Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 180283 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dhifla Wiyani
"Era pasar bebas membuat perusahaan melakukan ekspansi ke berbagai negara. Banyak pula perusahaan yang mempunyai anak perusahaan dan mengintegrasikannya ke dalam bentuk perusahaan holding.. Perusahaan holding sebagai pihak pengendali menentukan arah kebijakan terhadap anak perusahaannya. Pengendalian tersebut menghilangkan independensi anak perusahaan dalam menentukan kebijakannya. Perusahaan holding dan anak perusahaan mempunyai status badan hukumnya masing-masing. Permasalahan mulai muncul manakala anak perusahaan melanggar ketentuan hukum persaingan usaha suatu negara, akibat kebijakan yang salah dari perusahaan induknya. Dapatkan otoritas persaingan usaha suatu negara meminta pertanggungjawaban pada perusahaan pengendali?"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25880
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dhifla Wiyani
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T37326
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Gina Aprilitasari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2010
S25065
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Astrella Maryadi Putri
"Tindakan anti persaingan usaha seringkali menimbulkan kerugian bagi beberapa pihak, seperti konsumen atau pesaing usaha. Hal tersebut mengakibatkan timbulnya hak atas ganti kerugian. Namun, di Indonesia belum banyak pihak yang menyadari bahwa dalam hukum persaingan usaha terdapat mekanisme private enforcement untuk memperoleh ganti rugi, serta belum ada ketentuan yang mendorong penggunaan private enforcement. Hal tersebut sangat disayangkan karena di Amerika Serikat mekanisme private enforcement menjadi alat untuk perolehan ganti rugi yang paling populer dengan berbagai keuntungan serta kemudahan yang ditawarkan. Di sisi lain, Uni Eropa yang juga memberlakukan ketentuan perihal private enforcement ditemukan banyak kendala dan hambatan dalam penerapannya, sehingga penggunaan public enforcement tetap menjadi pemain utama dalam penerapan hukum persaingan usaha. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang menggunakan analisa kualitatif terhadap penerapan mekanisme private enforcement dalam hukum penegakan usaha di Amerika Serikat dan Uni Eropa. Ketentuan serta penerapan di Amerika Serikat akan dijadikan sebagai bahan rujukan dalam penerapan private enforcement di Indonesia.

Several antitrust infringements will harm several parties, for example consumers or competitors. It will consequently give the rights to get compensation. However, only a few people who aware of this rights and also there is no supportive regulations for individual to do these private actions. This is unfortunate because United States of America USA has private enforcement mechanism, which is really popular in order to obtain competitions. USA also gives many advantages and convenience through this mechanism. On the other hand, European Union EU has also imposed the provision on private enforcement. In comparison of implementation in USA and EU, EU has several obstacles. Therefore, public enforcement still takes major parts in enforce EU antitrust law. This research is a normative and legal research with the using of qualitative analysis of regulations and applications of private enforcement in both jurisdictions. In the end, it will be references in the application of private enforcement in Indonesia. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Triyanto
"Doktrin Single Economic Entity (SEE) bukan konsep yang asing dalam dunia bisnis dan akuntansi. Amerika Serikat dan Uni Eropa telah mempelopori penerapan doktrin ini dalam penanganan perkara pelanggaran hukum persaingan usaha. Berdasarkan doktrin ini, satu kelompok pelaku usaha yang terdiri dari beberapa pelaku usaha yang merupakan subyek hukum mandiri, dapat dimintakan pertanggungjawaban atas tindakan yang dilakukan pelaku usaha yang merupakan angota SEE, bahkan jika induk perusahaan berdomisili di luar yurisdiksi pelaku usaha yang melakukan pelanggaran. Di Indonesia, penerapan doktrin SEE telah dilakukan pada dua kasus hukum persaingan usaha, yaitu kasus Temasek dan Astro. Penerapan doktrin ini membawa perdebatan terutama berkaitan dengan landasan yuridisnya karena doktrin SEE tidak secara ekplisit tertuang dalam Undang-Undang nomor 5 tahun 1999 tentang Larangan Monopoli dan Praktek Persaingan Tidak Sehat (UU nomor 5 tahun 1999). Untuk mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai konsep doktrin SEE, landasan yuridis, mekanisme penerapan, dan kendala yang dihadapi, kami tertarik untuk melakukan penulisan terkait tema dimaksud.
Berdasarkan analisis yang dilakukan, penerapan doktrin SEE di Indonesia bukan sama sekali tidak memiliki landasan yuridis. Walaupun doktrin tersebut tidak tertuang dalam batang tubuh dan penjelasan UU nomor 5 tahun 1999, penerapan doktrin SEE sejalan dengan Memory van Toleighting UU dimaksud yang memasukkan "frasa satu kelompok pelaku usaha" untuk mengantisipasi pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan yang merupakan anggota sebuah perusahaan grup. Selain itu, doktrin SEE sejalan dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan nomor 347/BL/2014 yang mewajibkan emiten dan perusahaan publik yang memiliki pengendalian atas anak perusahaan untuk menyusun laporan keuangan konsolidasi (menjadi satu kesatuan). Selain itu, untuk memperdalam pembahasan, dilakukan juga studi komparasi atas penerapan doktrin SEE di Malaysia dan Afrika Selatan. Lebih lanjut, untuk mengatasi perdebatan dalam penerapan doktrin SEE dimaksud, sebaiknya substansi doktrin SEE dimasukkan dalam perubahan RUU nomor 5 tahun 1999.

Single Economic Entity doctrine (SEE) is not a new concept in the world of business and accounting. United States and the EU has pioneered in practicing this doctrine to handle the infringements of competition law. According to the doctrine, a group of undertaking consisting of several businesses that are legal person, should be accountable for the actions of businesses which are members of SEE, even if the parent company is domiciled outside the jurisdiction of the businesses commiting infringements. In Indonesia, the application of the doctrine of SEE have been performed on two competition law cases, namely the case of Temasek and Astro. The practice of the doctrine drives a debate, mainly concerned with the juridical foundation since the SEE doctrine is not explicitly stated in the Act No. 5 of 1999 on Prohibition of Monopolistic Practices and Unfair Competition (Act No. 5 of 1999). To achieve a comprehensive understanding around the concept of SEE doctrine, juridical bases, implementation mechanisms, and encountered obstacles, we are interested to write such theme.
Based on the analyses, the practice of the SEE doctrine in Indonesia is not in the absence of legal bases. While the doctrine is not stated in the article and explanation of Act No. 5 of 1999, the practice of the of SEE doctrine is in line with the Memory van Toleighting of the act referred that include "phrase one group of businesses" to anticipate offenses committed by a company, member of a group company. In addition, the SEE doctrine is in line with the Financial Services Authority regulation number 347 / BL / 2014 requiring listed companies and public interest entities that posses control over the subsidiaries to prepare consolidated financial statements (as single economic unit). For further analyses, we also conducted comparison between the practice of Malaysia and South Africa. Furthermore, to address the argue, the substance of SEE doctrine should be included in the amandment draft of the Act number 5 of 1999.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43768
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endah Widwianingsih
"Tesis ini membahas mengenai Peraturan Komisi Nomor 1 tahun 2009 tentang Pra notifikasi Penggabungan, Peleburan, yang kemudian dibandingkan dengan pedoman merger di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Merger merupakan salah satu upaya perusahaan untuk memaksimalkan keuntungan, dan menjadi jalan keluar bagi perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas, namun merger juga dapat berdampak negatif dan mengurangi persaingan apabila merger mengakibatkan perusahaan mempunyai market power dan menimbulkan kesulitan bagi pelaku usaha yang baru untuk masuk ke pasar bersangkutan. Untuk mengurangi dampak negatif merger, diperlukan suatu pedoman yang dapat digunakan untuk menilai apakah merger yang dilakukan berdampak negatif terhadap persaingan usaha atau tidak.
Oleh karena itu permasalahan yang dibahas dalam tesis ini yaitu bagaimana pengaturan merger dalam perspektif Hukum Persaingan Usaha, bagaimana pedoman merger di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, serta bagaimana perbandingan pedoman merger di Indonesia dengan Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang, serta bagaimana analisa terhadap ketentuan Pra notifikasi dalam Perkom Nomor 1 Tahun 2009. Sebagaimana diketahui Pra notifikasi merupakan notifikasi yang disampaikan oleh pelaku usaha kepada lembaga persaingan sebelum merger dilaksanakan. Mayoritas negara-negara di dunia menggunakan sistem Pra notifikasi karena dianggap lebih efektif mencegah terjadinya transaksi merger yang dapat berdampak negatif terhadap persaingan usaha. Pra notifikasi berdasarkan Perkom Nomor 1 Tahun 2009 bersifat sukarela, dan untuk melakukan Pra notifikasi maka harus memenuhi syarat yaitu memenuhi definisi merger, dan memenuhi notification threshold.

This thesis criticize guideline constitutes an inseparable part of Commission Regulation Number 1 Year 2009 on Merger, Consolidation and/or Acquisition Pre Notification., and which compared to guidance of merger in United State, Uni Europe, and Japan. Merger became one of the business strategies, but merger also may potentially harm and lessening competition if merger make company have market power and reject or impede certain other business actors from conducting the same business activities in the relevant market. Merger need a guidelines to reduce the negative impact.
Therefore the problem which is discussed in this thesis that how guidance of merger in United States, Uni Europe, anda Japan, and how comparison of guidance of merger in Indonesia with United States, Uni Europe, anda Japan, and how analysis of Commission Regulation Number 1 Year 2009. Pre notification is a voluntary notification given by bussiness actor to commission on a proposed merger. Majority of nations in the world use Pre notification system becaus more effective to prevent the negative impact of merger. Pre notification in Commission Regulation Number 1 Year 2009 is voluntary , and Pre notification should be fullfilled the essence of merger and notification threshold.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
T25906
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jordibec Essa Bala
"Perkembangan teknologi informasi yang begitu pesat telah mengantarkan pada realitas adanya akselerasi revolusi industri yang sangatlah dinamis, yang juga berdampak pada lingkup aktivitas bisnis yang semakin masif dilaksanakan secara lintas batas negara, yang kemudian didukung dengan adanya regulasi-regulasi yang mengarah pada integrasi ekonomi global. Realitas demikian tentunya akan membawa dampak positif dalam perkembangan perekonomian bangsa, termasuk namun tidak terbatas dalam hal menciptakan iklim persaingan usaha yang kompetitif, efektif dan efisien. Namun di sisi lain, hal demikian juga akan berdampak pada semakin terbukanya potensi anti persaingan yang dapat dilaksanakan secara lintas batas negara. Oleh karenanya, untuk mencegah dan mengakomodir potensi negatif demikian, diperlukan regulasi yang menerapkan prinsip ekstrateritorial dan doktrin single economic entity dalam penegakan hukum persaingan usaha Indonesia. Hukum persaingan usaha Indonesia saat ini, sebagaimana yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, menunjukkan bahwa tidak adanya penerapan prinsip dan doktrin tersebut. Berlandaskan hal tersebut, dalam penulisan Tesis ini, penulis akan mengkaji bagaimanakah korelasi, urgensi, dan sebaiknya penerapan pengaturan prinsip ekstrateritorial dan doktrin single economic entity dalam penegakan hukum persaingan usaha secara ekstrateritorial di yurisdiksi Indonesia. Selain itu juga, penulis akan mengkaji historis, filosofis, dan yuridis mengenai penerapan prinsip dan doktrin tersebut di yurisdiksi Uni Eropa dan Amerika Serikat dalam kaitannya dengan penegakan hukum persaingan usaha secara ekstrateritorial.

The rapid development of information technology has led to the reality of a very dynamic acceleration of the industrial revolution, which also has an impact on the scope of increasingly massive business activities carried out across national borders, which are then supported by regulations that lead to global economic integration. This reality will certainly have a positive impact on the development of the nation's economy, including but not limited to creating a competitive, effective and efficient business climate. But on the other hand, it will also have an impact on the opening of anti-competitive potential that can be implemented across national borders. Therefore, to prevent and accommodate such negative potentials, regulations that apply the extraterritorial principle and single economic entity doctrine are required in the enforcement of Indonesian competition law. Indonesia's current competition law, as contained in Law Number 5 Year 1999, shows that there is no application of this principle and doctrine. Based on those, in writing this thesis, the author will examine the correlation, urgency, and best application of the extraterritorial principle and single economic entity doctrine in the enforcement of competition law extraterritorially in the Indonesian jurisdiction. In addition, the author will also examine the historical, philosophical, and juridical aspects of the application of this principle and doctrine in the jurisdictions of the European Union and the United States in relation to extraterritorial enforcement of competition law and antitrust law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silalahi, M. Udin
"This article explains the main competition rules in European Community in general. The basic norm of competition rule in European Community (EC) is determined in article 3 (g) EC Treaty. Article 3 (g) provide that "the institution of a system ensuring that competition in the internal market is not distorted". To ensure workable competition in EC were set out in article 81 and 82 EC Treaty the Competition rule. Article 81 (1) prohibits as incompatible with common market, collusion between undertakings that may affect trade member states and has the object or effect of restricting competition within the common market. But not all agreements that perceptibly restrict competition and may effect inter-state trade are prohibited. Some forms of collaboration restrictive of competition may have beneficial effects and are capable exemption by the Commission. By virtue of article 81 (3) the prohibition in article 81 (1) may be declared inapplicable to any agreements or category of agreements provided that they have certain characteristics. This article will elaborate the prohibition of article 81 (1) and the exemption of article 81 (3) and as well the abuse of dominant position of article 82 EC Treaty."
Jurnal Kajian Wilayah Eropa, 2008
JKWE-4-1-2008-95
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dzaki Prakoso Wicaksono
"Pasar bersangkutan di dalam hukum persaingan usaha dapat meliputi berbagai macam bentuk menyusul adanya perkembangan pasar yang dinamis. Di Amerika Serikat, salah satu bentuk pendefinisian pasar bersangkutan dapat berupa single-brand aftermarket, yang mana pasar bersangkutan ini hanya mencakup produk lanjutan dari produk merek tertentu. Pasar bersangkutan jenis ini pada mulanya timbul di dalam perkara Eastman Kodak v. Image Technical Services (Supreme Court, Certiorari to The United States Court of Appeals for The Ninth Circuit, 1992), yang mana hakim di dalam perkara tersebut mendefinisikan pasar bersangkutan hanya berupa servis dan suku cadang dari mesin fotokopi dan micrographic Kodak. Dalam perkembangannya, penentuan single-brand aftermarket sebagai pasar bersangkutan disempurnakan oleh hakim di dalam perkara Newcal Industries, Inc. v. IKON Office Solution (United States Court of Appeals, Ninth Circuit, 2008), yang mana perkara ini mengeluarkan suatu pertimbangan khusus untuk menentukan aftermarket sebagai pasar bersangkutan yang dikenal dengan Newcal factors. Adapun di Indonesia, pengaturan hukum persaingan usaha tidak meliputi secara spesifik terkait dengan single-brand aftermarket sebagai pasar bersangkutan, sebagaimana dicakup di dalam hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini akan mencoba menganalisis bagaimana single-brand aftermarket diterapkan sebagai pasar bersangkutan di dalam penegakan hukum persaingan usaha di Amerika Serikat, sekaligus membahas bagaimana ia diterapkan di dalam kasus aktual dan bagaimana single-brand aftermarket diadaptasikan ke dalam hukum persaingan usaha di Indonesia.

Relevant market definition in the context of antitrust law may consist various forms, following the dynamic of the market development. In the United States, relevant market may also be defined to consist single-brand aftermarket products, in which it encapsulates only the aftermarket products of specific brands. This type of relevant market first invented in Eastman Kodak v. Image Technical Services (Supreme Court, Certiorari to The United States Court of Appeals for The Ninth Circuit, 1992), where the judges defined and limited the relevant market in that case to contain services and spare parts of Kodak’s photocopiers and micrographics. Considerations on defining single-brand aftermarket as relevant market in the subsequent cases developed as judges in Newcal Industries, Inc. v. IKON Office Solution (United States Court of Appeals, Ninth Circuit, 2008) invented several factors in regards of determining aftermarket as relevant market known as Newcal factors. In Indonesia, the laws regarding antitrust enforcement do not specifically include single-brand aftermarket as relevant market, as provided in the antitrust law of the United States. Utilizing normative juridical research method, this writing will attempt to analyze on how single-brand aftermarket is applied as relevant market in the enforcement of antitrust law in the United States. This writing will also discuss on how single-brand aftermarket as relevant market is implemented in actual cases and how it is adapted to antitrust law in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sheila R. Alam
"Skripsi ini menjelaskan mengenai penerapan perlindungan indikasi geografis di Indonesia dan membandingkan dengan sistem yang diterapkan di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Untuk itu dalam rangka mengetahui jenis perlindungan yang diterapkan di Indonesia maka penulis menguraikan implementasi dari perlindungan indikasi geografis di Indoneisa serta membandingkan dengan penerapan yang ada di Uni Eropa dan Amerika Serikat. Skripsi ini disusun dengan metode penulisan hukum komparatif yang menghasilkan data berupa perbandingan penerapan suatu sistem hukum di ketiga negara tersebut.
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa penerapan indikasi geografis di Indonesia mirip dengan penerapan di Uni Eropa namun disertai dengan kendala pada sistem pendaftaran yang rumit. Oleh karena itu perlu suatuu instrumen perlindungan yang lebih efektif untuk melindungi komoditas khas misalnya menggunakan merek kolektif atau merek sertifikasi, ataupun ketegasan pemerintah dan pelaku usaha untuk menerapkan fair trade practice dalam kegiatan perdagangan.

This mini-thesis describes the implementation of the protection of geographical indication in Indonesia and compare with the system applied in the European Union and the United States. In order to know what kind of protection of geographical indications in Indonesia and compares with the existing implementation in European Union and United States. This research is prepared by the method of comparative law writing that produced the data is a comparison of the application of a legal system in those three countries.
The conclusion is the application of geographical indications in Indonesia similar to the implementation of the European Union but it is followed by constraints on the complicated registration system. Protection also does not bring the positive impact of increased exports of registered product. Therefore, to solve those problems, an instrument of protection which is more effective is needed to protect specific commodities of the government and businessmen to implement fair trade practices in trading activity.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
S585
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>