Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 50322 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rita Ratnawaty
"Indonesia memiliki banyak pulau (+ 17.500 pulau) dan sebagian besar adalah pulau-pulau kecil yang banyak mengandung kekayaan alam berupa tambang mineral, kekayaan laut, maupun keindahan alam yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi sehingga banyak pihak yang berkepentingan menginginkan pulau-pulau tersebut bahkan oleh pihak asing, beberapa pihak sangat mengkhawatirkan penguasaan pulau-pulau tersebut oleh pihak asing, karena dianggap akan membahayakan Integrasi dan Kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia. Kita masih trauma dengan direbutnya Pulau Simpadan dan Ligitan oleh Negara Malaysia. Pulau Bidadari yang merupakan salah satu dari 300 gugusan pulau yang ada di Nusa Tenggara Timur saat ini dikuasai Ernest Lewandowski warga negara Inggris, selaku kuasa dari PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI telah memperoleh Hak Guna Bangunan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat sesuai surat Keputusannya tanggal 23 Mei 2005 Nomor 01/550.2/24.16/2005 dan telah diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 17 Labuan Bajo. Permasalahannya adalah apakaah penguasaan Pulau Bidadari oleh PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI sah menurut hukum? Bagaimana proses pemberian Hak Guna Bangunan kepada PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI; PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI memasang rambu-rambu larangan bagi penduduk setempat memasuki Pulau Bidadari, apakah pemasangan ramburambu larangan tersebut diperkenankan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode pengumpulan data studi dokumen dilengkapi wawancara dengan masyarakat dan pejabat pertanahan setempat diperoleh kesimpulan bahwa penguasaan Pulau Bidadari oleh PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI adalah sah menurut hukum pertanahan karena subyeknya memenuhi syarat sebagai badan hukum Indonesia yang boleh mempunyai hak guna bangunan, dan tanahnya diperoleh secara sah berdasarkan penyerahan dari H. Yusuf yang selanjutnya telah diberikan Hak Guna Bangunan yang bukan merupakan keseluruhan pulau dan bukan sepadan pantai sehingga tidak melanggar ketentuan pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yis Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 3 Juni 1997 Nomor 500-1197 dan tanggal 14 Juli 1997 Nomor 500-1698. Proses pemberian haknya karena dilaksanakan oleh pejabat yang tidak berwenang menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 maka Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI harus dibatalkan. Pemasangan rambu-rambu larangan masuk bagi penduduk setempat adalah melanggar hukum sehingga pemasangan rambu-ramhu tersebut hares dilarang.

Indonesia is the home of vast archipelago consisting of many islands (approximately 17,500 islands), the most of which are minor islands containing vast amount of natural resources and beauty, which are potential particularly for the economic development. Despite the positive side, it nevertheless also brings about other less desirable consequence such as the intention of many parties to possess them privately for the sake of their own interest, some of which are even the foreigners. There are people who worried about this condition, especially recalling what just happened between Indonesia and Malaysia regarding the Sipadan-Ligitan dispute, one of the cases of which considered as threat to our sovereignty. Pulau Bidadari, one of three hundred islands stretched in the region of East Nusa Tenggara, currently is under the possession of an Englishman named Ernest Lewandowski, as the representative of PT REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI who has attained the concession right from the Chief of Land Office of the Western Manggarai District, referring to the Decision dated at May 23`d 2005 No.01/550.2/24.16/2005, and the follow up of which is the issuing of the Certificate of Structure Concession No.17 from Labuan Baja. This research is conducted to find out whether the concession is legally appropriate, particularly with respect to the Land Law? How was the process that eventually Ieads to the issuing of the certificate, and whether the act to put the signs prohibiting the native people to cross is appropriate through the legal point-of-view? Based on the physical research and written data gathered by the writer, within this research will be analyzed several matters as follow: the concession right owner, the possession, the process of the issuing of the concession right, related to the local official who granted it as well as the implementation of the law concerning the transfer of possession right of a land which is part of the whole area on the coast-bordered land (Article 60 of the Government Law No.40 Year 1996 elaborated in the Circular Letter of the State Minister of Agrarian Affairs/ the Chief of National land Bureau dated at June 3rd 1997 No.500-1197 and July 14th 1997 No. 500-1698. In this thesis it is also elaborated the matters concerning the prohibition signs for the native people to cross into the Pulau Bidadari area, with respect to the applicable law."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feri Burlian
"Berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta Nomor 1744/A/K/BKD/71, dan SK Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri Nomor 181/HGB/DA/72, PT. Indobuildco memperoleh HGB sertipikat Nomor 26 dan 27/Gelora, namun ketika kedua HGB tersebut masih berlaku Kepala BPN mengeluarkan SK KBPN Nomor 169/HPL/BPN/89 tanggal 15 Agustus 1989 yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Keppres Nomor 4 Tahun 1984 yang isinya Pemberian Hak Pengelolaan kepada Sekretariat Negara Republik Indonesia Cq Badan Pengelola Gelanggang Olahraga padahal berdasarkan peraturan perundang-undangan SK pemberian HPL hanya dapat diberikan di atas tanah Negara bebas. Sebelum berakhir haknya kedua HGB tersebut telah diperpanjang haknya oleh Kakanwil DKI Jakarta dengan SK tanggal 13 Juni 2002 Nomor 016/11.550,2-09.012002 dan Nomor 017/11.550.2-09.01/2002, dengan perpanjangan HGB ini menimbulkan konflik sengketa pertanahan antara Pemegang HPL dengan pemegang HGB, dengan demikian hal yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah "Apa diperlukan surat rekomendasi dari Sekneg sebagai pemegang HPL dengan sertipikat HPL No. 1/Gelora untuk memperpanjang HGB Nomor 26 dan 27/Gelora? dan Bagaimana status hukum atas penerbitan sertipikat HPL Nomor 1/Gelora yang didaftarkan berdasarkan SK BPN tertanggal 15 Agustus 1989 Nomor 169/HPL/BPN/89 yang mencakup pula bidang tanah HGB Nomor 26 dan 27/Gelora yang masih berlaku sampai Tahun 2003?".
Metode penelitian yang digunakan adalah legal research, setelah dilakukan penelitian, penulis berkesimpulan berdasarkan SK pemberian HGB tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HGB di atas Tanah Negara, sehingga perpanjangannya secara yuridis tidak memerlukan rekomendasi dari pemegang Sertipikat HPL Nomor 1/Gelora hal ini sesuai pasal 35 UUPA dan pasal 22, 25, 26 PP. 40 tahun 1996 sehingga perpanjangan HGB tersebut Negara tidak dirugikan dan berdasarkan sertipikat HPL Nomor 1/Gelora tetap menjadi pemegang HPL khusus untuk bagian HGB Nomor 26 dan 27/Gelora, kewenangan pemegang HPL belum dapat dilaksanakan sepenuhnya."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T36910
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfikri
"Penguasaan tanah untuk kepentingan pembangunan dalam rangka membangun sarana kepentingan umum maupun untuk kepentingan perusahaaan harus berpedoman kepada peraturan perundang-undangan. Perlindungan hukum terhadap pemilik tanah adalah hal yang mutlak untuk di lakukan, jika dalam proses penguasaan tanah dapat dilakukan dengan hal biasa (jual beli, pelepasan hak dan sebagainya), maka hal itulah yang harus dilakukan, sedangkan pencabutan hak adalah jalan terakhir jika penguasaan seperti biasa tidak bisa dilakukan dan penggunaannya mutlak untuk kepentingan umum. Kepentingan umum dapat dijadikan pedoman jika penggunaan pembangunan di atas tanah tersebut tidak mencari keuntungan melainkan adalah untuk sarana pemenuhan kepentingan umum, jika pembangunannya mencari keuntungan kepentingan umum tidak dapat dijadikan dasar untuk menguasai tanah. Keputusan Presiden No 55 tahun 1993 Tentang Penguasaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, memberikan perlindungan kepada pemilik tanah, masyarakat yang berhak atas tanah dapat melakukan banding ke Pengadilan Tinggi jika tidak puas atas pemberian ganti rugi. Pengusaan tanah oleh pengembang bertujuan untuk mencari keuntungan, dalam melakukan penguasaan tanah dengan Pelepasan Hak dari pemilik tanah kepada pengembang, lalu hak tersebut dimohonkan lagi kepada instansi yang berwenang. Tidak diperkenankannya pengembang menggunakan perantara dalam melakukan pembebasan tanah, adalah suatu upaya untuk melindungi pemilik tanah dan pengembang. Dalam pelaksanaan pembebasan tanah baik untuk kepentingan umum maupun untuk kepentingan swasta masih terdapat adanya sengketa, pada umunya sengketa itu karena nilai ganti rugi yang diberikan belum layak, kemudian adanya camper tangan dari aparat yang tidak menempatkan diri secara proporsional. Dalam peraturan perundang-undangan, nilai ganti rugi harus bedasarkan nilai pasar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJDP) terakhir. Di lapangan nilai ganti rugi diberikan pada umumnya adalah sedikit diatas nilai NJOP, sedangkan nilai pasar telah menunjukkan nilai yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan NJOP. Akibat tidak adanya ketetapan yang tegas dari penentuan nilai ganti rugi ini dapat memberikan peluang kepada pemilik tanah dan pihak yang akan melakukan pembebasan untuk menafsirkan sendiri-sendiri. Akibatnya bukan tidak mungkin akan memakan waktu yang panjang kalau dipaksakan dapat menimbulkan sengketa. Alangkah baiknya jika ada lembaga yang sifatnya independen untuk memberikan penilaian atas nilai tanah yang sesungguhnya, hasil dari penilaian lembaga ini dapat dijadikan acuan bagi para pihak. Disamping itu aparat yang ikut campur dalam membebaskan tanah sebaiknya menempatkan diri secara proporsional. Nilai ganti rugi yang diberikan kepada pemilik tanah dalam pembebasan untuk kepentingan swasta sebaiknya dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada pemilik tanah untuk menanamkan sahamnya di perusahaan swasta tersebut sebesar nilai tanah yang dibebaskan, dengan cara seperti ini akan lebih menguntungkan bagi kedua belah pihak."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agripina Tanto
"Penelitian ini menitikberatkan pada pembahasan sengketa tumpang tindih penguasaan bidang tanah berdasarkan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (SPPFBT) dengan sertifikat hak pengelolaan di Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah. Banyak ditemukan masyarakat Desa Kuta yang menguasai tanah dengan berlandaskan SPPFBT karena belum melaksanakan pendaftaran tanah pertamakali. Dengan demikian, BPN Kab. Lombok Tengah wajib berhati-hati dalam mengumpulkan data fisik dan yuridis tanah dalam hal pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah pertamakali agar kelak terhindar dari adanya konflik pertanahan. Adapun masalah yang timbul dimana BPN Kab. Lombok Tengah lengah dalam menerbitkan Sertifikat HPL No. 73/Kuta, terdapat beberapa prosedur yang terlewati sehingga sebagian bidang tanah dalam Sertifikat HPL No. 73/Kuta dengan tanah SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 seluas 20.845 M2 tumpang tindih secara keseluruhan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah analisis amar putusan dan pertimbangan hukum Hakim dalam memutus Putusan PTUN Mataram No: 55/G/2016/PTUN.MTR, juncto Putusan PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, juncto Putusan MA No: 37/K/TUN/2018, serta kedudukan dan perlindungan hukum bagi pemegang SPPFBT Nomor: 05/SKT/I/2000. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif serta analisis data secara eksplanatoris, sehingga terjawab bahwa, dalam mempertimbangkan suatu perkara, Majelis Hakim seyogianya menimbang dalam aspek kewenangan, prosedur serta kebenaran substansi dari suatu Sertifikat. Dibatalkannya Putusan PTUN Mataram No: 55/G/2016/PTUN.MTR oleh PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, maka pemegang SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 kehilangan tanah yang telah dikuasainya selama lebih dari 16 tahun tanpa diberikan ganti kerugian. Di lain sisi, PP No. 24/1997 memandang SPPFBT sebagai alat pembuktian kepemilikan hak-hak lama dalam rangka pendaftaran tanah, sehingga pemegang SPPFBT wajiblah diberi perlindungan hukum terkait haknya.

This research focuses on discussions related to the overlapping land tenure rights based on the letter of land physical ownership (SPPFBT) with right to use certificate in Kuta Village, Central Lombok District. Kuta Village Citizens are commonly found having SPPFBT as their land tenure evidence. This happens because they have never registered their land to BPN. BPN Central Lombok District needs to be more careful in collecting physical and juridical data on land in terms of carrying out land registration activities for the first time so that in the future there will be less land conflicts. The problems that arise are where BPN Central Lombok District was negligent in issuing HPL Certificate No. 73/Kuta in which several procedures were missed so that some of the land parcels in the HPL Certificate No. 73/Kuta with SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 land, which covers an area of ​​20,845 M2, are completely overlapping. The problems raised in this research are related to the analysis of the decisions and legal considerations of the judges in deciding the Mataram Administrative Court Decision Number: 55/G/2016/PTUN.MTR, in conjunction with the Surabaya Administrative High Court Decision Number: 112/B/2017/PT.TUN.SBY and legal status and protection for the holder of SPPFBT Number: 05/SKT/I/2000, in conjunction with the Supreme Court Verdict Number: 37/K/TUN/2018. In answering these problems, normative legal research methods are used. In addition, data analysis carried out in an explanatory approach. This research resulted in an answer which the Judges should consider all the aspects of competency, procedural and substance of a certificate. The cancellation of the Mataram Administrative Court Decision No: 55/G/2016/PTUN.MTR by PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, the holder of SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 lost his land which he had utilized for more than 16 years without being given any compensation. On the other hand, PP No. 24/1997 views SPPFBT as an evidence of old rights land ownership in the context of land registration, so that SPPFBT holders must be given legal protection regarding their rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erwin Arifin
"Pemberian kuasa secara sosiologis dapat dikatakan sebagai lembaga yang terbentuk di dalam kehidupan kemasyarakatan. Pada perkembangan selanjutnya dimana kegiatan manusia semakin berkembang, pemberian kuasa merupakan perbuatan hukum yang paling banyak dijumpai dalam masyarakat dalam proses hubungan hukum di mana seseorang menghendaki dirinya diwakili oleh orang lain untuk menjadi kuasanya melaksanakan segala kepentingannya. Sejak berkembang dan bertambahnya kebutuhan hukum, seseorang memanfaatkan lembaga pemberian kuasa. Pemberian kuasa pada awalnya diberikan untuk kepentingan pemberi kuasa, tapi kemudian diberikan justru untuk melindungi kepentingan pemegang kuasa (penerima kuasa). Pemberian kuasa untuk kepentingan pemegang kuasa (penerima kuasa) ternyata dalam praktek dapat dipenuhi dengan bentuk kuasa mutlak. Berkaitan dengan bidang Hukum Agraria, pemberian kuasa mutlak dibatasi oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1982 tentang larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Pemberian kuasa dalam perkembangannya menjadi luas, tetapi dalam penelitian ini hanya mengkaji mengenai kuasa mutlak notariil dalam pengalihan hak atas tanah.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan permasalahan mengenai pembuatan akta pengalihan hak atas tanah berdasarkan kuasa mutlak oleh notaris. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah yuridis normatif yang menjadi data sekunder berupa hukum positif yang berkaitan dengan kuasa mutlak. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pemberian kuasa mutlak dalam pengalihan hak atas tanah dalam prakteknya dapat merugikan si pemberi kuasa karena banyak diantara penerima kuasa mutlak ini menyalahgunakan kuasa yang diterimanya untuk kepentingan yang berlainan atau untuk kepentingan pribadi semata. Sebenarnya pemberian kuasa mutlak itu, apabila benar-benar dipergunakan untuk tujuan yang semestinya dan ada dasar hukumnya, maka tidak akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan memang dibutuhkan oleh masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19135
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Kurniawan
"Pasal 20-27 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur tentang kepemilikan tanah hak milik di Indonesia termasuk didalamnya telah ditetapkan subjek hak milik dan akibat-akibat hukum jika hak milik jatuh ketangan pihak asing. Bentuk penyelundupan hukum yang umum dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian nominee. Praktek nominee agreement dapat menjadi bumerang bagi pihak asing karena sertipikat atas nama beneficiary maka secara jurudis mereka adalah pemilik sah tanah hak milik tersebut. Penulis berusaha menjelaskan resiko yang akan ditanggung oleh orang asing serta penulis berharap dapat memberikan saran bagi orang asing maupun kepada Pemerintah Indonesia sehubungan dengan praktek nominee agreement.

The Indonesia Agrarian Law (Undang-Undang Pokok Agraria) article 20-27 regulate land ownership in Indonesia, including the owner and legal implications in the case that land ownership falls to the hand of foreign national. The normal practice to circumvent this obstacle is in the form of signing a Nominee Agreement. This practice may well be a boomerang for foreign national involved, due to the fact that the land ownership certificate is under the name of the nominee (beneficiary) thus legally they are the rightful owner of the land. The author attempts to discuss the risk towards the foreign national involved and in the same time wishes to convey suggestion to the Indonesian government in relation to the utilization of Nominee Agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38729
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fahrudin
"Skripsi ini menguraikan pranata penguasaan tanah pada kelompok petani tambak di Kelurahan Marunda Kecamatan Cilincing Jakarta Utara. Fokus perhatian dalam skripsi ini pada pembentukan dan pemeliharaan pranata penguasaan tanah pada kelompok petani tambak. Pranata penguasaan ini mengatur bagaimana suatu tanah dimanfaatkan dan dikuasai oleh petani tambak. Pranata penguasaan ini terwujud dalam suatu mekanisme di antara aktor-aktor yang terlibat dalam penguasaan tanah.
Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa masalah tanah di kota bukan hanya menyangkut hubungan penduduk dengan tanah, melainkan adanya hubungan atau relasi kekuasaan dalam memanfaatkan tanah di kota. Hubungan yang terjalin berlandaskan pada hubungan patron-klien. Hubungan patron-klien ini mampu memperlihatkan corak hubungan vertikal maupun hubungan horisontal. Hubungan vertikal terjadi di antara pemilik tanah, perantara, dan petani tambak. Sementara itu, hubungan horisontal terjadi di antara sesama petani tambak dan warga sekitar.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Analisa yang diterapkan dalam skripsi ini adalah lebih berlandaskan pada hasil-hasil kerja lapangan (field work) yang kemudian dapat disebut sebagai analisa terhadap data primer. Namun demikian, pada bagian-bagian tertentu, kajian ini dilengkapi pula dengan analisa terhadap data sekunder.

This thesis described about the institution of land tenure in a group of fish farmer in Marunda, sub-district Cilincing, North Jakarta. The main focus of this thesis is the creation process and the value-preserved for land tenure in that group. This institution of land tenure maintained how the land has its value in use and its authority for the fish farmer. This institution is showed in a mechanism which involved many actors / subjects.
The result of my research shows that problems of the land not only invoke the relation between society and land, but also the power relation for landmaintaining in the city. This relation grows based on the relation ?patron-client?. This kind of relation can really show the variety of vertical and horizontal relationship. Vertical relationship happens between the owner of land, mediator, and the fish famer. Mean while, horizontal relationship is the relation between the fish farmer and society.
Method used in the research is quality method with deeper observation and interview. The analysis applied in this thesis is based on the field works called by primer data analysis. But in certain part, the description also completed by the secondary data analysis.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2011
S1406
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lutfiah
"Pemerintah Indonesia pada tanggal 15 April 2015 menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 103 Tahun 2015 dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Menteri Agraria Nomor 29 Tahun 2016, yang mengatur ketentuan mengenai syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh WNA dalam pemilikan satuan ruamh susun. dengan adanya ketentuan yang memberikan syarat kepada WNA, dalam tesis ini dibahas tentang Kepemilikan tanah dan bangunan atas satuan rumah susun oleh WNA yang berkedudukan di Indonesia dengan mengkaji dan menganalisa PP No. 103/2015 dan Permen No.29/2016 dikaitkan dengan UU No. 5 /1960 tentang Peraturan Dasa Pokok-Pokok Agraria dan peraturan lain yang berkaitan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan apakah PP No.103/2015 dan Permen No.29/2016 ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ataukah belum.

Indonesia's Government on April 15th 2015 is enacted Government Regulation No.103 2015 on Ownership og Dwelling of Residency House By Foreign Persons Domiciled In Indonesia and Subordinate legislation is enacted by The Ministry of Agrarian and Spatial Planning Affairs Regulation No.29 2016, is stipulated the condition of foreigners based in Indonesia concerning to completed the requirement of the ownership of land and building right on Apartments. According the requirement on the ownership of apartments, in this thesis is discussed and analyzed the government regulation No.103 2015 and The Ministry of Agrarian Regulation No.29 2016 in related to Law No. 5 1960 on Basic Agrarian Law. and others Law and regulation related to term and condition the ownership of apartments and foreigners. thereby, it would have concluded that the government reglation No.103 2015 and The Ministry Regulation No.29 2016 is connected to Indonesia's Law or not."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T49288
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sodiqur Rifqi
"Kegiatan pengadaan dan penguasaan tanah khususnya untuk keperluan transmigrasi adalah salah satu kegiatan yang masih banyak menimbulkan masalah, baik masalah yang berkaitan dengan peraturan perundang-undangan maupun masalah di luar peraturan perundang-undangan. Tata cara perolehan tanah untuk keperluan transmigrasi telah cukup diatur di dalam peraturan perundang-undangan. Namun demikian hal tersebut ternyata belum cukup untuk memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada para transmigran, karena dalam pelaksanaannya ternyata masih banyak timbul masalah-masalah di bidang pertanahan. Dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan dan metode wawancara, penulis menemukan bahwa masalah-masalah tersebut biasanya timbul pada tahap pertama pelaksanaan program transmigrasi yaitu pada saat dilaksanakannya pembukaan tanah (land clearing).
Adanya masalah-masalah tersebut membawa akibat timbulnya berbagai macam tuntutan berkaitan dengan penguasaan tanahnya oleh para transmigran, termasuk terhadap tanah yang telah dikuasai oleh para transmigran dengan status hak milik yang telah bersertipikat, yang diajukan oleh masyarakat setempat. Tuntutan tersebut seringkali disertai dengan kekerasan fisik kepada para transmigran, seperti yang terjadi pada penyelenggaraan transmigrasi yang berada di desa Kertasari, kecamatan Tulang Bawang Udik, Kabupaten Tulang Bawang, Propinsi Lampung. Adanya masalah-masalah tersebut mengakibatkan perlunya diketahui sejauhmana cara perolehan tanah dan pemberian tanah kepada para transmigrasi dilaksanakan sesuai menurut hukum yang berlaku, apa yang melatarbelakangi timbulnya permasalahan hukum berkaitan dengan pengadaan dan penguasaan tanah transmigrasi serta bagaimana penyelesaian atas masalah-masalah tersebut dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut setidaknya diperlukan adanya pembahasan yang mendalam mengenai bagaimana sesungguhnya permasalahan hukum berkaitan dengan pengadaan dan penguasaan tanah transmigrasi pads umumnya dan khususnya di Desa Kertasari."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003
T19163
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fadilla Kartadimadja
"Kepemilikan hak atas tanah harus dibuktikan dengan adanya sertifikat hak atas tanah. Mengajukan permohonan sertifikat hak atas tanah yang belum bersertifikat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), terdapat beberapa syarat yang diperlukan, salah satunya adalah terdapat bukti beralihnya hak atas tanah, seperti apabila perpindahan haknya diakibatkan karena jual beli, maka harus terdapat Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ada kalanya sebelum dibuatkan Akta Jual Beli Tanah, terlebih dahulu dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah. Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 85 K/Pdt/2011, Majelis Hakim menyatakan bahwa kepemilkan Miaw Tjong alias Hartono (Penggugat) didasarkan pada Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 26 tanggal 12 Maret 1993 yang dibuat dihadapan Notaris. Seharusnya yang menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria adalah sertifikat hak atas tanah. Akan menjadi suatu masalah, khususnya terkait dengan kepemilikan atas tanah jika suatu perjanjian pengikatan jual beli dijadikan sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.

The ownership of the land shall be proven with a title deed. To apply for a land title deed which has not been certified to a National Land Agency (BPN), there are some requirements that needed. One of them is evidence of the tranfers of the land, such as deed of sale-purchase that made to a Land Deed Official known as Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) if the transfer of the land is by selling and purchasing. A Sale-Purchase Commitment Agreement often made beforehand, before making the deed of sale-purchase. On the Indonesian Supreme Court Adjudication Number 85 K/Pdt/2011, the judge said that the ownership of Miaw Tjong alias Hartono (Plaintiff) were based on Sale-Purchase Commitment Agreement No. 26 that made to a notary. But the one that should be proof of land ownership based on Agrarian Law is a Land Title Deed. There will be a problem, particularly those related to land ownership, if a sale-purchase commitment agreement be used as a proof of land ownership."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43056
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>