Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9888 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"The DPD does not have power to pass legislation.It can only introduce or gives advices on a certain range of bills in the DPR. With this limited power,DPD acts only as a sub-ordinate of DPR...."
JUILPEM
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Saldi Isra
Depok: Rajawali Press, 2021
328.598 SAL p
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Cipto
Jakarta: Radja Grafindo Persada, 1995
328.09598 Cip d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Musni Umar
"Teknik penelitian yang dilakukan di Kabupaten Kendari mengenai Peran Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, yang utama adalah menggunakan kualitatif, didukung dengan teknik kuantitatif. Subyek dalam penelitian ini sebanyak 11 informan utama. Cara mendapatkan informasi/data yaitu melalui wawancara mendalam terhadap 11 informan utama, Peraturan Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari, Peraturan Daerah produk DPRD, UU Otonomi Daerah, dan observasi lapangan. Teori yang dipakai ialah pembagian kekuasaan, dan fungsi-fungsi Badan Legislatif, dengan konsep DPRD sebagai penyeimbang eksekutif.
Penelitian ini telah membuat indikator untuk mengukur kinerja DPRD dan menemukan data yang amat penting tentang peran DPRD di era reformasi, di mana institusi itu ternyata tidak efektif, sehingga harapan terwujudnya perimbangan kekuasaan (balance of power) antara legislatif (DPRD) dengan eksekutif (Bupati) masih jauh dari kenyataan. Akibatnya, pelaksanaan otonomi yang dititik-beratkan pada daerah kabupaten dan kota, telah memindahkan sentralisasi kekuasaan ke tangan Bupati, sehingga terjadi monopoli kekuasaan, dan muncul kecenderungan semakin meluas dan bertambah merajalela praktik korupsi, kolusi dan nepotisme di era otonomi daerah.
DPRD sebagai simbol demokrasi dan representasi dari rakyat yang berdaulat, tidak berdaya menghadapi Bupati, karena masih tetap dijalankan paradigma lama pemerintahan yaitu Bupati adalah sebagai penguasa tunggal di daerahnya, Penyebab lainnya ialah terbatasnya kualitas anggota DPRD, dominannya kepentingan pribadi anggota Dewan, lemahnya masyarakat madani (civil society) di kabupaten Kendari, masih kuatnya pengaruh feodalisme dan terus dibatasinya kewenangan anggota Dewan untuk menjalankan fungsi dan menggunakan hak Dalam Tata Tertib DPRD Kabupaten Kendari secara jelas dapat ditemukan pasal-pasal yang mempersulit serta menghambat pelaksanaan fungsi dan hak anggota DPRD seperti fungsi pengawasan yang diatur dalam paragraf 4 yaitu hak mengadakan penyelidikan (pasal 14), paragraf 6 hak mengajukan pernyataan-pendapat (pasal 18), dan paragraf 9 hak mengajukan pertanyaan (pasal 22); serta paragraf 7 hak prakarsa untuk mengajukan rancangan peraturan daerah (pasal 19). Pasal-pasal tersebut sebaiknya dalam rangka reformasi dan upaya meningkatkan kinerja DPRD direvisi. Temuan lainya bahwa pelaksanaan peran DPRD dilihat dari jumlah produk peraturan Daerah, ternyata DPRD di masa Orde Baru lebih tinggi produktivitasnya dibanding DPRD di era reformasi. Begitu juga dalam penggunaan hak-hak Dewan, serta pelaksanaan tugas dan wewenang DPRD secara keseluruhan tetap memprihatinkan. Kendati begitu, dari sisi penggunaan hak Dewan terutarna keberanian para anggota mengadakan perubahan terhadap rancangan peraturan daerah, dan pelaksanaan pengawasan langsung terdapat peningkatan yang cukup menggembirakan. Dalam hal pembentukan Peraturan Daerah, tidak ada bedanya DPRD di era Orde Baru dengan DPRD di era reformasi, karena semua rancangan peraturan daerah bersurnber dari inisiatif eksekutif, tidak ada yang dilahirkan dari hasil inisiatif atau prakarsa DPRD. Akibatnya, produk peraturan daerah umumnya kurang bernuansa pemberdayaan masyarakat baik dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan lain sebagainya. Hampir semua produk peraturan daerah, bersifat membebani rakyat, dan untuk kepentingan kekuasaan_ Itulah sebabnya, masyarakat menilai bahwa DPRD belum berperan secara optimal dalam mendorong perbaikan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Mereka lebih sibuk mengurus kepentingan diri sendiri.
Mengenai keterwakilan rakyat di DPRD, sudah mulai ada kemauan politik yang ditunjukkaan dalam proses pencalonan anggota DPRD dengan dipilihnya para calon anggota DPRD dari Kecamatan atau Desa. Hanya proses menuju keterwakilan rakyat terhenti setelah pemilu, tidak berlanjut dan berkesinambungan di DPRD melalui perjuangan untuk memajukan kesejahteraan rakyat yang dicerminkan dalam pembuatan berbagai peraturan daerah, penyusunan anggaran pendapatan dan belanja daerah, pengawasan yang efektif, dan penyaluran aspirasi serta kepentingan rakyat. Dalam praktek, kita menyaksikan terjadinya interaksi yang baik antara DPRD dengan eksekutif, tetapi belum menghasilkan manfaat nyata bagi perbaikan nasib rakyat. Demikian juga, interaksi antara DPRD dengan rakyat mulai berjalan dinamis, hanya tingkat ketidakpuasan rakyat terhadap DPRD masih tinggi. Indikatornya dapat ditunjukkan antara lain tetap banyaknya rakyat yang berdemonstrasi di DPRD, walaupun menurut penilaian Pimpinan DPRD dan Ketua-Ketua Fraksi di DPRD bahwa hal tersebut justru merupakan bukti bahwa rakyat percaya kepada DPRD. Kalau tidak percaya, tidak mungkin rakyat datang mengadukan nasibnya ke DPRD. Sedang peran DPRD di masa lalu, mengalami pasang surut karena mengikuti dinamika dan kebijakan politik yang dijalankan ditingkat nasional. Jika pemerintah pusat menjalankan pemerintahan secara demokratis, maka imbasnya merembet ke seluruh daerah dalam wujud desentralisasi dan otonomi luas, sehingga memberi dampak positif kepada rakyat dan DPRD karena dapat berpartisipasi dan berperan aktif menjalankan fungsinya. Demikian pula sebaliknya, jika pemerintah pusat menjalankan kebijakan pemerintahan secara otoriter, maka imbasnya ke berbagai daerah akan termanifestasi dalam wujud sentralisasi dan dekonsentrasi pemerintahan, yang dampaknya negatif bagi rakyat dan DPRD karena demokrasi dipasung. Akan tetapi, pengalaman menunjukkan bahwa politik desentralisasi dalam pelaksanaan pemerintahan di daerah, tidak selamanya berhasil dimanfaatkan dengan baik oleh elit penguasa dan politik baik eksekutif maupun DPRD untuk membangun masyarakat madani. Disinilah urgensinya membangun kesadaran masyarakat (common consciousness) agar sadar bahwa kedaulatannya yang telah diserahkan kepada wakil mereka di DPRD melalui pemilu, harus selalu dikontrol, supaya mereka menjalankan fungsinya secara optimal dan baik.
Berkaitan dengan upaya memperkuat peran masyarakat di DPRD, maka dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, semakin dirasakan pentingnya membangun kekuatan masyarakat madani yang terdidik, dan demokratis. Untuk itu, nilai-nilai budaya lokal yang mengandung unsur-unsur demokrasi yang berakar kuat di masyarakat sudah saatnya dikembangkan dan dibudayakan."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T9526
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gitta Nur Wulan
"Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi merupakan salah satu urusan pemerintahan konkuren yang didapatkan secara atribusi dengan bersumber pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Atas dasar hal tersebut, Kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang Transportasi pada pelaksanaannya dapat dibagi dalam kewenangan perencanaan; kewenangan penyelenggaraan dan kewenangan evaluasi. Dalam perkembangannya, permasalahan transportasi Jakarta yang kompleks dan terhubung dengan daerah sekitarnya membutuhkan penanganan yang terpadu dan komprehensif, sehingga pemerintah pusat membentuk Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) melalui Perpres No. 103 Tahun 2015 tentang Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek. BPTJ melaksanakan tugas dengan mengacu pada Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ). Oleh karena kewenangan BPTJ yang lintas daerah dalam wilayah Jabodetabek, maka kewenangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam bidang transportasi tidak mengalami perubahan secara substansial, melainkan hanya terdapat perubahan terkait koordinasi pelaksanaan kewenangan. Dalam hal ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap berwenang dalam pengelolaan transportasi di lingkup wilayahnya yang didasarkan atas kewenangan atributif dari pembagian urusan pemerintahan di bidang perhubungan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan jenis eksplanatoris, sehingga akan menghasilkan suatu penelitian yang menggambarkan atau menjelaskan secara mendalam terkait suatu gejala atau permasalahan dengan menggunakan data sekunder berupa norma hukum tertulis. Dalam praktik pelaksanaannya masih terdapat potensi tumpang tindih kewenangan antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan BPTJ, sehingga diperlukan peraturan perundang-undangan yang mengatur secara jelas mengenai hubungan kerja dan pembagian urusan di bidang transportasi antara pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek dengan BPTJ yang mengacu pada RITJ.
Jakarta Provincial Government Authority in the field of transportation is one of the concurrent authority obtained by attribution, referring to The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. On that basis, Jakarta Provincial Government Authority in the field of Transport on its implementation can be divided into the planning authority; organizing authority and the authority of the evaluation. In its development, the transportation problems in Jakarta was complex and connected with the surrounding area in need of an integrated and comprehensive treatment, so that the central government established the Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ) through Presidential Regulation Number 103 of 2015 concerning Transportation Management Agency of Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang and Bekasi (BPTJ). BPTJ duties referred to the Transportation Master Plan for Jabodetabek (RITJ). Therefore BPTJ authority which cross the area in Greater Jakarta, the Jakarta Provincial Government authorities in the field of transport did not change substantially, but there are only related to changes in coordinating the implementation of the authority. In this case, Jakarta Provincial Government retains authority in the management of transport in the scope of its area are based on the attributive authority of the division of government affairs in the sector of transportation in The Law of The Republic of Indonesia Number 23 of 2014 concerning Local Government. The method used in this research is normative juridical with the kind of explanatory, so it will produce a study that depicts or describes in depth related to a problem with using secondary data in the form of a written legal norms. In practical implementation, there is still potential overlapping authority between the Government of Jakarta with BPTJ, so that the necessary legislation clearly regulating the relationship and the division of affairs in the field of transport between local authorities in the Greater Jakarta area with BPTJ which refers to RITJ."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S63076
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Djazuli
"Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah satu lembaga negara yang anggotanya merupakan wakil rakyat yang telah bersumpah atau berjanji dan dalam melaksanakan tugasnya sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan rakyat. Oleh karena itulah DPR sebagai sebuah institusi berusaha meyakinkan masyarakat bahwa DPR telah melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam mewakili rakyat serta meyakinkan bahwa DPR merupakan salah satu tempat untuk menyampaikan aspirasi masyarakat.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenangnya, DPR mempunyai Sekretariat Jenderal yang bertugas memberian bentuan teknis, administrasi dan keahlian kepada DPR. Hubungan Masyarakat DPR merupakan salah satu unit dari organisasi Sekretariat Jenderal DPR yang bertugas memberikan penerangan kepada masyarakat tentang mekanisme kerja DPR dan kegiatan DPR serta bertugas menerima dan mengatur penerimaan delegasi masyarakat.
DPR dalam melaksanakan tugas dan fungsinya tidak cukup hanya dengan legalitas yuridis formal tetapi membutuhkan dukungan masyarakat yang tercermin dalam penilaian masyarakat yang datang ke Gedung DPR terhadap citra DPR baik sebagai lembaga maupun orang per orang sebagai Anggota DPR. Oleh karena itulah diperlukan penelitian yang dapat menjawab faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR. Tujuan penelitian yang dilakukan adalah berusaha menjelaskan Hubungan dan pengaruh masing-masing faktor terhadap citra DPR.
Dasar dalam penelitian adalah teori yang yang mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi citra suatu company/organisasi antara lain Product, Communication, Service dan Support. Produk yang dihasilkan Dewan Perwakilan Rakyat pada dasarnya adalah pelaksanaan tugas DPR yang berupa : Undang Undang, APBN, hasil pengawasan dan sebagai tempat / wahana untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi dan pengaduan masyarakat. Proses komunikasi yang dilakukan DPR mencakup kegiatan menginformasikan, menyebarluaskan dan mensosialisasikan kepada masyarakat. Pelayanan kepada masyarakat dilakukan oleh Sekretariat Jenderal DPR, sedangkan Support menggambarkan dukungan masyarakat terhadap para wakilnya yang duduk di DPR.
Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa Citra DPR tidak dapat dikatakan baik karena aspek kogtitif yang diukur dengan pengetahuan masyarakat datang ke Gedung DPR tentang DPR masih sangat kurang dengan nilai rata-rata 3,3 untuk skala pengukuran 1 sampai dengan 7. Aspek. afektif yang diukur dengan tingkat kesukaan masyarakat terhadap DPR mempunyai nilai 4,3 sedangkan aspek behavior yang diukur dengan penerimaan masyarakat terhadap DPR mempunyai nilai 4,1.
Faktor pelaksanaan tugas-tugas DPR yang mempunyai hubungan kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR RI. Pengaruh pelaksanaan tugas-tugas DPR terhadap citra DPR RI adalah sebesar 49,8 %. Faktor penyebarluasan atau sosialisasi DPR RI kepada masyarakat mempunyai hubungan cukup kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR. Pengaruh Sosialisasi DPR terhadap Citra DPR adalah sebesar 46,4 %. Faktor dukungan masyarakat kepada DPR mempunyai hubungan cukup kuat secara langsung dan signifikan terhadap citra DPR. Pengaruh Dukungan Masyarakat terhadap citra DPR adalah sebesar 30,9 %. Faktor pelayanan setjen DPR tidak mempunyai hubungan langsung yang signifikan terhadap citra DPR. Akan tetapi apabila pelayanan Setjen DPR dikorelasikan dengan dukungan yang diberikan masyarakat kepada DPR, maka korelasi menjadi signifikan. Sehingga pelayanan Setjen mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap citra DPR RI sebesar 7,2 %.
Secara keseluruhan pengaruh semua faktor Pelaksanaan Tugas DPR, Sosialisasi DPR, Pelayanan Setjen DPR dan Dukungan Masyarakat secara bersama-sama terhadap Citra DPR adalah sebesar 63,5 %. Dengan Dengan demikian, selain faktor Pelaksanaan Tugas, Sosialisasi, Pelayanan dan Dukungan masyarakat masih banyak faktor-faktor lain yang mempunyai pengaruh sebesar 36,5 % terhadap citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR RI.
Penelitian ini memberikan bukti bahwa dalam menggunakan dasar suatu teori yang digunakan belum tentu semua faktor akan cocok di lapangan. Bukan berarti landasan teori yang digunakan tidak tepat, tetapi yang diperlukan adalah penggunaan berbagai macam analisa secara detail, sehingga diperoleh masukan baru yang akan memperkaya teori.
Berdasarkan hasil penelitian, Humas Setjen DPR diharapan dapat meningkatkan perannya dalam mensosialisasikan hasil-hasil dan kinerja DPR, sehingga pengetahuan masyarakat tentang DPR dapat meningkat dan akhirnya akan meningkatkan citra DPR di kalangan masyarakat yang datang ke DPR."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T14295
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Jakarta: Lembaga Pemilihan Umum, 1971
328.3 MEM
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 2008
S25440
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzulfikar Fikri
"

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) selaku lembaga perwakilan daerah yang memiliki karakter keterwakilan berdasarkan daerah-daerah pada hakikatnya memiliki karakter keterwakilan yang lebih luas dari DPR, karena dimensi keterwakilannya berdasarkan seluruh rakyat yang terdapat pada daerah-daerah tersebut. DPD sebagai lembaga negara baru setelah amandemen UUD 1945 awalnya diharapkan dapat merealisasikan sistem dua kamar (bicameral), sebagai lembaga perwakilan rakyat, DPD memiliki fungsifungsi sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Fungsi-fungsi tersebut adalah fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pertimbangan. Semua tugas dan wewenang DPD terbatas pada aspek-aspek yang terkait erat dengan daerah. Ini merupakan sebuah potensi bagi DPD untuk dapat berperan lebih dalam berbagai aspek dalam pemerintahan daerah termasuk dalam pembangunan. Pembangunan diawali dengan perencanaan dan dalam ini adalah tahap paling penting karena disinilah partisipasi dari berbagai pemegang kepentingan disuarakan dan disatukan menjadi sebuah rencana pembangunan yang komprehensif untuk dapat mendukung pembangunan sebuah daerah. DPD sebagai lembaga perwakilan yang menjadi perwakilan wilayah seharusnya dapat lebih dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan mengingat kompleksnya proses pembangunan dan berbagai macam kepentingan di dalamnya.


The Regional Representative Council (DPD) as a regional representative institution that has a representative character based on regions has a broader representation character than the DPR, because the dimension of representation is based on all the people in these areas. The DPD as a new state institution after the amendment of the 1945 Constitution was initially expected to realize a two-chamber system (bicameral), as a people's representative institution, the DPD has functions as stipulated in the 1945 Constitution. These functions are legislative functions, budget functions, and consideration functions. All the duties and powers of the DPD are limited to those aspects closely related to the regions. This is a potential for the DPD to be able to play a deeper role in various aspects of regional governance including in development. Development begins with planning and in this is the most important stage because this is where the participation of various stakeholders is voiced and united into a comprehensive development plan to be able to support the development of a region. The DPD as a representative institution that becomes the regional representative should be more involved in the development planning process given the complexity of the development process and the various interests in it.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>