Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164763 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anna Puspita
"Latar belakang: Filariasis limfatik dan infeksi cacing usus merupakan masalah kesehatan yang penting di Indonesia. Pada tahun 2000, WHO telah mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis, termasuk Indonesia. Strategi program tersebut dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg, selama 5 - 10 tahun.
Tujuan: Mengetahui efektivitas pengobatan kombinasi DEC-albendazol pada program eliminasi filariasis terhadap cacing usus. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder dari desain studi longitudinal berupa prevalensi infeksi cacing usus Ascaris lumbricoides, cacing tambang, dan Trichuris trichiura sebelum, selama, dan setelah pengobatan filariasis selama 5 tahun (tahun 2002-2007) di Desa Mainang, Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur.
Hasil: Pada tahun 2002 sebelum pengobatan didapatkan prevalensi A. lumbricoides, cacing tambang, dan T.trichiura berturut-turut 34,3%, 28,7%, dan 11,2%. Pada tahun 2003, prevalensi turun menjadi 22,3%, 13,0%, dan 8,5%. Prevalensi terus mengalami penurunan setiap tahun dan pada tahun 2006 prevalensi menjadi 17,8%, 0,7%, dan 0,7%. Namun pada tahun 2007 didapatkan kenaikan angka prevalensi menjadi 27,6%, 4,4%, dan 1,9%. Sedangkan pada 28 sampel kohort didapatkan prevalensi A. lumbricoides, cacing tambang, dan T.trichiura berturut-turut 37,0%, 35,7%, dan 7,1% pada tahun 2002. Dan di akhir pengobatan, prevalensi A.lumbricoides tetap tinggi, yaitu 25,9%, sedangkan prevalensi cacing tambang dan T.trichiura telah turun hingga 0%.
Kesimpulan: MDA yang diberikan setahun sekali selama 5 tahun berturut-turut efektif menurunkan prevalensi infeksi cacing tambang dan T.trichiura, namun tidak cukup poten dalam menurunkan prevalensi infeksi A.lumbricoides.

Background: Both lymphatic filariasis and intestinal helminth infections are important public health problems in Indonesia. WHO launched a filariasis elimination program in 2000 targeting all endemic countries, including Indonesia. The strategy is to treat all the population at risk annually, using diethylcarbamazine (DEC) 6 mg/kg in combination with albendazole 400 mg, for 5 ? 10 years.
Objective: To determine the efficacy of the DEC-albendazole combination in treating intestinal helminth infections. Methods: This research uses secondary data from a longitudinal study held in Mainang Village, Alor, East Nusa Tenggara. The data show the prevalence of Ascaris lumbricoides, hookworm, and Trichuris trichiura infections, before, during, and after the 5-years filariasis treatment (2002 ? 2007).
Results: Before the treatment in 2002, the prevalence of A. lumbricoides, hookworm, and T.trichiura infections were 34,3%, 28,7%, and 11,2%. In 2003, the prevalence decreased to 22,3%, 13,0%, and 8,5%. The prevalence continuously decreased each year and in 2006 it was 17,8%, 0,7%, and 0,7%. But in 2007, there was an increase in prevalence to 27,6%, 4,4%, and 1,9%. In the 28 cohort samples, the prevalence of A. lumbricoides, hookworm, dan T.trichiura infections were 37,0%, 35,7%, and 7,1% in 2002. At the end of the treatment, the prevalence of A.lumbricoides infection was still high (25,9%), but the prevalence of hookworm and T.trichiura infections decreased to 0%.
Conclusion: The Mass Drug Administration (MDA) given once a year for 5 consecutive years is effective to reduce the prevalence of hookworm and T.trichiura infections, but it is not effective for A.lumbricoides.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Hendrie
"Filariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh cacing Filaria dan ditularkan melalui gigitan nyamuk. Penyakit ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat diberbagai negara tropis dan subtropis termasuk di Indonesia dengan perkiraan 6 juta orang terinfeksi filariasis (2004). Pada tahun 2000 WHO mendeklarasikan "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menyepakati kesepakatan tersebut. Strategi dari program tersebut adalah dengan pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan dietilkarbamazin (DEC) 6mg/kg berat badan dalam kombinasi dengan albendazol 400 mg. Oleh WHO dianjurkan untuk mengevaluasi program eliminasi karena anak-anak dengan serodiagnosis pada anak berusia 6-10 tahun untuk mengetahui apa transmisi masih berlangsung. Oleh sebab itu, peneliti ingin meneliti lebih lanjut tentang penggunaan serodiagnosis, Brugia Rapid, dalam memantau keberhasilan program eliminasi filariasis setelah 5 tahun pengobatan kombinasi DEC-abendazol di daerah endemik filariasis timori, Pulau Alor dengan mengetahui prevalensi antibodi anti filaria IgG4 pada anak-anak sekolah dasar. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder IgG4 dengan Brugia Rapid dari desain studi uji cross sectional pada Anak Sekolah Dasar setelah 5 tahun pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan prevalensi IgG4 pada berbagai kelompok umur dengan nilai tertinggi pada usia 10 tahun (6,78%). Terdapat perbedaan bermakna pada prevalensi IgG4 pada anak usia < 10 tahun (1,41% - 2,63%) dibandingkan dengan anak usia > 10 tahun (6,78%). Perbedaan prevalensi juga diamati antara kelompok laki-laki (4,94%) dan perempuan (3,03%) meskipun perbedaan ini tidak bermakna. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa prevalensi IgG4 pada anak Sekolah Dasar tidak dipengaruhi jenis kelamin tapi dipengaruhi oleh umur.

Filariasis is a disease caused by filarial worms and transmitted to humans through mosquito bites. The disease is still a public problem in tropical and subtropical countries including Indonesia where it is estimated that 6 million people were infected filariasis (2004). In 2000 WHO launched "The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by 2020" and Indonesia is one of the countries agreed in this agreement. The strategy of this program is an annual treatment of Diethylcarbamazine Citrate (DEC) 6mg/kg body weight in combination with 400 mg albendazol to risked population. To evaluate the success of the program, WHO recommended to use serodiagnosis in children aged 6-10 years. Therefore, this research is proposed to investigate furthur the use of serodiagnosis, Brugia rapid, in monitoring the success of the filariasis elimination program after five years treatment with a combination of DEC-Albendazole (2002-2007) in filariasis timori endemic area, Alor Island by determining the prevalence IgG4 anti-filaria antibody in primary school children. The research was conducted using secondary data of IgG4 detected by Brugia rapid from a cross sectional study in Primary School Children after 5 years treatment. The result showed that there was differences in the prevalence of various age groups with the highest prevalence at the age of 10 years (6,78%) . The differences of the prevalence between children < 10 years old (1, ...% - 2,..%) and children > 10 years old (6,78%) is significant. However, the difference of IgG4 prevalence between boys and girls is not significant. This study revealed that sex of the children did not influence the prevalence of IgG4 but it was influenced by age."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Felicia Deasy
"Filariasis limfatik disebabkan cacing nematoda dari superfamili Filarioidea dan ditularkan nyamuk. WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis dengan strategi pengobatan tahunan berbasis komunitas pada populasi yang berisiko menggunakan DEC 6mg/kg berat badan dan albendazol 400 mg. Penelitian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan program pengobatan masal selama 5 tahun dalam menurunkan prevalensi hingga kurang dari 1% di Pulau Alor, NTT, sebagai daerah endemis filariasis Brugia timori. Peneliti menggunakan data sekunder dari desain studi eksperimental berupa prevalensi penderita filariasis sebelum dan setelah masa pengobatan. Hasil yang diperoleh menunjukkan pengobatan selama 5 tahun berhasil menurunkan prevalensi infeksi filaria. Disimpulkan bahwa metode pengobatan filariasis dengan kombinasi DEC dan albendazol terbukti mampu memenuhi target eliminasi filariasis WHO.

Lymphatic filariasis is caused by nematodes from superfamily of Filaroidea, with mosquito as its vector. Yearly medication based on the community treatment of risked population using DEC 6mg/kg and albendazol 400 mg is the strategy set by WHO. This research is proposed to know the success of 5 years mass treatment run in Alor Island, NTT, an endemic area for filariasis Brugia timori, to decrease the prevalency of filariasis until less than 1%. This research uses secondary data from the experimental study design in form of prevalency of people with filariasis before and after the medication. The result shows the five-year-medication with DEC and albendazol succeeds in decreasing the prevalence of filarial infection. The medication method of filariasis using the combination of DEC and albendazol is proved to fulfill the target set by WHO to eliminate filariasis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09047fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
"Untuk memperoleh hasil yang memuaskan dalam pemberantasan cacing yang ditularkan melalui tanah dipakai obat cacing berspektrum luas terutama bila ada infeksi campuran dengan T.trichuria. Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat potensi trasmisi A.lumbricoides dan T.trichuria pada murid sekolah dasar. Cara Kato-Katz digunakan dalam pemeriksaan tinja 684 murid SD. Murid yang terinfeksi diobati dengan oksantel pirantel pamoat (OPP) atau mebendazol (MBZ) dosis tunggal. Biakan tinja pada genting steril yang direndam dalam formalin 1,0% dilakukan pada 15 anak kelompok OPP dan 15 anak kelompok MBZ. Angka penyembuhan dan angka penurunan telur pada askariasis sangat baik, sedangkan pada trikuriasis diperoleh angka penyembuhan dan angka penurunan telur yang lebih kecil. Hambatan pertumbuhan telur A.lumbricoides ditemukan 2 hari pasca pengobatan OPP. Pada kelompok MBZ, hambatan pertumbuhan telur ditemukan pada hari ke-5 pasca pengobatan, dan ditemukan telur yang degenerasi pada tinja 2 hari dan 5 hari pasca-pengobatan MBZ. Angka transmisi pada kelompok OPP dan MBZ tidak berbeda bermakna. Pada penelitian ini tidak ditemukan pengaruh obat terhadap angka transmisi maupun pertumbuhan telur T.trichuria."
MPARIN 10 (1-2) 1997
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah
"Di Indonesia, tuberkulosis (TB) paru menjadi salah satu prioritas nasional dalam program pengendalian penyakit karena dapat berdampak terhadap kualitas hidup, ekonomi, dan menyebabkan kematian. Status gizi merupakan penentu penting dari klinis pasien TB. TB diketahui dapat menyebabkan malnutrisi, sedangkan malnutrisi dapat menjadi faktor risiko terjadinya aktivasi TB. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gizi kurang pada pasca TB paru dan faktor-faktor yang berhubungan. Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini adalah gejala klinis TB dan hasil gambaran foto X-ray toraks. Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik menggunakan desain penelitian cross sectional. Penelitian dilakukan pada Juni 2011 di Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Pemilihan sampel penelitian dilakukan dengan total sampling dengan jumlah sampel 78 orang. Pengambilan data dilakukan melalui pengisian kuesioner dengan wawancara langsung, pengukuran berat badan, pengukuran tinggi badan, dan pemeriksaan radiologi X-ray toraks.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa subyek terbanyak berusia 26-65 tahun (74,4%) dan berjenis kelamin laki-laki (52,6%). Prevalensi malnutrisi pada pasca TB sebesar 52,3% dengan rerata IMT 18,29±2,43 kg/m2. Sebanyak 67,9% subyek masih memiliki gejala klinis TB dan lesi infiltrat pada foto X-ray toraks sebanyak 51,3%. Berdasarkan uji statistik dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan bermakna antara status gizi dengan gejala klinis TB (p≥0,05) dan gambaran hasil foto X-ray toraks (p≥0,05).

In Indonesia, pulmonary tuberculosis (TB) is one of a national priority in disease control programs because it affects the quality of life, economy, and mortality. Nutritional status is an important determinant of clinical manifestation in pulmonary TB patients. TB can lead to malnutrition, while malnutrition may predispose TB. This study aims to determine prevalence of under nutrition on post pulmonary TB and its associated with clinical symptoms and chest X-ray findings. This study is an observational analytic using cross sectional design. This study was held in June 2011 in South Central Timor District, East Nusa Tenggara. The selection of the samples is done by total sampling by involving 78 subjects. The data was collected by interviewing all subjects with questionnaire, the body weight measurement, height measurement, and chest X-ray examination.
The result of this study shows that the most subjects aged 26-65 years (74,4%) and males (52,6%). Prevalence of under nutrition on post TB is 52,3% and the mean BMI is 18,29±2,43 kg/m2. Most of subjects still have one of clinical symptoms of TB (67,9%) and infiltrate on chest X-ray finding (51,3%). It was concluded that there are no association between nutritional status with clinical symptoms (p≥0,05) and chest X-rays findings (p≥0,05).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Ratna Palupi
"Prevalensi A.lumbricoides dan T.trichiura tertinggi pada usia sekolah dasar dan menurun pada usia dewasa. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan prevalensi infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura terhadap usia dan jenis kelamin pada anak. Penelitian yang bertempat di SD Kalibaru (Jakarta Utara) dan MI Batu Ampar (Jakarta Timur) ini menggunakan desain cross-sectional berdasarkan data kuisioner dan pemeriksaan sampel tinja.
Metode Kato-Katz digunakan untuk memeriksa sampel tinja. Dari 182 responden, didapatkan prevalensi infeksi A.lumbricoides di Kalibaru dan Batu Ampar adalah 34,8% dan 6,8%. Lokasi Kalibaru merupakan faktor risiko infeksi A.lumbricoides {OR 7,289 (95% CI 2,144-24,775)}. Prevalensi infeksi T.trichiura di Kalibaru adalah 34,1%.
Secara statistik terdapat hubungan bermakna (p=0,000) antara infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura dengan lokasi penelitian. Di Kalibaru, tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara jenis kelamin dengan infeksi A.lumbricoides (p=0,656) dan T.trichiura (p=0,885) di Kalibaru. Secara statistik tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dengan infeksi A.lumbricoides (p=0,987) dan T.trichiura (p=0,523) di Kalibaru. Di Batu Ampar, tidak terdapat hubungan bermakna secara statistik antara jenis kelamin dengan infeksi A.lumbricoides (p=0,57).
Secara statistik, tidak terdapat hubungan bermakna antara usia dengan infeksi A.lumbricoides (p=0,544) di Batu Ampar. Anak di Batu Ampar tidak mengalami infeksi T.trichiura. Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia anak dengan infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura. Tidak terdapat hubungan bermakna antara jenis kelamin anak dengan infeksi A.lumbricoides dan T.trichiura.

The highest prevalence of A.lumbricoides and T.trichiura infection are at the age of Elementary School and will decrease at the age of adult. The aim of this research is to find out the correlation of the prevalence of A.lumbricoides and T.trichiura infection toward the age and the gender of Children. This research carried out at SD Kalibaru (North Jakarta) and MI Batu Ampar (East Jakarta). This research used cross sectional design based on the questionnaires data analyzing and fecal sample examining.
Kato-Katz method is used to examined the fecal sample. From 182 respondents, it was found that prevalence of A.lumbricoides infection in Kalibaru and Batu Ampar were 34.8% and 6.8%. The location of Kalibaru constitutes as risk factor of A.lumbricoides infection {OR 7.289 (95% CI 2.144-24.775)}. The prevalence of T.trichiura infection in Kalibaru were 34.1%.
Statistically, there was a significant correlation (p=0.000) between the A.lumbricoides and T.trichiura infection with the research location. In Kalibaru there was no significant correlation between gender and A.lumbricoides (p=0.656) and T.trichiura infection (p=0.885).
Statistically, there was no significant correlation between age and A.lumbricoides (p=0.987) and T.trichiura infection (p=0.523). In Batu Ampar, statistically, there was no significant correlation between gender and A.lumbricoides (p=0.57) infection. Statistically, there was no significant correlation between age and A.lumbricoides infection (p=0.544). Children in Batu Ampar were not infected by T. Trichiuria. There was no significant correlation between the age of children and the A.lumbricoides and T.trichiura infection. There was no significant correlation between the gender of children and the A.lumbricoides and T.trichiura infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Robert
"Filariasis limfatik masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia WHO mencanangkan program eliminasi filariasis di negara endemis denganstrategi pengobatan massal menggunakan kombinasi DEC Albendazol yangdiberikan setiap tahun pada populasi berisiko selama 4 6 tahun Kabupaten Alortelah melaksanakan program eliminasi filariasis dari tahun 2002 2007 Penelitiandilakukan untuk mengetahui prevalensi antigen filaria W bancrofti pada anaksekolah dasar dan mengevaluasi hasil pengobatan massal di Kabupaten Alor NTT Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang berupa prevalensipenderita filariasis sesudah pengobatan selama 6 tahun Deteksi antigen padasampel darah dilakukan dengan menggunakan ICT Sebanyak 1295 sampel telahdikumpulkan dan antigen masih terdeteksi pada 6 sampel 0 46 Uji statistikmenunjukkan hasil deteksi antigen tidak menunjukkan perbedaan bermakna padaberbagai usia p 0 875 jenis kelamin p 0 438 dan wilayah kecamatan p 0 322 Hasil yang diperoleh menunjukkan penurunan prevalensi antigenfilaria dan respons pengobatan massal sama baiknya pada berbagai umur jenis kelamin dan wilayah kecamatan

Lymphatic filariasis remains public health problem in Indonesia WHO setfilariasis elimination program to endemic countries with DEC Albendazolecombination every year during 4 6 years for risky population Kabupaten Alor hasimplemented filariasis elimination program in 2002 2007 This research isproposed to know prevalence of W bancrofti filarial antigen in primary schoolstudents and to evaluate medication result in Kabupaten Alor NTT This researchuses cross sectional study design in form of prevalence of people with filariasisafter the medication Filarial antigen from blood sample is detected by ICT Totalof 1295 samples were collected and 6 samples 0 46 showed positive antigenresult Statistical test shows that antigen detection results is not significantlydifferent for each ages p 0 875 sexes p 0 438 and sub district area p 0 322 The result shows decreasing the prevalence filarial antigen and wellmedication response for each ages sexes and sub district area"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joses Saputra
"Program eliminasi filariasis melalui pengobatan masal DEC-Albendazol divKabupaten Alor. Obat diberikan setiap tahun selama 6 tahun dari tahun 2002-2007. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi filariasis setelah program eliminasi melalui pemeriksaan serologi pada murid SD dan orang dewasa. Deteksi serologi, antibodi anti-filaria IgG4, dilakukan dengan menggunakan uji Pan LF.
Desain potong lintang telah digunakan dalam penelitian ini. Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder dari Departemen Parasitologi FKUI. Sebanyak 1232 murid SD ( 629 anak laki dan 605 anak perempuan) dan 427 orang dewasa (206 laki-laki dan 221 perempuan) telah diambil darah jari pada malam hari dan diperiksa adanya antibodi anti-filaria IgG4.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 12 sampel (0,97%) positif IgG4 pada murid SD dan 14 sampel (3,27%) pada orang dewasa. Analisis statistik dengan menggunakan uji Chi-square menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut (p = 0.001).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa laki-laki memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,39%) dibandingkan dengan murid SD laki-laki (0,95%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,022) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dewasa perempuan memiliki prevalensi positif IgG4 yang lebih tinggi (3,16%) dibandingkan dengan murid SD perempuan (0,99%) dengan hasil uji Fisher’s (p= 0,034) yang menunjukkan adanya perbedaan signifikan. Dari penelitian ini dapatlah disimpulkan bahwa ada penurunan prevalensi IgG4 positif yang cukup signifikan pada murid SD dibandingkan pada orang dewasa.

Filariasis elimination program through DEC-albendazole mass treatment in Alor District. The drug is given every year for 6 years from 2002-2007. This study aims to determine the prevalence of filariasis after elimination program through serology test in primary school students and adult. Serological detection, anti-filarial IgG4 antibodies, carried out by using the test LF Pan.
Cross-sectional design was used in this study. The data used in this study is a secondary data from the Department of Parasitology Faculty of medicine. There are total of 1232 elementary school students (629 boys and 605 girls) and 427 adult (206 men and 221 women) had blood taken from finger at night finger and checked the anti-filarial IgG4 antibodies.
The results showed that 12 samples (0.97%) positive IgG4 in elementary school students and 14 samples (3.27%) in the adult. Statistical analysis using Chi square test showed a significant difference between the two groups (p = 0.001).
The results showed that adult male have a higher IgG4 positive prevalence (3.39%) compared with male primary school students (0.95%) with the results of Fisher's test (p = 0.022) indicating a significant difference.
The results showed that adult women have a higher IgG4 positive prevalence (3.16%) compared with girls of elementary school children (0.99%) with the results of Fisher's test (p = 0.034) indicating a significant difference. From this study it can be concluded that there is a significant decrease of IgG4 positive prevalence in elementary school students compared to adult.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maina Setiani
"Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu masalah kesehatan utama diseluruh dunia termasuk di Indonesia. Lesi tuberkulosis menggambarkan proses yang terjadi di paru dan dapat dideteksi oleh pemeriksaan radiologi toraks. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran radiologi toraks pasien pascatuberkulosis dan faktor-faktor yang berhubungan di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan menggunakan desain cross sectional. Data didapatkan dengan melakukan wawancara berdasarkan kuesioner dan pemeriksaan radiologi toraks pada 61 subjek di Nusa Tenggara Timur. Subjek sebagian besar berusia dibawah 50 tahun (65,5%), berjenis kelamin laki-laki (50,8%), memiliki keluhan batuk (63,9%), sesak napas (59%) dan nyeri dada (8,2%). Gambaran radiologi toraks yang ditemukan adalah lesi aktif TB (45,9%), lesi bekas TB (42,6%) dan normal (11,5%). Lesi tuberkulosis yang ditemukan adalah fibrosis (72,1%), infiltrat (45,9%), ektasis (45,9%), kavitas (3,3%), kalsifikasi (24,6%), penebalan pleura (13,1%) dan luluh paru (3,3%). Pengolahan data menggunakan SPSS 16 yang kemudian dianalisis menggunakan uji chi-square dan kolmogorov-smirnov. Hasil yang diperoleh adalah tidak terdapat hubungan bermakna antara gambaran radiologi toraks pasien pascatuberkulosis dengan usia (p = 0,985), jenis kelamin (p = 0,309), keluhan batuk (p = 0,357), sesak napas (p = 0,918) dan nyeri dada (p = 1,000).

Tuberculosis remains major health problem worldwide, including Indonesia. Tuberculosis lesions describe the process that occurs in the lung and can be detected by chest radiologic examination. This study aims to describe chest radiologic findings of post-pulmonary tuberculosis patients and associated factors in East Nusa Tenggara Province by using cross-sectional design. Data obtained by conducting interviews based on questionnaires and radiological examination in 61 subjects in East Nusa Tenggara. Most subjects are less than 50 years old (65.5%), male (50.8%), have cough (63.9%), dipsneu (59%) and chest pain symptom (8.2 %). Chest radiologic findings showed active lesion of TB (45,9%), former lesion of TB (42.6%) and normal (11.5%). Tuberculosis lesions found are fibrosis (72.1%), infiltrates (45.9%), ectasis (45.9%), cavities (3.3%), calcification (24.6 %), pleural thickening (13.1%) and destroyed lung (3.3%). Data processed using SPSS 16 and analyzed using the chi-square and kolmogorov-smirnov test. Results shows there is no relationship between chest radiologic findings of post pulmonary tuberculosis patients by age (p = 0.985), gender (p = 0.309), cough (p = 0.357), dipsneu (p = 0.918) and chest pain (p = 1.000).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Mawar Cita Puspita
"Pendahuluan: Malaria masih menjadi permasalah kesehatan terutama di Indonesia bagian Timur. Di daerah endemis infeksi malaria dapat terjadi secara mikroskopik dan submikroskopik. Namun sejauh ini, penelitian mengenai relevansi klinis infeksi malaria terhadap anemia di daerah endemis belum banyak dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara infeksi malaria dengan anemia pada kelompok anak usia sekolah di provinsi Nusa Tenggara Timur.
Metode: Penelitian potong-lintang ini melibatkan subjek siswa sekolah dasar kelas I-V berusia 6-16 tahun dari beberapa sekolah dasar di kecamatan Wewiku Nusa Tenggara Timur. Infeksi malaria ditentukan berdasarkan pemeriksaan apus darah menggunakan Giemsa 3% dan RT-PCR. Kadar hemoglobin dinilai dengan alat HemoCue® Hb 201 portabel dan anemia ditentukan berdasarkan sistem klasifikasi WHO. Analisis hubungan antara infeksi malaria dan anemia dilakukan dengan uji Chi-square dan Mann-Whintey, sementara uji korelasi dilakukan dengan uji Spearman. Seluruh analisis data dilakukan dengan Statistical Package for Social Sciences (SPSS) for Windows versi 20.
Hasil: Sebanyak 348 anak sekolah dasar terlibat dalam penelitian ini. Proporsi infeksi malaria ditemukan sebesar 34,8% terdiri dari 18,4% infeksi submikroskopik dan 16,4% infeksi mikroskopik. Infeksi malaria yang terjadi didominasi oleh P.vivax (82,6%), diikuti oleh P.falciparum (15,7%), dan mixed infections (1,7%). Sementara itu, proporsi anemia ditemukan sebesar 55,2%, mayoritas anemia yang ditemukan termasuk ke dalam kategori ringan (>11 g/dL). Tidak ditemukan hubungan yang signifikan antara infeksi submikroskopik dengan anemia (OR=0,809, 95% CI [0,464-1,410], p=0,454). Akan tetapi, ditemukan korelasi negatif sedang yang signifikan antara densitas parasit infeksi mikroskopik P.vivax dengan anemia (r= -0,408, p=0,005). Analisis pada infeksi P.falciparum tidak dapat dilakukan karena jumlah sampel tidak mencukupi.
Simpulan: Anemia pada wilayah studi bukan disebabkan oleh infeksi submikroskopik. Namun, infeksi mikroskopik dapat menyebabkan penurunan kadar hemoglobin dan berpotensi menjadi kontributor terhadap anemia. Dengan demikian, diperlukan pemeriksaan kadar hemoglobin pada penderita malaria mikroskopik untuk mengantisipasi kejadian anemia.

Introduction: Malaria is still a health problem, especially in eastern Indonesia. In endemic areas, malaria infection can occur microscopically and submicroscopically. However, there have not been many studies on the clinical relevance of malaria infection to anemia in endemic areas. This study aims to investigate the association between malaria infection and anemia in a group of school-age children in the province of East Nusa Tenggara.
Methods: This cross-sectional study involved the subjects of elementary school students from grade 1-4 aged 6-16 years from several elementary schools in Wewiku subdistrict, East Nusa Tenggara. Malaria infection was determined based on blood smear examination using Giemsa 3% and RT-PCR. Hemoglobin levels were assessed using a portable HemoCue® Hb 201 device and anemia was determined according to the WHO classification system. Analysis of the relationship between malaria infection and anemia was performed using the Chi-square and Mann-Whintey tests, while the correlation test was analysed with Spearman test. All data analyzes were performed with the Statistical Package for Social Sciences (SPSS) for Windows version 20.
Results: A total of 348 elementary school children were involved in this study. The proportion of malaria infections was 34.8%, consisting of 18.4% submicroscopic infections and 16.4% microscopic infections. The malaria infections were dominated by P. vivax (82.6%), followed by P. falciparum (15.7%), and mixed infections (1.7%). Meanwhile, the proportion of anemia was found to be 55.2%, the majority of anemia was in the mild category (>11 g / dL). There was no significant association between submicroscopic infection and anemia (OR = 0.809, 95% CI [0.464-1.410], p = 0.454). However, there was a significant negative correlation between parasite density of microscopic P. vivax infection and anemia (r = -0.408, p = 0.005). Analysis of P. falciparum infection cannot be performed due to insufficient sample size.
Conclusion: Anemia in the study area was not caused by submicroscopic infection. However, microscopic infection can lead to decreased hemoglobin levels and can be a potential contributor to anemia. Thus, it is necessary to check hemoglobin levels in microscopic malaria patients to anticipate the incidence of anemia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>