Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6426 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pardiyo
"Dewan Nasional adalah suatu badan penasehat pemerintah, yang dilantik pada tanggal 12 Juli 1957 dan dibubarkan tanggal 12 Juli 1959. Dewan ini merupakan realisasi Konsepsi Presiden Sukarno, dalam rangka menyelamatkan negara kesatuan RI, yang dipandangnya telah terancam perpecahan. Anggotanya terdiri dari wakil-wakil golongan fungsionil dan utusan daerah, diharapkan dapat mewakili seluruh golongan masyarakat di Indonesia, yang diketuai oleh Presiden Sukarno sendiri. Dewan Nasional tidak mempunyai kekuasaan pemerintahan, namun sangat berpengaruh terhadap kebijaksanaan yang dijalankan pemerintah. Keputusan sidang Dewan Nasional, diputuskan berdasarkan musyawarah dan mufakat antar para anggota, dengan motto holobis kuntul baris. Dilihat dari sidang-sidangnya Dewan Nasional bermaksud memperbaiki keadaan sosial dan politik, demi keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia. Dalam prakteknya Dewan Nasional tidak hanya sebagai badan penasehat semata, tetapi juga berperan sebagai pembimbing kabinet, bahkan memperluas bidang kegiatannya sehingga menjadi suatu lembaga yang sangat efektif untuk membahas konsep-konsep Presiden Sukarno."
1989
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musni Umar
"Teknik penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kendari mengenai Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, yang utama adalah menggunakan kualitatif, didukung dengan teknik kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 11 informan utama. Cara mendapatkan informasi/data yaitu melalui wawancara mendalam terhadap 11 informan utama, Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari, Peraturan Daerah produk DPRD, UU Otonomi Daerah, dan observasi lapangan. Teori yang dipakai ialah pembagian kekuasaan, dan fungsi-fungsi Badan Legislatif, dengan konsep DPRD sebagai penyeimbang eksekutif.
Penelitian ini telah membuat indikator untuk mengukur kinerja DPRD dan menemukan data yang amat penting tentang peran DPRD di era reformasi, di mana institusi itu ternyata tidak efektif, sehingga harapan terwujudnya perimbangan kekuasaan (balance of power) antara legislatif (DPRD) dengan eksekutif (Bupati) masih jauh dari kenyataan. Akibatnya, pelaksanaan otonomi yang dititik-beratkan pada daerah kabupaten dan kota, telah memindahkan sentralisasi kekuasaan ke tangan Bupati, sehingga terjadi monopoli kekuasaan, dan muncul kecenderungan semakin meluas dan bertambah merajalela praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di era otonomi daerah.
DPRD sebagai simbol demokrasi dan representasi dari rakyat yang berdaulat, tidak berdaya menghadapi Bupati, karena masih tetap dijalankan paradigma lama pemerintahan yaitu Bupati adalah sebagai penguasa tunggal di daerahnya, Penyebab lainnya ialah terbatasnya kualitas anggota DPRD, dominannya kepentingan pribadi anggota Dewan, lemahnya masyarakat madani (civil society) di kabupaten Kendari, masih kuatnya pengaruh feodalisme dan terus dibatasinya kewenangan anggota Dewan untuk menjalankan fungsi dan menggunakan hak Dalam Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari secara jelas dapat ditemukan pasal-pasal yang mempersulit serta menghambat pelaksanaan fungsi dan hak anggota DPRD seperti fungsi pengawasan yang diatur dalam paragraf 4 yaitu hak mengadakan penyelidikan (pasal 14), paragraf 6 hak mengajukan pernyataan-pendapat (pasal 18), dan paragraf 9 hak mengajukan pertanyaan (pasal 22); serta paragraf 7 hak prakarsa untuk mengajukan rancangan peraturan daerah (pasal 19). Pasal-pasal tersebut sebaiknya dalam rangka reformasi dan upaya meningkatkan kinerja DPRD direvisi. Temuan lainya bahwa pelaksanaan peran DPRD dilihat dari jumlah produk peraturan Daerah, ternyata DPRD di masa Orde Baru lebih tinggi produktivitasnya dibanding DPRD di era reformasi. Begitu juga dalam penggunaan hak-hak Dewan, serta pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD secara keseluruhan tetap memprihatinkan. Kendati begitu, dari sisi penggunaan hak Dewan terutarna keberanian para anggota mengadakan perubahan terhadap rancangan peraturan daerah, dan pelaksanaan pengawasan langsung terdapat peningkatan yang cukup menggembirakan. Dalam hal pembentukan Peraturan Daerah, tidak ada bedanya DPRD di era Orde Baru dengan DPRD di era reformasi, karena semua rancangan peraturan daerah bersurnber dari inisiatif eksekutif, tidak ada yang dilahirkan dari hasil inisiatif atau prakarsa DPRD. Akibatnya, produk peraturan daerah umumnya kurang bernuansa pemberdayaan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hampir semua produk peraturan daerah, bersifat membebani rakyat, dan untuk kepentingan kekuasaan_ Itulah sebabnya, masyarakat menilai bahwa DPRD belum berperan secara optimal dalam mendorong perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mereka lebih sibuk mengurus kepentingan diri sendiri.
Mengenai keterwakilan rakyat di DPRD, sudah mulai ada kemauan politik yang ditunjukkaan dalam proses pencalonan anggota DPRD dengan dipilihnya para calon anggota DPRD dari Kecamatan atau Desa. Hanya proses menuju keterwakilan rakyat terhenti setelah pemilu, tidak berlanjut dan berkesinambungan di DPRD melalui perjuangan untuk memajukan kesejahteraan rakyat yang dicerminkan dalam pembuatan berbagai peraturan daerah, penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pengawasan yang efektif, dan penyaluran aspirasi serta kepentingan rakyat. Dalam praktek, kita menyaksikan terjadinya interaksi yang baik antara DPRD dengan eksekutif, tetapi belum menghasilkan manfaat nyata bagi perbaikan nasib rakyat. Demikian juga, interaksi antara DPRD dengan rakyat mulai berjalan dinamis, hanya tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap DPRD masih tinggi. Indikatornya dapat ditunjukkan antara lain tetap banyaknya rakyat yang berdemonstrasi di DPRD, walaupun menurut penilaian Pimpinan DPRD dan Ketua-Ketua Fraksi di DPRD bahwa hal tersebut justru merupakan bukti bahwa rakyat percaya kepada DPRD. Kalau tidak percaya, tidak mungkin rakyat datang mengadukan nasibnya ke DPRD. Sedang peran DPRD di masa lalu, mengalami pasang surut karena mengikuti dinamika dan kebijakan politik yang dijalankan ditingkat nasional. Jika pemerintah pusat menjalankan pemerintahan secara demokratis, maka imbasnya merembet ke seluruh daerah dalam wujud desentralisasi dan otonomi luas, sehingga memberi dampak positif kepada rakyat dan DPRD karena dapat berpartisipasi dan berperan aktif menjalankan fungsinya. Demikian pula sebaliknya, jika pemerintah pusat menjalankan kebijakan pemerintahan secara otoriter, maka imbasnya ke berbagai daerah akan termanifestasi dalam wujud sentralisasi dan dekonsentrasi pemerintahan, yang dampaknya negatif bagi rakyat dan DPRD karena demokrasi dipasung. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa politik desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, tidak selamanya berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh elit penguasa dan politik baik eksekutif maupun DPRD untuk membangun masyarakat madani. Disinilah urgensinya membangun kesadaran masyarakat (common consciousness) agar sadar bahwa kedaulatannya yang telah diserahkan kepada wakil mereka di DPRD melalui pemilu, harus selalu dikontrol, supaya mereka menjalankan fungsinya secara optimal dan baik.
Berkaitan dengan upaya memperkuat peran masyarakat di DPRD, maka dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, semakin dirasakan pentingnya membangun kekuatan masyarakat madani yang terdidik, dan demokratis. Untuk itu, nilai-nilai budaya lokal yang mengandung unsur-unsur demokrasi yang berakar kuat di masyarakat sudah saatnya dikembangkan dan dibudayakan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Machtiar Siwa
Depok: Universitas Indonesia, 1990
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI, 2020
328.3 MEN
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"The era of political reform in Indonesia that occurred since the year of 1998 is marked by the collapse of an authoritarian regime under President Suharto's. The reformation has resulted in many changes in the political field. These changes have provided an infrastructure to raise the level of civil society participation in political life. Other change is parliamentary system. Amended constitution stipulated that the People's Consultative Assembly (MPR) consisting of member of the House of Representatives (DPR) and Regional Representatives Council (DPD). These changes imply that Indonesia is adopting a bicameral system (bicameralism) or a parliament with two assemblies. This fact has resulted in various changes in the political order in Indonesia either procedural or substantive. The effectiveness of parliamentary system is strongly influenced by the quality and competence of its members. The area of credibility and competency of its members is the main domain of the affiliated political parties. For this reason, the selecting process for cadres to serve as legislative candidates and programs that will be implemented is of paramount important. Base on the constitution and various statutory provisions that govern them, the parliament members are nominated by political parties. The political parties can also initiate a replacement of the member of parliament. Therefore in order to build the effective role of the parliament the function of political parties is crucial. Political parties should prepare their cadres systematically. Political parties should recruit the best available people in the country to serve in the parliament. The future cadres of political parties must be professional, understand the party vision, and having sufficient statecraft ship."
JUIPJPM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Sturmthal, Adolf Fox
Cambridge, UK: Harvard University , 1964
658.315 2 STU w
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Komisi Yudisial, 2010
347.017 CET c(1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Voermans, Wim
Jakarta: The Asia Foundation, 2002
347.035 VOE k
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>