Ditemukan 183010 dokumen yang sesuai dengan query
Universitas Indonesia, 1997
S23409
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Eddy Sumardji Djaya
"Pemberian kredit erat kaitannya dengan pemberian jaminan/agunan, pemberian jaminan yang sering digunakan oleh bank adalah dengan menggunakan tanah, dengan telah terjadi univikasi dibidang hukum jaminan khususnya dengan tanah maka pengikatan jaminan yang aman menggunakan hak tanggungan yang lelah diamanatkan oleh pasal 51 UUPA maka terbentuk UU No:4 tahun 1996 mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah sebagai jaminan. UUHT mempunyai sifat Droite de suite dan Droite de preferen, juga masih ada pembaharuan lain dibanding hipotek misalnya untuk tanah-tanah yang dapat diikat dengan hak tanggungan seperti hak milik, hak atas usaha, hak guna bangunan dan hak pakai, sedangkan untuk hipotek hanya tanah-tanah yang berstatus hak milik, hak guna usaha dan hak guna bangunan, dalam hal pengikatan dapat dilakukan oleh pejabat Notaris dan PPAT, pelaksanaan eksekusinya mudah dan pasti melihat uraian tersebut diatas kiranya UUITT dapat meminimalisasikan kerugian yang akan timbul dari nasabah yang wanprestasi."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Piter Lie
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
T36338
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Eko Budianto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, [Date of publication not identified]
S20763
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Izzudin
"Berbicara tentang hukum jaminan, tanah merupakan jaminan yang paling disukai oleh kreditor. Oleh karenanya kehadiran perangkat hukum jaminan atas tanah yang dapat memenuhi perkembangan ekonomi dan kebutuhan masyarakat mutlak sangat diperlukan. Sejalan dengan hal tersebut maka lahirnya UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah (UUHT) tiada lain merupakan perwujudan amanat Pasal 51 UUPA dan sekaligus merupakan usaha untuk menciptakan unifikasi hukum di bidang pertanahan nasional. Sebelum berlakunya UUHT, pembebanan jaminan dengan obyek hak atas tanah telah tejadi praktek yang kurang mendukung keberadaan lembaga jaminan yang kuat. Hal ini tercermin dari pelembagaan Surat Kuasa Memasang Hipotik(SKMH) sebagai jaminan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka kehadiran UUHT mencoba untuk meluruskan persepsi yang kurang tepat pada masa lampau.
Membahas Hak Tanggungan, tidak terlepas dari pembahasan perkreditan modern. Artinya tidaklah mungkin suatu Hak Tanggungan timbul tanpa didahului dengan perjanjian utang piutang (dalam dunia perbankan lazim disebut Perjanjian Kredit). Sehingga perjanjian kredit dikonstruksikan sebagai perjanjian pokok, sedangkan perjanjian Hak Tanggungan sebagai perjanjian accessoir. Sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum UUHT bahwa Hak Tanggungan merupakan jaminan kuat yang dicirikan mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Akan tetapi dalam praktek ternyata tidak semudah yang dibayangkan, terdapat kendala yang menghadang. Pertama, kurang berfungsinya hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri dikarenakan sikap Kantor Lelang Negara yang mensyaratkan adanya fiat eksekusi. Kedua, eksekusi berdasarkan "titel eksekutorial" tidak sesuai dengan harapan disebabkan karena adanya sikap debitur yang pada umumnya keberatan terhadap lelang eksekusi dengan mengajukan upaya hukum ke pengadilan (verzet, bantahan, sanggahan) yang bertujuan untuk membatalkan atau meminta agar eksekusi Hak Tanggungan yang akan dilaksanakan dinayatakan tidak sah."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36314
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Grace Dameria Tiolina
"Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda- Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, serta Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996, maka diperkirakan akan banyak permohonan Hak Pakai Atas Tanah Negara yang diajukan oleh para subyek yang memenuhi persyaratan sebagai pemegang Hak Pakai untuk dijadikan obyek Hak Tanggungan. Dalam UUHT ditentukan suatu konsep baru mengenai penunjukkan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai Obyek Hak Tanggungan. Namun dalam praktek pelaksanaannya memenuhi beberapa kendala antara lain karena baik pihak masyarakat maupun pihak perbankan masih memiliki keraguan untuk menjadikan Hak Pakai Atas Tanah Negara sebagai jaminan pelunasan kredit. Nampaknya ketidakyakinan maupun keragu- raguan tersebut tidak perlu terjadi karena pada hakekatnya antara Hak Pakai Atas Tanah Negara dan Hak Guna Bangunan adalah sama yaitu sama- sama dapat dibebani Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan kredit. Selain itu Hak Pakai Atas Tanah Negara memenuhi persyaratan untuk kepentingan bisnis properti mengingat jangka waktu penguasaannya cukup lama ( 25 Tahun) dan dapat diperpanjang dan diperbaharui lagi serta memiliki pangsa pasar yang lebih luas untuk menunjang perkembangan bisnis properti. Dengan demikian masa depan Hak Pakai Atas Tanah Negara diharapkan lebih berprospek, khususnya di bidang pembangunan perumahan. "
Depok: Universitas Indonesia, 2002
T36310
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sri Rahayu K
"Tujuannya adalah untuk memberi gambaran mengenai proses pembebanan fiducia atas barang-barang hasil produksi dalam prakteknya di Bank Negara Indonesia 1946 (BNI 1946). Jaminan fiducia atas barang-barang hasil produksi, merupakan alternatif bagi pengusaha yang tidak mempunyai barang-barang lain untuk di jaminkan kecuali barang hasil produksi yang merupakan barang dagangannya. Sebagaimana diketahui bank dalam memberikan kredit mensyaratkan adanya jaminan (pasal 24 ayat 1c UU No. 14/1967) tentunya akan memberatkan bagi pengusaha yang membutuhkan kredit tetapi hanya memiliki barang hasil produksi untuk dijaminkan. Dalam suatu pemberian kredit pada garis besarnya barang jaminan yang diikat sebagai jaminan dikelompokkan atas 2 golongan yaitu jaminan pokok dan jaminan tambahan. Jaminan fiducia di sini termasuk golongan jaminan pokok karena yang menjadi jaminan di sini adalah barang-barang yang dibiayai kredit yang dimohonkan. Sebagai jaminan pokok maka nilai jaminan ini harus sebesar 100% dari limit kredit yang diberikan oleh bank. Dan Juga faktor bonafiditas debitur akan mempengaruhi besarnya kredit yang diberikan oleh bank. Mengenai tata cara pembebanan fiducia atas barang-barang hasil produksi tersebut adalah melakukan perjanjian kredit baru kemudian mengadakan. perjanjian fiducia serta penyerahan barang-barang hasil produksi secara constitutum possessorium. Karena penyerahan dalam fiducia merupakan penyerahan hak yang sama milik secara kepercayaan, maka barang yang diikat fiducia pada saat tersebut diserahkan kembali kepada debitur sebagai peminjam pakai. Dalam fiducia barang-barang hasil produksi, debitur diberi kewenangan untuk menjual barang jaminan demi kelancaran usahanya. Hal ini di karenakan sifat dan tujuan barang tersebut adalah untuk diperdagangkan. Sebagai konskuensinya maka debitur di beri kewajiban seperti harus menyerahkan seluruh hasil penjualan barang tersebut kepada bank, harus membuat laporan transaksi jual beli barang jaminan tersebut setiap 1 bulan. Perjanjian barang fiducia merupakan perjanjian yang accessoir, yaitu tergantung pada adanya perjanjian (perjanjian kredit) pokok, perjanjian utang. Jadi jika perjanjian utang piutang piutang berakhir atau hutang nya telah dilunasi, maka perjanjian fiducia juga akan berakhir. Perjanjian fiducia sebagai perjanjian melahirkan yang accessoir, maka perjanjian fiducia juga hak-hak yang zakelijk sebagaimana halnya hipotik, gadai dan credietverband."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20500
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Irawati Syamsiyah
"Kemajuan dalam bidang perkreditan pada saat ini telah meluas sampai ke kota-kota kecil yang meliputi rakyat pengusaha kecil pada umumnya, sehingga sektor perbankan harus meningkatkan kinerja usahanya dalam rangka pemberian kredit pada para pengusaha. PT. BRI (Persero) sebagai salah satu lembaga perbankan dalam menyalurkan kredit nya selalu memperhatikan asas perkreditan yang sehat serta penilaian seksama terhadap calon debiturnya. Upaya itu bertujuan untuk mencegah dan mengurangi resiko PT. BRI (Persero) sebagai pihak kreditur apabila debitur wanprestasi. Oleh karena itu peranan jaminan dalam pemberian kredit sangat berarti karena dapat memberikan rasa aman dan secara yuridis memberikan kepastian hukum bagi kreditur dalam pengembalian kredit. Dengan lahirnya lembaga Hak Tanggungan sebagai lembaga hak jaminan atas tanah sejak 9 April 1996, jaminan yang paling diutamakan oleh bank BRI adalah jaminan Hak Tanggungan dengan pertimbangan bahwa tanah mempunyai nilai ekonomis yang cukup tinggi, ada nya bukti yang kuat berupa sertipikat dan selain itu jaminan Hak Tanggungan memberikan kedudukan yang lebih diutamakan kepada bank BRI selaku kreditur pemegangnya. Pihak bank selaku kreditur dan para pengusaha sebagai pihak debitur mengharapkan agar lembaga Hak Tanggungan dapat memenuhi kebutuhan dalam menyelesaikan masalah perkreditan dengan mudah dan lancar sehingga dalam hal ini harus ada kerjasama yang baik dengan instansi agraria. Peranan instansi agraria dalam proses pembebanan jaminan Hak Tanggungan sangat penting terutama pada proses pendaftaran Hak Tanggungan yaitu untuk memberikan pelayanan yang cepat dan proses yang mudah bagi calon pemegang dan pemberi Hak Tanggungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
S20467
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Dwi Kartika Sarsintarini
"Bangsa Indonesia pada masa kini sedang melakukan pembangunan. Seiring dengan roda pembangunan pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan-kebijaksanaan yang dapat menunjangnya. Salah satunya adalah Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Sektor perbankan sangat berperan dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan memberikan fasilitas kredit. Untuk mengurangi faktor resiko maka bank meminta jaminan tambahan berupa tanah. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 memperbolehkan tanah yang belum mempunyai sertifikat hak atas tanah, dalam hal ini diasumsikan termasuk tanah yang sedang dalam proses pembuatan sertifikat hak atas tanah dapat dijadikan jaminan kredit. Kebijaksanaan ini merupakan jalan keluar bagi para pengusaha kecil yang memerlukan kredit tetapi tanahnya sedang dalam proses pembuatan sertifikat hak atas tanah karena keadaan masyarakat dan pertanahan di Indonesia memang belum menunjang jika hanya tanah yang sudah mempunyai sertifikat hak atas tanah saja yang dapat dijadikan jaminan kredit. Namun sebenarnya selama tanah tersebut belum mempunyai sertifikat hak atas tanah maka tanah tersebut tidak dapat dibebani hak tanggungan. Tanpa pembebanan hak tanggungan maka kedudukan kreditur hanya sebegai kreditur konkuren. Bank Bumi Daya menerima jaminan berupa tanah yang sedang dalam proses pembuatan sertifikat hak atas tanah namun jumlahnya sangat kecil mengingat resiko yang ditanggungnya cukup besar. Untuk mengurangi resiko tersebut maka Bank Bumi Daya memperketat syarat dan prosedur pemberian kredit serta membatasi jangka waktu berlakunya jaminan seperti ini artinya setelah proses pembuatan sertifikat hak atas tanah selesai maka pengikatan jaminan harus ditingkatkan dengan melakukan pembebanan hak tanggungan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Novira Andriani
"Jaminan kredit (collateral) memegang peranan penting dalam pemberian kredit bank. Hal ini berkaitan dengan usaha kreditur (bank) sejak dini berjaga-jaga menghadapi kemungkinan debitur cidera janji/wanprestasi. Dengan adanya jaminan, bank akan lebih terjamin bahwa kredit yang diberikannya akan dapat diterima kembali pada waktu yang ditentukan. Pada Kredit Pemilikan Rumah (KPR), rumah berikut tanahnya yang di beli dengan kredit yang bersangkutan ditunjuk sebagai jaminan pelunasan KPR dengan dibebani Hak Tanggungan. Lembaga Hak Tanggungan merupakan satu-satunya hak jaminan atas tanah dan merupakan hak jaminan yang kuat dengan ciri-ciri memberikan kedudukan yang diutamakan kepada pemegangnya, selalu mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada, memenuhi asas spesialitas dan publisitas serta mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya. Berkaitan dengan masalah KPR ini, pemerintah telah mengeluarkan SK Menteri Keuangan RI No. 132/KMK.014/1998 Tentang Perusahaan Fasilitas Pembiayaan Sekunder Perumahan (PFPSP). Dalam mekanismenya, tagihan atas KPR dan Hak Tanggungan atas tanah dan rumah yang menjadi jaminan KPR dijadikan jaminan bagi pinjaman PFPSP kepada bank pemberi KPR. Proses peralihan Hak Tanggungan masih menimbulkan masalah, terutama dalam hal pendaftarannya."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20807
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library