Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176733 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mufti Sholih
"Skripsi ini membahas mengenai posisi individu dalam sistem pendidikan yang mengideologisasi dan bagaimana alternatif pemikiran pendidikan dari Paulo Freire, dihadirkan sebagai sebuah solusi terhadap masalah ini, yang juga coba dikaitkan dengan posisi individu dalam sistem pendidikan nasional. Tulisan ini mengantakan pembaca untuk meliat bahwa sistem pendidikan yang mengideologisasi, mampu membelenggu kesadaran, kehendak dan kebebasan dari individu. Karenanya, menjadi penting untuk menawarkan sebuah solusi terhadap penempatan individu yang di refresi atas nama sistem ideologisasi. Melalui pemikiran Paulo Freire inilah, yang bertumpu pada pendidikan hadap masalah dan dialog, individu diajak untuk membebaskan dirinya dari selubung ideologisasi yang membelenggu kebebasan, kehendak dan kesadarannya.

This bachelor essays studied about the position of an individual in our system of education, that in my point of view our system of education were just an ideological procedures, and how alternative educational thought from Paulo Freire come as the solution to this problem. It_s guide you to look that our educational system, restraint awareness, will, and freedom of an individual. Hence, it_s important to give a solution to position of an individual. Through Freirean thought, which base on problemposting education and dialogue, an individual were invited to liberate himself from the ideologization which restraint his freedom, will and awarness."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2010
S16057
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Firdaus M. Yunus
Lampung: Logung Pustaka, 2005
370.115 FIR p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Fuad
"Pembahasan Filsafat Pendidikan Paulo Freire dalam tesis ini merupakan suatu usaha untuk menganalisa secara filosofis terhadap konsep pendidikan Paulo Freire yang berangkat dari asumsi bahwa pendidikan adalah proses pembebasan dari sistem yang menindas. Konsekuensinya, pendidikan tidak pernah terbebas dari kepentingan politik pihak yang berkuasa dalam sebuah rezim. Pendidikan merupakan suatu sarana untuk memproduksi kesadaran dalam rangka mengembalikan sifat kemanusiaan setelah terjadinya proses dehumanisasi. Dalam kerangka ini pendidikan harus memiliki kepekaan terhadap persoalan ketidakadilan sosial dan harus mendudukkan peserta didik sebagai subyek dari segala kegiatan pendidikan. Karena itu kesadaran kritis sangat diperlukan wujudnya pada kepribadian peserta didik. Paulo Freire membangun kerangka konsep pendidikan itu dengan tumpuan pada pandangan dasarnya tentang manusia dengan menggunakan asumsi dasar bahwa: kenyataan yang dialami oleh manusia merupakan sebuah proses. Proses ini merupakan "proses menjadi" yang dipahami melalui hubungan antara manusia dengan dunia, manusia selalu terarah kepada suatu perubahan dunia, eksistensi manusia adalah sebuah tugas praksis, manusia disituasikan dalam sejarah yang tidak selesai, manusia mempunyai panggilan hidup yang bersifat ontologis; yaitu menjadi subyek dan "memberi nama dunia", hubungan antara manusia dengan dunia memperlihatkan adanya problema "dunia tema dan dunia batas" dan menjadi ada berarti bertindak politik untuk humanisasi. Kemudian dalam rangka mengukuhkan filsafat pendidikannya, Paulo Freire memberikan kerangka pikir sistematis tentang metode mengetahui realitas, yaitu: berpikir dan mengetahui tidak tergantung dari sejarah dan kebudayaan, subyektivitas dan objektivitas tidak dibedakan dalam tindakan mengetahui yang sejati, kesadaran kaum tertindas merupakan bagian dari epestemologi sejarah, kesadaran manusia harus berkembang dari kesadaran magis menuju ke kesadaran kritis yang bersifat intensional, mengetahui itu berarti melakukan tindakan politik untuk sebuah proses humanisasi dan memerlukan kesadaran transitif yang dapat dikembangkan melalui sebuah proses yang disebut konsientisasi. Dalam filsafat pendidikannya, Paulo Freire juga menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis sebagai manifestasi dari pendidikan hadap masalah yang menekankan problema-problema aktual melalui kegiatan yang disebutnya dengan: kodifikasi dan dekodifikasi, diskusi kultural dan aksi kultural. Dengan demikian pendidikan gaya bank harus ditinggalkan dan dihilangkan sama sekali sejalan dengan munculnya pendidikan sebagai proses pembebasan. Selanjutnya, Paulo Freire melanjutkan proses pendidikan seperti di atas dengan mengalihkan semua cara dan aktifitas yang bemada dehumanisasi kepada cara dan aktifitas yang bemada penuh kepada proses humanisasi. Ini berarti Paulo Freire telah menjadikan pendidikan sebagai sebuah proses transpormasi sosial menuju kepada perubahan ke arah kemajuan yang ditandai dengan adanya peralihan situasi dari: teologi tradisional menuju teologi pembebasan, proses anti dialog menuju proses dialog, masyarakat tertutup menjadi masyarakat terbuka, invasi kultural menjadi aksi kultural dialogis, masifikasi menuju konsientisasi, pendidikan gaya bank menuju pendidikan hapad masalah dan masyarakat buta huruf menuju "masyarakat melek huruf". Akhirnya tak dapat dipungkiri bahwa pendidikan harus selalu diarahkan kepada tindakan yang direfleksikan bersama melalui sebuah daur dalam bentuk: aksi - refleksi dan kemudian refleksi - aksi. Inilah tindakan praksis yang tetap berjalan terus menerus. Karena itu, pendidikan menjadi daur berpikir dan bertindak secara terus menerus sepanjang hasrat melekat dalam badan manusia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2003
T12565
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paul Suparno
Yogyakarta: Kanisius, 1997
100 PAU f
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Paul Suparno
Yogyakarta: Kanisius , 2001
370.1 PAU f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jalaluddin
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012
370.1 JAL f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Ariane Meida
"ABSTRAK
Pendidikan merupakan media penciptaan dan pengolahan pengalaman yang
terawasi, terencana, dan sistematis. Titik tolak dan tujuan dari pendidikan adalah
pengembangan pengalaman secara berkelanjutan. Pengalaman adalah segala
situasi dan kondisi yang tercakup dalam sebuah tindakan dan mengarahkan
individu pada upaya kritis refleksif. Metode pencapaian pengetahuan lalu tidak
didasarkan pada satu pendasaran epistemologi tertentu yang dianggap valid,
namun mengacu pada pengalaman tiap individu yang secara alamiah bersifat
kontingen. Ini merupakan konsepsi pendidikan Demokratis. Penyelenggaraan UN
tidak membuka ruang bagi pengalaman yang menjadi titik tolak dan tujuan dalam
konsepsi pendidikan demokratis karena membakukan epistemologi positivistik
sebagai satu-satunya metode pencapaian pengetahuan yang dianggap valid.

Abstract
Education is a media creation and experience cultivation that observed, planned,
and sistematic. The basic and purpose of education are developing experience in
continuity. Experience is a condition which is embraced in action and to direct
individu on critical reflecton efforts. Then, the method of attaining knowledge
isn?t based on one certain valid basic epistemologic, but reference on individual
experience which is naturally contingent. This is a conception of Democratic
education. The implementation of Ujian Nasional (UN) didn?t open a space for
experience that stands for the basic and purpose on conception of democratic
education, because it?s blocked the positivistic?s epistemology as the only method
to attain a valid knowledge."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S43210
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Noor Syam
Surabaya: Usaha Nasional, 1986
370.1 MOH f
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Setyawan
"Skripsi ini membahas bagaimana posisi siswa dalam kerangka pemikiran Freire dan dalam sistem pendidikan nasional. Serta bagaimana keterkaitan posisi siswa dalam konsep filsafat pendidikan Paulo Freire dengan posisi siswa sebagai subjek dalam sistem pendidikan nasional. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analisis terhadap masalah posisi siswa sebagai subjek. Filsafat pendidikan Freire yang berdasar pada pendidikan kritis sebagai suatu bentuk kritisisme sosial mencoba untuk menciptakan suatu hubungan dialogis antara pendidikan dengan konteks sosial. Berdasarkan hal tersebut, keberpihakan Freire pada siswa sebagai subjek dalam pendidikan formal dimulai dengan menempatkan dialog sebagai aspek utama dalam proses pendidikan. Dialog ini menuntut suatu hubungan yang setara antara guru dan murid, yang dilandasi dengan cinta, kerendahan hati, harapan, kepercayaan, dan sikap kritis. Dialog sebagai bagian fundamental dari struktur pengetahuan harus selalu terbuka bagi subjek-subjek lain dalam proses pengetahuan. Selain itu, pendidikan hadap masalah yang memungkinkan adanya konsientisasi (penyadaran), menempatkan posisi guru setara dengan murid, di mana guru berupaya untuk melibatkan diri dan merangsang daya pemikiran kritis murid secara langsung. Selanjutnya dalam sistem pendidikan nasional, posisi siswa sebagai subjek belum terpenuhi. Beberapa peraturan mengenai pendidikan hanya secara eksplisit menjelaskan posisi siswa sebagai subjek. Hal tersebut diperparah dengan peran guru yang masih dominan dan sentral dalam proses pendidikan. kurikulum yang diberlakukan semenjak pasca kemerdekaan hingga masa orde baru, masih menempatkan siswa sebagai objek dan guru sebagai subjek sentral dalam proses transfer ilmu, baru setelah diberlakukannya UU No 20 tahun 2003 dengan pembentukan KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) siswa mulai diarahkan ke sumber dan subjek belajar. Namun tetap saja, Banyaknya beban belajar dan dominasi guru di dalam kelas semakin menunjukkan bentuk opresi yang dialami siswa di sekolah. Oleh karena itu, perlu diadakan penataan ulang konsep pendidikan nasional yang berorientasi pada kepentingan siswa sebagai subjek, dan perlu adanya peraturan khusus yang mengatur hubungan siswa dan guru yang setara dan posisi siswa sebagai subjek dalam pendidikan, sehingga kelak tidak ada lagi dominasi dan opresi dalam proses pendidikan Indonesia.

This bachelor thesis criticized how the position of students defined in Freire's defined in national system of education, also how s frame point and how it'the relation between them. this study is a descriptive analysis of the problem how students posited as subject. Freire' s philosophy of education point of view stands as a critical education system as a kind of social critic that tries to develop a dialogical relation between education and social context. based on that view, freire took side on students'side as subject began by put dialogue as main aspect in educational process.this kind of dialogue demanded a balanced relation between teachers and students that derived from love, generosity, hope, trust, and critical action. dialogue as a fundamental part of the structure has to stay open tp any other subjects on the process. more, education faces problem where any conscientiation enabled, where teachers and students are in even position, also where teachers involving themselves dan stimulating the critical thinking of the students in direct actions. but as can be seen in the national system of education, the students'position as subjects is not yet fulfilled. some of the regulation of the education only explained explicitly about the students'position. worse, the teachers'role still works centrally and dominantly. the basic curricullum since independent era through reformation still placed students as objects where the teachers are the subject. only after the Act no 20 year 2003, with the formation of KBK (curicullum based on competention) and KTSP, the students are directed to a certain source and learning subject. but still, the pressure in learning and teachers'domination still shows the opression for the students in school. by all that reason, the urgency of reordering national education that firmly orienting students'interest as subject and the specific and distinctive regulation that arrange the even relation between students and teachers both as subjects in education so in the future there would be no longer oppresing domination inside it."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S16002
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
M. Abdul Rasyid
"Ada apa dengan manusia? Dunia yang telah dihuni sekian lama oleh manusia tidak juga membuat hidup dalam keadaan lebih damai, lebih sejahtera, lebih adil, dan lebih merata. Perang yang selalu berkecamuk, kemiskinan yang terus mendera kehidupan manusia, diskriminasi dan eksploitasi yang semakin melebar dalam seantero lapisan masyarakat. Sejak beberapa abad lalu jutaan manusia berusaha menjawab persoalan-persoalan ini dengan berbagai sistem dan metode. Berbagai paham di muka bumi muncul dan memberikan perhatian lebih kepada cara manusia seharusnya menjalani kehidupannya. John Dewey adalah seorang filsuf pragmatis Amerika sekaligus seorang ahli pendidikan progresif, yang berusaha menguraikan benang kusut persoalan manusia ini dengan mengidentifikasi berbagai aspek yang membelenggu kemajuan manusia. Kencangnya arus paradigma Cartesian-Newtonian dalam ranah filsafat dan ilmu pengetahuan, yang menimbulkan gelombang moderenisasi dan industrialisasi, dan membelenggu manusia dalam semua dimensi kehidupan, menjadi awal kritiknya. Paradigma tersebut terus melebar dan merasuk dalam sendi-sendi pendidikan sebagai sarana pengembangan manusia dengan timbulnya paham perennialisme dan esensialisme. Paradigma ini berusaha meletakkan manusia dan dunia dalam kerangka either-or (pilihan di antara dua ekstrim, dan tidak mengakui kemungkinan di antara keduanya), sebuah prinsip pengetahuan yang membuat manusia melihat dunia ke dalam dua corak: hitam-putih; salah-benar; teori-praktik; individu-sosial; manusia_-dunia; sarana-tujuan, dan lain sebagainya. Bagi Dewey manusia harus dilihat sebagai mahluk mutidimensi, yang tidak terpisahkan dari berbagai situasi dan kondisi yang melingkupinya. Prinsip interaksi individu-sosial inilah yang menurutnya kemudian dapat membawa manusia menuju kemajuan yang hakiki. Proses pengembangan manusia dalam ranah pendidikan harus diarahkan kepada dua entitas ini sebagai mahluk dunia yang integral. Pendidikan harus diawali dari pengembangan manusia sebagai individu dan kemudian mengarahkannya pada aspek sosial melalui rekonstruksi, reorganisasi, dan reformasi. Hingga akhirnya individu-individu manusia yang handal dan memiliki sensibilitas perasaan atau empati sosial yang tinggi dapat mengembangkan dan membentuk masyarakat yang adil, sejahtera dan merata, inilah cita-cita kemajuan yang sebenarnya. Pada akhirnya, diharapkan terciptanya kemajuan dunia, melalui pengembangan individu secara komprehensif dan progresif. Manusia tidak lagi bersifat individualistik, egois, dan tidak memiliki sense of social crisis. Individu kemudian menjadi dewasa (maturity) yang terpancar melalui kematangan sikap, prilaku etis, demokratis, dan sensitif dengan kondisi lingkungan dan sosialnya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2007
S15990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>