Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 136767 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dewi Kusumawati
Universitas Indonesia, 1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Kumolosari
"Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum.;Pemberian hak terhadap terpidana untuk mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali yang diatur dalam Undang Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana adalah dijiwai dan dilandasi oleh semangat dan cita-cita untuk melindungi hak-hak terpidana sebagai warga negara dengan tujuan terciptanya proses hukum yang adil. Undang-undang membatasi pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Hal ini dengan pertimbangan bahwa suatu proses hukum tidak boleh berlangsung tanpa berhingga dan tanpa kepastian. Dalam praktek di pengadilan telah dilakukan Peninjauan Kembali lebih dari satu kali terhadap suatu putusan, yang tertuang dalam putusan Mahkamah Agung No. 4/PK/Pid/2000 dan No. 66/PK/Pid/2002. Selain itu, dalam praktek peradilan ternyata ada permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan oleh pihak lain selain terpidana, dan dilakukan bukan hanya terhadap putusan pemidanaan, melainkan juga terhadap putusan Praperadilan. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui siapa saja yang berhak mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, apa yang menjadi dasar hukum pelaksanaan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali, serta apa yang menjadi legitimasi yuridis bagi Mahkamah Agung dalam melaksanakan Peninjauan Kembali terhadap suatu putusan Peninjauan Kembali. Skripsi ini menganalisa kedua putusan Peninjauan Kembali tersebut. Untuk masa yang akan datang ketentuan mengenai Peninjauan Kembali perlu diperjelas lagi sehingga tidak menimbulkan persepsi yang berbeda-beda yang akan menimbulkan adanya ketidakpastian hukum."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Panjaitan, Ellyzabeth Panjialita
"Skripsi ini membahas mengenai peninjauan kembali terhadap putusan peninjauan kembali yang sebelumnya telah dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana diatur dalam SEMA No. 4 Tahun 2014 dengan memenuhi syarat-syarat, di antara putusan peninjauan kembali pertama telah diputus dengan tidak berdasarkan SEMA No. 1 Tahun 2012 dan kewajiban terpidana atau pemohon untuk hadir dalam persidangan dikaitkan dengan menganalisis ketentuan dalam KUHAP dan Undang-Undang. Skripsi ini juga menjelaskan pertama, pengaturan peninjauan kembali terhadap peninjuan kembali yang amarnya dinyatakan tidak dapat diterima; kedua, penerapan dari putusan Peninjauan Kembali Kedua Kali No. 1 PK/Pid/2016, Putusan MA No. 17 PK/Pid/2018, dan Putusan MA No. 71/PK/Pid/2020 yang dikaitkan dengan SEMA No. 4 Tahun 2014; ketiga, konsep yang tepat atas peninjauan kembali kedua kali atas putusan peninjauan kembali yang pada amar sebelumnya telah dinyatakan tidak dapat diterima dikarenakan terpidana yang masih berada dalam tahanan sehingga tidak dapat hadir dalam persidangan peninjauan kembali. Penelitian ini adalah penelitian yuridis sosiologis yang dilakukan dengan menggunakan data baik data sekunder melalui beberapa literatur maupun data primer dari hasil wawancara, serta analisa data kualitatif yang memberikan deskriptif atas gejala yang terjadi adanya peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali yang dinyatakan tidak dapat diterima.

This study explains about Judicial review on a decision of the judicial review was have been declared unacceptable as stipulated in SEMA No. 4 of 2014 by fulfilling the conditions, among the first judicial review, decisions have not been decided on SEMA No. 1 of 2012. The obligation of the convict or applicant to be present at the trial is related to analyzing the provisions in the Criminal Procedure Code and the Law. This study also explains, firstly, the arrangement for reconsideration of judicial review whose verdict is declared unacceptable; second, the application of the decision of the Second Review No. 1 PK/Pid/2016, Supreme Court Decision No. 17 PK/Pid/2018, and Supreme Court Decision No. 71/PK/Pid/2020 which is associated with SEMA No. 4 of 2014; third, the correct concept of a second review of the judicial review decision which was previously declared unacceptable because the convict is still in detention and cannot attend the judicial review trial. This research is sociological juridical research conducted by using secondary data through several kinds of literature and primary data from interviews and qualitative data analysis, which provides a descriptive analysis of the symptoms that occur due to a review of the judicial review decision, which is declared unacceptable."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Judicial review yang digagas oleh Muhammad Yamin dalam Rapat BPUPKI pada tahun 1945 namun hal itu tidak diterima. Judicial review merupakan salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK), gagasan tersebut dapat dikatakan sebagai cikal bakal MK. Dalam KRIS 1949 judicial review mendapatkan wadah konstitusional namun dalam bentuk pengujian peraturan perundang-undangan tingkat daerah negara bagian terhadap konstitusi, sedangkan undang-undang Federal tidak dapat diganggu gugat dan dilanjtkan dalam UUDS 1950, sebagai cerminan sistem/paham supremasi parlementer. Gagasan tersebut muncul kembali di akhir pemerintahna Orde Lama namun dalam bentuk legislative review/political review namun MPRS gagal mewujudkannya. Barulah pada Era reformasi tahun 2000 legislative review tersebut terwujud melalui TAP MPR No. III/MPR/2000, kemudian dengan dibentuknya MK pada perubahan UUD 1945 tahun 2001-2002 mendapatkan bentuknya yang konkret dan dijabarkan ke dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam waktu singkat MK sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman tumbuh dan berkembang menjadi lembaga negara yang berwibawa dan dapat menyelesaikan berbagai persoalan politik dan hukum ketatanegaraan antara lain penyelesaian sengketa kewenangan antarlembaga negara, sengketa pemilihan umum (legislatif dan pilpres/wapres), dan pengujian UU yang putusannya relatif dapat diterima oleh semua pihak yang bersengketa, karena dianggap cukup adil dan berimbang, dan tidak menimbulkan gejolak sosial dan politik di masyarakat. Selain itu yang berkaitan dengan penghormatan, perlindungan, dan penegakan hak asasi manusia yang merupakan hak dasar bagi warga Negara yang antara lain selama ini termatikan secara politik dan keperdataan."
Lengkap +
JLI 6:3 (2009) (1)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Gardanusa SE
"Skripsi ini membahas tentang lembaga peninjauan kembali sebagai upaya hukum luar biasa yang dimintakan atas putusan peninjauan kembali yang juga merupakan hasil dari upaya hokum luar biasa juga. Lembaga Peninjauan Kembali Atas Putusan Peninjauan Kembali Didalam Perkara Pidana Studi Kasus Djoko Soegiarto Tjandra, dalam perkara pidana ini, terpidana Djoko Soegiarto Tjandra menempuh upaya hukum luar biasa Peninjauan kembaliatas putusan peninjauan kembali yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum kepada Mahkamah Agung terhadap putusan kasasi yang putusannya lepas dari segala tuntutan hokum bagi terpidana Djoko Soegiarto Tjandra. Peninjauan kembali hanya boleh dilakukan satu kali saja, sementara itu Jaksa Penuntut Umum telah melakukan Peninjauan Kembali, bagaimana pada kondisi tersebut, terpidana mengajukan upaya hokum luar biasa tersebut untuk yang kedua kali. Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dimana data yang digunakan merupakan data sekunder dari beberapa literature dan data primer dari hasil wawancara, yang kemudian diolah dengan metoda analisis data yang dilakukan secara kualitatif.

This study explains about judicial review as an extra ordinary remedy request on a decision of judicial review as the result of an extra ordinary remedy as well. Judicial review of a judicial review decision in the law of criminal case, case study Djoko Soegiarto Tjandra, in this case, convicted Djoko Soegiarto Tjandra submit apetitionforJudicial review as an extra ordinary remedy of a judicial reviewdecisionsubmited by Public Prosecutor to Supreme Court toward a dismissing all charges judgment in cassation phase. A petition for a judicial review may only be made once, in the mean time if a Public Prosecutor have already requested one, in that condition, convicted request for a judicial review for a second time. This research is a normative law research where the data use in this research is secondary data from some literatures and the primary data is from interview that analysed by qualitative data method analyses."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S46965
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fessy Farizqoh Alwi
"Ketika Internet telah menjadi suatu media komunikasi dan teknologi yang merambah segala aspek sosial ekonomi termasuk perdagangan barang dan jasa, maka mulailah timbul berbagai persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan dunia internet. Salah satunya adalah sengketa nama domain. Seringkali terdapat pihak-pihak yang mencoba mengambil keuntungan dengan merugikan orang lain terkait dengan pendaftaran nama domain. Pendaftaran nama domain menganut prinsip first come first serve, artinya siapa yang mengajukan terlebih dahulu dialah yang berhak atas nama domain tersebut. Namun demikian, terdapat kaidah¬kaidah hukum dalam pendaftaran nama domain yang menjadi pedoman hukum para pihak.
Di Indonesia, terdapat kasus sengketa nama domain mustika-ratu.com. Dalam menyelesaikan sengketa nama domain, ada beberapa mekanisme yang tersedia, sementara itu pendekatan penyelesaian yang digunakan oleh PT Mustika Ratu Tbk adalah model pendekatan pidana karena terdapat unsur persaingan curang. Meskipun melalui Peninjauan Kembali kasus tersebut dinyatakan tidak terbukti, namun tidak berarti peluang menggunakan pendekatan pidana menjadi Lertutup terutama bagi kasus-kasus yang berkaitan dengan persaingan curang. Yang menjadi pokok permasalahan yang diangkat ada tiga yakni bagaimana mekanisme pendaftaran dan penyelesaian nama domain, serta putusan Peninjauan Kembali kasus sengketa nama domain mustika-ratu.com ini,apakah menutup peluang penggunaan pendekatan pidana dalam penyelesaian sengketa nama domain.
Penelitian ini adalah penelitian hukum yuridis normatif dengan menggunakan tipologi penelitian preskriptif. Kasus sengketa nama domain mustika-ratu.com menjadi salah satu contoh sengketa nama domain yang diselesaikan melalui proses persidangan (in court settlement). Putusan Peninjauan Kembali majelis hakim yang memutus bebas tergugat Tjandra Sugiono atau Chandra Sugiono, bukan berarti menutup peluang untuk penyelesaian sengketa nama domain di Indonesia melalui jalur pengadilan. Pertimbangan hakim dalam memutus bebas atas Tjandra Sugiono, semata hanya karena lemahnya alat bukti ditemukan unsur persaingan curang.
Dengan demikian penyelesaian sengketa nama domain tetap dapat menggunakan pendekatan pidana terutarna untuk kasus-kasus tertentu yang memenuhi unsur persaingan curang ataupun cybersquatting. Majelis hakim baik di PN, tingkat kasasi maupun PK, seharusnya bisa membuat penemuan hukum (rechvinding) dalam putusannya (tanpa mempersalahkan lemahnya alat bukti), dengan pertimbanganan tidak terpenuhinya kaidah trust, good faith dan legitimate interest, berdasarkan data-data registran yang tertuang dalam halaman whois networksolution.com."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
T19566
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Hendro Santoso
"Siapapun yang mengajukan sengketa perdata ke pengadilan tentu berharap untuk mendapatkan pemecahan atau penyelesaian. Berdasarkan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Pemeriksaan perkara senantiasa diakhiri dengan putusan, akan tetapi dengan dijatuhkan putusan saja belumlah selesai persoalannya. Hakim adalah manusia biasa karena itu suatu putusan hakim tidak luput dari kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil bersifat memihak. Maka oleh karena itu demi kebenaran dan keadilan setiap putusan hakim perlu dimungkinkan untuk diperiksa ulang agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Mulai dari perlawanan, banding sampai kasasi yang merupakan upaya hukum biasa sampai dengan peninjauan kembali yang merupakan upaya hukum luar biasa. Para pihak dalam perkara dapat menggunakan sarana ini, apakah itu karena alasan hukum atau bukan. Peninjauan kembali dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena merupakan upaya hukum terhadap putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Putusan peninjauan kembali masih bisa menyisakan masalah apabila masih ada putusan peninjauan kembali yang bertentangan dengan putusan peninjauan kembali yang sudah ada karena obyek perkaranya sama. Untuk alasan itu Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 10 Tahun 2009 yang memberikan jalan keluar untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali atas putusan peninjauan kembali atau permohonan peninjauan kembali yang kedua.

Whoever filing a civil suit to the court will surely expect to obtain solution or settlement. Based upon Law Number 48 Year 2009 regarding Judicial Authority, the Court shall be forbidden to refuse examining, hearing, and deciding upon a case filed on the argument that there is no rule of law or it is unclear, but on the contrary the court shall be obliged to examine and to hear it as well. The examination of a case shall be often ended with a decision, however, by handing down a decision, the problem has not been guaranteed to come to its end. In fact, a Judge is just a human being, and therefore the decision of a Judge can be wrong or erroneous, even it shall not be impossible to be one-sided. Accordingly, for the sake of truth and justice, every decision of a Judge should be re-examined in order to correct any possible error and mistake in handing down a decision. Generally, for any decision of a Judge, legal remedies have been provided namely the efforts or instruments to prevent or to correct the error in any decision, starting from resistance, appeal up to cassation which constitute ordinary legal remedies up to the judicial review which constitutes extra ordinary legal remedy. The parties in a case can take use of these legal remedies, either due to legal reason or not. The Judicial Review is called as extra ordinary legal remedy as it constitutes a legal remedy towards the decision of the court which has already had permanent legal force. The decision of Judicial Review still can leave problem behind if the decision of the Judicial Review is contrary to the existing decision of Judicial Review due to the similar object of the case. Accordingly, based on this fact, the Supreme Court has issued SEMA No. 10 Year 2009 providing the possibility to file an application for judicial review towards the decision of judicial review or the second judicial review application."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44482
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, Mahkamah Konstitusi RI, 2010
342.06 HUK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Sakti Lazuardi
"Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif dengan menggunakan data sekunder yang terdiri dari sumber bahan hukum primer, sumber bahan hukum sekunder dan sumber bahan hukum tersier. Hal yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah bagaimanakah sistematika kekuasaan yudisial dan kaitannya dengan indepedensi kekuasaan kehakiman ? dan bagaimana pengawasan hakim konstitusi pasca Judicial Review UU KY ? Salah satu unsur utama negara hukum adalah Peradilan yang Bebas dan Tidak Memihak. Hal ini membawa konswekensi tidak diperbolehkannya intervensi dalam bentuk apapun terhadap kekuasaan kehakiman yang terkait dengan kewenangan yudisial dari hakim yaitu memeriksa, memutus perkara dan membuat suatu ketetapan hukum. Namun dampak dari indepedensi hakim tersebut maka perlu diciptakan sistem pengawasan yang menyeluruh yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh kalangan hakim sendiri dan pengawasan eksternal dilakukan oleh kalangan di luar hakim dalam hal ini Komisi Yudisial. Dalam hal ini hakim konstitusi, maka hakim konstitusi harus mendapatkan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. Hal ini tercantum di dalam Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 hasil perubahan dan di tegaskan di dalam UU No.22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 Komisi Yudisial kehilangan kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim konstitusi karena Mahkamah Konstitusi menilai pengaturan mengenai pengawasan hakim konstitusi di dalam UU No.22 Tahun 2004 bertentangan dengan UUD 1945. Selain itu demi menjaga imparsialitas dari para hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi menyatakan kalau hakim konstitusi tidak dapat diawasi oleh lembaga negara lain. Padahal kebebasan yang tidak diiringi oleh akuntabiltas sangat berpotensi untuk melahirkan korupsi yudisial. Oleh karenanya mewujudkan indepedensi kekuasaan kehakiman serta peradilan yang bebas dan tidak memihak, perlu diadakan pengawasan hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial.

Abstract
The method used in this study is a juridicial normative method with a secondary data that consist of primary, secondary, and tertiary law's source. A things that being a problem in this study is how is a systematic of judicial power and its relation with independence of judiciary power. And how is a supervision of constitusional judge post Judicial Review Undang-Undang Komisi Yudisial? One of the main element in state law is a justice that independent and impartial. This point creates a consequence about prohibition to do an intervention in any form against judiciary power that has a relation with judicial authority of judge, namely checking, deciding upon, and making a legislation. However, because of there's an impact of the independence of judge, it have to created a comprehensive supervision system, namely internal and external supervision. An internal supervision is done by among judge themselves and external supervision is done by circle outside of judges, namely Komisi Yudisial. In this case, constitutional judges must get an external supervision by Komisi Yudisial. It listed in Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 results of change and it confirmed in UU No. 22 Tahun 2004 about Komisi Yudisial. However, post-verdict of Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, Komisi Yudisial has lost an authority to do supervision against constitution judges. It happened because Mahkamah Konstitusi assessed that an adjustment about a supervision of constitutional judges in UU No. 22 Tahun 2004 is contradicted with UUD 1945. Moreover, to guarding an impartiality of constitutional judges, Mahkamah Konstitusi was declare that they can not be supervised by other state board. Whereas a freedom that not accompanied an accountability is potentially to create a judicial corruption. Because of this, to realize an independence of judicial power and an independent and impartial justice, it have to held a supervision of constitutional judges by Komisi Yudisial."
Lengkap +
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S445
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Salim
"Untuk dapat menjalankan fungsinya yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar, sebuah undang-undang tentu harus dirumuskan secara jelas, tidak mengandung kecacatan substansial, dan tidak menimbulkan inkonsistensi dalam penerapannya terhadap sistem hukum secara keseluruhan. Merupakan sebuah tanggung jawab bagi perancang peraturan perundang-undangan dan merupakan fungsi dari Ilmu perundang-undangan untuk mewujudkan hal tersebut. Rumusan sebuah pasal sangat menentukan dapat atau tidak dapatnya hukum memberikan keadilan, kepastian, dan kemanfaatan bagi manusia. Tidak dirumuskannya sebuah undang-undang secara baik akan menimbulkan permasalahan yang pelik, contohnya adalah diterimanya permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh jaksa terhadap putusan bebas yang telah berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana oleh Mahkamah Agung. Ketidakjelasan dalam pasal-pasal yang mengatur tentang peninjauan kembali menimbulkan berbagai macam penafsiran yang sayangnya tidak sesuai dengan hakikat dari peninjauan kembali. Oleh karena itu, terhadap rumusan pasal-pasal tersebut perlu diadakan perbaikan dan karena proses perubahan sebuah undang-undang memakan waktu, tentunya terhadap pasal-pasal yang masih berlaku tersebut perlu diterapkan sebuah metode penafsiran yang tepat.

In order to apply its function as has been mandated under the Constitution of the Republic of Indonesia, an act must be formulated clearly, doesn’t have a substantial defects, and doesn’t cause any incosistency in its implementation at the whole level. It is a duty for a legal drafter to make sure that it is done properly and it is the functions of the legislation theory to implement it. The drafting of each articles in an act is essential towards to ensure its impartiality and its certainty, also its benefit towards the people governed by it. Fraud of act’s legal drafting process will cause a huge consequences. Example given, the approval of a case review requestas has been appealed by Prosecutor to a legal and binding judgment in a criminal case by the Supreme Court of the Republic of Indonesia. The uncertainty in articles that governs about the rights to file a case review will cause a misinterpretation and distorting the basic philosophy of the case revie (herziening) itself. Hence, the drafting of an act’s article must be coordinated together with revision and in such a lengthy time-frame, especially to implement the interpretation of the articles properly."
Lengkap +
Universitas Indonesia, 2014
S54028
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>