Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149144 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Widya Riani Utami
"Tradisi pemujaan leluhur di Jepang merupakan perpaduan dari berbagai kepercayaan yang berkembang di Jepang seperti Shinto, Konfusianisme dan Budha. Tradisi ini berawal dari adanya pemikiran bahwa roh orang yang telah meninggal dunia akan mengganggu kehidupan manusia yang masih hidup. Agar roh tersebut tidak mengganggu mereka yang masih hidup maka diadakanlah ritual-ritual untuk menenangkan roh tersebut.
Leluhur dalam tradisi pemujaan leluhur di Jepang mengacu pada pendiri ie tempat keluarga itu tinggal. Penghormatan dan pemujaan terhadap leluhur penting untuk dilakukan bukan hanya karena dia adalah pendiri ie tapi juga karena mereka dipercaya memberikan kesejahteraan dan perlindungan keamanan kepada keturunannya. Sejalan dengan adanya perkembangan pemikiran dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat Jepang, konsep leluhur yang terpusat pada ie ini kemudian meluas menjadi konsep leluhur yang terpusat pada keluarga. Tradisi pemujaan leluhur ini pun sejak Zaman Tokugawa telah digunakan sebagai alat propaganda politik pemerintah sampai dengan PD II berakhir.
Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah cara pemerintah Meiji menggunakan tradisi pemujaan leluhur sebagai dasar untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya. Untuk menjawab pokok permasalahan tersebut, penulis telah mengadakan penelitian kepustakaan dan analisa yang dalam dengan metode pendekatan Deskriptif-Analitik untuk memudahkan penulis dalam mencari jawabannya dan memudahkan para pembaca dalam memahaminya.
Pada akhir penelitian ini, penulis menyimpulkan bahwa tradisi pemujaan leluhur ini telah digunakan oleh pemerintah Meiji untuk mendapatkan legitimasi bagi kekuasaannya dan dasar pemikiran pemujaan leluhur tersebut diterapkan di dalam beberapa institusi yang ada di Jepang seperti institusi hukum, pendidikan, keluarga, agama Shinto dan dalam penggunaan sistem kalender matahari. Dalam tradisi pemujaan leluhur pada Zaman Meiji inilah terlihat bahwa hal yang dianggap paling asasi sekalipun, yaitu kebebasan beragama, tidak terlepas dari propaganda pemerintah derni kepentingan politiknya."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S13963
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Brigitta Bayurina Dewanti
"Penulisan dilakukan dengan cara menganalisa data-data yang dikumpulkan dari buku-buku dan tulisan yang bgerkaitan dengan masalah. Data-data mengenai upacara Obon berasal dari berbagai buku panduan, diantaranya: Nihon No Matsuri, Tate Shakai No Ningen Kankei, ancestor Worship in Contemporary Japan, Bukyo Minzoku Jiten. Berdasarkan analisa dapat diuraikan mengenai upacara obon sebagai bagian dari religi orang Jepang menjadi sarana atau faktor yang mempererat kekerabatan dalam keluarga. Upacara pemujaan leluhur telah dilakukan oleh orang Jepang sejak dahulu dan merupakan tradisi yang hingga kini masih dijalankan. Di dalam upacara obon ini terjadi hubungan timbal balik di antara arwah leluhur dan keturunannya, di mana para arwah membutuhkan doa dan makanan yang diberikan melalui upacara, sedangkan keturunannya membutuhkan bimbingan dan perlindungan dari leluhurnya dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dengan adanya berbagai pemujaan leluhur sejenis obon yang umumnya dilakukan secara berkelompok dan bersifat kekeluargaan menjadi mengakar dalam kehidupan religi orang Jepang dan menjadi sarana untuk melestarikan tradisi yang ada. Di samping itu upacara ini telah berperan sebagai faktor dalam mempererat kekerabatan dalam keluarga."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1996
S13506
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yerina Asnawi
"Adanya hubungan yang cukup erat antara Indonesia Jepang secara tidak langsung telah terjalin sejak negara Indonesia terjajah dari tahun 1942. Namun pengalaman semasa penjajahan yang dialami oleh masyarakat Indonesia bukanlah suatu alasan untuk membuat kerenggangan hubungan yang terjalin dewasa ini. Kenyataan menunjukkan gejala yang sebaliknya. Kekaguman akan kemajuan dan keberhasilan Jepang, telah menjadi motivasi bagi negara-negara berkembang khususnya Indonesia. Secara tidak langsung keberhasilan Jepang dianggap dapat menjadi motivasi menuju dunia moderen dan telah pula menjadi alasan bagi setiap negara untuk meningkatkan hubungan yang lebih erat lagi dengan bangsa tersebut. Sebetulnya bukan hanya Jepang yang dapat digolongkan negara yang berhasil membangun negerinya, melainkan Amerika dan Eropa pun menduduki peringkat nomor satu di dunia. Namun dalam kenyataan dewasa ini, dari negara-negara moderen tersebut di atas mulai tampak selisih yang cukup unik di antara mereka, terutama dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaannya. Jepang bukanlah merupakan suatu negara yang kaya akan sumber alamnya jika dibandingkan dengan Indonesia. Oleh karena itu patutlah kiranya kita bersyukur dianugerahi kekayaan sumber alam yang tinggi dan memiliki iklim yang tidak kejam. Dalam jalinan yang cenderung semakin erat ini antara Indonesia dan Jepang, para sarjana dan juga mahasiswa berusaha menemukan jalan untuk menyetahui faktok-faktor yang menyebabkan kemajuan Jepang tersebut yang kemudian akan dijadikan pegangan atau pun pola baru yang perlu diterapkan. Di dalam kita memahami suatu bangsa, tidaklah cukup dengan hanya menyoroti segi ekonomi, politik, tehnik dan semacamnya yang merupakan perwujudan konkrit dari budaya material. Melainkan kita perlu memperhatikan serta mencoba menemukan apa dan bagaimana yang terdapat di balik perwujudan konkrit yang dapat kita saksikan sekarang ini.
Atas dasar inilah penulis mencoba untuk meneliti kebudayaan Jepang yang dapat membantu menjelaskan atau menerangkan lebih jelas lagi tentang ciri kebudayaan Jepang. Dalam hal ini penulis mencoba untuk menjabarkan ke-budayaan Jepang khususnya dalam bidang keagamaan yaitu sekitar pemujaan leluhur di Jepang, khususnya berkisar sekitar pemikiran 'Pemujaan Leluhur' menurut Takeda Chaoshu. Takeda Choshu adalah seorang ahli sejarah, tapi ia banyak menaruh perhatian pada bidang folklor dan agama Buddha. Ia juga mencoba mengamati masalah shinbutsu shuga (perpaduan antara agama Shinto dan Buddha) terutama di zaman Edo (abad 17-18). Setelah Perang Dunia ke-II, Takeda mengadakan penelitian agama Buddha di Cina. Beliau mempunyai premis bahwa agama Buddha di Cina sama dengan agama Buddha di Jepang. Namun ternyata dugaan itu meleset, karena agama Buddha di Cina memiliki bentuk yang lain. Sedangkan agama Buddha di Jepang menurutnya sangat erat kaitannya dengan pemujaan leluhur. Inilah yang merupakan motif baginya untuk mengadakan penelitian sosen suhai atau pemujaan leluhur di Jepang. Takeda beranggapan bahwa agama Buddha di Jepang adalah sosen sehaiteki atau bersifat pemujaan leluhur. Ada pun faktor yang menyebabkan terjadi kompleks ini, adalah struktur masyarakat Jepang yang sangat menunjang pembentukan sistim tersebut. Memang masalah pemujaan leluhur sudah banyak diteliti, terutama oleh kalangan ahli folklor, namun Takeda memperhatikannya dari sudut agama Buddha. Menurutnya dalam mempermasalahkan kebudayaan spi ritual Jepang tidak mungkin dapat dipisahkan dari faktor agama Buddha. Atas dasar pertimbangan ini penulis mengambil topik tentang pemujaan leluhur. Pemujaan leluhur merupakan salah satu tradisi keagamaan yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Jepang. Hal ini dapat dibuktikan dari adanya kebiasaan memlliki butsudan (altar agama Buddha yang ada di rumah-rumah anak laki-laki tertua), adanya tradisi ziarah ke kubur-kubur keluarga ataupun ke kubur-kubur orang tertentu seperti obon dan higan."
Depok: Universitas Indonesia, 1987
S13911
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ike Iswary Lawanda
"ABSTRAK
Kesimpulan penelitian ini, wanita Jepang khususnya wanita di zaman Meiji di dalam program industrialisasi pemerintah peran nya dianggap rendah dan tidak dihargai. Namun, tidak disangkal bahwa kondisi wanita menjadi lebih baik.
Pembagian kerja antara pria dan wanita serta patriarkat menjadi doktrin yang tidak dapat dihindari dalam masyarakat Jepang. Perubahan dalam lapangan pekerjaan memberikan akses kepada wanita untuk menerima upah sebagai tenaga kerja. Walaupun tekanan dalam pekerjaan terhadap wanita tidak dapat dihindari, upah sangat rendah yang diterima, dan pekerjaan wanita yang dianggap paruh waktu dengan waktu kerja yang panjang. Pendaya gunaan tenaga kerja wanita sangat tinggi dan perbedaan upah dibandingkan pria berada di tingkatan terbawah.
Jiyuminken menciptakan perundang undangan (Dainihon Teikokukenpo dan Meijiminpo) mengandung maksud memperbaiki status wanita, kenytaannya hanya pada hal tertentu dan terbatas. Penyebab dari rintangan bagi wanita perangkat hukum Meijiminpo mempertegas pembatasan kedudukan wanita dan sistem sebagai dasar dari Meijiminpo menekan pembagian kerja di dalam rumah tangga.
wanita dari shakaishugi (faham sosialis) menampilkan akibat dari sistem le dan kapitalisme yang membentuk kondisi tidak sama bagi wanita. Pria menerapkan sistem Ie pada pekerjaan di luar rumah tangga sehingga dapat menarik keuntungan dari kondisi tersebut. Wanita ditekankan memiliki sebagian besar tanggung jawab di lingkungan domestik dan pemeliharaan anak.
Usaha menempatkan wanita sama dengan pria dilakukan dengan pandangan sosialis, namun pada kenyataannya gender merupakan faktor penentu di dalam hubungan sosial masyarakat. Wanita terbagi menurut gender dan startifikasi masyarakat. Menjadi wanita ryosaikenbo sangat penting, semua wanita diperlakukan sebagai isteri yang baik dan ibu yang bijaksana di dalam rumah tangga, tempat kerja dan masyarakat. Dalam kenyataan kehidupan wanita Jepang direndahkan tidak dihargai.

"
1995
T3923
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maengkom, Laya
"Dalam menguraikan upacara religi tradisional ini, penulis membatasi permasalahan pada keluarga Cina yang merupakan unit sosial dasar di mana setiap anggotanya ikut ambil bagian dalam praktek dari pemeliharaan religi tradisional tersebut. Untuk dapat lebih memahami religi ini, penulis menguraikan pula latar belakang pemikiran yang mendasarinya. Pemujaan leluhur dalam masyarakat Cina bukan hanya merupakan suatu kepercayaan atau religi saja tetapi juga memiliki fungsi sosial dan turut berperan dalam kehidupan keluarga. Penulis akan menerangkan juga tentang perannya dalam kelangsungan keluarga. Membicarakan tentang religi ini, tidak lengkaplah jika tidak menerangkan tentang ritus upacaranya. Maka penulis mencoba untuk menggambarkan pelaksanaan upacaranya. Oleh karena kesempatan yang terbatas, selain menggambarkan bentuk upacara sembahyang Ce it cap go yang dilaksanakan pada tanggal 1 dan 15 setiap bulan menurut penanggalan Imlek - yin li, penulis juga menguraikan dua buah upacara yaitu pada hari menjelang Tahun Baru tanggal 29 bulan 12 Imlek yang jatuh pada tanggal 27-28 Januari serta pada tanggal 1 bulan 3 Imlek atau tanggal 5 April yang merupakan hari raya Ceng Beng."
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nana Rahayu
"ABSTRAK
Tesis mi membahas pengembangan pendidikan melalui buku-buku pelajaran yang
digunakan pada sekolah dasar di Kyoto-shi pada zaman Meiji Tujuan dan
penelitian mi adalah untuk memberikan pengetahuan mengenam sejarah
modernisasi dalam pendidikan di Jepang yang berawal dari zaman Meiji
Penelitian im adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptmf Hasil
penelitian menjelaskan bahwa buku-buku yang digunakan pada pendidikan
sekolah dasar di Kyoto shi pada zaman Meiji dibagi menjadi tiga kelompok
pendidikan pada masa transisi pendidikan yang mengarah kepada pendidikan
Barat dan pendidikan untuk memngkatkan taraf hidup manusia Pembagian
kelompok buku-buku pelajaran tersebut berdasarkan konsep jitsugaku.

ABSTRACT
This thesis discusses the development of education through textbooks used in
primary schools in Kyoto shi in the Meiji era The objective of this thesis is to
deepen our knowledge about the history of modernization in education in Japan
which started from the Meiji era Using descriptive approach this thesis explains
that the textbooks used in primary schools in Kyoto shi in the Meiji era can be
divided into three categories the transitional era the Western education and the
education for a better life These categories are found by applying the concept of
jitsugaku on the textbooks.

"
2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Sendra
"Sejak zaman Meiji (1868-1912) sampai Perang Dunia II, pertanian merupakan pekerjaan seumur hidup bagi 5,5 juta keluarga atau 13,7 juta orang penduduk Jepang, Sejak tahun 1870 80 % dari penduduk Jepang bermatapencaharian sebagai petani, tetapi dengan pertumbuhan penduduk angka tersebut menurun, meskipun jumlah petaninya secara absolut tetap sama. (Tadashi Fukutake, 1989:1).
Menurut Emiko Dhnuki Tierney (1992:34) menyebutkan bahwa pertanian khususnya pertanian sawah diusahakan di Jepang sebagai pertanian utama, di samping itu juga ada pertanian lainnya seperti: gandum (multi), jawawut (kibi), wijen (goma), yang ditanam di daerah yang kurang subur dan tidak memerlukan perhatian yang banyak dibandingkan dengan tanaman padi. Di Jepang istilah pertanian sawah disebut suiden, di samping itu juga ada istilah lainnya seperti hatake yang artinya ladang, yaitu jenis pertanian yang diusahakan di daerah yang memiliki topografi yang tinggi seperti di daerah pegunungan karena air sulit diperloleh. Tanaman padi yang menghasilkan beras sebagai makanan pokok merupakan pertanian utama, sekitar 55 persen dari total lahan yang bisa diolah dan ditanami yaitu kira-kira 5,2 juta ha (Takekazu Ogura, 1967:8), berupa pertanian sawah dengan jaringan irigasi yang luas, yang bisa ditemukan di setiap wilayah di Jepang, terutama di bagian Utara Jepang yaitu wilayah Hokaido (R. P. Dore, 1959:8).
Salah satu ciri utama dari sistem pertanian Jepang adalah pertanian sawah dalam sekala kecil sebagai usaha pertanian yang dominan dan sifat ini berlanjut sampai zaman Meiji. (Takekazu Ogura, 1970:147). Pertanian Jepang sebelum Perang Dunia II berakar dalam suatu sistem yang ditandai oleh unit-unit pertanian yang kebanyakan sangat sempit dan digarap dengan tangan, kemungkinan untuk memperluas lahan garapan yang terbatas secara geografis sangat kecil. Tadashi Fukutake (1989:1-3) menjelaskan bahwa sebagai petani zaman kuno, rakyat Jepang selalu memanfaatkan setiap jengkal tanahnya yang dapat dikerjakan, dan pada umumnya le yang memiliki lahan-lahan pertanian yang luas menggunakan anggota-anggota le untuk mengolah lahan pertanian tersebut.
Keterbatasan lahan garapan ini akan dapat mengancam kehidupan le dalam susunannya yang lama, apabila terjadi pergantian dari generasi tua kepada generasi yang baru. Permasalahan ini akan muncul apabila kepala le harus digantikan oleh penggantinya dan anak-anaknya menuntut hak atas kekayaan yang dimiliki oleh le tersebut. Oleh karena itu harus ada norma-norma khusus yang mengatur pergantian tersebut. Norma ini berupa aturan-aturan mengenai pewarisan yang mengatur pengalihan dan penguasaan terhadap kekayaan yang dimiliki oleh le. (Eric R Walt 1995:129).
Dalam kehidupan sehari-hari petani Jepang, pengaturan mengenai pola-pola pewarisan harta warisan le diatur dalam pranata sosial le. Pranata ini mencakup aturan-aturan yang berkenaan dengan kedudukan dan penggolongan dalam struktur sosial le, yang mengatur peran, serta berbagai hubungan dan peranan dalam tindakan dan kegiatan yang dilakukan (Parsudi Suparlan, 1981/1982:84-85)."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T9035
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra Wahyuningsih
"Lebih dari dua abad Jepang melakukan politik pintu tertutup (Sakoku) pada tahun 1639 - 1854, kemudian Jepang membuka negaranya berhubungan dengan dunia luar. Dengan dibukanya Jepang terhadap dunia luar, maka terjadi perubahan dalam bidang sosial, politik, ekonomi dan industri. Dengan dibukanya negara Jepang untuk dunia luar, Jepang memasuki zaman baru yaitu zaman Meiji. Dimana Jepang mengadakan perubahan-perubahan dalam bidang perindustrian agar sejajar dengan negara-negara barat, dengan jalan membuat slogan Shokusan Kogyo. Berdasarkan slogan tersebut pemerintah mengembangkan sektor-sektor industri utama, yaitu Industri Katun dan Sutera, Industri Pertambangan, Industri Besi Baja, Industri Pembuatan Kapal serta Industri Militer. Dengan berhasilnya Jepang memajukan perindustrian dan perekonomiannya membawa dampak yang negatif pula, salah satunya dampak sosial bagi masyarakat Jepang, dimana terjadi masalah pengangguran dan menurunnva taraf hidup kaum petani, Masalah-masalah tersebut tidak dapat diatasi dengan baik oleh Pemerintah Meiji."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1987
S13578
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kitty Quintarina Aman
"ABSTRAK
Jepang yang tumbuh begitu cepat di dalam modernisasi di segala bidang khususnya industrialisasi, tidak lepas dari proses sejarah Jepang sendiri. Salah satu jawaban yang penting dan mutlak untuk menjawab modernisasi di Jepang ialah bidang pendidikan. Proses sejarah Jepang sebelum zaman Meiji mempunyai arti penting di dalam bidang pendidikan, yaitu zaman Tokugawa yang menganut sistem feodal baik struktur masyarakat, keadaan masyarakat dan pandangan pemerintah yang mempengaruhi perkembangan pendidikan khususnya...

"
1986
S13564
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tambunan, Kathrin Octiana
"ABSTRAK
Tujuan penulisan skripsi ini, yang dilakukan sebagai salah satu persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Sastra pada tahun 1996, ialah memaparkan serta mengkaji pemikiran dari seorang politikus pada zaman Meiji, yaitu Mori Arinori dalam memodernisasikan Jepang. Kesimpulan yang diperoleh dari pengkajian seorang tokoh Mori Arinori adalah bagaimana dia dapat mencetuskan pemikirannya untuk memodernisasikan Jepang, dengan gaya dan pikirannya yang berani dan gigih. la memiliki tekad yang tinggi untuk memajukan Jepang dengan hasil pemikirannya yang modern. Latar belakang keluarga dan pendidikan yang dipelajarinya menjadikan Mori Arinori memiliki pemikiran bergaya Eropa. Negara Jepang yang pada saat itu menurut Mori sangat ketinggalan zaman, sehingga tidak akan mengalami kemajuan jika tidak melakukan tindakan modernisasi seperti penghapusan kebiasaan menyandang pedang pada kaum samurai, pemakaian bahasa Inggris, dan mengajarkan pendidikan bergaya militer. Karena dinilai pemikirannya terlalu berani dan...

"
1996
S13993
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>