Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 88296 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Albertus Sewianto
"Latar Belakang : Elektrokardiogram tetap merupakan standar emas dalam mengidentifikasi adanya dan lokasi dari infark miokard akut. ST elevasi pada infark miokard akut dapat memprediksi ukuran infark, responnya terhadap terapi reperfusi, dan memperkirakan prognosis dari pasien. Distorsi terminal komplek QRS pada infark miokard akut inferior adalah jika J-point dibandingkan dengan tingginya gelombang R lebih atau sama dengan 0,5 pada dua atau lebih sadapan inferior (sadapan II, III, aVF). Birnbaum dkk. menyatakan bahwa adanya distorsi QRS awal berhubungan dengan tingginya angka kejadian high-degree AV block. Walaupun sebagian besar bersifat transien, high-degree AV block berhubungan dengan peningkatan angka kematian selama perawatan di rumah sakit, meskipun pasien mendapat terapi trombolitik.
Bahan dan Cara Kerja : Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional terhadap pasien infark miokard akut inferior yang mendapat terapi trombolitik periode Januari 2000 sampai dengan Desember 2004 yang dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, yang memenuhi kriteria inklusi dan a ksklusi. Pasien dikelompokkan menjadi 2 bagian yaitu dengan distorsi QRS dan tanpa distorsi QRS. Hubungan antara dua variabel dinilai dengan uji t dan chi-square, serta analisis multivarian dengan logistic regression.
Hasil Penelitian : Terdapat 186 subyek penelitian dengan rentang umur 37-72 tahun, lebih banyak pada laki-laki (89%), yang terdiri dari 93 pasien dengan distorsi QRS dan 93 pasien tanpa distorsi QRS. Tidak didapatkan perbedaan data dasar karakteristik Minis dari kedua kelornpok. Dui analisis univarian, kelompok dengan distorsi QRS memiliki jumlah deviasi segmen ST yang lebih tinggi (9,61±3,67 vs 7,76±3,53, p=0,001), dan mengalami kegagalan terapi trombolitik yang lebih besar (74,2% vs 60,2%, p=0,042). Pada analisis multivarian, didapatkan hubungan yang berrnakna antara distorsi QRS dengan high-degree AV block (OR 2,5; 95% CI 1,04-6,01; p=0,04) dan umumnya terjadi saat perawatan di rumah sakit.
Kesimpulan : Pasien dengan distorsi terminal komplek QRS pada infark miokard akut inferior yang mendapat terapi trombolitik mempunyai risiko high-degree AV block selama perawatan di rumah sakit yang lebih banyak dibandingkan dengan tanpa distorsi terminal komplek QRS.

Background : The ECG remains the gold standard for identifying the presence and location of acute myocardial infarction. ST elevation in acute myocardial infarction can predict the size of infarction, response to reperfusion therapy, and prognosis. Distortion of the terminal portion of the QRS in inferior wall acute myocardial infarction based on those with J point I R wave > 0,5 in > 2 leads of the inferior leads II, III, and aVF. Birnbaum et al showed that early QRS distortion is a reliable prediction of the development of advanced AV block among patients receiving thrombolytic therapy for inferior wall acute myocardial infarction. Although transient, development of heart block during inferior infarction is associated with a high in-hospital mortality rate, eventhough they received thrombolytic therapy.
Materials and Methods : This study is a cross-sectional study to the patients with inferior wall acute myocardial infarction treated by thrombolytic at NCCHK during January 2000 until December 2004, that fulfill inclusion and exclusion criteria. They were divided into two groups, there are with QRS distortion and without QRS distortion. Correlation between two groups were analyzed by t test, chi-square and multivariate regression analysis.
Results : There are 186 patients, ages between 37 until 72 years old, mostly men (89%) which are 93 patients with QRS distortion and 93 patients without QRS distortion. Two groups are comparable. With univariate analysis, the group with QRS distortion have higher ST segmen deviation (9,61±3,67 vs 7,76±3,53, p=0,001) and higher risk of failed thrombolytic (74,2% vs 60,2%, p=0,042). With multivariate regression analysis, there is a significant correlation between QRS distortion and high-degree AV block (OR 2,5; 95% CI 1,04-6,01; p=0,04) and mostly happenned during hospitalization.
Conclusion : Patients with distortion of the terminal portion of the QRS in inferior acute myocardial infarction and treated by thrombolytic have a higher risk of high-degree AV block during hospitalization, compared with patients without QRS distortion.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21233
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Damba Dwisepto Aulia Sakti
"Latar Belakang : Blok atrio-ventrikular AV derajat dua tipe dua mobitz tipedua atau blok AV total merupakan komplikasi yang sering dijumpai pada pasiendengan infark miokard akut IMA . Pada pasien IMA dengan elevasi segmen ST IMA-EST yang datang dengan awitan >12 jam disertai blok AV derajat tiga atauderajat dua tipe dua, peran intervensi koroner perkutan IKP masih kontroversi. Tujuan : Menilai pengaruh intervensi koroner perkutan terhadap lama rawat padapasien IMA-EST awitan >12 jam disertai blok AV derajat tiga atau derajat dua tipedua. Metode : Dilakukan studi kohort retrospektif pada pasien IMA-EST awitan >12jam disertai blok AV derajat tinggi selama periode Januari 2011 hingga Januari2017 di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Tindakan IKP menjadivariabel independen yang diperkirakan memiliki pengaruh terhadap lama rawatpasien IMA-EST awitan >12 jam disertai blok AV derajat tinggi. Variabeldependen pada penelitian ini adalah lama rawat. Hasil : Total sampel penelitian ini adalah 91 sampel, terdiri dari 52 orang yangmenjalani IKP dan 39 orang tanpa IKP. Pada kelompok IKP, didapatkan sebanyak40 subjek 76,9 memiliki lama rawat le; 8 hari, sedangkan pada kelompok tanpaIKP sebanyak 9 subjek 23,1 memiliki lama rawat le; 8 hari. Dari hasil analisismultivariat, variabel yang mempengaruhi lama rawat yaitu variabel IKP [OR 3,75 IK 95 1,06 - 13,26 ; nilai p=0,04], dan lama konversi irama sinus [OR 8,83 IK95 2,52 ndash; 30,89 ; nilai p=0,001]. Kesimpulan : Intervensi koroner perkutan memperpendek lama rawat pasiendengan IMA-EST awitan >12 jam yang disertai dengan blok AV derajat tiga atauderajat dua tipe dua.
Background : High degree atrio ventricular AV block is a common complicationin patients with ST elevation myocardial infarction STEMI. In late presentationSTEMI patients 12 hours onset with high degree AV block, the effect ofpercutaneous coronary intervention PCI in converting the rhythm and shorten thelength of stay is still debatable. Objective : To assess the effect of PCI on length of stay in patients with stemi lateonset with high degree av block. Method : We conducted a retrospective cohort study in late onset STEMI patientswith high degree AV block during the period of January 2011 until January 2017 in National Cardiovascular Center Harapan Kita. Percutaneous coronaryintervention is the independent variable which expected to have an influence on thelength of stay. The dependent variable was the length of stay. Result : There were 91 subjects in this study, that consist of 52 subjects in thepercutaneous coronary intervention PCI group and 39 subjects in the non PCIgroup. There were 40 subjects 76,9 with length of stay le 8 days in PCI groupand 9 subjects 23,1 with length of stay le 8 days in the non PCI group. From multivariate analysis, the significant variables to determine the length of stay werePCI OR 3,75 IK 95 1,06 13,26 p value 0,04 , and duration of rhythm conversion OR 8,83 IK 95 2,52 ndash 30,89 p value 0,001. Conclusion : Percutaneous coronary intervention may shortening the length of stayof patients with STEMI 12 hours who had third or second degree type two AVblock."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Martinus R. Amir
"Tujuan penelitian ini adalah menilai makna klinis depresi segmen ST (DSST) di sandapan prekordial {V1^-Vq) pada penderita infark miokard akut inferior- (ItiAI) dan hubungannya dengan lesi di arteri koroner kiri cabang desendens anterior (LAD).
Penelitian bersifat prospektif dilakukan di Rwnah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta antara 1 Desember 19B6 sampai dengan 31 Agustus 1988. Tujuhhpuluh empat dari 1O4 penderita ItiftI dengan jarak waktu antara sakit dada sampai masuk rumah sakit < 12 jam, tanpa bukti infark miokard sebelwnnya dan tanpa terapi trombolitikf dimasukkan dalam penelitian, Penderita dibagi menjadi 4 kelompok yattni Kl. K2f K3 dan K4. Kl adalah penderita tanpa DSST (n=31, 42%), K2 dengan DSST yang menghilang <= 24. jam pertanta (n=2Of 27Z}f K3 dengan DSST yang menetap > 24 Jam tetapi menghiiang < 4B jam (n=lB? 24Z), dan K4 dengan DSST yang otenetap .>= 48 jam (n=5,7Z). t/mur, jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan bermakna di antara ke 4 kelompak. ftata-rata kadar punnak enzim kreatinin kinase (CK) dan dehidrogenase laktat (LDH) lebih tinggi pada K3r K4 dibanding KJL. K2. (1391.6 £ 4JfO,3 vs 690.2 ±_ 421fB U2/lf p
Terdapat perbedaan bermakna menngenai angka kekerapan blok AV antara KI, K2 dan K3f K4 (p
Rata-rata lama rawat Kl dan K2 lebih pendek dibanding dengan K3 dan K4 (11.5 i 3,8 vs 15,4 ± 8,9 hari p
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa DSST di prekordisl pada penderita IMA1 mempunyai indikator prognostik. Penderita dengan DSST yang menetap lebih dari 24 jam pertama ntempijinyai prognosis yang lebih buruk, oleh karena itu harus dilakukan pemantauan yang lebih ketat,untuk penatalaksanaan yang lebih agresif."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohd. Bhukkar A. S.
"Latar Belakang: Risiko aritmia pasta infark miokard akut 5-11%. Perlu adanya stratifikasi risiko tedadinya aritmia pasca infark miokard akin. Aritmia yang terjadi pasta infark miokard akut dapat disebabkan karena perubahan elektrofisiologi, milieu (transient factors) dan aritmia spontan. Penelitian menggunakan late potential sebagai salah satu modalitas untuk mendapat gambaran perubahan elektrofisiologi yang terjadi pasta infark miokard akin dan sebagai prediktor risiko terjadinya aritmia. Late potential didapatkan dengan pemeriksaan SA-ECG.
Subyek: Dikurnpulkan 38 kasus infark miokard akut barn, sejak bulan Juni 2004 sampai dengan Februari 2005. Usia berkisar antara 35 - 65 tahun. Kriteria inklusi diagnosis infark miokard akut dengan menggunakan kriteria WHO. Kriteria eksklusi: infark sebeluinnya, blok cabang berkas, angina pektoris tak stabil, atrial fibrilasi dan fluter, infark miokard dengan strok iskemia, bedah pintas koroner dan riwayat angioplasti (sten atau balon).
Metodologi: Penelitian ini menggunakan disain kohor, dilakukan pemeriksaan Signal Averaged ECG untuk mendapatkan late potential, kontrol internal late potential negatif Dilakukan uji hipotesis yang sesuai untuk mendapatkan nilai kemaknaan pada penelitian ink Pemeriksaan SA-ECG dilakukan pada hari 6-16 perawatan di RS Harapan Kita, late potential sesuai dua dari 3 kriteria WHO.
Hasil : Laki-laki 30 (78,9%), wanita 8 (21,1%) dan usia rerata 52,34 tahun. Jens infark Q wave 18 (47,4%) dan non Q wave 20 (52,6%). Aritmia terutarna PVC 7 (18,4%), ventrikular takikardia (VT) 2 (5,3%) dan 29 (76,3%) normal. Lokasi infark terutama inferior 17 (44,7%) , non inferior 21 (55,3%).Rerata seat dilakukan pemeriksaan SA-ECG yaitu 9,6 hail dengan SB ± 2,6 hari. Parameter pemeriksaan SA-ECG yaitu 1. QRSD rerata 114,8 ins, SB ±15,8 ms, 2_ HFLA rerata 36,2 ms, SB ± 12,8 ms, 3, RMS rerata 30,2 u.V, SB ± 15,9 µV. Didapatkan late potential positif 13 (34,2%). Kadar kalium bulan pertarna dan bulan kedua dalann Batas normal. Aritmia terjadi pada bulan pertama 2 (5,3%) dan 9 (23.5%). Pada bulan pertama aritmia terjadi pada pasien dengan satu late potential positif dan satu dengan late potential negatif.Sedangkan pada bulan ke 2 didapatkan terjadi aritmia 7 (53,8%) dengan late potential positif dan 2 (8%) dengan late potential negatif, p < 0.003, IK 95% dan relatif risk (RR) 6.73.Tidak didapatkan hubungan bermakna lokasi infark, slat pemeriksaan SA-ECG dengan terbentuknya late potential. Tidak didapat hubungan bermakna antara kaliurn dan kejadian aritmia.
Kesimpulan : Late potential dapat digunakan sebagai salah satu modalitas untuk stratifikasi risiko teijadinya aritmia, didapatkan aritmia dengan late potential positif pada bulan 2,.p < 0,003 dan risiko relatif sebesar 6,73. Perlu dilakukan penelitian dengan populasi yang lebih banyak, melibatkan beberapa seater, dilakukan menggunakan halter monitor untuk mengawasi terjadinya aritmia dan dalam waktu 1 tahun pasca infark miokard akut.

Background: Risk of arrhythmias in post acute myocardial infarction in first 2 years was within range 5-i 1%. The stratification of arrhythmia event in post acute myocardial infarction was needed. There are several factors in arrhythmias mechanism, such as electrophysiology alteration, milieu (transient factors) and spontaneous arrhythmias. In this study, late potential as cardio electrophysiology state post infarction is used to be arrhythmias predictor. Late potential description was obtained used by Signal-Averaged ECG.
Subjects: Thirty eight consecutive patients admitted to coronary care unit in Dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan hospitals with documented acute myocardial infarction, since Juny 2004 to February 2005. Their ages were ranging from 35 to 65 years: Patients were included according to WHO acute myocardial infarction criteria.
Methods: This is a cohort study. SA-ECG was performed to obtained late potential, negative late potential patients as internal control. Signal-Averaged ECG was done in 6 - 16 days post acute myocardial infarction in Harapan Kita hospital. An abnormal (positive) SA-ECG is considered if two or more of the following three criteria from WHO.
Results: Subjects consisted of 30 (78,9%) male patients and female of 8 (21,1%). The mean age was 52,34 years.The incidence Q wave and non Q wave of acute myocardial infarction were 18 (47,4%) and 20 (52,6%). Type of arrhytrnias were premature ventricle contraction (PVC) 7 (18,4%), ventricular tachycardia (VT) 2 (5,3%) and normal 29 (76,3%). The inferior and non inferior wall site of infarction were 17 (44,7%) and 21 (55,3%). The mean time (days) recording of SA-ECG was 9,6 days, SD 1 2,6 days. There were three parameters of SA ECG included L QRSD mean 114,8 ms, SD 115,8 ms, 2. HFLA mean 36,2 ms, SD ± 12,8 ms, 3, RMS mean 30,2 p.V, SD ± 15,9 IN. The incidence abnormal SA-ECG was 13 (34,2%), Kalium level in first and second month of following was within normal range. The arrhytmias event in first and second month were 2 (5,3%) and 9 (23,7%). in first month, arrhytmia event in one positive and one negative late potential. In second month, seven of 9 patients had positive late potential. There was significant relation between abnormal SA-ECG and arrhytmia event in second month, p < 0.003 (CI 95%: 1,63-27,89), relative risk (RR) 6,73. There was no significant relation in site of infarction, time recording of SA-ECG, and kalium level with arrhytmia event.
Conclusion: The late potential could be used as one of arrhytmia predictors of post acute myocardial infarction. There was significant relation between late potential and arrhytmia in second month, p < 0,003, relative risk (RR) 6,73. Furthere study is needed with greater samples size and appropriate instruments (eg. Holter monitor).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamzah Shatri
"Stres sebagai salah satu faktor risiko PJK belum mendapat perhatian sebagaimana faktor risiko PJK lain. Stres dapat mencetuskan sindrom koroner akut seperti Infark Mioakard Akut (IMA) dan mempengaruhi terjadinya komplikasi lebih lanjut selama perawatan, namun masih kurang menjadikan perhatian.
Tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh stres terhadap terjadinya komplikasi IMA selama perawatan.
Bahan dan Cara : penderita yang dirawat di ICCU RSUPNCM 1990-1997 dengan kohort historiakal.
Hasil : Stres merupakan prediktor yang independen terhadap terjadinya komplikasi pada penderita IMA selama perawatan intensif. (RR 2,17, p 0,02 ,CI 1,33 - 3,53). Komplikasi aritmia merupakan komplikasi yang terbanyak pada IMA dengan pajanan stres dan berbeda bermakna secara statistik. (p 0,03 ).
Komplikasi lain seperti prolong chest pain, pericarditis (sindrom Dressler), gagal jantung, syok kardiogenik sampai dengan kematian juga lebih tinggi pada penderita IMA, dengan stres selama perawatan intensif.
Kesimpulan stres sebagai prediktor independen terhadap terjadinya komplikasi IMA selama perawatan intensif perlu mendapat perhatian sebagai mana faktor klinis lain seperti hipertensi dan diabetes melitus, sehingga morbiditas dan mortalias IMA dapat lebih diturunkan.

The Influence of Stress on Acute Myocardial Infarction during Intensive CareIt has been known that stress is one of many risk factors for coronary heart disease. Stress may also become a trigger factor to acute coronary syndrome such as event of Acute Myocardial Infarction (AMI) and further complications during intensive care. However most clinicians have still less concern to stress in the relation to these cardiac events.
The objective of this study is to determine the influence of stress on acute myocardial infarction during intensive care. The study was perform in January, 1998-December 1998 using historical cohort design.
Populations of the study consist of patients hospitalized in Intensive Coronary Care Unit (ICCU), Ciptomangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia.
We observed 160 cases of AMI exposed to stress and of 160 cases of AMI unexposed to stress. Totally 320 cases of AMI hospitalized in ICCU were included the study.
The result of this study indicated that the complications of AMI exposed to stress about 2 times higher compared to AMI which were unexposed to stress during intensive care, (p 0.002; CI 1.33 -3.53 ). The proportion of arrhythmia on AMI with stress 32 (20 %) was higher than AMI without stress 18 (11 %) and statistically significant, (p <0,005 ). Other complications on AMI with stress such as heart failure, Dressler syndrome and mortality were also higher compared to AMI without stress.
The conclusion of this study suggested that stress is one of independent predictor to AMI complications during intensive care. Stress needs more attentions to reduce morbidity and mortality during intensive care of AMI."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T 8389
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Wasid
"Telah diteliti secara prospektif mengenai perbandingan gambaran klinik awal infark miokard akut (IMA) dan beberapa hubungan di antaranya, pada 2 grup pasien IMA waktu masuk di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita (RSJHK) dan Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta pada periode tertentu, tahun 1986. Grup I terdiri dari 30 pasien IMA usia lebih dari 60 tahun (usia rata rata 67,4 ± 6,9 tahun) yang selanjutnya disebut grup studi, dengan 45 pasien IMA usia kurang dari
60 tahun (usia rata rata 49, 6 ± 7.6 tahun) yang selanjutnya disebut grup kelola.
Hasilnya menunjukkan bahwa keluhan sakit dada tidak khas lebih banyak terdapat pada grup I daripada grup II dengan perbedaan yang bermakna yaitu 83.3% berbanding 2.2% (p< 0.001), sedangkan keluhan sakit dada khas IMA lebih banyak pada grup II daripada grup I dan perbedaannya juga bermakna, yaitu 13.3% berbanding 97.8% (p<0.001). Ternyata keluhan sakit dada tidak khas tersebut tidak ada hubungan dengan Diabetes Melitus (DM), tetapi ada hubungan yang bermakna dengan usia, yakni makin lanjut
usia maka makin tidak khas sakit dadanya (p< 0.0007).
Pada usia lanjut terdapat hubungan yang bermakna antara keluhan lemas dengan timbulnya gangguan sistim hantaran jantung (p< 0.002), dan antara DM dengan meningkatnya jumlah kematian pasien (p < 0.002).
Akhirnya dapat disimpulkan, bahwa gambaran klinik awal IMA pada usia lanjut mempunyai beberapa perbedaan yang bermakna dengan IMA usia muda, mengenai gejala dan tanda klinik, maupun hubungannya dengan perjalanan penyakitnya."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1987
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anastasia Asylia Dinakrisma
"Latar Belakang: Kematian kardiak dan reinfark merupakan MACE yang sering terjadi pada pasien SKA. Gelombang fragmented QRS fQRS merupakan penanda iskemia atau jejas miokardium dini pada pasien sindrom koroner akut SKA. Peran fQRS terhadap MACE 30 hari perlu diteliti lebih lanjut pada pasien SKA.
Tujuan: Mengetahui peran fQRS sebagai prediktor MACE berupa reinfark dan kematian kardiak pada pasien SKA di ICCU selama 30 hari.
Metode: Studi dengan desain kohort retrospektif untuk meneliti peran gelombang fragmented QRS sebagai prediktor MACE selama 30 hari pasien SKA, dengan menggunakan data rekam medis pasien SKA yang menjalani perawatan di ICCU RSCM pada bulan Juli 2015 - Oktober 2017. Analisis bivariat dan multivariat dengan logistik regresi dilakukan untuk menghitung crude risk ratio RR dan adjusted RR terjadinya MACE dalam 30 hari antara kelompok fQRS terhadap kelompok non-fQRS dengan menggunakan SPSS.
Hasil: Dalam 2 tahun, didapatkan jumlah subyek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebanyak 353 orang. Fragmented QRS didapatkan pada 60,9 subyek, dengan lokasi terbanyak di inferior 48,8 dan rerata onset 34 jam. Proporsi kejadian MACE 30 hari lebih tinggi pada grup fQRS vs non fQRS 15,8 vs 5,8. Pada analisis bivariat didapatkan fQRS meningkatkan probabilitas terjadinya MACE selama 30 hari pada pasien SKA, dengan risiko relatif RR sebesar 2,72 IK 95 1,3 -5,71. Sedangkan pada analisis multivariat, didapatkan adjusted RR 2,79 IK 95 1,29 - 4,43, setelah memperhitungkan 6 faktor perancu, yakni skor GRACE risiko sedang-berat, eGFR kurang dari 60 ml/menit, LVEF kurang dari 40, riwayat diabetes melitus, usia lebih dari 45 tahun dan hipertensi. Laju eGFR merupakan faktor perancu yang memberikan perubahan paling besar, yakni 12,4.
Kesimpulan: Proporsi fQRS pada SKA selama perawatan di ICCU RSCM sebesar 60,9. Fragmented QRS yang muncul pada fase akut pada pasien SKA yang dirawat di ICCU merupakan prediktor independen terjadinya MACE dalam 30 hari dan meningkatkan probabiltas terjadinya MACE 30 hari berupa kematian kardiak dan reinfark pada pasien SKA.

Background: Cardiac death and reinfarction are most common major adverse cardiac events in acute coronay syndrome. Fragmented QRS fQRS in 12 leads ECG is associated with myocardial injury and ischaemia in coronary artery disease. The role of fQRS as predictor of 30 days MACE cardiac death and reinfarction needs to be evaluated in acute coronary syndrome patients in Indonesia.
Objectives: To identify proportion and role of fQRS as a predictor 30 days MACE in acute coronary syndrome patients.
Methods: A cohort retrospective study was conducted by using secondary data acute coronary syndrome patients in Intensive Cardiac Care Unit Cipto Mangunkusumo Hospital from July 2015 ndash October 2017. Analysis was done by using SPSS statistic for univariate, bivariate and multivariate logistic regression to obtain crude risk ratio and adjusted risk ratio of probability 30 days MACE patient with fQRS.
Result: Three hundred and fifty three subjects during 2 years were included in this study. Fragmented QRS was found in 60,9 subjects, more frequent in inferior leads 48,8, with mean onset 34 hours. Major adverse cardiac events were higher in fQRS vs non fQRS group 15,8 vs 5,8. Bivariate analysis showed higher probability of 30 days MACE in ACS patient RR 2,72, 95 CI 1,3 5,71. Multivariate analysis were done by using logistic regression with GRACE score moderate and high risk, low eGFR 60 ml min, low LVEF 40, diabetes melitus, age more than 45 years and hypertension as confounding factors, revealed adjusted RR was 2,79 95 CI 1,29 ndash 4,43. Low eGFR was a potential confounder in this study.
Conclusion: The fQRS proportion in ACS patients during ICCU admission was 60,9. Acute and persistent fQRS developed in ACS during hospitalization was an independent predictor of 30 days MACE cardiac death and reinfarction.Keywords fQRS, acute coronary syndrome, Major adverse cardiac event.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maulida Zawir Simon
"Penyakit Jantung Koroner (PJK) merupakan salah satu penyakit kronis yang menjadi penyebab kematian utama di negara-negara industri modern (Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Khususnya di Indonesia, selain menduduki peringkat pertama sebagai penyebab kematian (Survey Rumah Tangga Departemen Kesehatan, 1992), PJK juga menyebabkan penurunan kualitas hidup bagi individu yang menderita PJK (Jatiputra, 1993).
Manifesfasi klinis dari PJK yang paling ditakuti adalah Infark Miokard Akut (IMA), karena serangan jantung yang terjadi mengakibatkan kematian pada otot-otot jantung (Hurst, 1990; Sarafino, 1990; Taylor, 1995). Individu yang dapat hidup setelah mengalami serangan jantung, disebut sebagai penderita pasca-IMA. Bagi penderita pasca-IMA, serangan jantung yang dialaminya akan menimbulkan berbagai masalah, meliputi masalah fisik, psikologis, dan sosial (Jatiputra, 1993). Masalah-masalah yang ada seringkali dirasakan mengganggu kehidupan penderita (Jatiputra, 1993) dan merupakan sumber stres baginya (Holahan & Moos, 1997). Dengan kata lain, penderita pasca-IMA mengalami stres.
Para ahli menemukan bahwa stres merupakan salah satu faktor risiko yang dapat memicu terjadinya serangan jantung (Perhimpunan Kardiologi Indonesia 1988; Taylor, 1995). Oleh karena itu, penting bagi penderita pasca-IMA untuk mengatasi stres agar tidak terkena serangan jantung kembali (Sarafino, 1990; Jatiptra, 1993; Taylor, 1995). Usaha mengatasi stres dikenal dengan istilah coping. Dalam melakukan usaha. coping, penderita pasca-IMA dapat memecahkan masalah secara aktif (coping terpusat masalah) dan/atau dengan mengatur perasaannya (coping terpusat emosi).
Akan tetapi, penderita pasca-IMA mungkin saja melakukan coping secara tidak efektif karena kekuatan fisik dan mentalnya terbatas. Dengan demikian, penderita pasca-IMA membutuhkan faktor dari luar dilinya yang dapat membzmtunya untuk mengatasi masalah-masalahnya, yaitu dukungan sosial. Dukungan sosial dapat memberikan efek positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan individu, serta membantu individu coping terhadap masalah-masalahnya (Heller, dkk, 1986; Thoits, 1986; Sarafino, 1990; Pierce, Sarason, & Sarason, 1992; Taylor, 1995). Dukungan sosial disini Iebih berarti sebagai dukungan sosial yang dipersepsikan, bukan dukungan sosial yang dirasakan secara obyektif. Dukungan sosial yang dipersepsikan ini meliputi persepsi individu mengenai jumlah sumber dukungan yang tersedia dan tingkat kepuasan terhadap dukungan yang ada (Samson, dkk, 1983).
Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk melihat beberapa jauh hubungan antara dukungan sosial yang dipersepsikan dengan coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA, khususnya hubungan antara jumlah sumber dukungan soaial maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi.
Subyek penelitian ini adalah 30 orang penderita pasca-IMA dari Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati Jakarta., yang diambil dengan menggunakan tehnik non probability sampling tipe incidental. Alat pengumpulan data menggunakan kuesioner Social Support Questionnaire (SSQ) dari Sarason, dkk (1983) yang mengukur jumlah number dukungan sosial yang dipersepsikan maupun tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dan Ways of Coping Questionnaire (WCQ) dari Folkman., dkk (1984) yang mengukur coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi. Pengolahan data dilakukan dengan analisa deskriptif dan korelasi. Keseluruhan pengolahan data dilakukan dengan bantuan program SPSS.
Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian ini, diperoleh hasil bahwa penderita pasca-IMA menggunakan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi sama seringnya dalam mengatasi masalah-masalahnya. Selain mempersepsikan banyak sumber dukungan sosial, penderita pasca-IMA juga merasa puas terhadap dukungan sosial yang diterimanya. Dengan sendirinya, tidak ada hubungan yang bermakna antara banyaknya jumlah sumber dukungan sosial maupun besarnya tingkat kepuasan terhadap dukungan sosial dengan coping terpusat pada masalah dan coping terpusat pada emosi yang dilakukan oleh penderita pasca-WIA.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi yang berharga kepada pihak rumah sakit, penderita penyakit jantung dan keluarganya, mengenai pentingnya dukungan sosial bagi penderita jantung, khususnya penderita pasca- IMA. Selain itu, berdasarkan banyaknya jumlah sumber dukungan, dapat pula diketahui lingkungan sosial disekitar penderita pasca-IMA, baik yang berasal dari dalam maupun luar keluarga yang dipersepsikan sebagai sumber dukungan untuk membantunya dalam mengatasi masalah-masalahnya.
Saran untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya digunakan metode wawancara yang lebih mendalam sehlngga dapat diketahui kepuasan terhadap dukungan sosial secara subyektif dan dianjurkan untuk mengikutsertakan variabel kepribadian yang juga berpengaruh pada coping yang dilakukan oleh penderita pasca-IMA."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1999
S2594
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sjahrir Nurdin
"Telah dilakukan penelitian terhadap beberapa variabel dari penderita-penderita infark miokard akut pertama, dalam hubungannya sebagai prediktor terhadap kejadian
komplikasi gagal jantung dengan uji statistik secara analisis univariat. Penderita terdiri dari 85 (82,52%) pria dan 18 (17,48%) wanita dengan infark miokard akut pertama yang dirawat di-Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta antara
1 Januari 1991 sampai dengan 31 Desember 1992. Umur penderita berkisar antara 30 tahun sampai dengan 95 tahun (rata-rata 57,20 ± 14,06 tahun). Dari 103 penderita yang masuk dalam penelitian ini, 60 orang (58,25%) yang mengalami komplikasi gagal jantung akut. Sisanya 43 orang (41,75%) tanpa komplikasi
gagal jantung akut berfungsi sebagai kontrol. Kelas gagal jantung akut yang terjadi terdiri dari : 35 orang (30,3%) Killips 2, 7 orang (11,7%) Killips 3 serta 18 orang (30,0%) Killips 4. Dari 13 macam variabel yang diuji secara univariat , hanya variabel frekuensi denyut jantung yang kemaknaannya <0.05.
Sebagai kesimpulan bahwa:
1. Aplikasi klinik dari penelitian ini bagi dokter di daerah bila tidak ada peralatan penilai fungsi ventrikel , maka frekuensi denyut jantung lebih dari 85 kali permenit pada saat pertama pemeriksan merupakan tanda awal yang perlu dipantau. Tentu saja parameter yang lain perlu diperhatikan. 2. Variabel-variabel lainnya (lokasi infark miokard di anterior, hematokrit > 48 vol.%, riwayat diabetes melitus, umur, rasio kolesterol total/HDL 5, hipertrofi ventrikel kiri, riwayat hipertensi, kadar kolesterol total > 240 mg/dl, rasio kardio toraks > 55%, terapi trombolitik, riwayat nyeri dada dan kadar serial enzim CKMB 160 IU/L) statistik belum bermakna.
Saran diperlukan suatu penelitian prospektif dengan jumlah sample yang besar."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1994
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Saifullah Napu
"RINGKASAN
Untuk mengetahui kegunaan foto toraks awal sebagai petunjuk prognosis kematian dini (30 hari) infark miokard akut (IMA) diteliti secara prospektif 80 foto toraks pada 80 pasien pasca infark miokard akut (IMA).
Pasien terdiri dari 72 laki-laki dan 8 wanita, umur rata-rata 56,3 ±10,2 tahun.
Foto toraks dibuat kurang dari 24 jam setelah sakit dada khas. Posisi pasien setengah duduk (450), eksposi film antero-posterior (AP). Variabel pada foto toraks yang dinilai adalah derajat Kongesti Vena Pulmonalis (KVP), Rasio Kardio Toraks (RKT) dan Ukuran Jantung Kiri (UJK).
KVP dibedakan atas 4 derajat. Derajat 0 ; normal, tidak terdapat KVP (n =38). Derajat I ; redistribusi aliran darah paru (n = 16), Derajat II ; sembab paru intersisial (n = 13), Derajat III ; sembab paru alveolar terlokalisir (n = A), Derajat IV ; sembab paru alveolar difus (n = 5).
Kematian dini secara bermakna (p < 0,05) lebih tinggi pada KVP derajat II ( 5 dari 13, 38,5%), derajat III (5 dari 8, 62,5% ) dan derajat IV {4 dari 5, 80,0% ) dibanding derajat I (2 dari 16, 12,5%).
Resiko relatif kematian dini pada KVP derajat II, III dan IV lebih besar dibanding dengan KVP derajat I yaitu 3,1 : 5,0 : 6,4 kali. Tidak terdapat kematian dini pada derajat 0.
Diantara variabel KVP, RKT dan UJK pada foto toraks, variabel KVP derajat II, III dan IV mempunyai nilai prediksi yang lebih bermakna terhadap kematian dini dibanding KVP derajat I, RKT dan UJK.
Dari penelitian ini disimpulkan bahwa derajat KVP pada foto toraks awal dapat dipakai untuk menentukan tinggi rendahnya risiko relatif kematian dini pasca IMA sehingga mempunyai arti klinis dan prognosis penting terhadap usaha tindakan pengobatan selanjutnya. KVP derajat 0 dengan atau tanpa kardimegali mempunyai prognosis lebih baik terhadap kematian dini.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>