Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154703 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Siregar, Ian PSSP
"Pasar Modal merupakan sarana bagi suatu perusahaan untuk menjual sahamnya kepada masyarakat dalam rangka memperoleh dana jangka panjang untuk keperluan perluasan usahanya maupun untuk restrukturisasi modalnya. Pasar Modal di Indonesia juga ditinjau dari aspek sosial politik, dan perannya adalah untuk meratakan tugas dan hasilhasil pembangunan guna mencapai masyarakat adil dan makmur. Dalam rangka menjual sahamnya kepada masyarakat, suatu perusahaan memerlukan bantuan dari lembaga-lembaga penunjang Pasar Modal, dalam hal ini adalah Penjamin Emisi Efek (Underwriter) . Penjamin Emisi Efek (Underwriter) memegang peranan yang sangat penting dalam proses emisi efek suatu perusahaan. Peranan yang penting ini terlihat dari kesanggupan Penjamin Emisi Efek untuk menjamin terjualnya seluruh saham yang akan diemislkan oleh Perusahaan (Emiten) dan membeli sisa saham yang tidak habis terjual pada waktu pasar perdana. Penjamin Emisi Efek jenis ini disebut kesanggupan penuh (full firm commitment) di mana Penjamin Emisi Efek mengambil resiko penuh dalam rangka emisi efek. Hubungan antara perusahaan yang hendak memasyarakatkan sahamnya dan Penjamin. Emisi Efek dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang disebut Perjanjian Penjaminan Emisi Efek (Underwriting Agreement). Dalam rangka melakukan penjaminan suatu emisi efek, Penjamin Emisi Efek dapat melakukan kerjasama dengan Penjamin Emisi Efek lainnya dengan membentuk Sindikat Penjamin Emisi Efek. Hubungan antar Penjamin Emisi Efek ini tertuang dalam suatu perjanjian yang disebut Perjanjian Antar Penjamin Emisi Efek (Agreement Among Underwriter). Jika dalam proses Penjualan efek dibutuhkan jasa Agen Penjual, maka.antara Penjamin Emisi Efek dan Agen Penjual (Broker) harus dibuat suatu Perjanjian agen Penjual (Selling Agent Agreement). Perjanjian Penjaminan Emisi Efek, Perjanjian Antar Penjamin Emisi Efek dan Perjanjian Agen Penjual, ketiganya tidak diatur secara tegas dalam buku III KUHPer. Ketiga perjanjian ini dapat dibuat karena Buku III KUHPer menganut azas konsesualitas yang dapat disimpulkan dari pasal 1320 KUHPer dan adanya azas kebebasan berkontrak yang dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPer. Akan tetapi isi daripada perjanjian-perjanjian tersebut harus berpedoman pada lampiran I surat Edaran Ketua BAPEPAM No. SE.24/PM/1987 tentan Pedoman Penyusunan Perjanjian Penjaminan Emisi Efek di Pasar Modal."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1995
S20654
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johanes Ridwan
"Penulisan bertujuan memberikan pemahaman mengenai penjaminan emisi efek, terutama mengenai Perjanjian Antar Para Penjamin Emisi Efek. Dalam penulisan ini dipergunakan metode penelitian kepustakaan. Perjanjian Antar Para Penjamin Emisi Efek merupakan salah satu perjanjian yang dibuat dalam rangka emisi suatu efek, bilamana terdapat lebih dari satu penjamin emisi efek. Perjanjian ini dibuat oleh dan antar para penjamin emisi efek untuk membentuk suatu sindikat para penjamin emisi efek. Pembentukan sindikat tersebut diperlukan terutama untuk penyebaran beban risiko penjaminan dan efisiansi dalam distribusi efek. Perjanjian Antar Para Penjamin Emisi Efek harus memuat sekurang-kurangnya ketentuan-ketentuan sebagaimana diatur oleh Ketua BAPEPAM dalam S.E.24/PM/1987. Dalam praktek ketentuan-ketentuan tersebut ditambah lagi dengan ketentuan lain yang cukup penting dalam suatu perj anj ian, tambahan mana antara satu perjanjian dengan perjanjian lain sering tidak sama."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1991
S20603
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Heriyanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S21006
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Dian Puji Nugraha
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S25426
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wina Permatasari
Universitas Indonesia, 2010
S24724
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Koemoro Warsito
"ABSTRAK
1. Masalah pokok.
Selaras dengan perkembangan ekonomi dan pembangunan di Indonesia, kebutuhan akan pertanggungan semakin meningkat bagi masyarakat dan bagi pembangunan. Khusus pertanggungan kebakaran bagi dunia usahapun semakin penting karena dengan mengalihkan resiko kepentingannya akan sangat membantu mengurangi kerugian. Namun untuk terciptanya hubungan hukum diperlukan perjanjian. Perjanjian tersebut secara umum dilingkupi oleh ketentuan-ketentuan perjanjian pada umumnya dalam KUH Perdata dan secara khusus diatur dalam KUH Dagang.
Dalam praktek ternyata banyak hal-hal yang penting untuk dibahas, seperti luasnya resiko yang dijamin, kapan saat lahimya perjanjian atau kapan berlakunya pertanggungan, unsur itikad yang sangat baik, prinsip kepentingan dan indenititas/keseimbangan, yang kesemuanya berkait erat dengan perjanjian pertanggungan kebakaran itu sendiri. Maka dengan dasar pertimbangan tersebut di atas dipilih judul 'Tinjauan perjanjian pertanggungan kebakaran di Indonesia' dan kiranya sangat relevan dengan kemajuan perekonomian serta pembangunan dewasa ini.
2. Methode penelitian.
Pengumpulan data dan fakta untuk menunjang pembuatan skripsi ini penulis melakukan penelitian kepustakaan untuk mendapatkan data-data yang diambil dari buku-buku, tulisan-tulisan ilmiah, catatan kuliah serta peraturan-peraturan
yang berkaitan dengan penulisan skripsi, kemudian juga penelitian lapangan yaitu dengan mengadakan wawancara langsung dengan pejabat-pejabat dari PT (Pesero) Asuransi Jasa Indonesia, Samarang Sea & Fire Insurance Ltd.., Sub Bit. Asuransi Kerugian Departemen Keuangan serta orang-orang yang kami anggap ahli dalam bidang hukum dan perasuransian.
3. Hal-hal yang ditemukan.
Persetujuan pertanggungan dalam KUH Perdata hanya disebut dalam satu pasal yaitu pasal 1774 yang kemudian secara khusus diatur dalam KUH Dagang, namun perjanjiannya juga tunduk pada perjanjian pada umumnya dari KUH Perdata sepanjang tidak diatur dalam KUH Dagang atau yang diperjanjikan.
Dalam praktek perjanjian pertanggungan kebakaran dituangkan dalam polis dan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 216/KMK.011/1981 jo. keputusan KOTAP Tarip Asuransi Kebakaran maka untuk perjanjian kebakaran harus menggunakan Polis Standart Kebakaran Indonesia (PSKI) dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia sejak 1 Januari 1982. Tetapi polis bukan syarat untuk adanya perjanjian, hanya sebagai bukti yang sempurna.
Pembentukan perjanjiannya harus melalui suatu proses pengisian Surat Permintaan Pertanggungan Kebakaran oleh tertanggung, kemudian dibuatkan Nota penutupan Asuransi (cover note) yang berfungsi sebagai pengganti polis, maka sejak di tandatanganinya cover note tersebut oleh penanggung pertanggungan sudah berlaku. Dalam habungan berlakunya pertanggungan, dalam pasal I PSKI menimbulkan masalah yaitu mengenai pemberian tenggang waktu, maka apakah berlakunya pertang gungan setelah dibayarnya premi atau apakah dengan pemberian tenggang waktu tersebut berarti bila ada klaim dalam batas waktu tersebut tetap dapat dibayar walau preminya belum dibayar. Dan bagi penanggungpun menjadi masalah kapan premi harus ditarik.
Prinsip asuransi yang sangat penting ialah prinsip Utmost good faith atau itikad yang sangat balk yang lebih dari pasal 1338 (3) KUH Perdata, kemudian prinsip kepentingan dan Indemnitas/keseimbangan, yang ketiganya harus ada dan dilak sanakan dalam pertanggtingan kebakaran. Dalam pengajuan klaim kadang-kadang timbul perselisihan yang dapat mengenai pelaksanaan dan/atau penafsiran.
Dalam kenyataannya yang terbanyak diselesaikan secara musyawarah, tapi bila tidak tercapai diselesaikan melalui arbitrase yang klausulanya menentukan bahwa keputusan arbitrase itu bersifat final dan mengikat. Namun apabila dalam keputusan
itu terdapat hal-hal yang bertentangan dengan suatu UU,azas atau lainnya yang kiranya dapat mempengaruhi putusan, maka pihak yang dikalahkan dapat mengajukan gugatan yang melawan perintah eksekusi pada pengadilan negeri yang mengeluarkan dan terhadap putusan ini terbuka banding dan kasasi.
4. Kesimpulan dan saran.
Pertanggungan kebakaran sangat panting peranannya bagi dunia usaha, karena dengan mengalihkan resiko akan sangat membantu mengatasi kerugian, Untuk itu diperlukan perjanjian. Polis Standart Kebakaran Indonesia yang dipergunakan
sudah cukup baik, namun sangat disayangkan perumusan pasal I PSKI tentang pembayaran premi dapat membingungkan calon tertanggung maupun penanggung. Demikian juga klausula arbitrase itu sangat membatasi upaya hukum dalam menyelesaikan perselisihan yang timbul.
Untuk itu disarankan agar dapat merangsang dan menumbuhkan citra dan kepercayaan masyarakat kepada asuransi supaya perusahaan-perusahaan asuransi bersama pemerintah memberikan penyuluhan dan penjelasan arti pentingnya pertanggungan bagi masyarakat dan pembangunan, juga apa-apa yang harus dilakukan dalam membentuk perjanjian pertanggungan. Demikian pula agar pasal I PSKI ditinjau kembali, dan untuk menyelesaikan perselisihan yang timbul agar para pihak diberi kebebasan untuk mencari upaya penyelesaian sendiri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Esenhower
"Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui; pengaturan hak dan kewajiban PT. Garuda Indonesia dengan penumpang (pemilik bagasi) dalam perjanjian pengangkutan penumpang udara, apakah perjanjian tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku dan dapat melindungi para pihak dari kerugian, sejauhmana tanggung jawab pengangkut terhadap penumpang, bagaimana pengaturan mengenai prinsip pembebanan resiko serta sistem tanggung jawab dalam pengangkutan udara di PT. Garuda Indonesia. Guna mendapatkan keakuratan hasil penelitian, penulis telah melakukan pengumpulan data sekunder maupun primer, kemudian data - data tersebut diolah dan di analisis, guna mendapatkan hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem tanggung jawab atau terjadi nya kecelakaan dan kelambatan pesawat terbang, maupun terjadinya kelambatan, kerusakan atau kehilangan bagasi di PT. Garuda Indonesia didasarkan pada sistem tanggungjawab Presumption of Liability, Based of Fault dan Absolute Liability. Bahwa dalam perjanjian pengangkutan penumpang udara PT. Garuda Indonesia, masih terdapat ketentuan yang lebih meringankan tanggung jawab pengangkut (dalam hal kelambatan/pembatalan pengangkutan). Bahwa hakim dalam menentukan besarnya ganti rugi atas bagasi, masih tetap memperhatikan ketentuan KUH Perdata maupun KUH Dagang. Bahwa kepentingan penumpang dalam perjanjian pengangkutan penumpang udara sudah cukup terlindungi, mengingat banyak ketentuan internasional/nasional yang mengatur masalah perlindungan terhadap penumpang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1999
S20963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Herry Helvawan Affandi
"ABSTRAK
MASALAH POKOK.
Secara formal, keberadaan lembaga Leasing di Indone sia diizinkan, tumbuh dan berkembang sejak tahun 1974 dengan dikeluarkaniiya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan,Menteri Perindustrian dan Menteri Perdagangan Republik Indone sia Nomor Kep-122/MK/IV/Vl974, Nomor 32/M/SK/2/1974, dan Nomor 30/Kpb/I/1974 tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing. Dari pengertian Leasing menimbulkan pertanyaan, apakah pengertian Leasing dalam pelaksanaannya sesuai dengan pe ngertian Leasing menurut Surat Keputusan Bersama di ata$, karena seringkali Leasing diartikan sebagai perjanjian sewamenyewa. Pada segi lain, Perjanjian Leasing sebagai lembaga Hukum Perjanjian yang lahir dari praktek kehidupan masyarakat tidak dijxampai pengaturannya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (K.U.H. Perdata), dan pelaksanaannya didasarkan pada azas kebebasan berkontrak (pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Pe:r data). Selain daripada itu, di Indonesia belum ada Undangundang yang khusus mengatur perihal Leasing dan pengaturan tentang hal itu hingga saat ini baru terdapat dalam tingkat Keputusan Menteri Keuangan dan Peraturan-peraturan lainnya di bawahnya. Dengan demikian hal itu dapat memberikan banyak kemungkinan timbulnya masalah-masalah hukum antara para pihak yang terikat dalam perjanjian Leasing. METODE PENELITIAN. Metode penelitian menggunakan data primer dan data sekunder yang disusun dari hasil penelitian kepustakaan, lapangan dan lainnya seperti wawancara, peraturan perundangundangan, bulletin, majalah, artikel yang berkaitan erat dengan dengan materi skripsi. , , HAL-HAL YANG DITEMUI. Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tanggal 7 Februari 1974 tentang Perizinan Usaha Leasing tersebut merupakan peraturan pertama yang khusus dikeluarkan untuk bidang Leasing. Surat keputusan Bersama itu dan Iain-lain yang di keluarkan belakangan untuk mengatur perihal perjanjian dan kegiatan Leasing di Indonesia, terutama bersifat administratif dan memaksa, yang sesuai dengan sifat memaksa tersebut, tidak memungkinkan penyimpangan daripadanya. Oleh karena perjanjian Leasing masih dikategorikan se bagai perjanjian yang mirip dengan perjanjian sewa-menyewa. maka dalam penetapan syarat-syarat perjanjian Leasing antara para pihak, dapat dipakai atau berpegang kepada ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Buku III K.U.H.Perdata. Jadi pada azasnya dasar hukxam yang lebih luas dan mendalam, yang melandasi perjanjian Leasing dan kegiatan Leasing di Indonesia dewasa ini adalah : a. Azas Konkordansi Hukum berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 atas Hukum Perdata yang berlaku bagi penduduk Eropa. b. Pasal 1338 ayat (1) K.U.H. Perdata mengenai azas kebebasan berkontrak serta azas-azas persetujuan pada umumnya sebagaimana tercantum dalam Bab I Buku III K.U. H. Perdata, c. Ketentuan-ketentuan tentang sewa-menyewa yang tercantum di; . dalam pasal 1548 sampai dengan pasal 1580 K.U.H.Per data (Buku III Bab VII) sepanjang tidak diadakan penyimpangan oleh para pihak. Ketentuan sewa-menyewa yang tercantum dalam BukuIII Bab VII K.U.H. Perdata pada umiimnya bersifat mengatur, yang berarti dapat dikesampingkan oleh para pihak yang mengadakan perjanjian. Dalam hal pemberian lease oleh suatu perusahaan Le asing, maka perjanjian Leasing dengan segala ketentuan ser ta syarat-syarat yang ada didalamnya, yang dibuat kemudian disepakati bersama oleh para pihak, merupakan dasar hukum dan sekaligus menjadi' sumber terbitnya perikatan hukum antara para pihak yang terikat dalam perjanjian Leasing. KESIMPULAN. Dari uraian tentang pengertiah, subyek dan obyek dari Leasing, dapat ditarik kesimpulan bahwa jika dilihat da ri konstruksi hukumnya, Perjanjian Leasing di Indonesia tidak berbeda dengan perjanjian sewa-menyewa biasa. Kwalifikasi subyek dan obyek menentukan perbedaan itu. Disamping itu, hak pilih/bptie dalam perjanjian Le asing selalu dicantumkan sebagai suatu ikatari, walaupun pelaksanaan dari ikatan itu sendiri pada waktunya nanti harus berdasarkan pula suatu perjanjian yang terpisah, yang terlepas dari perjanjian Leasing yang bersangkutan. SARAN-SARAN. Karena bidang usaha Leasing di Indonesia masih relatif baru dan belum banyak dikenal oleh sebagian besar masyarakat, maka diperlukan penyuluhan dan pengarahan tentang berbagai Peraturan- Pemerintah yang berkaitan dengan masalah Leasing. Dan yang tidak kurang pentingnya adalah penciptaan Undang-undang yang khusus mengatur perihal Leasing di Indo nesia yang dapat memberikan perlindungan serta kepastian hu kum bagi para pihak yang terikat dalam perjanjian Leasing. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1985
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gunawan Budimulia Sjamsuddin
"ABSTRAK
Setiap manusia yang pada waktunya akan melangsungkan perkawinan biasanya akan menjumpai hal—hal yang berhubungan dengan harta benda dalam perkawinan, Pada waktu tersebut biasanya dibicarakan mengenai perjanjian perkawinan, yaitu hal—hal yang mengatur harta benda calon suami istri dalam perkawinan nantinya. Tidak semua calon suami istri membicarakan perjanjian yang demikian apalagi di Indonesia, karena sebagai orang Timur yang sering bertenggang rasa dan tidak materialistis. Akan tetapi tidaklah berarti hal ini tidak penting di bicarakan karena pada saatnya orang memerlukan hal itu, dan juga pihak ketiga dapat pula berkepentingan dengan harta benda mereka. Karena itu pula pembuat Undang undang telah mengatur hal tersebut secara tegas dalam pasal-pasalnya. Sejak tahun 1974 telah kita dapati Undang Undang yang mengatur tentang Perkawinan yang relatif telah lengkap. Penulis merasa perlu untuk menelaah peraturan-peraturan yang lama yang telah ada untuk kemudia membandingkannya dengan Undang undang yangsekarang ada agar diketahui sampai sejauh mana kekurangan dan kelebihan Undang undang kita yang sekarang. Dan dari situ pula dapat diketahui apakah peraturan lama tetap berlaku atau tidak lagi, Hasil penelitian. Dari hasil perbandingan dapat diketahui bahwa masih perlunya penjelasan untu kelengkapan lebih lanjut dari pasalpasal yang mengatur tentang perjanjian perkawinan dalam Undang Undang no.1 tahun 1974 itu juga dari PP.no.9 thn.1975. Baik dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata/B.W., dengan Hukum Islam, dengan hukum Adat, dengan hukum peraturan perkawinan Campuran, dengan H.O.C.I.sts. 1933/no.74 ternyata kita rupanya harus lebih banyak menggunakan pasal 66 UU Perkawinan no.1/thn.74 yaitu terpaksa kembali ke peraturan2 lama yang ada sebelum UU tersebut sepanjang tidak diatur dalam UU itu dan isinya tidak bertentangan dengan Undang Undang tsb. Kesimpulan dan Saran 1.Perjanjian Perkawinan adalah perjanjian antara calon suami istri mengenai harta bendanya, baik yang sudah ada sebelum perkawinan maupun yang akan ada sesudah perkawinan berlangsung dan merupakan perjanjian untuk menentukan apakah akan ada harta terpisah secara tertentu atau seluruhnya. Undang Undang Perkawinan ternyata tidak memuat secara lengkap dan terperinci mengenai perjanjian perkawinan sehingga permasalahan yang didapati terpaksa harus menunjuk kembali pada hukum lama sepanjang tidak bertentangan dengan Undang Undang Perkawinan itu.Tapi pada pokoknya hampir sudah menampung aspirasi semua hukum perkawinan dalam bidang hukum harta benda walaupun disan-sini terdapat perbedaan. Bahwa apapun hasilnya lepas dari kurang dan lebihnya Undang Undang Perkawinan adalah suatu karya yang berharga, yang merupakan langkah awal dari usaha kodifikasi dan unifikasi hukum nasional. Tetapi tetap dirasakan perlu untuk diberikan peraturan pelaksanaan yang lebih lengkap dibawah P.P.no.9- tahun 1975, baik berupa peraturan Menteri ataupun Direktur Jendral untuk menampung permasalahan yang cukup banyak dalam hukum positif di Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tedy Mujoko
"Prosedur keterbukaan/pengungkapan/penyingkapan keterangan-keter angan (Disclosure Documents) merupakan suatu kewajiban bagi setiap pemberi waralaba (franchisor) dalam penawaran dan atau penjualan produk waralabanya sebagaimana yang disyaratkan oleh Peraturan Pemerintah No. 16 tahun 1997 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri Nomor 259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. Penjelasan pasal 3 PP No. 16 tahun 1997 menyatakan bahwa pelaksanaan pengungkapan keterangan agar "pemberi waralaba dan penerima waralaba memiliki dasar awal yang kuat da1am melakukan kegiatan waralaba secara sehat dan terbuka." Terkesan seolah-olah terdapat satu hubungan yang kuat antara fase "pra-kontrak", dalam hal ini direpresentasikan oleh kewajiban disclosure dengan fase "kontrak/perjanjian" itu sendiri. Berdasarkan penelitian penulis, hubungan antara fase pra-kontrak dan kontrak di Indonesia dapat dipelopori oleh hukum waralaba, dalam bidang hukum perjanjiannya, melalui kewajiban disclosure document. Meskipun demikian, masih banyak hal-hal yang harus dibenahi untuk keperluan tersebut, termasuk kebutuhan dilahirkannya undang-undang khusus yang mengatur tentang disclosure secara tersendiri."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S21224
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>