Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20093 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jakarta Depkes 1992 ,
WA671 Ind N92i
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Parus
"Pendidikan menengah diselenggarakan untuk melanjutkan dan meluaskan pendidikan dasar (SD dan SMP), menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan dan keterampilan untuk mengadakan hubungan-timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam sekitar, serta dapat mengembangkan kemampuan lebih-lanjut dalam dunia kerja atau pendidikan tinggi. Pendidikan menengah di bawah pengelolaan Departemen Pendidikan Nasional adalah pendidikan umum dengan jenis Sekolah Menengah Umum/ SMU, dan pendidikan menengah kejuruan dengan jenis Sekolah Menegah Kejuruan/ SMK.
Pendidikan Menengah Kejuruan mengutamakan pengembangan kemampuan siswa untuk melaksanakan jenis pekerjaan pada bidang tertentu dan mempersiapkan siswa untuk memasuki dunia kerja serta mengembangkan kemapuan profesional siswa. Dikaitkan dengan sistem pendidikan, program kejuruan terbagi dalam enam kelompok yaitu Kelompok Teknologi dan Industri (STM), Pertanian (SPMA), Pariwisata (SMKK), Kesejahteraan Masyarakat (SMPS), Bisnis dan Manajemen (SMEA), Seni dan Kerajinan (SMIK/SMKI). Dari enam kelompok tersebut terdapat 21 bidang keahlian yang terdiri atas 89 program keahlian (program studi). Pada saat kegiatan belajar-mengajar (KBM) berlangsung dan setelah siswa terjun ke dunia kerja SMK telah memanfaatkan sumber daya alam dan potensial mencemari lingkungan.. Untuk memenuhi tuntutan global akan tenaga kerja yang kompeten dan berwawasan lingkungan maka Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan bekerja sama dengan Swisscontact membuat Konsep Pendidikan Lingkungan hidup pada SMK.
Berdasarkan Konsep Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) pada Sekolah Menengah Kejuruan (1996) organisasi pelaksanan pengelola PLH pada Pendidikan Menengah Kejuruan (PMK) adalah Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan, Pusat Pengembangan PLH untuk SMK, Pusat Pengembangan Penataran Guru (PPPG) lingkup kejuruan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi, dan SMK. Konsep ini dibuat agar pengelola PMK dapat melaksanakan perannya untuk mendukung pelaksanaan PLH di SMK. Sedangkan SMK diharapkan menyusun dan melaksanakan program PLH yang terintegrasi pada kegiatan kurikulum dan ekstrakurikuler, melaksanakan dan mengembangkan sekolah berbudaya lingkungan, serta menyusun dan menyampaikan laporan pelaksanaan PLH di sekolahnya.
Hasil monitoring dan evaluasi oleh Dikmenjur tahun 1997-2001 menunjukkan: (a) kurang kesadaran, pengetahuan dan keterampilan siswa sebagai cerminan perilaku siswa yang rasional dan bertanggung jawab terhadap lingkungan hidup; (b) tamatan SMK belum mempunyai sikap profesional sesuai tuntutan pembangunan berwawasan lingkungan. Kedua hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan PLH di SMK tidak optimal sehingga tujuan PLH pada SMK tidak tercapai. Berdasarkan hal tersebut di atas, peneliti mengambil judul Optimalisasi Pengelolaan PLH pada Pendidikan Menengah kejurauan (Studi Kasus : Kelompok Teknologi dan Industri pada SMK Negeri Jakarta).
Dalam proses tidak tercapainya tujuan tersebut di atas, peneliti membatasi permasalahan dan sekaligus mengasumsikan bahwa : (a) peranan stakeholder PMK dalam upaya pelaksanaan PLH di SMK negeri kelompok teknologi dan industri di DKI Jakarta belum optimal; (b) Peranan pengelola dan cara/pola pelaksanaan program PLH di SMK Negeri kelompok teknologi dan industri di DKI Jakarta belum optimal. (c) Pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa SMK Negeri kelompok teknologi dan industri di DKI Jakarta setelah memperoleh PLH belum optimal. (d) Pencapaian pola pelaksanaan program PLH yang optimal di SMK kelompok teknologi dan industri di DKI Jakarta dapat dibuat melalui pelibatan seluruh stakeholder PMK, dan menerapkan manajemen pengelolaan lingkungan dan pencapaian kinerja PLH.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survei. Hal ini mengingat data yang dikumpulkan relatif terbatas dari jumlah kasus yang relatif besar jumlahnya. Populasi sekolah negeri kelompok teknologi dan industri di Jakarta berjumlah 12 SMK. Penentuan sampel sekolah dengan cara purpose sampling sejumlah 6 SMK (50%). Sedangkan penentuan sampel warga sekolah dilakukan dengan cara stratified random sampling yakni dengan cara diundi. Responden terdiri dari 6 (enam) orang kepala sekolah, 33 guru, dan 226 siswa (5% dari 4490 jumlah keseluruhan siswa). Di samping itu 6 (enam) respoden dari stakeholder PMK ditetapkan sebagai key informan yaitu masing-masing 1 orang dari Direktorat PMK, Pusbang PLH, PPPG Teknologi Malang, Balai Penataran Guru, Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta, dan Dinas Pendidikan Kotamadya Jakarta.
Instrumen penelitian yang digunakan adalah observasi, kuesioner, diskusi dan wawancara.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan stakeholder PMK maupun SMK sebagai pelaksana PLH belum optimal. Hal ini dibuktikan :
1. Kurangnya komitmen, koordinasi, dan evaluasi stakeholder PMK terhadap pelaksanaan program PLH secara terus-menerus (kontinyu), belum adanya tim dan program PLH pada Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta, Balai Penataran Guru, dan Dinas Pendidikan Kotamadya DKI Jakarta.
2. Pada SMK bahwa : (a) dari 6 (enam) kepala sekolah yang telah menyusun program kerja PLH, belum satu pun yang membuat kerangka kerja dan peniaian keberhasilan pelaksanaan PLH di sekolah; (b) dari 33 responden guru baru 7 orang (21,21%) yang pernah mengikuti pelatihan PLH. Dengan kondisi seperti itu, kemampuan mengajar guru dalam tranformasi materi L-I menjadi faktor penghambat dan sekaligus mempengaruhi kemampuan mengajar dan pengusaan materi LH yang diajarkan. Selain itu panduan/ Cara pengintegrasian materi lingkungan hidup ke dalam materi bidang keahiian menjadi kendala akibat keterbatasan SDM tenaga pengajar.
3. Pengetahuan, sikap dan keterampilan siswa SMK Negeri kelompok teknologi dan industri di DKI Jakarta setelah memperoleh PLH belum optimal. 54,16% responden menyatakan bahwa pengetahuan lingkungan hidup lebih banyak diperoleh dari luar sekolah, 35,84% diperoleh di sekolah. Sedangkan bentuk dan sifat pengetahuan lingkungan mencakup pola bersih (34,51%), pengetahuan umum (29, 65%), dan perilaku peduli terhadap lingkungan (17,70). Sikap dan keterampilan siswa terhadap pengelolaan limbah hasil praktikum menunjukkan rata-rata sedang (53,54%) artinya bahwa hasil praktikum dibuang langsung pada saluran pembuangan, kategori tinggi ( 38,94 %) memiliki arti bahwa limbah hasil praktikum dibuang pada wadah yang sudah disediakan, kategori rendah (7,97%) memiliki arti bahwa limbah tidak di kelola. 79,65% siswa juga menyatakan bahwa pelaksanaan PLH di sekolah belum memadai dan tidak efektif, sedangkan 20,35% menyatakan efektif.
4. Dalam mencapai optimalisasi pengelolaan PLH di SMK Negeri kelompok teknotogi dan industri Jakarta . dapat dilakukan melalui pelibatan stakeholder PMK dan melaksanakan peranannya masing-masing. sedangkan SMK dapat meningkatkan pelaksanaan PLH melalui: (a) penerapan manajemen lingkungan (Plan, do, check, dan action); (b) pencapaian kinerja PLH yang meliputi integrasi materi lingkungan pada kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler, penampilan sekolah, sikap dan perilaku yang baik seluruh warga sekolah terhadap lingkungan hidup.
E. Daftar Kepustakaan : 23 (1982-200)

Optimizing of Environmental Education Management in Vocational Secondary Education (Case Study : Technology and Industrial Programms at The Public Vocational High Schools in Jakarta)The purpose of secondary education is to continue and expand the basic education of primary school and junior secondary school, to develop the students ability as members of the society to interact with social, men-made, and natural environment, to develop the students knowledge to continue their studies to higher levels of education. The secondary education managed by the Ministry of National Education consisting the general secondary education namely the general high school (SMU) and the vocational secondary education or the vocational high school (SMK).
Vocational high school provides priority to expanding specific occupational skills and emphasizes on the preparation of students to enter the workforce and expanding their professional attitude. As explained in the education system, vocational program is devided into six groups, i.e Technology and Industry, Agriculture and Forestry, Tourism, Community Welfare, Business and Management, and Art and Handicraft. Based on the six groups there are 21 streams consisting of 89 study programs. During the activities in the classroom and in the workplaces, the schools have included in natural resources utilization also its potential in contaminating or polluting to environment. To employ with the global needs of workers with a competence including their environment outlook, the Directorat of Technology Vocational Education in collaboration with the Swisscontact have prepared the Concept of Environmental Education for The Vocational High School.
Based on The Concept of Environmental Education (EE Concept) at The Vocational High School (1996), the stakeholders are The Directorat of Technology Vocational Education (DTVE), Vocational Education Development Center (VEDC) Malang as The Development Center of EE, 6 Vocational Teacher Upgrading Centers, Ministry of National Education of DKI Jakarta, and The Vocational High School (SMK). The Concept of EE was made in order to enable the stakeholders to support the implementation of EE at The Vocational High School. The school is expected to arrange and to carry out the EE programs integrated in the activities of curriculum and extracurriculum, to conduct and develop an environmental-cultured school, and also to arrange and submit the report of EE implementation. The Monitoring and Evaluation by DIVE in 1997 - 2001 proves that the implementation of EE at SMK was not optimal so that to purposes are not reached, such as : (a) the students lack of awareness, EE outlook, and skills as reflections of their rational and responsible behavior towards environment, (b) the graduates from SMK don't have profesional attitude yet, demande by environmental development. Therefor, the writer took the title : Optimizing of Environmental Education Management in Vocational Secondary Education (Case Study : Technology and Industrial Programs at The Public Vocational High Schools in Jakarta).
Because the purposes are not reached, the writer make some limits of the problems and assumptions : (a) the role of SMK stakeholders in the effort of EE implementation at SMK (technology and industrial program) is not optimal yet; (b) the role of managers and the methods of EE implementation at SMK (technology and industrial program) in DKI Jakarta is not optimal yet; (c) Knowledge, attitude and skills of the students after learning about EE is not optimal yet; (d) the optimal reaching of EE implementation at SMK (technology and industrial program) in DKI Jakarta could be attained by participation of all stakeholders of Vocational Secondary Education, application of environmental management, and EE performance achievement.
The method used in this research is survey method, due to limited data from relatively large amount of cases. The Population of Public Vocational High School (technology and industrial program) in DKI Jakarta are 12 school. The method of determining the sample is purpose sampling, that is six SMK (50%). The members of school sampling done by stratified random sampling. The respondents are 5 principals, 33 teachers, and 226 students (5% out of 4490 (total number of students)). Besides, there are 6 key informants from the SMK stakeholders : 1 person from DIVE, Development Cenyer of EE, VEDC Malang, Regional Teacher Training Center (BPG) Jakarta, Dinas Pendidikan Propinsi DKI Jakarta, and Dinas Pendidikan Kotamadya Jakarta. The research instruments are observation, questionairs, discussions, and interview.
The result of study proves that the implementation of EE at SMK done by stakeholder of Vocational Secondary Education and the schools are not optimal. The proofs are :
1. The stakeholders show a lack of commitment, coordination and evaluation in conducting EE program continuosly. Besides, Dinas Pendidikan Propinsi DIU Jakarta, Regional Teacher Training Center (BPG) Jakarta, and Dinas Pendidikan Kotamadya Jakarta have no EE team and no EE program.
2. SMK shows that : (a) among 6 principals which have made the EE operational program, no one makes work framework and assesment of EE achievment; (b) only 7 teachers (21,21%) out of 33 teachers who teach EE had been through EE training. in this condition, the ability of teachers in transforming the knowledge of environment becomes an obstacle and also influences their teching-learning and mastering the subject materials. Besides, the guidelines of integrating environment knowledge materials to the special skill materils are costraint by the lack of human resources.
3. The knowledge, attitude, and skills of SMK (technology and industrial students.program) , after having EE, are not optimal. 64,16% respondents said that they knew more about environment from society activities, 35,84% at school activity. However the knowledge consist of sanitation (34,51%), general idea about environment (29,65%) and attitude towards environment (17,70%). The attitude and skills of the students about waste management of laboratory work is fare (53,54%), that means that the waste of laboratory work damp to the sewage, the high category (38,94%) that means that the waste of laboratory work throw on garbage cane, the lower category (7,97%) that means that the waste doesn't managed. 79,65% the Students explained that the implementation of EE isn't optimal and ineffective, but 20,35% state effective.
4. In reaching of the optimizing of managing EE at the Public Vocational High Schools (technology and industrial program) can be done by participation of all stakeholders of Vocational Secondary Education. The schools can improve the. conduct of EE through : (a) application of Environment Management (plan, do, check, action); (b) EE performance achievement including integration of the environment material to intra curriculum and extracurriculum activities, school appearance, and good behavior and attitude of all members of the school toward their environment.
E. Number of References 23 (1928-2040)"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11111
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda M. Thaufik
"Balai Pelatihan Kesehatan ( BAPELKES ) Padang sebagai unit kerja yang bertanggung jawab terhadap berbagai pelatihan guna meningkatkan kualitas SDM Kesehatan khususnya harus mampu merespon dan menilai berbagai perubahan yang terjadi dilingkungan organisasinya ataupun lingkungan luar dan selanjutnya menyusun langkah proaktif dan antisipatif menghadapinya. Sehubungan dengan itu, penelitian ini berupaya melihat sejauh manakah kondisi Bapelkes Padang saat ini berikut visi dan misi yang dimilikinya serta faktor eksternal dan internal yang menyertainya. Lebih lanjut hal itu dikembangkan dalam suatu rencana strategik Bapelkes Padang menjelang tahun 2005 mendatang.
Penelitian ini dilaksanakan di Bapelkes Padang berupa suatu penelitian operasional melalui analisis data kualitatif dan kuantitatif terhadap variabel eksternal (ekonomi, regulasi, teknologi, pesaing dan pelanggan) dan variabel internal yang dipilih dari Pedoman Akreditasi Bapelkes 1999 meliputi manajemen kepemimpinan, manajemen keuangan, manajemen SDM, manajemen sistem informasi, fasilitas/peralatan, manajemen pelatihan dan layanan pelanggan. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam (indepth interview) dengan pihak terkait utama (key stakeholder) dan data kuantitatif diperoleh dari dokumentasi yang dihimpun di Bapelkes serta instansi terkait lainnya. Selanjutnya diolah peneliti dan dalam proses penetapan strategi menggunakan Consensus Decision Making Group (CDMG) yang terdiri dari Widya Iswara (10 orang) dan 2 orang pejabat struktural Bapelkes Padang dengan peneliti sebagai fasilitatornya.
Hasil penelitian memperlihatkan bahwa dari lingkungan eksternal Bapelkes Padang mempunyai faktor peluang berupa tarif Pemda yang lebih tinggi dari tarif yang ditetapkan Pusat, ketersediaan teknologi diklat sektoral, pesaing murni tidak ada, lokasinya menguntungkan, permintaan produk/bantuan dari Kabupaten/Kota/RSUD, pengembangan pelatihan swadana dan jumlah pelanggannya yang cukup besar.
Dilain pihak ancaman Bapelkes Padang berupa ketidakpastian alokasi anggaran diklat baik di tingkat Propinsi ataupun Kabupaten/Kota, tuntutan kemampuan pemasaran, tuntutan profesionalitas Widya Iswara, pengembangan diklat yang antisipatif terhadap isu mutakhir, regulasi Pemda dalam pengelolaan keuangan dan eksistensi Bapelkes Padang dalam Otonomi Daerah.
Faktor kekuatan internal yang dimiliki berupa kemampuan dalam pengkajian kebutuhan pelatihan (TNA) serta pengembangan rancang bangun pelatihan, adanya pengembangan fasilitas dan peralatan guna mendukung penyelenggaraan pelatihan, manajemen keuangan telah baik dengan adanya upaya efektivitas dan efisiensi, keterlibatan staf dalam berbagai kegiatan pengambilan keputusan, adanya networking dengan berbagai institusi pendidikan/ pelatihan lainnya serta adanya pencatatan hasil/ evaluasi pelatihan dan kegiatan untuk pengembangan kualitas SDM Bapelkes Padang.
Faktor kelemahan internal Bapelkes Padang meliputi, belum berkembangnya manajemen mutu, pelayanan pelanggan, manajemen sistem informasi, pemeliharaan/ pemeriksaan alat dan fasilitas secara periodik, adanya ketentuan tertulis mengenai mekanisme penyelenggaraan pelatihan, perjanjian tertulis dengan pihak ketiga dan rekrutmen/seleksi/perjanjian kerja.
Dengan matriks EFE dan EFI diperoleh nilai masing-masing 2.97 dan 3.07 yang menempatkan posisi Bapelkes Padang pada sel Grow & Build yang walaupun memungkinkan Bapelkes Padang menggunakan strategi intensif dan integratif, berdasarkan QSPM menunjukkan bahwa strategi intensif perlu didahulukan.
Dengan matriks TOWS dikembangkan 14 alternatif strategi yaitu 5SO, 4WO, 3ST dan 2 WT yang setelah dianalisis CDMG dikelompokkan ke dalam strategi intensif (10 strategi) dan 7 strategi integratif. Urutan prioritas strategi intensif berdasarkan QSPM adalah, mengembangkan manajemen mutu, meningkatkan TNA/ rancang bangun pelatihan, meningkatkan profesionalitas Widya Iswara, meningkatkan pelayanan pelanggan, meningkatkan pemasaran, meningkatkan sistem informasi, mengembangkan diklat yang antisipatif terhadap isu mutakhir, meningkatkan pengembangan kualitas SDM, mengembangkan pelatihan swadana dan meningkatkan keterlibatan staf dalam pengambilan keputusan.
Urutan prioritas strategi integratif adalah mengembangkan ketentuan tertulis tentang peyelenggaraan pelatihan, mengembangkan diklat yang antisipatif terhadap isu mutakhir, meningkatkan pemasaran, memperbaiki rekrutmen/ seleksi/ perjanjian kerja, mengembangkan pelatihan swadana, membina networking serta perjanjian tertulis dengan pihak ketiga.
Peneliti menyarankan perlunya sosialisasi strategi dilingkungan internal dan eksternal Bapelkes Padang serta mengembangkan strategi dan rencana operasional dan memaksimalkan sistem informasi dalam implementasi strategi maupun dalam evaluasinya.

Bapelkes Padang as an organization that responsible for training activities for health manpower must have an ability to evaluate and to respond to any changes. Furthermore they should proactively plan anticipative steps. Related to this theme, this study is trying to portray the Bapelkes Padang situations, its vision and missions and further to develop strategic plan for 2005.
This is an operational research using quantitative and qualitative approaches that examined several external variables (economic, regulations, technology development, competitor and customer) and also internal variables such as management and leadership, financial, human resources, information system, logistic and facilities, training management and service to client.
Qualitative data were collected through in depth interview with key stakeholders, while the quantitative were collected within the Bapelkes and related institutions. The data were presented in a meeting for consensus, which called Consensus Decision Making Group (CDMG). This group consists of 10 in- house trainers and 2 structural staff with researcher as facilitator.
This study showed that external factors that considered as opportunity are: local government price-tag that is higher than central price-tag for conducting training. Other opportunity factors are availability of technology in other training centers in Padang, non existence of similar competitor, strategic location of the Bapelkes, high demand for training from districts) cities/ hospitals, autonomy managed trainings, and large potentials users of the projected future.
The group decided several threats as follows: uncertain fund allocations for training either from province and/ or district/ city, high demand of marketing skills, high demand of professional trainers, training organization that anticipative to the unstable environment, local government regulation on financial management and questionable existence of Bapelkes in this decentralization era.
Internal factors that are considered as strength are : the capability in training need assessment and designing training program, improvement of facilities and equipment, good financial management, staff involvement in decision making, networking with other training/ learning resources institutions, availability of recording and evaluation system and efforts in human resources development.
On the other side, the internal weaknesses included: quality management, management of customer services, management of information system, organizational culture in maintenance of facilities and equipment, written agreement with the health-programmers in conducting training, written agreement with the third party and policy of recruitment/ selections.
Using EFE and IFE matrices, the CDMG have got score for each 2.97 and 3.07 that allows Bapelkes Padang in position of cell IV (Grow and Build cell) with intensive and integrative strategies, but based on QSPM indicated that intensive strategies should be prioritized. 14 alternative strategies have been developed from TOWS matrix and the group made adaptation 10 of them as intensive strategies and 7 as integrative strategies.
Rank of intensive strategies for prioritization as follows: developing quality management, increasing TNA/training design, improving capabilities of trainers as professionals, improving costumer services, enhancement marketing, enhancement information system, developing training program that anticipative to the crucial changes in environment, enhancement human resources development, developing autonomy managed training and increasing staff involvement in decision making.
Integrative strategies prioritization sequence is: developing written agreement in conducting training, developing training program that anticipative to the crucial environmental changes, enhancement marketing, improving recruitment/selection, developing autonomy managed training, building networking and developing agreement with the third party.
Researcher advices the need of socialization internally and externally of those strategies, and further to develop operational strategies and implementation plan and maximizing information system in strategy implementation and in its evaluation."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9336
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zamora Bardah
"Tesis ini membahas Implementasi Kebijakan Akreditasi dan Sertifikasi Pelatihan di Bidang Kesehatan. Dalam rangka meningkatkan mutu, profesionalisme dan kompetensi tenaga kesehatan diperlukan berbagai upaya melalui pendidikan dan pelatihan. Salah satu upaya yang ditempuh Kementerian Kesehatan dalam rangka meningkatkan kualitas institusi pendidikan dan pelatihan, serta kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkannya adalah menerapkan standar dan melaksanakan akreditasi dan sertifikasi terhadap institusi pendidikan dan pelatihan di bidang kesehatan.
Implementasi kebijakan akreditasi dan sertifikasi pelatihan di bidang kesehatan telah dilakukan berdasarkan pada Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 725 Tahun 2003, akan tetapi masih banyaknya pelatihan di bidang kesehatan yang tidak terakreditasi disebabkan karena berbagai hal. Desain penelitian ini adalah kualitatif eksplanatoris.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa masih terdapat kelemahan dalam pelaksanaan kebijakan Akreditasi dan Sertifikasi Pelatihan di Bidang Kesehatan, antara lain: kurangnya kompetensi para pelaksana kebijakan dari unit penyelenggara pelatihan dan unit program dan lebih meningkatkan koordinasi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Disarankan kepada pihak yang berwenang untuk segera melakukan perbaikan-perbaikan dalam implementasi kebijakan akreditasi dan sertifikasi pelatihan di bidang kesehatan serta membuat usulan kepada pemerintah untuk meningkatkan kebijakan tingkat Keputusan Menteri menjadi Peraturan Pemerintah.

This thesis discusses the implementation of Training Certification and Accreditation Policy in the Health Sector. In order to improve the quality, professionalism and competence of health personnel required numerous attempts through education and training. One of the efforts taken by the Ministry of Health in order to improve the quality of education and training institutions, and the resulting quality of health workers is to apply and implement the standards of accreditation and certification of education and training institutions in the health sector.
Implementation of policies of accreditation and certification training in the health sector have been carried out based on the Decree of the Minister of Health No. 725 of 2003, but still much training in the health field that is not accredited due to various things. The design of this study is qualitative explanatory.
The results showed that there are still weaknesses in the implementation of the Accreditation and Certification Training in the Field of Health, among others: competence of the executive policy of the unit operator and unit training programs are still lacking and further improve coordination between central and local governments. Advised to authorities to be improvements in policy implementation accreditation training and certification in health and make a proposal to the government to improve policy level ministerial decision shall become government regulation.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2012
T31320
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sitohang, Sahat
"ABSTRAK
Sampai saat ini angka kematian ibu hamil dan melahirkan di Indonesia masih tergolong cukup tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga Asean. Berbagai upaya dalam rangka menurunkan angka kematian ibu hamil dan melahirkan tersebut telah banyak dilakukan, antara lain dengan upaya peningkatan untuk pelayanan kesehatan ibu hamil dan bersalin dan upaya pendekatan penbinaa kesehatan keluarga dengan cara peningkatan pengetahuan mereka melalui pendidikan, seperti kelompok. belajar, ataupun penyuluhen-penyuluhan yang intensif. Namur demikian hasil yang dicapai masih dirasakan relatif rendah dan belum optimal. Oleh karena itu berbagai faktor yang berkaitan dengan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang kesehatan ibu masih perlu terus dipelajari dalam upaya meningkatkan kesehatan ibu hamil dan menyusui tersebut.
Untuk keperluan tersebut di atas dilakukanlah penelitian dengan rancangan pra eksperimen dan menganalisa hasil pengukuran dari kelompok perlakuan (KPKIA) dan kontrol (non KPKIA).
Tujuan dari penelitian adalah untuk memperoleh infarmasi tentang ada tidaknya perbedaan pengetahuan, sikap, dan praktek periksa hamil dan persalinan ibu hamil yang ikut program kegiatan KPKIA dan ibu hamil yang tidak ikut program kegiatan KPKIA. Secara khusus hal tersebut dilihat dari beberapa karakteristik responder: umur, pendidikan, pekerjaan, paritas, dan penghasilan keluarga.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) pengetahuan dan sikap periksa hamil dan persalinan pada ibu yang ikut program kegiatan KPKIA ternyata lebih baik secara bermakna dari padsa ibu yang tidak ikut program kegiatan KPKIA. Artinya, ada pengaruh kelompok belajar terhadap pengetahuan dan sikap mereka; (2) Pada praktek ternyata tidak ada perbedaan antara responden KPKIA dan non KPKIA; namun ada 2 faktor karakteristik yang bermakna terhadap praktek periksa hamil dan persalinan tersebut, yaitu faktor pendidikan dan faktor penghasilan; (3) Frekuensi kehadiran dalam mengikuti kegiatan KPKIA juga membedakan tinggi rendahnya pengetahuan periksa hamil dan persalinan, khusus pada responden KPKIA.
Disarankan agar program kegiatan KPKIA ini diteruskan, karena cukup berhasil dalam meningkatkan pengetahuan dan menumbuhkan sikap terhadap periksa hamil dan persalinan. Hamun dalam penyelenggaraannya perlu diperhatikan komunikasi yang baik antara pengelola program dengan kader, selalu memberikan tambahan pengetahuan kepada kader, waktu pelaksanaan KPKIA sebaiknya terpisah dengan Posyandu, dan bahan-bahan HIE diperbanyak dan dibagikan. Disamping itu juga disarankan agar pihak yang berkompeten dengan program kegiatan KPKIA ini melakukan penelitian lanjutan guns mengetahui lebih detail aspek kognitif, afektif, dan konatif dari ibu-ibu hamil akan program KPKIA tersebut.
"
1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Departemen Kesehatan, 1992
613 IND p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
cover
"Latar Belakang: Status kesehatan merupakan salah satu faktor penting dalam sumber daya manusia, yang merupakan modal penting dalam pembangunan suatu bangsa. Kualitas sumber daya manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan, gaya hidup, lingkungan, dan kesehatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melakukan analisis adanya hubungan antara tiga faktor penting yang mempengaruhi kualitas sumber daya manusia (tingkat pendidikan, pengetahuan tentang kesehatan lingkungan dan perilaku hidup sehat) dengan status kesehatan seseorang. Metode: Penelitian ini dilakukan terhadap remaja, laki-laki dan wanita, kelompok usia 10–24 tahun. Besar sampel terdiri dari 300 responden dari lima kelurahan terpilih dari sepuluh kelurahan di Jakarta Pusat. Pemilihan sampel menggunakan simple random sampling, data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan analisis data dengan metode analisis korelasi. Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara status kesehatan dengan pengetahuan tentang kesehatan lingkungan (51,6%), perilaku hidup sehat (48,2%), dan tingkat pendidikan (47,1%).
Hubungan dari ketiga variabel bersama-sama dapat berkontribusi sebesar 55% terhadap status kesehatan seseorang"
613 BULHSR 17:1 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Grace Solely
"Kebersihan tangan dapat mencegah Health Care Associated Infections (HAIs) dan meningkatkan keselamatan pasien. Penggunaan fluorescence lotion pada pelatihan kebersihan tangan merupakan metode pembelajaran dengan menggunakan experiential learning yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan kepatuhan perawat dalam kebersihan tangan. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi pengaruh program pelatihan kebersihan tangan terhadap pengetahuan dan kepatuhan perawat dalam kebersihan tangan. Rancangan penelitian ini menggunakan pendekatan quasy experiment dengan metode pre test-post test designs with comparison group. Sampel dalam penelitian adalah 32 perawat pelaksana untuk kelompok intervensi dan 38 perawat pelaksana untuk kelompok kontrol. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan pengetahuan dan kepatuhan kebersihan tangan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol setelah pelatihan kebersihan tangan (p< 0,001, CI pengetahuan= 2,061; 3,541, CI kepatuhan= 6,792; 10,929). Pelatihan kebersihan tangan perlu dilakukan berkesinambungan.

Hand hygiene prevents Health-Care-Associated Infections (HAIs) and improves patient safety. The use of fluorescence lotion in hand hygiene training is the implementation of a learning method that use experiential learning to improve the level of knowledge and conformity of nurses in maintaining hand hygiene. The research objective is to identify the influence of hand hygiene training program on the level of knowledge and conformity of nurses in maintaining hand hygiene. The research is quasy experiment research using pretest-post test design with comparison group. The research sample consists of 32 nurses in experiment group and 38 nurses in control group. The result showed a difference in the knowledge after hand hygiene training was conducted (p< 0,001, CI knowledge= 2,061; 3,541, CI conformity= 6,792; 10,929) between those in the control group and those in the experiment group. It is recommended to sustainably conduct hand hygiene training program."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2015
610 UI-JKI 18:2 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>