Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 184917 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Adelviana Febi Christyanti
"Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan stres dan coping yang dialami oleh ibu setelah anaknya coming out tentang orientasi seksualnya sebagai seorang gay. Teori stres dan coping yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori stres dari Lazarus dan Folkman. Lazarus (1976) mengatakan bahwa apabila suatu keadaan atau situasi yang rumit tersebut pada akhirnya dirasakan sebagai keadaan yang menekan dan mengancam serta melampaui sumber daya yang dimiliki individu untuk mengatasinya, maka situasi ini dinamakan stres. Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Auberbach, 1998), strategi coping terbagi menjadi dua kategori yaitu coping terpusat masalah (problem-focused coping) dan coping terpusat emosi (emotion-focused coping). Masing-masing strategi coping dibedakan dalam 5 variasi.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan observasi. Adapun karakteristik partisipan dalam penelitian ini adalah seorang ibu yang memiliki anak kandung gay yang telah coming out. Partisipan dalam penelitian ini sebanyak tiga orang.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga subjek, yang memiliki anak gay yang sudah coming out, menghadapi beberapa kondisi dan situasi yang dinilai sebagai sumber stres. Ketiga subjek menampilkan kedua strategi coping, yaitu coping terpusat masalah (problem-focused coping) dilakukan bila menghadapi situasi yang dapat dicari pemecahannya atau dapat diubah, dan coping terpusat emosi (emotion-focused coping) yang ditampilkan dalam menghadapi emosi negati.
This research aims to describe stress and coping among mothers whose son openly admits (to his mother) that he is a homosexual. The theoretical orientation of this research is based on Lazarus and Folkman?s theory. According to this theory, when a stressful event occurs, people usually evaluate how much it threatens their well-being and judge their ability to deal with the consequences (Lazarus, 1976). There are two strategies of coping, problem-focused coping and emotion-focused coping (Lazarus & Folkman, on Auberbach, 1998). Those two major coping strategies further differentiate into ten minor coping styles, five minor styles for each major style.
This investigation is conducted using qualitative approach. Interviews and observations are used to gather the data. There are three participants in this study, and each of them fit the characteristic of participants, which is they have a gay son that already coming out.
Result shows that every participants experience stress. Further, in their coping, they using both of the major coping strategies. Problem-focused coping consists of efforts to alter, deflect, or in some way manage the stressor itself through direct action, while emotion-focused coping was used to deal with negative emotions.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arista Akbar
"Orang tua dengan anak tunaganda memiliki peran dan tugas yang lebih berat dibandingkan orang tua dengan anak normal. Mereka harus menerima realita memiliki anak tunaganda, mereka harus bisa membela hak anaknya dan masih banyak lagi peran yang berpotensi menjadi sumber stres untuk orang tua. Bagaimana orang tua berespon terhadap kondisi yang sulit tersebut menjadi penentu berhasil atau tidaknya anak berkembang secara maksimal. Penelitian ini berusaha untuk melihat gambaran stres dan juga stretegi coping orang tua dengan anak tunaganda. Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif dimana pengambilan datanya dilakukan dengan metode wawancara. Partisipan yang terlibat dalam penelitian ini adalah tiga orang tua yang memiliki anak tunaganda yang berdomisili di Jakarta. Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa sumber stres yang ada dalam setiap diri subyek dan juga mereka anggap paling berat berkaitan dengan kondisi anak mereka yang menyandang tunaganda. Setiap subyek mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya terutama berkaitan dengan hal kemandirian. Dari berbagai sumber stres yang mereka alami, cara coping yang paling banyak digunakan adalah planful problem-solving yang merupakan bagian dari problem-focused coping.

Parents with multiple disabilities children have more responsibility for their children than other parents whose children are normal. As parents, They must have to face the reality, they must fight about their children's rights and many other tasks that potentially become some stressors for the parents. How parents react with any difficult conditions will give a big influence for their children to be able to grow up. This research tried to see the description of stress and coping strategy of parents with multiple disabilities children. This research use qualitative method with interviewing method to take the data . Participants whose involved in this research were three parents with multiple disabilities children in Jakarta. The result of this research, was found that the most difficult stressor for parents are about their children?s condition. Participant have worried about the future of their children, especially about their independency. From all stressors have been around, the most coping strategy that has been used was planful problem-solving. This coping strategy is a part of problem-focused coping.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadani Yandika Fitri
"Banyaknya stressor di Lembaga Pemasyarakatan memunculkan tingkat stres serta penggunaan strategi koping yang beragam. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi tingkat stres dan strategi koping yang digunakan pada anak didik pidana di Lapas Anak Pria Tangerang. Desain penelitian yang digunakan yaitu deskriptif sederhana dengan pendekatan cross sectional dan menggunakan teknik accidental sampling. Instrumen penelitian tingkat stres yang digunakan diadaptasi dari Hamdiana (2009), sedangkan instrumen strategi koping merupakan modifikasi dari Ways of Coping Questionnaire (Lazarus & Folkman, 1986). Responden dalam penelitian ini sebanyak 81 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas anak didik pidana berada pada tingkat stres sedang (53,1%). Adapun jenis strategi koping yang paling sering digunakan oleh anak didik pidana yaitu emotion focused coping (54,49%). Hasil penelitian ini memberikan rekomendasi bagi perawat untuk bekerja sama dengan pihak Lapas Anak Pria Tangerang dalam meminimalisir stres yang dirasakan anak didik serta untuk memfasilitasi anak didik dalam menerapkan kopingnya.

The number of stressors in prison led to different stress levels and coping strategies. This study aimed to identify the level of stress and coping strategies that young male inmates used in Young Male Prison of Tangerang. Simple descriptive research design used in this research with descriptive cross sectional approach and using accidental sampling technique. Stress level research instrument was adapted from Hamdiana (2009), while coping strategy reasearch instrument was a modification of Ways of Coping Questionnaire (Lazarus & Folkman, 1986). Respondents in this study were 81 young male inmates. The results showed that the majority of the young male inmate having an intermediate stress level (53,1%). The coping strategies most often used by young male inmates is emotion focused coping (54,49%). The results of this study provides recommendation for nurses to cooperate with Young Male Prison of Tangerang to minimize the stress felt by young male inmates and to facilitate young male inmates in applying their coping.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S56233
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Monintja, Aleta K.P.
"Mempunyai anak yang tidak normal seperti tuna rungu dapat menjadi sumber stres dalam keluarga (Suran &, Rizzo, 1979). Oleh karena ibu adalah tokoh yang selalu atau diharapkan siap mengasuh anaknya setiap waktu, maka tidak terelakkan ia mengalami stres. Usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi keadaan yang menekan, menantang atau mengancam, serta emosi-emosi yang tidak menyenangkan disebut sebagai tingkah laku coping (Lazarus, 1976).
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatitif dengan tipe metodelogi penelitian Studi kasus pada 3 orang ibu. Teknik pengambilan data yang digunakan adalah wawancara (indepth interview).
Hasil telaahan menunjukkan bahwa para subyek mengalami stres yang bervariatif dan khas, sebagai akibat dan kondisi ketunaan yang disandang anaknya. Mereka pun berusaha untuk mengatasi stresnya tersebut. Stres yang diterima dan tingkah laku coping yang dilakukan timbul setelah melwati proses penilaian dari subyek yang dipengaruhi faktor-faktor internal (kontrol personal, hardy personality, pola perilaku) dan eksternal (ienis stres, kehadiran stres lain, dukungan sosial) masing-masing. Selain ilu, ada 6 faktor lain diluar kedua faktor temebut yang muncul pada setiap subyek penelitian yailu karakteristik individu/ibu (kepribadian, pendidikan), karakteristik anak (usia, tingkah laku anak), dan kondisi finansial, dukungan sosial, dan keyakinan agarna.
Kemampuan mengatasi keadaan stres bukanlah sualu kemampuan yang terberi, melainkan hams dipelajari oleh orangtua. Oleh karena itu, dalam upaya untuk dapat rnenghadapi stres yang timbul dari situasi anak yang menyandang ketunarunguan, orangiua perlu secara aktif mencari dan membekali diri dengan informasi yang dibutuhkan (berkaitan dengan ketunarunguan). Pihak orangtua (dalam hal ini ibu) juga tidak berarti semata-mata hanya mendedikasikan seluruh waktunya bagi anak tersebut. Meluangkan waktu bagi pribadi, mencari atau menciptakan cara yang sesuai untuk terlepas dari rutinitasnya. sehari-hari akan sangat membantu mengurangi intensitas stres."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
T37591
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yunda K. Rusman
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2005
S3526
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dona Novia Ujiaryani
"Pekerja anak dapat dikatakan telah menjadi masalah sosial yang serius, yang dihadapi tidak hanya oleh Indonesia saja, tapi juga banyak negara lainnya di dunia, meskipun berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah, bahkan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk mengatasi masalah ini.
Hasil dari beberapa studi menunjukkan bahwa sebagian besar pekerjaan yang dilakukan oleh para pekerja anak tersebut mengandung risiko fisik dan psikologis yang dapat merugikan perkembangan mereka Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran stres pada pekerja anak perempuan dan perilaku coping para pekeija anak perempuan tersebut untuk mengatasi stres yang mereka hadapi. Oleh karena stres dan perilaku coping merupakan sesuatu yang bersifat individual, maka dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengambilan sampel kasus tipikal. Dengan demikian, kasus yang diambil adalah kasus yang dianggap mewakili kelompok normal dari fenomena yang diteliti. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara yang berisi pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan selama wawancara berlansung, data kontrol, alat perekam, dan alat tulis.
Dari penelitian yang dilakukan didapatkan hasil bahwa keempat subyek dalam penelitian ini mengalami stres. Sedangkan reaksi yang timbul dan taraf yang dirasakan berbeda-beda Demikian pula perilaku caping yang ditampilkan.
Disarankan untuk meneliti kembali para pekerja anak dengan usia, latar belakang pekerjaan, dan jenis kelamin yang berbeda Sehingga dapat diperoleh gambaran yang lebih baik menganai stres dan perilaku coping mereka."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2003
S3203
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dwi M.
"Kualitas tidur yang buruk dipercaya dapat mempengaruhi kondisi fisik, psikologis, dan kognitif. Penelitian ini membahas tentang hubungan kualitas tidur mahasiswa dengan tingkat stres, kecemasan, dan depresi. Desain yang digunakan adalah analitik dengan pendekatan potong lintang. Penelitian ini melibatkan 220 mahasiswa keperawatan sebagai responden yang dipilih dengan teknik stratified random sampling. Instrumen yang digunakan adalah Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan Depression, Anxiety, and Stress Scale-21 (DASS-21). Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kualitas tidur dengan tingkat kecemasan (p<0.001), tetapi tidak ada hubungan kualitas tidur dengan stres dan depresi (p=0,12; p=0,086). Akan tetapi, ditemukan bahwa mahasiswa berkualitas tidur buruk memiliki tingkat stres dan depresi yang lebih tinggi. Kegiatan untuk menurunkan tingkat kecemasan, stres, dan depresi yang tepat perlu diprogramkan secara terstruktur di program studi, dan perlu penelitian lebih lanjut tentang terapi yang tepat untuk meningkatkan kualitas tidur.

Poor sleep quality is believed can affect the physical, psychological, and cognition. This study aimed to determine the correlation between sleep quality and levels of stress, anxiety, and depression. Design of this study was analytical with cross sectional approach. This study used Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) and Depression, Anxiety, and Stress Scale-21 (DASS-21) as instruments. There were 220 nursing students who participated and chosen by stratified random sampling technique. The results showed there were an association between sleep quality with levels of anxiety (p<0,001). Although, there were no correlation between sleep quality with stress and depression (p=0.12 and p=0.086), it was found that students which have bad sleep quality also have the higher level in stress and depression. The structured activities to reduce levels of anxiety, stress, and depression should be programmed by study program. Researcher suggested for next research to explore how to improve sleep quality.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2014
S56475
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meutia Farida Swasono
"Disertasi ini mengkaji masalah kesehatan jiwa, khususnya masalah stres yang dialami oleh penduduk miskin yang tergusur oleh proyek pembangunan yang dilaksanakan di tempat tinggal mereka. Obyek penelitian adalah masyarakat Marunda Besar di Kelurahan Marunda, Jakarta Utara.
Kajian disertasi ini menunjukkan bahwa kompensasi material berupa biaya pindah tempat, yang kadangkala juga ditambah dengan penyediaan lokasi pemukiman baru sebagai suatu paket penggusuran, tidak menjamin penyelesaian masalah yang menimpa penduduk tergusur itu. Penggusuran ternyata memerlukan penyelesaian yang lebih terintegrasi, cermat dan penuh kepekaan, yang meliputi kesehatan jiwa mereka.
Peningkatan stres dan disintegrasi sosial-budaya terjadi pada pihak yang tergusur karena proyek pembangunan mengakibatkan perubahan lingkungan fisik dan sosial-budaya yang cepat. Terdapat lebih banyak respons maladaptif daripada respons adaptif, karena adanya keterbatasan kemampuan budaya masyarakat dalam beradaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan yang terlalu berat; yang muncul karena kehadiran proyek pembangunan dan segala akibatnya itu_ Karena itu kajian mengenai masalah stres yang dialami oleh masyarakat yang sedang membangun menjadi obyek yang relevan dan merupakan suatu tuntutan bags penelitian antropologi.
Penelitian ini mengacu kepada model teoritis yang dihasilkan oleh D.P. Lumsden mengenai sistem terbuka yang mengalami stres (amnen system under stress) dan teori integrasi-disintegrasi sosial-budaya yang diajukan oleh A.H. Leighton.
Untuk mengukur tingginya stres, digunakan instrumen penelitian Daftar Isian Kesehatan Cornell Medical Index (CMI) yang telah dimodifikasi oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, Depkes RI untuk digunakan di Indonesia. Dengan memodifikasi pula indikator-indikator Leighton agar sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat Marunda Besar, dapat dihasilkan perhitungan korelasi antara skor disintegrasi sosial-budaya dan skor CMI.
Dari penelitian ini telah diperoleh hasil yang mencakup empat pokok, yaitu:
Pertama, berbagai masalah lingkungan alam dan lingkungan sosial-budaya yang berat yang harus dihadapi oleh Marunda Besar, berpengaruh negatif pada kesehatan jiwa mereka.
Kedua, hasil pengukuran stres yang menggunakan kuesioner CMI menemukan adanya 73 orang dari 166 orang responden (43,98%) yang mengalami gangguan psikofisiologi yang bermakna. Angka persentasi ini cukup tinggi diperbandingkan dengan ukuran WHO yang menentukan prevalensi gangguan jiwa ringan dalam masyarakat pada umumnya hanya berkisar antara 40-80 orang di antara 1000 penduduk (4-8%).
Ketiga, perhitungan korelasi antara skor dieintegrasi sosial-budaya dan skor CMI lebih rendah (0,271) daripada penemuan hasil penelitian Leighton yang menunjukkan korelasi yang lebih tinggi (sekitar 0,45). Korelasi yang lebih rendah ini tampak berkaitan dengan konsepsi tentang nilai kebersamaan dan kekeluargaan yang menimbulkan rasa aman, yang sebenarnya bersifat semu.
Keempat, pembangunan di lingkungan itu ternyata telah menimbulkan penderitaan psikologi, sosial-budaya dan ekonomi pada penduduk setempat. Hal ini dapat dilihat sebagai kekurangtepatan orientasi pembangunan dalam bentuk model pembangunan yang mengutamakan manfaat ekonomi secara makro, umat kurang memperhatikan kepentingan masyarakat di tingkat mikro, spasial dan sektoral. Kajian tentang stres, disintegrasi sosial-budaya, dan respons maledaptif yang bersumber pada hambatan kemampuan budaya masyarakat dalam mengatasi berbagai tantangan dalam lingkungan, menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa tidak dapat diabaikan dalam penanganan masalah penggusuran. Masalah penggusuran dan kesehatan jiwa harus diperlakukan sebagai bagian integral dari pelaksanaan proyek-proyek pembangunan.

Development Project, Relocation of Kampungs and Stress among the Marunda Besar Population, Northern JakartaThis dissertation examines the mental health problem, particularly stress, suffered by the poor facing relocation of their living quarters. The object of research was the population of Marunda Besar, Kelurahan Marunda, Northern Jakarta.
The research pointed out that material compensation in the form of moving expenses which sometimes was supplemented by the preparation of new location as a relocation package, did not guarantee in solving the problems' faced by the people. It turned out that re-location needed a more integrated 'solution, which is meticulous and subtle, towards the people's mental health.
An increase of the degree of stress and socio-cultural disintegration had been experienced by the relocated people, as the development project in the area created rapid environmental as well as socio-cultural changes. There were more maladaptive responses to these changing physical and socio-cultural environments than adaptive responses, since the existence of the project and its entire consequences had turned to be beyond the people's cultural ability to overcome_ Therefore the study on stress experienced by a developing community becomes a relevant one, which calls for an anthropological research.
This dissertation is based on the theoretical model by D.P. Lumeden concerning an open system under stress and the theory of socio-cultural integration-disintegration put forward by A. H. Leighton.
In measuring the degree of stress, the research instrument Cornell Medical Index (CMI) has been used. The instrument has been modified by the Directorate of Mental Health of the Department of Health of the Republic of Indonesia, for its use in Indonesia. With further modification on Leighton's indicators to make it relevant to the socio-cultural conditions of the Marunda Besar population, a correlation of the score of socio-cultural disintegration and CMI score could be made.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an integral part of the implementation of development projects.
Four major findings have been gained as the following:
First, several grave environment as well as socio-cultural problems faced by the Marunda Besar population had a negative effect to the people's mental health.
Second, the results of the measurement of stress utilising CMI research instrument had proven that 73 out of 166 respondents {43.98%) suffered from psycho-physiological disorders. The percentage is much higher compared to the WHO measurements stating that the prevalence of mild mental disturbances in a community ranges between 40-80 people in every 1000 (4%-8%).
Third, the correlation between the socio-cultural disintegration score and the CMI score was lower (0.271) than the finding in the Leighton's study (around 0.45). The lower correlation is closely related to the conception on the people's cultural values of mutuality and brotherhood that create the sense of safety which is mostly imaginary.
Fourth, the development around the area turned out to have caused psychological, socio-cultural as well as economic sufferings to the local population. This can be viewed as an improper development orientation relying on the macro-economic development model with an emphasis on economic growth and gain, less sufficiently concerns with the interest of people at the micro, spatial and sectoral dimensions. The research on stress, socio-cultural disintegration, and maladaptive responses due to cultural constraints in overcoming environmental barriers, showed that mental health problem in connection with the management of relocation of people's living quarters demands serious attention. Relocation and the mental health of the relocated people should be treated as an intregral part of the implementation of development projects.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1991
D356
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Edward Andriyanto S.
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
S2777
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feera Agustina Handiyani
"ABSTRAK
Sampai saat ini kontradiksi mengenai status pernikahan dan kaitannya
dengan stres kerja masih berlanjut. Begitu banyak penelitian yang menyatakan
bahwa mereka yang telah menikah dinilai lebih baik secara fisik maupun
psikologis, namun begitu banyak pula penelitian yang menyakana bahwa mereka
yang telah menikah cenderung mengalami beberapa keadaan yang malah dapat
memacu timbulnya stres kerja. Sementara itu penelitian mengenai individu yang
masih melajang juga mengalami kontradiksi. Contohnya Hurlock (1980) yang
menyatakan bahwa mereka yang melajang cenderung lebih konsentrasi terhadap
pekerjaan dan berhasil dalam jenjang karir. Sementara kontradiksi datang dari
beberapa peneliti diantaranya Newman & Newman (1990) yang menyatakan
bahwa mereka yang melajang kurang sukses dibandingkan mereka yang telah
menikah dan Gove (dalam Cooper & Payne, 1981) yang mengatakan bahwa
mereka yang melajang memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk
mengalami gangguan mental. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran stres keija pada
anggota Sat I / Gegana, dengan cara melihat sumber-sumber stres keija,
penghayatan, dan skor stres keija pada anggota yang sudah menikah dan anggota
yang belum menikah. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif.
Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan secara incidental
sampling. Subyek penelitian ini adalah para anggota Sat I / Gegana yang bertugas
di markas Kelapa-Dua Depok dan berada di sana pada saat penelitian
berlangsung, serta tercatat aktif dalam menjalankan tugas di lapangan.
Subyek penelitian dibagi ke dalam dua kelompok yaitu menikah dan
belum menikah. Untuk pengambilan data dilakukan dengan pemberian kuesioner
berskala 1-6. Penyusunan item kuesioner didasarkan pada teori Abelson (dalam
Everly, Dusek, & Girdano, 1993).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua sub stressor dalam
dimensi stressor organisasi dialami atau dianggap sebagai sumber stres oleh para
anggota Sat I / Gegana. Sementara itu dalam penghayatannya, terdapat perbedaan
skor yang signifikan pada stressor organisasi. Penelitian juga menunjukkan
adanya perbedaan skor stres keija yang signifikan pada kedua kelompok subyek.
Penelitian ini masih memerlukan penelitian lanjutan dengan memperbaiki
alat ukur, yaitu menambah jumlah item kuesioner sehingga jumlah item pada tiap
dimensi stressor seimbang. Selain itu akan lebih baik bila jumlah subyek
penelitian diperbanyak dan dilakukan wawancara kepada beberapa subyek
penelitian untuk memperoleh data kualitatif yang cukup mendalam dan
mendukung hasil penelitian yang lebih baik."
2003
S3312
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>