerah perlu diawasi oleh pemerintah pusat. Pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pengaturan mengenai pengawasan peraturan daerah semakin ketat dan bervariasi bahkan melibatkan 3 (tiga) cabang kekuasaan di tingkat pusat. Berbagai macam pengaturan yang tidak sinkron pada tingkat pusat menjadi persoalan utama pemerintah daerah dalam menjalankan otonomi daerah dan menghambat perwujudan suatu peraturan daerah yang berkualitas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan untuk menjawab ketepatan sporadis pengaturan pengawasan peraturan daerah, menganalisis keterlibatan antar lembaga yang mengawasi peraturan daerah, serta menemukan desain pengawasan peraturan daerah yang komprehensif. Secara normatif, berbagai pengaturan dalam pengawasan peraturan daerah ditemukan problem inkonsistensi hukum yang saling tumpang tindih bahkan melampaui kewenangan. Secara kelembagaan, ego sektoral antar kementerian masih tinggi sehingga koordinasi sulit dijalankan, keterlibatan DPD selaku lembaga legsilatif tingkat pusat dalam mengawasi peraturan daerah tidak tepat, dan kewenangan antara Mahkamah Agung dan pemerintah pusat tidak seharusnya dipertentangkan karena memiliki ranah yang berbeda. Menjawab persoalan tersebut, diperlukan kesatuan pengaturan mengenai pengawasan peraturan daerah dalam bentuk Undang-Undang, pentingnya menegaskan fungsi pengaturan Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dengan membentuk suatu pusat pembentukan peraturan perundang-undangan untuk menertibkan peraturan perundang-undangan dari pusat hingga daerah, serta perlu dipertegas tujuan penyelenggaraan negara untuk kepentingan nasional bukan untuk kepentingan daerah atau terbatas untuk kepentingan pusat. Dengan demikan, bandul desentralisasi dan sentralisasi dapat berayun setimbang saling mendukung dan melengkapi sehingga kedua hal tersebut tidak harus dipertentangkan satu sama lain.
.....In a unitary state, regional regulations as part of the hierarchy of laws and regulations as well as the actualization of the implementation of regional autonomy need to be supervised by the central government. After the enactment of Law Number 23 of 2014 concerning Regional Government, the regulation regarding the supervision of regional regulations has become more stringent and varied, even involving 3 (three) branches of power at the central level. Various kinds of arrangements that are not synchronized at the central level are the main problems for local governments in carrying out regional autonomy and hinder the realization of a quality regional regulation in accordance with the needs of the community. This research is intended to answer the sporadic accuracy of the regulation or supervision of regional regulations, analyze the involvement of institutions that oversee regional regulations, and find a comprehensive design of supervision of regional regulations. Normatively, various arrangements in the supervision of regional regulations are found to be inconsistent in the law that overlaps and even exceeds the authority. Institutionally, the sectoral ego between ministries is still high so that coordination is difficult to carry out, the involvement of the DPD as a legislative institution at the central level in supervising regional regulations is inappropriate, and the authority between the Supreme Court and the central government should not be contested because they have different domains. Responding to this problem, it is necessary to have a unified regulation regarding the supervision of regional regulations in the form of a law, the importance of affirming the regulatory function of the President as the holder of the highest government power by establishing a center for the formation of laws and regulations to regulate laws and regulations from the center to the regions and needs to be emphasized. the purpose of state administration is for the national interest, not for the regional interest or limited to the central interest. Thus, the pendulum of decentralization and centralization can swing in balance to support and complement each other so that the two things do not have to be contradicted with each other."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Departemen Komunikasi dan Informatika RI , 2005
R 320.83 IND u
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>