Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101125 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bayu Kristanto
"ABSTRAK
Novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis oleh Nawal el-Sa'adawi merupakan sebuah novel yang menyuarakan dengan keras rasa perrh yang diderita oleh seorang perempuan Mesir bernama Firdaus. Novel ini sekaligus adalah refleksi dari kesengsaraan yang ditanggung oleh perempuan Timur Tengah yang hidup di bawah dominasi patriarki. Hal yang kontroversial dalam novel ini adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan oleh seorang wanita terhadap laki-laki. Pendekatan etika yang mengikuti imperatif kategoris Immanuel Kant akan mengecam tindakan pembunuhan apapun motifnya. Tindakan pembunuhan yang dilakukan Firdaus bisa mengundang reaksi negatif, terutama bila kita mengetahui bahwa ia sama sekali tidak menyesali perbuatannya, tetapi bahkan merayakannya. Namun, tindakan menghakimi Firdaus karena pembunuhan yang ia lakukan tanpa mempertimbangkan struktur sosial dimana ia hidup yang sangat merendahkan perempuan dan tanpa melihat proses pengembangan hati nurani yang ia alami, merupakan suatu tindakan yang tidak tepat. Dengan menggunakan pendekatan etika yang memihak kepada kaum perempuan, makalah ini berusaha membuktikan bahwa pilihan-pilihan tindakan yang diambil oleh Firdaus sesungguhnya memiliki kebenaran-kebenaran etis dan bersifat rasional. Makalah ini ingin menyatakan bahwa keputusan menghukum mati Firdaus adalah sesuatu yang salah."
Depok: Fakultas Ilmu Pengatahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
LP-Pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
M. Nuruzzaman
"Terlibatnya laki-laki -feminis laki-laki- dalam perjuangan dan pembelaan terhadap perempuan mendapatkan tantangannya ketika beberapa kelompok feminis melakukan penolakan dan penerimaanya, dengan argumentasi yang berbeda, kelompok feminis yang menerima laki-laki sebagai pemebela perempuan beralasan bahwa tidak semua laki-laki memperlakukan perempuan buruk, dan banyak laki-laki (feminis laki-laki) yang memiliki perasaan yang lama dengan perempuan bahwa ada persoalan ketimpangan dalam relasi sosial anti laki-laki dan perempuan yang harus diperbaiki. Sementara itu perjuangan sosialisasi wacana dari gerakan perempuan mendapatkan benturannya ketika berhadapan dengan wacana keagamaan. Pesantren -yang di dalamnya terdiri dari Kiai, pengetahuan yang diproduksinya (wacana agama) dan budaya yang dihasilkan dari pengetahuan agama- sebagai basis Islam tradisional dianggap memiliki peran yang besar dalam melakukan subordinasi terhadap perempuan, namun dari beberapa kasus munculnya pembelaan terhadap perempuan justru bermula dari kelompok Islam tradisionalis atau pesantren, misalnya pernyataan bahwa perempuan boleh menjadi kepala negara. Dengan sikap tersebut pesantren menjadi penting untuk dilibatkan dalam melakukan sosialisasi wacana dan gerakan perempuan.
Melihat hal tersebut, permasalahan utama penelitian ini adalah melihat gagasan KH. Husien Muhammad sebagai feminis laki-laki tentang persoalan-persoalan yang dihadapai perempuan, inti dari penelitian ini adalah, melihat gagasan-gagasan KH. Husien Muhammad sebagai ulama pesantren (Islam tradisonalis) terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan dengan perspektif Islam terutama wacana Islam klasik, karena gagasannya KH. Husien dianggap sebagai kiai feminis dan menjadi pembuka dalam melakukan perubahan-perubahan wacana keagamaan pesantren. Analisisnya difokuskan pada gagasan-gagasan KH. Husien Muhammad sebagai ulama pesantren yang memproduksi wacana-wacana keagamaan dan aktifitasnya sebagai kiai yang melakukan pembelaan terhadap perempuan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi terhadap KH. Husien Muahammad dan gagasan-gagasannya baik dalam bentuk tulisan maupun dalam bentuk diskusi, dan studi pustaka. Juga beberapa kiai di sekitar pesantren Cirebon, dan teman-teman aktifitas Husien lainnya.
Dari hasil analisis menunjukan bahwa pada awalnya Husien juga sangat resisten terhadap reinterpretasi wacana agama yang melakukan pembelaan terhadap perempuan, namun karena seringnya ia mengikuti kegiatan tentang masalah-masalah yang dihadapi perempuan gagasannya berubah menjadi pembela terhadap perempuan, bahkan dia dianggap dan dijadikan rujukan utama oleh para. aktifis perempuan dalam menyelesaikan masalah-masalah agama dan perempuan. Husien adalah laki-laki yang memahami dan merasakan ketertindasan perempuan yang dilakukan oleh tafsir agama, padahal Husain yakin dalam ajaran agama, Tuhan tidak membedakan laki-laki dan perempuan, sehingga Husien melakukan tafsir ulang terhadap teks-teks agama yang melakukan subordinasi terhadap perempuan.
Diskusi teoritik yang dihasilkan adalah (1) KH. Husien adalah feminis laki-laki yang sangat diperlukan atau sekutu yang efektif oleh kelompok feminis lainnya, karena Husien melakukan perjuangan pembelaan terhadap perempuan dari perepektif yang jarang orang menguasainya, malah kadang agama menjadi legitimasi untuk mensubordinasi perempuan terus menerus. (2) Husien sebagai ulama adalah alat sosialisasi wacana jender bagi masyarakat Islam tradisonalis yang masih memegang teguh budaya hormat pada guru atau kiai, karena Husien adalah kiai maka wacana yang diusung Husien diharapkan akan menyebar ke masyarakat pesantren secara luas. (3) Reinterpretasi terhadap teks-teks agama yang dilakukan Husien tidak akan terlalu besar mengundang kritik atau resisiten karena Husien dianggap memiliki legitimasi dalam melakukan reinterpretasi terhadap teks.
Rekomendasi kebijakan yang diusulkan adalah: (1) Laki-laki tidak selalu menjadi musuh utama perempuan bahkan kadang menjadi sekutu paling utama dalam melakukan perjuangan pembelaan terhadap perempuan.(2) Aktifis demokrasi dan jender kebanyakan berlatar belakang pendidikan sekuler yang lebih mengandalkan pada alat analisis sosial dan filsafat atau berlatar belakang pendidikan agama tetapi tidak memiliki otoritas keagamaan yang diakui oleh masyarakat, maka sangat penting seorang yang memiliki otoritas keagamaan melakukan interpretasi terhadap teks-teks agama untuk melakukan pembelaan terhadap perempuan dengan legitimasi teks agama pula. (3) Aktifis perempuan perlu mendorong gagasan keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan masuk ke dalam masyarakat secara luas dengan menggunakan berbagai macam strategi, tidak terkecuali pesantren dengan mengubah kesadaran mereka dengan gagasan-gagasan Islam dan jender. (4) Sehubungan ada kesadaran bahwa agama menjadi alat legitimasi subordinasi perempuan -terutama di pesantren- maka dibutuhkan argumentasi-argumentasi keagamaan yang melawan pemahaman keagamaan dengan disesuaikan pengetahuan dan kemampuan masyarakat pesantren."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T13829
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Latifa Soetrisno
"ABSTRAK
Tesis ini merupakan sebuah analisa atas kasus-kasus kekerasan yang dilakukan suami tehadap istrinya. Pengangkatan tema kekerasan terhadap istri ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa meskipun kekerasan terhadap istri merupakan persoalan yang sangat kompleks, namun di kalangan masyarakat luas masih sedikit orang yang menaruh perhatian dan menganggap penting persoalan ini. Berdasarkan 171 kasus (dikumpulkan dari kasus-kasus, yang ditangani oleh sebuah Lembaga Konsultasi Perkawinan di Jakarta, tahun 1992 s.d. 1996) penelitian ini bertujuan memperoleh pemahaman yang komprehensif mengenai hal-hal yang berkaitan dengan tindak kekerasan terhadap perempuan (untuk kasus ini adalah para istri), yang ditelaah dengan perspektif feminis.
Masalah yang diangkat dalam penelitian ini mencakup tiga hal, pertama bagaimana gambaran mengenai kekerasan yang dialami oleh para istri yang menjadi korban. Untuk mendapatkan gambaran tersebut informasi yang dikumpulkan adalah sebagai berikut: a) Deskripsi tentang jenis-jenis kekerasan; b) Darnpak dari tindakan kekerasan tersebut; c) Frekuensi kekerasan; d) Diskripsi mengenai proses terjadinya tindak kekerasan. Penelitian ini juga mengangkat latar belakang terjadinya tindak kekerasan menurut sudut pandang korbanlistri dan pelaku kekerasan/suami serta mencoba meninjau masalah kekerasan dari perspektif feminis. Penjabaran masalah ini diangkat berdasarkan asumsi bahwa masih relatif sedikit studi yang mencoba mengungkapkan kuantitas dan kualitas kekerasan yang dihadapi perempuan dalam konteks keluarga.
Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut maka dilakukan analisis isi atas data yang telah dikumpulkan. Berdasarkan analisa atas kasus-kasus tersebut diperoleh hasil sebagai berikut: bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa kekerasan menimpa pasangan suami-istri dari berbagai lapisan sosial ekonomi. Karakteristik istri maupun suami juga sangat bervariasi. Baik suami maupun istri menjalankan berbagai profesi dan menduduki berbagai jabatan serta sebagian besar berpendidikan tinggi (tingkat SMA ke atas).
Berdasarkan kasus-kasus kekerasan ini terungkap berbagai jenis kekerasan yang dilakukan suami terhadap istrinya, yaitu tindak kekerasan fisik, verbal dan seksual. Tindakan suami tidak hanya berdampak secara fisik (seperti meninggalkan bekas memar, biru, berdarah, dan sebagainya) tetapi juga berdampak secara psikologis. Apabila ditinjau dari segi frekuensi, maka teridentifikasi dari 171 kasus terdapat 118 kasus yang mengungkapkan bahwa istri sering mengalami tindak kekerasan.
Berdasarkan hasil pengamatan lebih dalam terhadap kasus kekerasan ini maka diketahui bahwa sebagian besar tindak kekerasan sudah dimulai sejak awal perkawinan dan umumnya sebelum tindak kekerasan terjadi diawali terlebih dahulu dengan pertengkaran-pertengkaran. Menurut sudut pandang istri ada beberapa hal (yang menonjol) yang menjadi pemicu kekerasan, yaitu 1) adanya orang `ketiga' dalam perkawinan, 2) hal-hal yang berkaitan dengan tanggung jawab suami, 3) istri tidak menuruti kehendak suami, 4) istri tidak menanggapi perkataan suami, 5) suami mempunyai `kepribadian aneh' dan karena sebab lainnya. Sementara menurut sudut pandang suami, hal yang memotivasi mereka untuk melakukan tindak kekerasan adalah: 1) istri "cerewet"; 2) ingin "mendidik" istri; 3) karena istri menyeleweng, 4) karena istri bersikap kasar pada suami, 5) istri diam saja bila ditanya suami; 6) suami mengaku `khilaf.
Apabila ditinjau dari sudut pandang feminis, maka dapat dikatakan bahwa berbagai tindak kekerasan terhadap istri merupakan cermin adanya ketidaksetaraan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan. Tindak kekerasan diyakini menjadi timbul bukan semata-mata karena adanya penyimpangan kepribadian akan tetapi karena adanya norma-norma atau nilai-nilai yang memberikan penghargaan lebih kepada kaum lelaki. Sehingga kaum laki-laki memiliki hak untuk mengontrol, termasuk mendominasi, segala hal yang berkaitan dengan hubungan antara laki dan perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tindak kekerasan merupakan bagian dari tatanan sosial yang mentoleransi dominasi/kontrol suami terhadap istri.
Dalam kenyataan, adanya nilai-nilai yang sangat merendahkan perempuan tersebut telah terinternalisasi sedemikian kuat dalam benak istri sebagai korban kekerasan tersebut. Tidak jarang para istri tersebut menampilkan sikap `rnendua' yaitu di satu sisi mereka merasa sangat menderita, takut dan terancam jiwanya tetapi di pihak lainnya mereka tampak berusaha untuk memaharni, menerima bahkan acapkali menyalahkan diri sendiri (self-blame) atas timbulnya kekerasan. Dengan mengadopsi sikap yang demikian dapatlah dipahami apabila korban kekerasan mengembangkan pemahaman yang keliru tentang banyak hal.
Dalam upaya mencegah sekaligus menghilangkan atau sekurang-kurangnya mengurangi tindak kekerasan terhadap para istri, suatu pendekatan yang terintegrasi baik' dari segi pendidikan, hukum maupun dari segi jasa pelayanan/penanganan sangatlah diperlukan."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yenny
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji pengaruh tampilan feminisme dan purity pada idola K-Pop perempuan terhadap intensi fanship dari fans laki-laki. Partisipan dalam penelitian ini adalah 93 individu laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai fans K-Pop dengan rentang umur 15–35 tahun (M = 20.88, SD = 4,02). Partisipan diberikan stimulus berupa vignette fiktif berupa foto, biodata fiktif, dan deskripsi kepribadian dari model dengan variasi pada tampilan ideologi feminisme dan pelanggaran purity. Hasil analisis Repeated Measures ANOVA menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan antara tampilan Feminisme (F(2,184) = 7,74, p = 0,001, ηp2 = 0,08) dan Purity (F(2,184) = 14,26, p < 0,001, ηp2 = 0,13) pada idola K-Pop perempuan terhadap intensi fanship, serta tidak terdapat interaksi yang signifikan antara feminisme dan purity pada idola K-Pop perempuan dalam mempengaruhi intensi fanship pada fans laki-laki (F(2,184) = 1,62, p > 0,05, ηp2 = 0,02). Post-hoc paired samples t-test dilakukan dan ditemukan bahwa perbedaan tingkatan intensi fanship lebih tinggi secara signifikan pada perlakuan feminisme dibandingkan dengan non-feminisme dan pada perlakuan tampilan purity dibandingkan dengan perlakukan purity violation. Penelitian ini menunjukkan bahwa laki-laki tidak ingin menjadi fans dari idola K-Pop perempuan yang menampilkan pelanggaran purity dan beridentitas feminis dengan menggunakan label feminis, tetapi justru memiliki preferensi terhadap idola yang menampilkan ideologi feminisme tanpa label.

This research aims to examine the influence of the display of feminist ideology and purity in female K-Pop idols on the fanship intentions of male fans. The participants in this study were 93 male individuals who identified themselves as K-Pop fans, ranging in age from 15 to 35 years (M = 20.88, SD = 4.02). Participants were presented with stimuli in the form of fictional vignettes containing ‘idol’ photos, fictional biodata, and personality descriptions of a model with variations in the display of feminist ideology and purity violation. The results of the Repeated Measures ANOVA analysis show that there is a significant influence between the display of Feminism (F(2,184) = 7.74, p = 0.001, ηp2 = 0.08) and Purity (F(2,184) = 14.26, p < 0.001, ηp2 = 0.13) on female K-Pop idols towards fanship intention, and there is no significant interaction between feminism and purity in influencing fanship intentions for male fans (F(2,184) = 1.62 , p > 0.05, ηp2 = 0.02). Post-hoc paired samples t-test was carried out and it was found that the difference in fanship intention levels was significantly higher in the feminism treatment compared to non-feminism and in the display of purity treatment compared to the purity violation treatment. This findings indicate that men do not intend to be fans of female K-Pop idols who display purity violations and feminist labels, instead males prefer idols who display feminist ideology without labels."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Misiyah
"Realitas empirik di Indonesia, kejatuhan Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 memang mengakhiri era otoriterisme politik Soeharto, namun bukan berarti akhir dari eksistensi rejim Orde Baru. Ruang ekspresi politik menjadi relatif terbuka, namun kekuatan politik otoriterisme dan patriarkis juga masih tetap menjadi ancaman. Ruang politik yang terbuka menjadi ajang pertarungan kelompok-kelompok yang memperjuangkan demokrasi berhadapan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi ancaman bagi demokrasi. Dalam perspektif perempuan, perubahan politik yang terjadi pada era rejim pasca Soeharto tidak membawa kemajuan yang berarti bagi perempuan Indonesia karena parameter perubahan sosial politik hanya mengedepankan perubahan di ranah publik. Dalam perspektif feminisme, perubahan sosial tidak hanya bersandar pada ranah publik, tetapi memperhitungkan transformasi yang terjadi pada tingkat individu sama pentingnya dengan perubahan kolektif. 'Masalah perempuan adalah masalah politik' sebagai ide dasar feminis poskolonial mempunyai sumbangan yang mampu menggugat ukuran-ukuran formal di ranah publik yang pada dasarnya ukuran-ukuran tersebut dirumuskan oleh semangat patriarki. Disinilah signifkansi penelitian ini, sebuah penelitian yang merespons sistem sosial politik Indonesia yang tunggal, yaitu sistem yang dikonstruksi berdasar cara Pandang patriarki dan mengakibatkan penindasan perempuan menjadi persoalan yang kasat mats tetapi belum mendapat perhatian.
Pengungkapan ketertindasan penting dilakukan dengan cara membangun kesadaran bahwa perempuan dikonstruksi menjadi kelompok tertindas. Melalui kesadaran ini, masalah ketidakadilan perempuan dianggap sebagai masalah penting yang perlu disikapi secara serius dan tidak ditinggalkan dalam proses-proses demokratisasi. Kesadaran kritis dan otonomi perempuan merupakan aspek penting dalam melakukan proses-proses pembebasan perempuan dari ketertindasannya. Dalam masyarakat yang secara kultural maupun struktural mengalami ketimpangan hubungan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, penindasan perempuan merupakan keniscayaan terjadi dalam segala aspek kehidupan. Sistem patriarki telah terintegrasi dalam kehidupan individu maupun institusi sosial menyebabkan perempuan tersubordinasi, mengalami kekerasan, perlakuan diskriminatif, dan marginalisasi. Berangkat dari situasi tersebut, rumusan masalah yang diajukan adalah "seberapa efektif Pendidikan Feminis dapat mendorong tumbuhnya kesadaran kritis dan otonomi perempuan di Indonesia?"
Meskipun penelitian ini mengkaji sebuah program kerja tetapi tidak dimaksudkan untuk melakukan monitoring evaluasi. Oleh karena itu, teori yang digunakan bukan teori-teori monitoring evaluasi tetapi teori feminisme poskolonial. Adapun pendekatan penelitian ini adalah pendekatan penelitian feminis (feminist research).
Temuan-temuan penelitian ini mencakup beberapa hal. Pertama, adanya hubungan positif antara kesadaran kritis dengan aksi-aksi transformatif. Hal ini tercermin pada pengaruh Pendidikan Feminis dalam memperkuat kemampuan pemimpin lokal ('PL') mencakup tiga hal yaitu: (1) semakin menguatnya kesadaran kritis terhadap ketertindasan perempuan di wilayah Sulwesi Utara. Dalam konteks masyarakat Sulaweasi Utara yang plural, kesadaran atas ketertindasan perempuan dibarengi dengan kesadaran bahwa kelas, ras, etnis, dan agama. Berbagai sumber penindasan ini saling terkait dan memperkuat satu sama lain (interlocking system). (2) Semakin menguatnya otonomi perempuan yang terwujud dalam sikap-sikap perlawanan dengan menolak sunat perempuan, poligami, jilbab, kewajiban melayani hubungan seks kepada suami dan pemaksaan untuk menggunakan alat-alat KB tertentu. (3) Tumbuhnya kemampuan melakukan aksi-aksi transformatif dengan perspektif feminisme dan pluralisme.
Kedua, adanya kesadaran kritis yang dibarengi dengan tindakan transformatif merupakan satu pola aksi-refleksi dalam siklus Pendidikan Feminis. Aksi-refleksi ini dapat berlangsung jika didukung oleh support group. Salah satu contoh support group yang ditemukan dalam penelitian ini adalah berdirinya organisasi PILAR Perempuan. Melalui program-program kerja PILAR Perempuan, para 'PL' dapat melakukan aksi dan refleksi.
Ketiga, adanya perbedaan fokus perhatian antara 'PL' perempuan dan laki-laki dalam melakukan aksi-aksi tranformatif. Seksualitas atau memperkuat otonomi tubuh merupakan fokus perhatian perempuan dan laki-laki lebih pada upaya mendorong partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T22168
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stephani Natalia W.
"Ketertindasan yang dialami oleh setengah dari jumlah manusia tidak dapat lagi ditolerir. Penerapan subjektivitas maskulin pada tataran pemikiran yang terletak pada ketidaksadaran manusia telah membuat ketimpangan di mana-mana. Pola pikir atau subjektivitas seseorang di dalam dunia yang ia hidupi sangat dipengaruhi oleh unsur-unsur yang ada pada struktur sosial di mana ia berada dan mengada. Subjektivitas yang digunakan akan mencerminkan bagaimana seseorang mencerap dan mendefinisikan dunia. Bagaimana proses pembentukan subjektivitas inilah yang menjadi permasalahan awal. Lewat psikoanalisa, Jacques Lacan mengembangkan teorinya tentang proses pembentukan subjek di dalam tatanan simbolik melalui bahasa yang terstruktur pada tataran ketidaksadaran manusia. Keberlangsungan sistem dan nilai patriarkal dalam bahasa maskulin dan tatanan simbolik yang berpusat pada phallus telah merepresi _yang feminin_ sedemikian rupa. Dalam hal ini, terdapat dominasi hirarkis dalam relasi kekuasaan antara satu dengan yang lain. Untuk keluar dari keterasingan ini, perempuan harus mendapatkan subjektivitasnya sendiri demi terbebas dari subjektivitas yang maskulin. Feminisme berupaya untuk menghapus segala bentuk dominasi yang ada pada kultur kebudayaan manusia yang bersifat patriarkal. Luce Irigaray merupakan salah satu pemikir feminis yang berupaya melakukan hal ini dengan mengkritik _budaya laki-laki_ (phallomorphisme) yang mendominasi dalam segala tataran kehidupan. Tatanan simbolik harus dihilangkan sehingga perempuan dapat menjadi subjek yang berbicara dengan bahasanya sendiri. Hal ini demi memberlangsungkan pluralitas dan keberagaman yang ada pada manusia dan menghindari penekanan dari salah satu pihak saja. Dengan demikian, pihak laki_laki dan perempuan akan mendapatkan keadilan seksual lewat keberagaman yang dilakukan melalui perubahan kaidah bahasa dan konsepsi tentang kebenaran serta nilai-nilai yang mengatur tatanan sosial.

The misery which has been experienced by the half of human species, i.e. women, cannot be tolerate no more. Masculine subjectivity which has been used all along, which is under the human_s unconsciousness, has already made lots of problem everywhere. System of thought or someone_s subjectivity inside the world which they are living in influenced by those elements which are embedded in the social structures where they are exist in. The subjectivity we are using can reflect on how we observe and perceive the world. The first problem is how is the process on the shaping of our subjectivity. Through psychoanalysis, Jacques Lacan developed his theories on how subject exists inside the symbolic order through language system, which structured on the human_s unconsciousness. Patriarchal system and the values upon it inside the masculine language and symbolic order, which centered on phallus, repressed the feminine in some way or another. In this problem, there is a hierarchal domination upon power relation between one with the other. To escape from this isolation, womens must have their own subjectivities so that they can free themselves from the masculine subjectivity. Feminism trying to erase all forms of masculine dominations inside the human_s culture. Luce Irigaray is one of the feminist thinker and she critisize the phallomorphism cultures which dominate all aspects of our lives. Symbolic order must be exclude so that women can become a subject which can speak up with their own language. This has to be this way to continue plurality and diversity among human and to avoid the pressure from one side only. So that is, men and women will attain a sexual justice through diversity which can be achieve with the change of language and truth conception, also the change of values which is embedded in the social structures."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16150
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Kiara Citra Rasaski
"Modernisasi dan westernisasi yang terjadi secara masif pada masa awal Korea menyebabkan banyaknya wacana barat terinstitusi dan diimplementasi ke dalam sistemnya. Konsep feminisme, keadilan, dan kesetaraan atas hak-hak perempuan di Korea belum menjadi dikursus aktif hingga tahun 1993. Prinsip Konfusianisme yang menjadi akar dari nilai dan tradisi Korea dianggap mengopresi dan membatasi ruang gerak perempuan, sehingga menyebabkan perempuan Korea memulai perlawanannya melalui aktivisme sosial untuk menuntut hak-hak dasarnya. Menggunakan metode kritik epistemologi feminis, penelitian ini dilakukan untuk menelaah pengaruh pemikiran barat terhadap konseptualisasi dan praktik Konsep Feminisme dalam masyarakat Konfusianisme Korea dan juga perkembangannya pada era kontemporer ini. Didukung dengan teori stand point serta interseksionalitas, peneliti menemukan bahwa aktivisme perempuan di Korea hingga saat ini memancarkan retorika feminis-radikal dengan perjuangan kelas dan sedikit isu gender di dalamnya. Perbedaan budaya yang kontras juga menyebabkan kontradiksi yang kompleks dan rumit hadir dalam feminisme kontemporer Korea.

Modernization and westernization that occurred massively in the early days of Korea cause many western discourses to be institutionalized and implemented into its system. The concept of feminism, justice, and equality for women’s rights in Korea did not become an active discourse until 1993. The Confucian principles which are the roots of Korean values and traditions are considered to suppress and limit women’s movement, causing Korean women to start their resistance through social activism to claim their basic rights. Using the method of criticism of feminist epistemology, this research was conducted to examine the influence of western thought on the conceptualization and practice of the concept of feminism in Korean Confucian society and also its development in the contemporary era. Supported by Standpoint Theory by Sandra Harding and Kimberlé Crenshaw’s intersectionality concept, the author found that women’s activism in Korea exudes radical-feminist rhetoric with class struggle and gender issues in it. The contrasting cultural differences also lead to complex and complicated contradictions present in contemporary Korean Feminism.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfia
"ABSTRAK
Penelitian ini membahas resistensi yang dilakukan oleh perempuan bercerai terhadap stigma janda. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui bagaimana resistensi perempuan bercerai terhadap stigma janda dengan melihat pada tiga ranah daerah berdasarkan pengalaman perempuan, yaitu pada saat proses pengambilan keputusan, persidangan cerai, dan pasca resmi menjadi janda dengan menggunakan teori feminis radikal. Subjek dalam penelitian ini adalah empat orang perempuan janda cerai yang mendapatkan stigma dan melakukan perlawanan atas opresinya. Penelitian ini menemukan bahwa i Faktor ekonomi, kultural, agama memberikan pengaruh terhadap keberadaan stigma janda yang menimpa perempuan bercerai hidup; ii Seksualitas perempuan janda merupakan konstruksi sosial patriarki; iii Bentuk perlawanan perempuan bercerai dalam penelitian ini adalah pelawanan tertutup; iv Keempat subyek penelitian memiliki kemampuan agensi yang berdasar pada refleksi, kesadaran diri, dan kekuatan ide-ide untuk menjadi survivor.

ABSTRACT
This research is explicating the resistance of divorced women towards the widow stigmatization. This research has a goal to discover the resistance that was done by divorced women towards the widow stigmatization by seeing it in three aspects decision making, divorce trial, and post widow official status, analyzed by radical feminism theory. The subjects of this research are four divorced women who got stigmatized and eventually did the resistance against the oppression. This research found that i Economic, cultural and religious factors have an effect on the existence of the widow stigmatization experienced by divorced woman ii Women sexuality of widows is a patriarchal social construction iii The form of divorced women resistance in this research is hidden resistance iv The subjects of this research have agency capabilities based on reflection, self awareness, and the power of ideas to be a survivor."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nilla Silvianty Alamsyah
"Penelitian ini bertujuan memperlihatkan ide representasi tokoh perempuan dalam alih wahana dari buku memoar ke film Eat Pray Love. Metode deskriptif analisis dengan teori feminisme tentang gender dan patriarki digunakan untuk melihat bagaimana tokoh-tokoh perempuan tersebut merepresentasikan ide perempuan sebagai bentuk perempuan modern. Dari hasil analisis tampak bahwa tokoh perempuan-perempuan modern dengan sengaja menampilkan tokoh-tokoh mandiri, pintar, berani bersuara dan tampil di depan umum, serta bersama-sama kaum laki-laki melakukan berbagai perjuangan dalam dunia ini.

This analysis aims to show the representation of an independent woman in the adaptation from memoir book to film Eat Pray Love. Descriptive analytical method and feminism theory about gender and patriarchal are used to see how the woman character represent her ideas as to form representation. From the characters who are intelligent and courageous women and men can be shown how important to work together and become independent and modern people in this world."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
T28708
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Syifa Karina, auhtor
"Penulisan dalam skripsi ini dilakukan terhadap makna beauty yang dipahami secara berbeda, luas, dan banyak. Adapun metode penulisan yang ditempuh untuk menjawab permasalahan dalam skripsi ini adalah metode kepustakaan, metode dekonstruktif maupun metode analisis kritis. Dalam menganalisa problem beauty untuk mendapati pemahaman ontologis perspektif feminis, digunakan teori Speculum Luce Irigaray. Potret mengenai kecantikan perempuan dalam media ataupun definisi kecantikan tidak mewakili bagaimana perempuan yang 'seutuhnya' melainkan bagaimana perempuan 'seharusnya'. Definisi beauty perempuan yang katanya bersifat subjektif masih terdapat ideologi patriarki dan dikekang. Perempuan dituntut untuk tampil cantik dan menarik demi diakui feminitasnya oleh laki-laki, dalam hal pendefinisian akan cantik atau tubuhnya pun masih melalui sudut pandang laki-laki dan bukan berasal dari dirinya sendiri.

This thesis discuss the meaning of beauty that is understood differently, in wide range, and in many ways. To answer this problem, author use literally method, deconstructive, as well as critical analysis method. To analyze the problem of beauty to get fully understanding about ontological feminist perspective, using the theory of Speculum by Luce Irigaray. The image of women's beauty in media or in the definition of beauty itself does not define women as 'whole' and does not describe what women 'should be'. Definition of beauty which is known as subjective matter, but in the actualization still contains ideology patriarchy. That ideology force women to appeared beautifully and attractive in order to be acknowledge their femininity by social."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2015
S59342
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>