Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 138579 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Juldin Bahriansyah
"Penelitian ini mengungkapkan bagaimana pengetahuan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Pengetahuan diukur melalui dua set pertanyaan dengan pengelompokan berdasarkan bobot pengetahuan menjadi pengetahuan dasar dan pengetahuan lanjutan.
Penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana peran perlindungan merek terhadap pola bisnis UMKM, Sebagai perbandingan digunakan model yang diungkapkan oleh Dodds. Sebagai suatu penelitian campuran, penelitian ini juga mengeloborasi bagaimana para informan melakukan bisnis sejak awal hingga sekarang. Selain itu, kondisi seputar bisnis yang turut berpengaruh juga diungkapkan.
Kesimpulan dari penelitian ini adalah (a) pengetahuan para UMKM tentang HKI masih rendah; dan (b) pengaruh merek terhadap omzet penjualan terjadi secara tidak langsung, dimana melalui tahapan-tahapan antara.
Oleh karena itu, disarankan agar (a) Direktorat Jenderal HKI memfokuskan sosialisasi HKI kepada UMKM tentang merek saja pada periode awal dan berkembang pada periode berikutnya; (b) Direktorat Jenderal HKI memberikan insentif berupa struktur biaya khusus UMKM serta percepatan pemeriksaan merek bagi pemohon UMKM; dan (c) bagi UMKM sendiri, perlu pembuatan nama produk yang berbeda dan mudah diingat, menggunakan slogan/jingZe, berupa simbol, sponsor; dan adanya pengulangan.

This research describes the understanding of Micro, Small, and Medium Enterprises (MSMEs) about Intellectual Property Right (TPR). The understanding nature is explored using questions, representing their basic and advanced knowledge of IPR.
This research also explores the role of trademark protection to MSMEs business cycie. Meanwhile, Dodd’s model is used for the analysis. Since it is a mix research, it also elaborates how informen run business from start up phase until present. Besides, relevant facts around business activities also are described.
Conclusions of this research are (a) level of IPR knowledge amongst MSMEs is low; and (b) registered trademark influences productivities indirectly through some intermediary stages.
Therefore, it is advised that (a) Directorate General of IPR’s program of dissemination must focus on trademark solely starting phase then advance it at further phase; (b) Directorate General of IPR regulates incentives in fonn of special tariff of MSMEs and accelerated examination for MSMEs; and (c) for MSMEs them selves, consider these tips in branding: distinctive and easy to remember, use jingle, slogan, or Symbol, and contain repetition.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2009
T26835
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Ratna Wijayanthi
"Usulan Penelitian ini diawali karena adanya liberalisasi pasar ritel melalui Keppres No. 99 tahun 1998 dan SK Menteri Investasi No. 29/SK/1998 serta Undang-Undang Penanaman Modal No. 25 tahun 2007 dan Undang-Undang Perseroan Terbatas No. 40 Tahun 2007 dimana melalui kedua Undang-Undang ini peritel asing bukan saja boleh membuka gerainya diseluruh wilayah Indonesia, bahkan secara agresif investor asing mulai menggeser peritel-peritel lokal. Hal ini semakin mengkhawatirkan ketika ditetapkannya perjanjian pembentukan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai efektif pada tahun 2015. Dalam pembangunan ekonomi Indonesia UMKM dianggap sektor yang memiliki peran penting. Sebagaian besar jumlah penduduk Indonesia tidaklah memiliki pendidikan tinggi, sehingga kegiatan usaha yang dapat dilakukan merupakan usaha kecil baik sektor tradisional maupun modern. Melihat kondisi ini diperlukan peran pemerintah melalui hukum yang dibuatnya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap UMKM khususnya sektor ritel. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini mengenai bagaimana kebijakan pemerintah dalam melindungi UMKM sektor ritel dan langkah preventif dalam menghadapi MEA serta bagaimana peran Komisi Ppengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi kegiatan usaha disektor ritel. Penulisan tesis ini menggunakan penelitian normatif dengan berfokus pada sumber data sekunder yang terbagi menjadi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Hasil penelitian ini menyarankan bagi pemerintah untuk membuat peraturan setingkat Undang-Undang di sektor ritel agar pemberian sanksi bisa lebih optimal dan menyarankan pemerintah untuk meningkatkan peran KPPU agar dapat maksimal dalam melakukan pengawasan.

This research proposal begins by liberalization of the retail market through Presidential Decree No. 99 of 1998 and Minister of Investment decree No.29/SK/1998 and Investment Act No.25 of 2007 and Limited Company Act No. 40 of 2007 in which through those Act, not only allowed foreign retailers opened outlets across Indonesia but also even aggressive investors began to shift local retailers. It is increacsingly worry while the ASEAN Economic Comunity had been agreed which became effective in 2015. In the economic development of Indonesia SMEs sector is considered to have an important role. Most of the Indonesian population is poorly educated, so that business activities can be done is a good small business sector, traditional and modern. Seeing this condition necessary the role of government through laws which is made to provide legal protection to SMEs especially in retail sector. The problem formulated in this study are how abaout government policy to make protection for SME?s in retail sector in facing AEC and how the role of Business Competition Supervisory Commission (KPPU) in conducting surveillance in retail sector. This research is a normative method by focusing on secondary data sources are divided into primary legal materials, secondary legal materials and tertiary legal materials. The result of this thesis is suggest for the government to make the regulation as equal as act in retail sector so that sanction can be optimized and suggest the government to improve the role of KPPU to be more levarage in controlling competition in retail sector."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
T42974
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masnin
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bahwa variabel teknologi informasi dan kompetensi SDM mempunyai pengaruh terhadap kinerja pemeriksa paten dan pemeriksa merek pada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Dalam penelitian ini menggunakan pengukuran teori teknologi informasi dari Dharma Oetomo (2002), pengukuran teori kompetensi dari Spencer dan Spencer (1993), untuk pengukuran kinerja menggunakan teori dari Bernadin dan Russel (1993) dan menggunakan teori Payaman (2005). Metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan responden sebanyak !11 orang. Data yang dikumpulkan melalui kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan SPPS versi 18.0 windows.
Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa: variabel teknologi informasi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pemeriksa paten dan merek sebesar 73,4%; variabel kompetensi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pemeriksa paten dan merek sebesar 67,5%; dan terdapat pengaruh yang signifikan antara teknologi informasi dan kompetensi terhadap kinerja pemeriksa paten dan merek sebesar 76,6%. Hal ini menunjukan bahwa variabel teknologi informasi dan kompetensi dapat memberikan kontribusi sebesar 76,6% terhadap kinerja sedangkan sisanya sebesar 23,3% merupakan pengaruh dari faktor-faktor lain.
Kesimpulan dari penelitian ini diketahui bahwa teknologi informasi dan kompetenst SDM baik sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama mempunyai pengaruk yang positif dan signifikan terhadap kinerja pemeriksa paten dan merek.

The research is conducted to know how far the influence of information technology and human resource competence to the performance of patent and trademark examiners of Directorate General of Intellectual Property Rights.
The research is utilizing the measurement of information technology theory from Dharma Oetomo (2002), the competence theory measurement from Spencer and Spencer (1993), to the performance measurement from Bernadin and Russel (1993), and theory trom Payaman (2005). The method that had been used is the descrptive anlytical accompanied with 111 samples. The data was collected through quesioners and the analysis was processed by SPSS 18.0 windows.
From the research result, it could be concluded that: information technology variable has the influence to the performance of patent and trademar examiners for 73,4%; and competence variable has the influence to the performance of patent and trademark examiners for 67,5%. From this research it could be concluded that information technology and competence factor may influence up to 76,6% to the performance of patent and trademark examiners and the other 23,3% is merely another factors.
This research concludes that information technology and human resource competence whether as an independent or a combination factors clearly has a significant contribution to the performance of patent and trademark examiners.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2010
T33512
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hana Oktaviandri
"Untuk dapat bersaing secara efektif, suatu kegiatan bisnis harus mendapatkan atas bisnis beserta barang atau jasanya sebagai strategi nya. Hal tersebut dapat dilakukan melalui yang kuat. Trade dress merupakan salah satu cara untuk memperkuat branding dan dapat memperoleh perlindungan hukum sebagai salah satu bentuk objek kekayaan intelektual Berdasarkan hal tersebut, penulis mengajukan beberapa pokok permasalahan, antara lain apakah perlindungan hukum hak kekayaan intelektual yang tepat terhadap trade dress dan bagaimanakah pengaturan mengenai ruang lingkup trade dress dalam hukum merek Indonesia. Bentuk penelitian ini bersifat yuridis normatif dan tipologi penelitian deskriptif. Kesimpulan yang didapatkan adalah di antara berbagai jenis hak kekayaan intelektual, merek merupakan perlindungan hukum yang sesuai untuk trade dressdan belum adanya pengaturan terkait ruang lingkup trade dress dalam hukum merek Indonesia. Maka, saran yang diberikan adalah pengaturan ruang lingkup trade dress secara eksplisit dalam peraturan perundang-undangan oleh pemerintah untuk menciptakan kepastian hukum dan menghindari persaingan usaha tidak sehat,
justify;To be able to compete effectively, the business activity must obtain market recognition of the business along with the products or services as its marketing strategy. This can be done through strong branding. Trade dress is one way to strengthen branding and can obtain legal protection as an object of intellectual property. Based on this, the author proposed several main issues, namely what is the most suitable legal protection of intellectual property rights for trade dress and how is the regulation regarding the scope of trade dress in the Indonesian trademark law. The methods of this research are normative juridical and descriptive research typology. The conclusions obtained are that among the various types of intellectual property rights, trademark is the suitable legal protection for the trade dress and explicit regulation is needed regarding the scope of trade dress within the Indonesian legal framework. Therefore, the advice given is to explicitly regulate the scope of trade dress in statutory regulations by the government to create legal certainty and avoid unfair business competition"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luthfi Fajar Ibrahim
"Studi ini berusaha meneliti hubungan antara tingkat perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) di Negara asing terhadap ekspor Indonesia. Analisis dilakukan dengan menggunakan gravity model dan menggunakan data panel dimana data yang digunakan adalah data arus perdagangan Indonesia ke Negara-negara ASEAN+6 yaitu Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam, Cina, Jepang, Korea Selatan, India, Australia, dan Selandia Baru pada tahun 1990, 1995, 2000, dan 2005. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini adalah bahwa perlindungan HKI di negara asing berpengaruh positif terhadap ekspor Indonesia terutama pada sektor-sektor manufaktur, mengindikasikan dominasi market expansion effects. Selain itu ditemukan juga bahwa dampak perlindungan HKI terhadap ekspor dipengaruhi oleh tingkat ancaman imitasi di negara tujuan ekspor, dimana penguatan perlindungan HKI di Negara pengimpor dengan ancaman imitasi yang kuat akan meningkatkan ekspor Indonesia ke negara tersebut yang disebabkan oleh dominasi market expansion effect dan penguatan perlindungan HKI di Negara pengimpor dengan ancaman imitasi yang lemah akan berdampak pada berkurangnya ekspor Indonesia ke negara tersebut yang disebabkan oleh dominasi market power effect.

This study investigates the relationship between Intellectual Property Right (IPR) protection in foreign countries on Indonesia`s exports using gravity equation and panel data. The data that being used is Indonesia`s exports to ASEAN +6 countries such as Malaysia, Philippine, Thailand, Vietnam, China, Japan, South Korea, India, Australia, and New Zealand in 1990, 1995, 2000, and 2005. This study concludes that reinforced IPR protection in foreign countries has a positive effect on Indonesia`s exports especially on manufacturing sectors, indicating the dominance of market expansion effects. Besides that, it also found that the impacts of IPR protection in foreign countries depend on importer`s threat of imitation level, reinforced IPR protection in foreign countries that pose a strong threat of imitation increases Indonesia`s export to these countries which is caused by the dominance of the market expansion effects and reinforced IPR protection in foreign countries that pose a weak threat of imitation reduces Indonesia`s export to these countries which is caused by the dominance of the market power effects."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2013
S47075
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fernanda Dharmawan
"

Hak kekayaan intelektual sebagai bagian dari aset tak berwujud telah muncul sebagai kelas aset terkemuka. Nilai perusahaan utamanya terdiri dari aset tidak berwujud. Paten, merek, dan hak cipta, serta hak kekayaan intelektual lainnya adalah kekuatan pendorong utama sebagian besar perusahaan. Karena meningkatnya nilai hak kekayaan intelektual, ini dapat digunakan untuk berbagai tujuan seperti untuk mendapatkan pembiayaan, aset debitur jika terjadi kepailitan dan banyak tujuan keuangan lainnya. Namun, untuk memenuhi tujuan keuangannya, hak kekayaan intelektual harus dapat dinilai secara ekonomi. Penilaian hak kekayaan intelektual dapat dilakukan oleh penilai publik atau penilai yang ditunjuk pemerintah yang dilakukan di Singapura dan Amerika Serikat. Indonesia sendiri belum memiliki peraturan khusus tentang bagaimana melakukan penilaian hak kekayaan intelektual serta Lembaga khusus untuk menilai hak kekayaan intelektual . Studi ini akan membahas peraturan tentang penilaian hak kekayaan intelektual di Indonesia dengan membandingkan peraturan serupa di Amerika Serikat dan Singapura. Selain itu, penelitian ini juga memasukkan contoh kasus.

 

 

Kata kunci: Penilaian, Hak Kekayaan Intelektual, Aset Tak Berwujud, Penilai Publik

 

 


Intellectual property rights as the subset of intangible assets have emerged as the leading asset class. Businesses mainly derive their value from intangible assets. Varying from patents, brands, and copyrights, intellectual property rights is the main driving force of most companies. Because of the growing value of  intellectual property rights, it can be used for various purposes such as to secure financing, debtor’s assets in the event of bankruptcy, and many financial related purposes. However, in order to serve its financial purposes, intellectual property rights must be able to be valued economically. The valuation of intellectual property rights can be conducted by public appraisers or government-appointed appraisers which is conducted in Singapore and the the United States. Indonesia does not yet have a specific regulation on how to conduct the valuation of intellectual property rights. This study will discuss the regulation concerning the valuation of intellectual property rights in Indonesia by comparing the similar regulation in the United States and Singapore. In addition, this study also includes case examples.

 

 

Keywords: Valuation, Intellectual Property Rights, Intangible Assets, Public Appraiser

 

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sekar Rana Izdihar
"Perkembangan dan penggunaan teknologi dalam berbagai produk dan jasa semakin meningkat, di antaranya adalah Artificial Intelligence (AI). AI merupakan cabang ilmu komputer yang dikembangkan menjadi suatu teknologi hingga dapat melakukan penalaran dan pembelajaran mandiri. Namun, hingga saat ini belum terdapat peraturan perundang-undangan yang secara spesifik mengatur teknologi ini sehingga menimbulkan suatu ketidakpastian hukum. Terdapat berbagai penemuan hukum dan interpretasi yang dilakukan dalam upaya perlindungan AI oleh Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Tulisan ini berupaya untuk menjelaskan apakah AI dapat diklasifikasikan sebagai objek HKI, khususnya pada hak cipta dan paten. Selain itu, tulisan ini juga akan menganalisis tanggung jawab pemegang HKI atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI miliknya. Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi perlindungan AI sebagai objek HKI dengan menggolongkannya sebagai program komputer. Sedangkan, perihal tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan oleh AI masih menimbulkan perdebatan. Sebagian besar berpendapat bahwa pertanggungjawaban hukum tetap dibebankan kepada pemegang hak AI karena AI belum dapat dijadikan sebagai subjek hukum yang dapat bertanggung jawab.

The development and use of technology in various products and services is increasing, including Artificial Intelligence (AI). AI is a branch of computer science that has been developed into a technology which has the ability to learn and solve problems through logical deduction. However, until now, there is no regulation in Indonesia that specifically regulates this technology which creates legal uncertainty. There are various legal discoveries and interpretations made in an effort to protect AI by Intellectual Property Rights (IPR). This paper attempts to explain whether AI can be classified as an object of IPR, particularly copyrights and patents. In addition, this paper will also analyze the legal liability of right holders for losses caused by their AI. The results show that there are variations in the protection of AI as an object of IPR by classifying it as a computer program. Meanwhile, the issue of liability for the losses caused by AI is still a matter of debate. Most argue that the liability remains with AI rights holders because AI has not yet been defined as a legally liable subject."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Rakhmadita
"Indonesia dan Cina adalah anggota dari perjanjian TRIPS dan merupakan anggota dari WTO. Sebagai anggota dari WTO, Indonesia, dan China wajib mematuhi TRIPS dan karena itu ada beberapa ketentuan dalam TRIPS yang perlu diatur atau diubah dalam setiap peraturan perundang-undangan dari hak kekayaan intelektual masing-masing negara. Salah satunya adalah border measure sebagai sarana perlindungan oleh pabean terhadap barang-barang kekayaan intelektual yang diimpor atau diekspor, yang dipandang sebagai langkah efektif untuk menghentikan pelanggaran hak kekayaan intelektual karena dapat menghentikan barang yang melanggar tersebut sebelum memasuki dan beredar bebas dan luas ke pasar bebas. Salah satu mekanisme yang disebutkan dalam TRIPS adalah penegahan ex-officio. Dalam mendukung hal ini, ada mekanisme yang disebut sebagai perekaman yang memungkinkan pemilik atau pemegang hak kekayaan intelektual hak untuk merekam hak mereka di bea cukai. Sekarang, Indonesia dan Cina memiliki telah memiliki peraturan yang sama tentang perekaman dengan adanya Peraturan Menteri Keuangan yang baru diberlakukan Nomor 40/PMK.04/2018 tentang tentang Perekaman, Penegahan, Jaminan, Penangguhan Sementara, Monitoring dan Evaluasi Dalam Rangka Pengendalian Impor atau Ekspor Barang Yang Diduga Merupakan atau Berasal Dari Hasil Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual. Dalam membandingkan kerangka peraturan kedua negara ini, ada beberapa perbedaan dan persamaan yang ditemukan. Satu hal yang patut disebutkan, adalah bagaimana Indonesia tidak mengizinkan perusahaan asing yang didirikan untuk merekam hak mereka dalam sistem perekaman di bea cukai, tidak seperti China. Ditemukan dengan pendekatan teoritis bahwa sebenarnya ada beberapa poin yang mendukung mengapa Indonesia harus memasukkan perusahaan-perusahaan asing untuk diizinkan merekam hak mereka di bea cukai seperti, pertumbuhan ekonomi individu dan negara, merangsang produktivitas pasar, dan sebagai sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Both Indonesia and China are part of the TRIPS Agreement and are members of the WTO. As the members of WTO, Indonesia and China are obliged to comply to the TRIPS and therefore there are several provision in TRIPS that needs to be regulated or amended in each of the country 39s intellectual property regime. One of such is the border measures as the means of customs protection towards intellectual property goods that are being imported or exported, which is seen as an effective measure to stop the infringement of intellectual property right because it might stop the infringed goods before it enters into and circulated freely and broadly to the free market. One of the mechanisms mentioned in TRIPS is the ex officio detention. In supporting this authority, there is a mechanism called customs recordation that allows the owner or right holder of the intellectual property right to record their right in the customs. Now, Indonesia and China both have the same regulatory frameworks of customs recordation, by the newly enacted Minister of Finance Regulation Number 40 PMK.04 2018 concerning Recordation, Detention Penegahan, Guarantee, Suspension Penangguhan, Monitoring and Evaluation in Regards to The Control Over Imported or Exported Goods Suspected or Resulted from Intellectual Property Rights Infringement. In comparing the two countries regulatory frameworks, there are several differences and similarities that are found. One worth to be mentioned is how Indonesia does not allow foreign established companies to record their IPR in customs recordation system, unlike China. It is found by a theoretical approach that there are actually several points that support on why does Indonesia shall include foreign established companies in recordation system such as, it generates economic growth of individual and country, stimulate market productivity, and as a means to the development of science and technology.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bryan Ery Pradipta
"Penelitian ini membahas mengenai pembentukan database sumber daya genetik dan pengetahuan tradisional (SDGPT), penunjukan pihak/instansi yang akan melakukan integrasi database yang saat ini masih tersebar, serta proses pelaksanaan integrasi dan validasi database SDGPT. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, bahwa: pertama, terdapat pendapat atau wacana yang berkembang mengenai pihak/instansi yang akan melakukan integrasi database SDGPT, yaitu: bentuk konsorsium, membentuk lembaga/instansi baru, dan mengoptimalkan instansi yang sudah ada. Namun, permasalahan utama yang timbul dari penunjukan pihak/instansi tersebut adalah pendanaan. Kedua, data SDGPT sering disampaikan dalam bentuk yang ringkas dan tidak disertakan data lengkap atau data pendukung dari lapangan. Hal ini berarti bahwa temuan data SDGPT tersebut, banyak yang belum divalidasi. Oleh sebab itu, proses validasi data SDGPT yang berada di database-database saat ini perlu dilakukan validasi oleh pihak yang berkompeten secara obyektif. Mengingat banyaknya database terkait SDGPT yang tersebar di berbagai lembaga litbang dan perguruan tinggi, maka konsep berbagi pengetahuan melalui suatu sistem manajemen pengetahuan (knowledge management system/KMS) bisa dijadikan salah satu cara untuk dapat melakukan integrasi database SDGPT yang saat ini masih tersebar.

This research discusses the establishment of genetic resources and traditional knowledge (GRTK) database, the appointment/agencies that will carry out the integration of databases that are still scattered, and the implementation process of GRTK database integration and validation. From the results of this study concluded that: first, there is a growing opinion or discourse about the party/agency will conduct GRTK database integration, namely: form a consortium, formed new institution, and optimize existing agencies. However, the main issues arising from the designation of parties/agencies are funding. Secondly, GRTK data is often presented in the form of concise and do not include complete data or supporting data from the field. This means that the GRTK data findings, many of which have not been validated. Therefore, the GRTK validation data process residing in databases today is necessary to validation by the competent authorities objectively. Considering the number of databases related GRTK scattered in various research and development institutions and universities, the concept of knowledge sharing through a knowledge management system/KMS could be one way to be able to perform database integration GRTK which is still scattered."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T39060
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
O.K. Saidin
Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1995
346.048 2 SAI a
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>