Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 221544 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Allan Taufiq Rivai
"Hipoalbuminemia merupakan komplikasi yang umum ditemui pada penyakit ginjal kronik. Hemodialisis dapat pula menyebabkan keadaan hipoalbuminemia. Kadar albumin kurang dari 4 g/dl termasuk faktor risiko utama mortalitas pada pasien hemodialisis. Penelitian bertujuan untuk mengetahui status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 dan hubungannya dengan kelompok usia, jenis kelamin dan derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun).
Penelitian menggunakan desain potong lintang. Subjek adalah pasien yang menjalani hemodialisis di RSCM pada bulan Februari 2009. Data kadar albumin serum dibagi menjadi dua status, yakni normal dan hipoalbuminemia. Hubungan antara kelompok usia, jenis kelamin derajat lama hemodialisis dan status albumin serum diuji dengan uji chi square (p<0,05).
Dari hasil penelitian, didapatkan 108 subjek dengan umur rerata 50,48 (SD 13,44) tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita. Median lama hemodialisis 2,3 (0,3-17,5) tahun. Proporsi hipoalbuminemia (kadar albumin serum < 4 g/dl) pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis di RSCM bulan Februari 2009 sebesar 41,7%. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelompok usia (< 50 tahun dan ¡Ý 50 tahun) ataupun jenis kelamin dengan status albumin serum (normal dan hipoalbuminemia). Terdapat hubungan yang bermakna antara derajat lama hemodialisis (¡Ü 1 tahun dan > 1 tahun) dengan status albumin serum pasien hemodialisis di RSCM pada bulan Februari tahun 2009 (OR = 2,56; CI: 1,01 ¨C 6,58). Kadar albumin serum cenderung lebih rendah pada pasien dengan lama hemodialisis satu tahun atau kurang.

Hypoalbuminemia is a common complication in chronic renal disease. Hemodialysis can also cause hypoalbuminemia. Serum albumin level less than 4g/dl is a major risk factor for mortality in hemodialysis patients. The objective of the study is to know the state of serum albumin of hemodialysis patients in RSCM on February 2009 and its relationship with group age, sex, and degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year).
The design used was cross sectional study. Subjects were patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009. The data of serum albumin level was categorized into normal or hypoalbuminemia state. The association between group age, sex, and degree of hemodialysis duration with the state of serum albumin were tested using chisquare test (p<0.05).
From the study, there were 108 patients with a mean age of 50.48 (SD 13.44) years old and a median hemodialysis duration of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. Proportion of hypoalbuminemia (serum albumin level < 4 g/dl) in patients who undergo hemodialysis in RSCM on February 2009 is 41.7%. There are no significant relationship between group age (< 50 years old and ¡Ý 50 years old) and sex with the state of serum albumin. The relationship between degree of hemodialysis duration (¡Ü 1 year and > 1 year) and the state of serum albumin is significant (OR = 2.56, CI: 1.01 ¨C 6.58). Serum albumin level tend to be lower in patients who undergo hemodialysis for 1 year or less.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Krishna Pandu Wicaksono
"Pruritus adalah salah satu komplikasi yang cukup sering ditemui pada pasien hemodialisis. Salah satu faktor yang berkontribusi untuk terjadinya pruritus adalah tingginya kadar kalsium serum. Kalsium dalam jumlah besar dapat berikatan dengan fosfat membentuk kristal. Kristal ini bila terdeposisi di kulit akan merangsang ujung saraf sehingga menimbulkan gatal. Penelitian kami mencari hubungan antara kadar kalsium serum dengan derajat pruritus dalam VAS.
Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009. Setiap pasien dianamnesis untuk dinilai derajat pruritusnya dan diambil data pemeriksaan kadar kalsium serumnya pada bulan Februari 2009. Berdasarkan kadar kalsium serumnya, pasien dibagi menjadi kelompok hiperkalsemia dan normal dengan batas 11 mg/dl. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai hubungan skor VAS pruritus dengan kadar kalsium serum pasien.
Dilakukan juga uji untuk menilai korelasi skor VAS pruritus dengan kadar kalsium serum. Pasien berumur rerata 50,48 ± 13,44 tahun, terdiri dari 57,4% pria dan 42,6% wanita, dan lama HD rerata 2,3 (0,3-17,5) tahun. Sebanyak 54 pasien (50%) mengeluhkan pruritus dengan berbagai derajat. Dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna antara skor VAS pruritus pada kelompok pasien yang kadar kalsiumnya normal dengan kelompok pasien hiperkalsemia (p<0,001). Dengan uji Spearman ditemukan korelasi positif sedang (r=0,495) yang bermakna (p<0,001) antara kadar kalsium pasien dengan skor VAS pruritus pasien. Disimpulkan bahwa kadar kalsium serum berpengaruh terhadap ada tidaknya dan derajat pruritus pada pasien hemodialisis kronik.

Pruritus is one of the most commonly found complication in hemodialysis patient. One factor that is proposed to be contributing in pruritus is the high serum calcium concentration. High numbers of calcium molecules in the blood may bond with phosphate to form crystals. These crystals, when aggravated in the skin, may stimulate nerve endings and cause pruritic sensation.
In this study, we try to find the association between the severity of pruritus, measured with Visual Analog Scale (VAS), with the concentration of serum calcium. We use croos sectional method for this study. A total of 108 hemodialysis patients in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo were studied in February 2009. Each patient was interviewed for assessment of the level of pruritus. We also noted their data of serum calcium concentration on February 2009. We categorized patients with calcium serum concentration >11 mg/dl into hypercalcemia group and those with calcium serum concentration <11 mg/dl into normal group. The patients have mean age of 50,48 ± 13,44 years and a mean duration of hemodialysis of 2,3 (0,3-17,5) years, 57,4% were male and 42,6% were female.
By Mann-Whitney analysis, there was strong difference between pruritus VAS score of the hypercalcemia groups and the normal group (p<0,001). Also, by Spearmann analysis, there was significant (p<0,001), moderate positive correlation (r=0,495) between serum calcium concentration with the pruritus VAS score. It was concluded that the calcium serum concentration has significant influence on the existence and degree of pruritus in hemodialysis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ignatius Bima Prasetya
"Pruritus merupakan komplikasi yang cukup mengganggu bagi pasien hemodialisis. Salah satu faktor yang berkontribusi untuk terjadinya pruritus adalah kadar fosfat serum. Fosfat dalam jumlah besar akan membentuk kristal yang bila terdeposisi di kulit akan menimbulkan gatal. Pada penelitian ini kami membandingkan derajat pruritus yang dinilai dengan Visual Analog Scale (VAS) dengan kadar fosfat serum. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009. Setiap pasien dianamnesis untuk dinilai derajat pruritusnya dan diambil data pemeriksaan kadar fosfat serumnya pada bulan Februari 2009. Berdasarkan kadar fosfat serum, pasien dibagi menjadi kelompok hiperfosfatemia dan normal dengan batas 6,5 mg/dl. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai hubungan skor VAS pruritus dengan kondisi fosfat serum pasien. Dilakukan juga uji untuk menilai korelasi skor VAS pruritus dengan kadar fosfat serum. Pasien berumur rerata 50,48 ± 13,44 tahun, terdiri dari 57,4% pria dan 42,6% wanita, dan lama HD rerata 2,3 (0,3-17,5) tahun. Sebanyak 54 pasien (50%) mengeluhkan pruritus dengan berbagai derajat. Dengan uji Mann-Whitney didapatkan perbedaan yang bermakna antara skor VAS pruritus pada kelompok pasien yang kadar fosfatnya normal dengan kelompok pasien hiperfosfatemia (p<0,001). Dengan uji Spearman ditemukan korelasi positif (r=0,342) yang bermakna (p<0,001) antara kadar fosfat pasien dengan skor VAS pruritus pasien. Disimpulkan bahwa ada tidaknya dan tingkat keparahan pruritus amat dipengaruhi kadar fosfat serum.

Pruritus is still a disturbing complication for hemodialysis patients. One factor that is proposed to be deciding in pruritus is the serum phosphate concentration. High numbers of phosphate molecules in the blood may form crystals, which if aggravated in the skin, may stimulate pruritic sensation. In this study, we compare the severity of pruritus, measured with Visual Analog Scale (VAS), with the concentration of serum phosphate. We use croos sectional method for this study. A total of 108 hemodialysis patients in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo were studied in February 2009. Each patient was interviewed for assessment of the level of pruritus. We also noted their data of serum phosphate concentration. We categorized patients with phosphate serum concentration >6,5 mg/dl into hyperphosphatemia group and those with phosphate serum concentration <6,5 mg/dl into normal groups. The patients have mean age of 50,48 ± 13,44 years and a mean duration of hemodialysis of 2,3 (0,3-17,5) years, 57,4% were male and 42,6% were female. By Mann-Whitney analysis,There was strong difference between pruritus VAS score of the hiperphosphatemia groups and the normal group (p<0,001). Also, by Spearmann analysis, there was significant (p<0,001), positive correlation (r=0,342) between serum phosphate concentration with the pruritus VAS score. It was concluded that the existence and the level of pruritus was related to the concentration of the serum phosphate."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Arief Nugraha
"ABSTRAK
Tekanan darah merupakan faktor risiko utama penyakit kardiovaskuler yang mortalitasnya meningkat sampai 20 kali lipat pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis. Pemahaman yang benar mengenai mekanisme yang melibatkan perubahan tekanan darah intradialisis dapat mengarahkan pada
pemilihan tatalaksana yang lebih baik. Kami meneliti pada 108 subjek, yakni pasien penyakit ginjal kronik yang sedang menjalani hemodialisis 2 kali seminggu minimal selama 3 bulan. Kemudian dilakukan pengambilan data pre dan pascadialisis berdasarkan hasil pengukuran menggunakan sphigmomanometer raksa selama menjalani bulan Februari 2009. Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dan dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di Bangsal
Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari 2009.
Berdasarkan perubahan tekanan darah intradialisis, pasien dibagi menjadi kelompok peningkatan tekanan darah sistolik, peningkatan tekanan darah diastolik, penurunan tekanan darah sistolik dan penurunan tekanan darah diastolik. Lalu dilakukan uji statistik untuk menilai korelasi perubahan tekanan darah dengan lama menjalani menjalani hemodialisis. Pasien berumur rerata 50,4 ± 13,4 tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita, dan lama menjalani HD rerata 3,73 ± 3,8 tahun. Dengan uji Pearson didapatkan korelasi positif yang bermakna antara lama menjalani HD dengan peningkatan (p<0.05, r = 0.522) maupun penurunan tekanan darah sistolik (p<0.05,r = 0.912). Disimpulkan bahwa lama menjalani HD
mempengaruhi derajat peningkatan maupun penurunan tekanan darah sistolik intradialisis

ABSTRACT
Blood pressure is a determinant factor of cardiovascular disease and its mortality is 20 times greater in hemodialysis patients. A greater understanding of the mechanisms involved leads to more rational treatment and better BP control. In this study, we selected 108 patients that has already undergo hemodialysis twice a week for at least three months in Bangsal Hemodialisis Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo in February 2009. We categorized patients into
intradialytic systolic blood pressure increase, intradialytic diastolic blood pressure increase, intradialytic systolic blood pressure decrease, and intradialytic diastolic blood pressure decrease. The patients have mean age of 50,4 ± 13,4 years and a mean duration of hemodialysis of 3,73 ± 3,8 years, 47% were male and 43% were
female. By Pearson analysis, there was significant positive correlation between intradialysis systolic blood pressure increase (p<0.05, r = 0.522) and intradialysis systolic blood pressure decrease (p<0.05, r = 0.912) with hemodialysis duration. It was concluded that duration of hemodialysis was related to intradialytic systolic blood pressure changes."
2009
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan
"Latar belakang: Pasien dengan Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) yang menjalani hemodialisis dilaporkan adanya penurunan pendengaran. Beberapa studi mengatakan adanya hubungan antara hemodialisis dengan penurunan pendengaran. Penurunan pendengaran yang terjadi juga diduga adanya faktor risiko lain seperti usia, hipertensi, diabetes melitus dan riwayat/lamanya dilakukan hemodialisis. Beberapa penelitian, dikatakan masih kontroversi sehingga dibutuhkan penelitian lebih lanjut.
Metode: Penelitian potong lintang pre dan post ini melibatkan 50 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan ekslusi. Pemeriksaan dilakukan dengan menilai pemeriksaan otoskopi, dilanjutkan dengan pemeriksaan timpanometri, audiometri nada murni dan DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions). Pemeriksaan fungsi pendengaran dilakukan secara pre post hemodialisis. Pengolahan data dilakukan dengan uji t berpasangan dan Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan adanya hubungan bermakna (p<0,001) antara perubahan rerata ambang dengar dan SNR (Signal to Noise Ratio) dengan terapi hemodialisis pada pasien PGTA.
Kesimpulan: Hemodialisis dapat menurunkan ambang dengar dan perubahan SNR terutama pada frekuensi tinggi. Pada penelitian ini perubahan ambang dengar dan SNR bersifat reversibel, diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui perubahan ambang dengar dan SNR yang bersifat irreversibel.

Introduction: Patients with End Stage Renal Disease (ESRD) undergoing hemodialysis reported hearing loss. Several studies suggest a relation between hemodialysis and hearing loss. The decrease in hearing that occurs is also suspected to be due to other risk factors such as age, hypertension, diabetes mellitus and history/length of hemodialysis. Some research is said to be still controversial so further research is needed.
Methods: This cross-sectional pre and post study involved 50 research subjects who met the inclusion and exclusion criteria. The examination is carried out by assessing the otoscopic examination, followed by tympanometry, pure tone audiometry and DPOAE (Disortion Product Otoacoustic Emissions) examinations. Hearing function examination is carried out pre-post hemodialysis. Data processing was carried out using the paired t test and Wilcoxon Signed Ranks Test, P-value.
Results: In this study, it was found that there was a significant relationship (p<0.001) between changes in the average hearing threshold and SNR (Signal to Noise Ratio) with hemodialysis therapy in ESRD patients.
Conclusion: Hemodialysis can reduce hearing thresholds and changes in SNR, especially at high frequencies. In this study, changes in hearing threshold and SNR are reversible, further research is needed to determine whether changes in hearing threshold and SNR are irreversible.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ade Junaidi
"Status indeks masa tubuh pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis menjadi suatu penentuan tingkat morbiditas dan mortalitas. Pada pasien penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis dapat mengalami penurunan atau peningkatan indeks masa tubuh. Kami menggunakan metode potong lintang pada studi ini. Penelitian dilakukan pada 108 pasien hemodialisis di bangsal hemodialisis Subbagian Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSCM pada bulan Februari 2009. Kemudian diambil data dari status pasien mengenai berat badan kering dan tinggi badan pasien saat pertama kali menjalani hemodialisis dan bulan februari 2009. Berdasarkan perubahan indeks massa tubuh maka data ini dibagi atas 2 kelompok yaitu kelompok dengan peningkatan indeks masa tubuh dan penurunan indeks masa tubuh. Pasien berumur rerata 50,4 ± 13,4 tahun, terdiri dari 57% pria dan 43% wanita, dan lama menjalani hemodialisis rerata 2.3 tahun (0.3-17.5). Dengan uji Pearson didapatkan korelasi positif yang bermakna antara lama menjalani hemodialisis dengan peningkatan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.727) maupun penurunan indeks masa tubuh (p<0.001, r = 0.709). Disimpulkan bahwa lama menjalani hemodialisis mempengaruhi peningkatan maupun penurunan indeks massa tubuh pasien hemodialisis.

Status of body mass index on chronic kidney disease patients who undergo hemodialysis is a determinant factor for morbidity and mortality. Hemodialysis patients can increase or decrease their body mass indexes. In this study, we used cross sectional method. We selected 108 patients that has already undergone hemodialysis twice a week for at least three months in hemodialysis ward of Cipto Mangunkusumo Hospital in February 2009. Data are taken from dry weight and body height in medical records at the initial hemodialysis and on February 2009. We categorized patients into increased body mass index category and decreased body mass index category. The patients have mean age of 50,4 ± 13,4 years and a mean duration of hemodialysis of 2.3 (0.3-17.5) years, 57% were male and 43% were female. By Pearson analysis, there was significant positive correlation between increased body mass index (p<0.001, r = 0.727) and decreased body mass index (p<0.001, r = 0.709) with hemodialysis duration. It was concluded that duration of hemodialysis significantly influenced body mass index in hemodialysis patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Agustian
"

Latar Belakang: Penyakit Ginjal Kronik (PGK) adalah kondisi serius dengan morbiditas dan mortalitas tinggi, ditandai oleh kerusakan ginjal selama lebih dari tiga bulan. Hemodialisis adalah tatalaksana umum untuk PGK lanjut, yang dijalani oleh 19,33% pasien di Indonesia. Risiko Penyakit Kardiovaskular (PKV) pada PGK stadium 4-5 mencapai 50%, dengan 40% kematian terkait PKV. Padahal sebanyak 12,5% pasien CKD ditemukan pada pasien yang sudah memiliki penyakit kardiovaskular. Maka biomarker seperti Pentraxin-3 (PTX3) penting untuk diagnosis dan prognosis, terutama karena telah ditemukan lebih efektif daripada C-Reactive Protein (CRP) dan biomarker inflamasi lain. PTX3 juga bersifat kardioprotektif dan dapat memprediksi kejadian Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) tetapi belum pernah ada penelitian yang memprediksi MACE pada pasien PGK. Penelitian ini termasuk dalam penelitian CARE-CKD di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan menganalisis kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK.

Tujuan: Mengetahui kadar, nilai potong, dan kemampuan PTX3 dalam memprediksi MACE pada pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, dengan kalibrasi dan diskriminasi baik setelah dikontrol faktor jenis kelamin, usia, IMT dan infeksi.

Metode: Penelitian ini menggunakan desain kohort retrospektif. Data sekunder dari pasien PGK yang menjalani hemodialisis dianalisis untuk melihat hubungan kadar PTX3 dengan kejadian MACE selama satu tahun. Analisis statistik menggunakan SPSS versi 26.

Hasil:

Pada 74 pasien PGK yang menjalani HD di RSCM, kadar PTX–3 median adalah 0,9 ng/mL. Dari mereka, 11 pasien mengalami MACE dengan PTX–3 median 1,324 ng/mL. Analisis ROC menunjukkan AUC 0,630. PTX–3 dapat memprediksi MACE, dengan cut-off 1,317 ng/mL.

Simpulan: Pentraxin 3 dapat menjadi prediktor MACE pada pasien PGK yang menjalani HD yang baik setelah dikontrol oleh variable perancu.


Background: Chronic Kidney Disease (CKD) is a serious condition with high morbidity and mortality, characterized by kidney damage for over three months. Hemodialysis is a common treatment for advanced CKD, undertaken by 19.33% of patients in Indonesia. The risk of Cardiovascular Disease (CVD) in CKD stages 4-5 reaches 50%, with 40% of deaths related to CVD. Therefore, biomarkers like Pentraxin-3 (PTX3) are crucial for diagnosis and prognosis, as PTX3 has been found to be more effective than C-Reactive Protein (CRP) and other inflammatory biomarkers. PTX3 also has cardioprotective properties and can predict Major Adverse Cardiovascular Events (MACE), though no studies have yet predicted MACE in CKD patients. This research is part of the CARE-CKD study at Cipto Mangunkusumo Hospital and will analyze PTX3's ability to predict MACE in CKD patients.

Objective: To determine the levels, cut-off value, and predictive ability of PTX3 for Major Adverse Cardiovascular Events (MACE) in Chronic Kidney Disease (CKD) patients undergoing hemodialysis at Cipto Mangunkusumo Hospital, with good calibration and discrimination after controlling for gender, age, BMI, and infection factors.

Methods: This study utilized a retrospective cohort design. Secondary data from CKD patients undergoing hemodialysis were analyzed to examine the relationship between PTX3 levels and MACE occurrences over one year. Statistical analysis was conducted using SPSS version 26.

Results: In 74 CKD patients undergoing HD at Cipto Mangunkusumo Hospital, the median PTX-3 level was 0.9 ng/mL. Among them, 11 patients experienced MACE with a median PTX-3 level of 1.324 ng/mL. ROC analysis indicated an AUC of 0.630. PTX-3 can predict MACE, with a cut-off of 1.317 ng/mL.

Conclusions: Pentraxin 3 could be a predictor of MACE in CKD patients undergoing HD after calibration of confounding factors."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Nindita
"Latar belakang. Gagal ginjal terminal (GGT) atau penyakit ginjal kronik (PGK) stadium 5 merupakan masalah serius pada populasi anak dan dewasa, dengan insidens dan prevalensnya yang terus meningkat setiap tahun dan dapat menyebabkan komplikasi penyakit kardiovaskular. Kardiomiopati dilatasi (KMD) merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang dapat menyebabkan kematian pada anak dengan GGT. Prevalens KMD pada anak GGT cukup bervariasi, antara 2- 41%. Namun, saat ini studi tentang kejadian KMD pada anak GGT di Indonesia masih terbatas, terutama pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis. 
Tujuan. Mengetahui prevalens KMD dan faktor risiko yang berasosiasi dengan kejadian KMD, yaitu etiologi GGT, status nutrisi, anemia, hipertensi dan jenis dialisis pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). 
Metode. Desain studi potong lintang dilakukan di RSCM pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis selama periode 2017-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data dilakukan melalui penelusuran rekam medik. 
Hasil. Terdapat 126 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dengan jenis kelamin lelaki lebih banyak (59,5%), mayoritas usia di atas 5 tahun (98,4%), dengan median 12 tahun (10-15). Sebanyak 95,2% subjek adalah rujukan dari rumah sakit luar datang pertama kali ke RSCM dengan kegawatdaruratan dan membutuhkan dialisis segera. Prevalens KMD pada studi ini adalah 53,2%. Hasil analisis multivariat dengan regresi logistik menunjukkan anemia dan status nutrisi berasosiasi positif dengan kejadian KMD (OR 4,8, IK 95% 1,480-15,736, p=0,009) ; (OR 9,383, IK 95% 3,644-24,161, p=0,000). Tidak terbukti adanya hubungan etiologi PGK, hipertensi dan jenis dialisis dengan kejadian KMD. 
Kesimpulan. Prevalens KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis di RSCM adalah 53,2%. Terdapat asosiasi positif antara anemia dan status nutrisi dengan kejadian KMD. Etiologi GGT, hipertensi, dan jenis dialisis tidak berasosiasi dengan kejadian KMD pada anak dengan GGT yang menjalani dialisis.  

Background.  Kidney failure is a serious problem in children with the incidence and prevalence increasing every year, can cause cardiovascular disease. Dilated cardiomyopathy (DCM) is one of the cardiovascular disease can cause mortality in children with kidney failure. The prevalence varies between 2-44% and limited studies in Indonesia especially in children with kidney failure on dialysis. 
Objective. To determine the prevalence of DCM and risk factors in children with kidney failure on dialysis in Cipto Mangunkusumo hospital. The association of etiology of kidney failure, nutritional status, anemia, hypertention, and type of dialysis with DCM in children with kidney failure. 
Methods. A cross-sectional study among children with kidney failure according to the inclusion and exclusion criteria during 2017-2022 periode, in Cipto Mangunkusumo hospital. Collecting data using medical record. 
Result. There were 126 study subjects, with 59,5% male and 98,4% over 5 years old, the median is 12 years (10-15). The prevalence of DCM was 53.2%. The results of the multivariate analysis showed anemia and nutritional status were associated with the incidence of DCM, (OR 4.8, 95% CI 1.480-15.736, p=0.009); (OR 9.383, 95% CI 3.644-24.161, p= 0.000). There is no association between the etiology of kidney failure, hypertension and type of dialysis with DCM. 
Conclussion. The prevalence of DCM in children with kidney failure on dialysis was 53.2%. Anemia and nutritional status was associated with DCM in children with kidney failure on dialysis. The etiology of kidney failure, hypertension, and type of dialysis were not associated with DCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simanungkalit, Siska Ruthvina
"ABSTRAK
Peresepan dosis hemodialisis meliputi frekuensi, lama waktu hemodialisis dan kecepatan aliran darah. Peresepan dilakukan untuk menghitung pencapaian adekuasi dengan menggunakan rumus Kt/V. Adekuasi hemodialisis berperan penting dalam penilaian keefektifan tindakan hemodialisis yang diberikan kepada pasien gagal ginjal terminal. Penelitian deskritif korelasi dengan pendekatan cross-sectional bertujuan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi, lama waktu hemodialisis dan kecepatan aliran darah dengan adekuasi hemodialisis. Pengambilan data diperoleh dari data yang sudah berlangsung (retrospektif) dari bulan Maret-Mei 2015. Jumlah sampel pada penelitian adalah 96 orang yang ditentukan berdasarkan total sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara frekuensi, lama waktu hemodialisis dan kecepatan aliran darah (p=0,008, α=0,05) dengan adekuasi hemodialisis. Perawat perlu memperhatikan pedoman pengaturan kecepatan aliran darah dalam pencapaian adekuasi hemodialisis.

ABSTRAK
The prescribing of hemodialysis dose cover the frequency, duration of hemodialysis and quick of blood. Prescribing was conducted to calculate the adequacy outcome by using the formula Kt/V. Hemodialysis adequacy has an important role in assesing the effectiveness of hemodialysis actions to patients with end stage of renal disease.Correlation descriptive inquiry through cross-sectional aims to know the correlation between frequency, duration of hemodialysis and quick of blood with adequacy hemodialysis. Data collection retrieved from retrospective data from March to May 2015. The number of samples were 96 people who are determinated based on total sampling. The results indicated that there was a significant correlation between the frequency, duration of hemodialysis and quick of blood (p=0,008, α=0,05) with adequacy of hemodialysis (p = 0.008). Nurses need to pay attention to the guidelines of regulation of quick of blood in the outcome of hemodialysis adequacy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2016
S64248
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatu Meri Marwiyyatul Hasna
"ABSTRAK
Gangguan mineral tulang GMT merupakan salah satu komplikasi pada penyakitginjal kronik PGK . GMT-PGK menyebabkan gangguan sistemik padametabolisme mineral yang mengakibatkanabnormalitaskadar mineral, kelainanturn overtulang dan kalsifikasi pembuluh darah. Pada pasien PGK yang menjalanidialisis rutin GMT dapat meningkatkan angka mortalitas sebesar 20 . Penelitianini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguanmineral tulang pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin. Desain penelitian iniadalahcross sectional, menggunakan 72 responden pasien hemodialisis rutin diRSUPN. DR. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dipilih dengan menggunakan TeknikConcecutive sampling. Data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengangangguan mineral tulang ini diperoleh melalui wawancara dan data rekam medikpasiendalam tiga bulan terakhir. Analisis yang digunakan adalahuji chi-square,hasil uji statistik menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara faktor usia,jenis kelamin, status nutrisi: obesitas, lama menjalani hemodialysis dan kepatuhanpenggunaan pengikat posfatdengan GMT p0,05 . Penelitian inimerekomendasikan kepada praktisi kesehatan untuk membuat suatu protokoluntukdeteksi dini terjadinya resiko GMTpada pasien PGKyang menjalani hemodialisisberdasarkan faktor-faktor tersebut.

ABSTRACT
Mineral and bone disorder MBD is complications which may occur in chronickidney disease CKD . CKD MBD is characterized by systemic disorder of mineralmetabolism which leads to abnormality of blood mineral level, alterationof boneturnover, and calcification blood vessels that may result in an increased morbidityand mortality. MBD may increase mortality rate of CKD patients undergoingregular hemodialysis up to 20 . This study aimed to identify factors affectingmineral andbone disorder among patients undergoing regular hemodialysis. Thestudy design wascross sectionalwith total sample of 72 patients undergoingregular hemodialysis in RSUPN. DR. Cipto Mangunkusumo selected by consecutivesampling. Data regarding factors affecting mineral and bone disorder wereobtained through interview and medical record of the past three months. The datawere analyzed by chi square test. The result suggested that there was a significantcorrelation between age, sex, nutritional status obesity, time since firsthemodialysis and adherence to phosphate binder regimen and MBD p0.05 . Developing a protocol for early detection of complications dueto bone and mineral disorder is recommended for patient with CKD undergoingregular Hemodialysis."
2017
S67990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>