Ditemukan 113232 dokumen yang sesuai dengan query
Suhud
"
ABSTRAK
Skripsi ini merupakan sebuah penelitian sederhana mengenai pola kalimat luasan ragam bahasa hukum Indonesia. Permasalahan yang ada dalam bahasa hokum ini telah menjadi pembicaraan yang menarik. Perbedaan (kalau boleh dikatakan sebagai perbedaan) pandangan pemakaian bahasa Indonesia dalam ragam hukum dari para praktisi hukum dan para linguis merupakan salah satu contoh permasalahan yang ada dalam ragam bahasa hukum. Di satu sisi, Para praktisi hukum mengatakan pemakaian bahasa Indonesia dalam bidang hokum atau perundang-undangan . membutuhkan kejelasan norma atau aturan yang memerlukan penjelasan yang lebar. jelas kriterianya, dan situasi yang dimaksud. Hal inilah yang kadang-kadang menjadikan bahasa hukum menjadi panjang dan berbelit-belit. Di sisi lain, par linguis mempunyai pandangan yang normatif, bahwa bahasa hukum seharusnva sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Sifat bahasa hukum harus pendek, tetapi tetap memberi makna yang jelas dan berlaku lama.
Data penelitian yang penulis pergunakan adalah Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 atau lebih dikenal sebagai UUPA Tahun 1960. Produk ini dapat disebut sebagai contoh produk hukum nasional yang sampai saat ini masih digunakan sebagai dasar hukum pertanahan di Indonesia. Konsep atau pendapat Harimurti Kridalaksana mengenai kategori dan fungsi sintaksis bahasa Indonesia akan penulis pergunakan sebagai acuan dalam penulisan skrispsi ini. Selain itu, pendapat lapoliwa mengenai klausa pemerlengkapan dan Hausa pewalasan dalam bahasa Indonesia akan penulis manfaatkan untuk mengetahut proses, perluasan dalam data penelitian skripsi ini, Akhirnya, skripsi ini berhasil merumuskan satu pola kalimat luasan salah satu ragam bahasa hukum (UUPA No. 5 Tahun 1960) yang merupakan satu bentuk variasi pola kalimat luasan bahasa indonesia.
"
1998
S11049
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
s.l. Direktorat Jenderal Bina Marga, Departemen Pekerjaan Umum 196-,
333 IND u
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Bono Budi P.
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007
S25450
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Jakarta: Departemen Agraria, [date of publication not identified]
346.044 IND p
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Fauzan Aziman Alhamidy
"Sertipikat Hak atas Tanah merupakan tanda bukti yang kuat untuk kepemilikan atas tanah. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bukti kepemilikan tanah di Indonesia harus didaftarkan sehingga memperoleh sertipikat. Girik hanya menjadi bukti pembayaran pajak atas tanah bukan bukti kepemilikan hak atas tanah. Untuk menjadi bukti kepemilikan atas tanah Girik tersebut harus ditingkatkan terlebih dahulu menjadi Sertipikat Hak atas Tanah. Girik yang tidak ditingkatkan berpotensi akan adanya sengketa kepemilikan, seperti yang terjadi pada kasus dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., dimana terjadi sengketa atas tanah yang melibatkan pemilik Sertipikat Hak atas Tanah dengan pemilik girik. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sejak semula. Penelitian ini menganalisis bagaimana pertimbangan hakim dan kewenangan Pengadilan Negeri dalam menyatakan Sertipikat Hak atas Tanah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sejak semula. Metode penelitian yang digunakan adalah metode doktrinal. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa Sertipikat Hak Pakai Nomor 248/Kebon Jeruk milik Direktorat Jenderal Pajak adalah sah menurut hukum karena dikeluarkan oleh badan yang berwenang yaitu badan pertanahan nasional serta menjadi bukti kepemilikan atas tanah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang mengatur mengenai masa keberatan atas dikeluarkannya Sertipikat Hak atas Tanah memiliki jangka waktu hingga 5 (lima) tahun. Dalam kasus ini gugatan dari pemilik Girik diajukan setelah 28 (dua puluh delapan) tahun dari penerbitan sertipikat. Peradilan umum tidak berwenang untuk menyatakan bahwa Sertipikat Hak atas Tanah tidak memiliki kekuatan hukum tetap sejak semula sebagaimana diatur dalam Pasal 11 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintah dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang mana kewenangan menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan Badan Pertanahan Nasional selaku penerbit sertipikat berada pada Pengadilan Tata Usaha Negara.
A land title certificate is a strong proof of land ownership. After the enactment of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Agrarian Principles Regulations, proof of land ownership in Indonesia must be registered in order to obtain a certificate. Girik is only proof of payment of tax on land, not proof of ownership of land rights. To become proof of ownership of the Girik land, it must first be upgraded to a land title certificate. Girik that is not upgraded has the potential for ownership disputes, as happened in the case in the West Jakarta District Court Decision Number 386/Pdt.G/2019/PN.JKT.BRT., where there was a dispute over land involving the owner of the land title certificate and girik owner. In his decision the judge stated that the Right to Use Certificate Number 248/Kebon Jeruk had no binding legal force from the beginning. This research analyzes how the judge's considerations and the authority of the District Court in declaring land title certificates do not have binding legal force from the start. The research method used is the doctrinal method. The results of the research show that the Right to Use certificate Number 248/Kebon Jeruk belonging to the Directorate General of Taxes is valid according to law because it was issued by the authorized body, namely the national land agency and is proof of land ownership in accordance with Government Regulation Number 24 of 1997 concerning Land Registration which regulates regarding the objection period for the issuance of a Certificate of Land Rights, it has a period of up to 5 (five) years. In this case the lawsuit from the owner of Girik was filed after 28 (twenty-eight) years from the issuance of the certificate. General courts do not have the authority to declare that certificates of land rights do not have permanent legal force from the beginning as regulated in Article 11 of the Supreme Court Regulation Number 2 of 2019 concerning Guidelines for Settlement of Disputes on Government Actions and the Authority to Adjudicate Unlawful Acts by Government Agencies and/or Officials. where the authority to resolve land disputes involving the National Land Agency as the certificate issuer rests with the State Administrative Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Ellys Wijaya
"Investasi merupakan salah satu pilihan bagi para investor untuk mengembangkan aktivitas perusahaan. Investasi terdiri dari investasi dalam negeri dan investasi luar negeri. Setiap negara berusaha untuk menarik perhatian investor untuk meningkatkan ekonominya termasuk Indonesia. Di Indonesia, peraturan tentang investasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Dalam peraturan ini, beberapa aktivitas diatur oleh pemerintahan. Para investor dilengkapi dengan hak atas tanah untuk menarik perhatian para investor di Indonesia. Ada 3 tipe dari hak atas tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada para investor asing yaitu hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Untuk menarik investor asing menanamkan modal mereka di Indonesia, maka pemerintah Indonesia memberikan perlindungan dan fasilitas-fasilitas kepada mereka. Tanah merupakan salah satu modal bagi perkembangan kegiatan investasi sehingga diperlukan kepastian hukum tentang pemberian hak atas tanah. Sebaliknya hukum pertanahan juga dapat berubah seiring dengan kebutuhan investasi yakni hukum itu dapat dibuat sesuai dengan kebutuhan investasi guna menarik para investor ke dalam negeri. Pemberian hak atas tanah dalam rangka penanaman modal pengaturannya sebelum lahirnya Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, pelu diganti karena sudah tidak sesuai dengan percepatan perkembangan ekonomi dan pembangunan hukum nasional, khususnya di bidang investasi. Kenyataan dibandingkan dengan Undang-Undang Penanaman Modal Asing dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri, Undang- Undang Penanaman Modal memberikan hal yang baru yaitu semakin terbuka dan ramah terhadap pemodal asing. Setidaknya Undang-Undang Penanaman Modal Asing masih menutup pintu bagi penguasaan asing terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. Berpijak pada azas perlakuan yang sama, Undang-Undang Pananaman Modal tidak lagi membuat perbedaan perlakuan antara investor asing dan investor lokal tapi memberikan perlakuan yang sama terhadap investor dari negara manapun. Padahal kondisi riel masyarakat kita sangat timpang saat dihadapkan pada kekuatan modal asing. Perlakuan sama ini akhirnya mengundang protes dari berbagai kalangan yang akhirnya mengajukan Judicial Review khususnya pasal 22 tentang pemberian hak atas tanah karena dianggap menjual tanah kepada pihak asing, yang kemudian isi pasal tersebut dibatalkan oleh Putusan Mahkamah Konstitusi.
Investment is one of many options from which investor will be able to expand their corporate activities. Investor may invest through domestic investment or foreign investment. All countries desire to attract investors to boost their economy, including Indonesia. In Indonesia, investment law is regulated in Investment Act. No. 25 Year 2007. In this regulation, some facilities are given from the government. Investors are facilitated with land right by the government to stimulate their interest for investing in Indonesia. Provisions concerning land is regulated in Land Act. No. 5 Year 1960. There are three types of land right given to the foreign investors : the Cultivation Rights Title, the Building Rights Title, and the Right to use Title. However, the aforementioned land act is outdated and thus unable to give the protection as their guidelines. They need the best facilities and protection from government. Therefore, the government have to give their best effort to provide investor with through protection. Land is one of fund for growth investment activity that required for legal certainty on the granting of land rights. Otherwise land law can change in time with investment need specifically is law can made appropriate for investment need to attract the investor to our country. Giving land rights in order for changing investment before the statute No. 25 year 2007 is set in statute No. 1 year 1967 about foreign investment and statute No. 6 Year 1968 about domestic investment, need change because is not same with our economical growth and law national development, especially in investment sector. In fact, compare with statute foreign investment and statute domestic investment, statute investment give new breakthrough that open more wide and hospitable for foreign investor. At least the Foreign Investment Law was still closed the door to foreign control of production branches are important and fundamental for parking. Based on the principle of equal treatment, Investment Law no longer make a difference in treatment between foreign investors and local investors, but give equal treatment to investors from any country. But the truth condition of our society is paralyzed when confronted with the power of foreign capital. This same treatment eventually provoke protests from various circles who eventually filed a judicial review to a particular article 22 regarding the granting of land rights because they are selling land to foreigners, who then fill the article canceled by the Constitutional Court decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
T28324
UI - Tesis Open Universitas Indonesia Library
Souisa, Jacqueline A. Shirley
"Dengan diundangkannya Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang dikenal dengan UUPA pada tanggal 24 September 1960, sistim Administrasi Pertanahan di Indonesia telah mempunyai landasan hukum yang pasti dan jelas. Berdasarkan Penjelasan Umum II disebutkan bahwa: UUPA berpangkal pada pendirian, bahwa untuk mencapai apa yang ditentukan dalam Pasal 33 Ayat 3 UUD Negara Republik Indonesia 1945 tidak perlu dan tidak pada tempatnya bahwa Bangsa Indonesia ataupun Negara bertindak sebagai pemilik tanah.
Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif untuk menganalisa mengenai sewa menyewa tanah Barang Milik Negara dalam rangka optimalisasi dan pendayagunaan aset / kekayaan negara yang secara langsung atau tidak dikuasai oleh Kementrian Negara, Instansi Pemerintah dan lembaga pemerintahan non departemen, didapati telah terjadi sewa menyewa diatas tanah yang merupakan Barang Milik Negara / Daerah yang didukung dan dilandasi oleh peraturan-peraturan yang menguatkan secara hukum. Hal ini bertentangan dengan konsep Hukum Tanah Nasional. Karena menurut konsep Hukum Tanah Nasional, Negara tidak dapat menyewakan tanah yang berada dibawah penguasaannya, karena Negara bukanlah pemilik tanah. Sehingga sebaiknya dapat diciptakan Undang Undang atau peraturan yang akan mengatur secara komprehensif dalam rangka menjembatani antara konsep hukum Tanah Nasional dengan pelaksanaan pengelolaan Barang Milik Negara / Daerah agra tercapai kepastian hukum dalam bidang pertanahan.
With the enactment of Law No. 5 of 1960 on the Basic Regulation of Agrarian known as UUPA on 24 September 1960, Land Administration system in Indonesia has had a clear and legal basis. Based on General Explanation II stated that: UUPA rooted in the establishment, that in order to achieve what is specified in Article 33 Paragraph 3 of the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 is unnecessary and out of place that the Indonesian nation or the State acting as the owner of the land. The subject of the State of the Republic of Indonesia, is all Indonesian people.By using normative juridical research method to analyze the lease of land State Property in order to optimize and utilization of assets / wealth of the country are directly or indirectly controlled by the Ministry of State, Government Agencies and institutions of non-departmental government, found to have occurred lease on land the State / Regional supported and guided by rules that strengthen legal. This is contrary to the concept of the National Land Law. Because according to the concept of the National Land Law, the State is not able to lease the land under their control, because the State is not the owner of the land. So it should be created Act or the regulations that will regulate in a comprehensive manner in order to bridge the gap between the concept of the National Land law implementation in State / Region in order to achieve legal certainty in the land sector."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45134
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Djakarta : Departemen Penerangan RI, 1960
344.04 IND u (1)
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Printono
Bandung: Dua-R, s.a.
346.04 Pri u
Buku Teks Universitas Indonesia Library
Jakarta: Pradnya Paramita, 1999
346 BUR k
Buku Teks Universitas Indonesia Library