Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 199566 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hanekung Titisari
"Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit yang banyak diderita anak-anak. Sedikitnya 70% anak usia kurang dari I5 tahun pernah mengalami I episode. Kecenderungan menderita OMA berhubungan dengan belum matangnya (Immature) sistem imun dan rnudahnya bakteri masuk ke telinga tengah, karena anatomi tuba eustachius yang masih relatif pendek dari meadataur. Beberapa faktor risiko terjadinya otitis media pada anak-anak adalah lingkungan perokok, anak yang dititipkan ke penitipan anak-anak, penggunaan dot (kempengan) dan minurn susu botol.
Beberapa penelitian melaporkan sebagian besar anak-anak sekurang-kurangnya mengalami satu episode OMA pada masa kanak-kanak. Antara 19-62 % anak mengalami paling sedikit 1 episode pada usia I tahun. Pada usia 3 tahun sekitar 50-84% anak mengalami paling sedikit 1 episode OMA Di Amerika, insiders OMA tertinggi terjadi pada usia 2 tahun pertama kehidupan, dan yang kedua pada waktu berumur 5 tahun, bersamaan dengan anak mulai masuk sekolah.
Puncak usia anak mengalami OMA didapatkan pada pertengahan tahun pertama sekolah, kemudian angka kejadian menurun pada anak usia 7 tahun. Ingvarsson dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahun 1971-1983 di Swedia mendapatkan 16.611 anak menderita OMA, dengan kejadian OMA terbanyak pada usia 7 tahun. Alho dkk seperti yang dikutip oleh Casselbrant pada tahua 1985-1986 di Finlandia Utara mendapatkan 2431 dan berapa subyek anak menderita OMA, dengan angka kejadian OMA terbanyak pada usia 3 tahun."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sakina Umar
"Otitis media akut (OMA) merupakan penyakit telinga yang paling sering terjadi pada anak-anak. Di Indonesia belum ada data nasional baku yang melaporkan angka kejadian OMA. Penelitian ini dilakukan sebagai dasar bagi penelitian berskala nasional dalam memperoleh angka prevalensi penyakit telinga khususnya OMA di Indonesia. Penelitian ini merupakan studi epidemiologi deskriptif potong lintang untuk mengetahui prevalensi dan gambaran karakteristik faktor-faktor risiko OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur. Subyek penelitian dipilih secara multistage stratified random sampling, bertingkat dari kecamatan hingga kelurahan berdassarkan tingkat kepadatan penduduk. Kemudian dilanjutkan secara spatial random sampling berdasarkan nomer rumah. Hasil penelitian ini didapatkan prevalensi OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur sebesar 5,38 %, dan prevalensi tertinggi terjadi pada kelompok usia 2-5 tahun. Hubungan faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMA adalah usia ( p < 0,001; OR=11,36), jenis kelamin (p= 0,029 dan OR=2,50), riwayat ISPA (p< 0,001; OR=14,07), dan lingkungan tempat tinggal (p= 0,016;OR=2,60). Faktor risiko yang memiliki kecenderungan penyebab terhadap kejadian OMA, namun secara statistik tidak bermakna adalah pajanan asap rokok (p=0,066;OR=2,18), dan pendapatan rumah tangga (p=0,135;OR=0,55). Dari keempat faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian OMA pada anak-anak di Kotamadya Jakarta Timur, didapatkan faktor risiko usia (p<0,001;OR=10,00) dan ISPA (p<0,001;OR=10,01) yang paling bermakna dan dominan terhadap kejadian OMA. (koefisien determinan=0,410).

Acute Otitis Media (AOM) is the most common ear disease in children. To date, a standardized national data reporting on the number of OMA cases is still not available. This research was conducted to become basis for nation-based researches to obtain the number of ear disease prevalence in Indonesia especially AOM. This research is epidemiologic study, descriptive and cross-sectional to find out the prevalence and the characteristics description of AOM risk factors in children in the Municipality of East Jakarta. The research subject was selected with multistage stratified random sampling, authority levels ranging from villages to sub-districts based on population density level. After that, the method employed was spatial random sampling based on house numbers. The research resulted in 5,38% in AOM prevalence in children in the Municipality of East Jakarta, and the highest prevalence occurred in the group of 2-5 years old children. Statistically significant risk factor relations in AOM cases were in age ( p < 0,001; OR=11,36), gender (p= 0,029 and OR=2,50), upper airway infection history (p< 0,001; OR=14,07), and living environment (p= 0,016;OR=2,60). Risk factors that have a tendency toward causes of OMA case, but statistically not significant are exposure to cigarette smoke (p=0,066;OR=2,18), and household income (p=0,135;OR=0,55). From the four significant AOM risk factors in children in the Municipality of East Jakarta, age risk factor (p<0,001;OR=10,00) and upper airway infection (p<0,001;OR=10,01) are the most significant and dominant toward AOM cases (coefficient determinant=0,410)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Anggraini
"Data pola bakteri yang diisolasi dari sputum penderita penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) eksaserbasi akut di Indonesia yang sangat terbatas, menunjukkan terdapat kecenderungan pola bakteri di Indonesia berbeda dengan yang dilaporkan banyak negara lain. Di kebanyakan negara lain Haemophilus injluenzae dan Moraxella catarrhalis merupakan bakteri terbanyak pertama dan kedua yang diisolasi dari sputum penderita PPOK eksaserbasi, sedangkan di Indonesia kekerapan isolasi kedua bakteri tersebut sangat rendah. H influenzae bersifat fastidious dan M catarrhalis sering terabaikan peranannya sebagai patogen. Ditambah lagi sebagian laboratorium di Indonesia belum dapat mengisolasi kedua bakteri ini. Oleh karena itu diperlukan metode deteksi yang lebih efektif untuk kedua bakteri ini. Pada penelitian ini dikembangkan metode PCR multipleks untuk H injluenzae dan M catarrhalis, serta aplikasinya pada sputum penderita PPOK eksaserbasi akut PCR multipleks ini dapat digunakan untuk mendeteksi H injluenzae dan M catarrhalis dalam sputum masing-masingnya sampai 1,5 x 1ifcFU/ml atau 30 CFU/ reaksi PCR pada uji simulasi. Pemeriksaan PCR multipleks pada 30 sampel sputum penderita PPOK eksaserbasi akut memberikan hasil pita yang sesuai untuk H injluenzae sebanyak 60% dan untuk M catarrhalis 46,7%. Sedangkan dari biakan sputum hanya didapatkan satu sampel positif H injluenzae dan tidak ada sampel yang positif untuk M catarrhalis. Dengan jumlah sampel yang terbatas tersebut pemeriksaan PCR multipleks ini memiliki nilai sensitivitas 100%, spesifisitas 41,38%, nilai prediksi positif 5,56% dan nilai prediksi negatif 100% untuk H injluenzae. Nilai spesifisitas dan nilai prediksi negatif untuk M catarrhalis adalah 53,33% dan 100% .. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih besar dan perlu dilakukan peningkatan· sensitivitas metode kultur untuk H injluenzae dan M catarrhalis.

Limited database of bacterial pattern recorded in acute exacerbation of chronic obstructive pulmonary diseases (COPD) in Indonesia showed that the trend of bacterial pattern that was isolated from the patients with acute exacerbations of COPD is different from that which was reported in many other countries. In many other countries, Haemophilus inj1uenzae and Moraxella catarrhalis are the first and second most common bacteria that were isolated from the sputum of patients with acute exacerbations of COPD while in Indonesia the frequency of isolation of both bacteria is very low. H inj1uenzae is a fastidious bacteria while M catarrhalis' role as pathogen was frequently ignored. Moreover, many laboratories in Indonesia have no capabilities in the isolation of both bacteria. Thus, more effective detection methods are needed. This study is aimed at developing a multiplex PCR assay for H inj/uenzae and M catarrhalis, as well as the method's application on the sputum of patients with acute exacerbations of COPD. The multiplex PCR can be applied for the detection of both H influenzae and M catarrhalis in sputum up to 1.5 x 102 CFU/ml or 30 CFU per PCR reaction in simulation test. The multiplex PCR analysis on 30 sputum samples of patients with acute exacerbations of COPD yielded band that 60% match that of H inj1uenzae and 46.7% that of M catarrhalis. However, analysis of the sputum culture only produced one positive sample for H inj1uenzae and no positive samples for M catarrhalis. With such limited samples, multiplex PCR assay has 100% sensitivity, 41.38% specificity, 5.56% positive predictive value, and 100% negative predictive value for H inj/uenzae. The aassay has 53.33% specificity and 100% negative predictive value for M catarrhalis. Further study with bigger sample size should be carried out as well as the improvement in the sensitivity of the culture method for H inj1uenzae and M catarrhalis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2008
T59041
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nizma Permaisuari
"Otitis Media Akut (OMA) adalah penyakit multifaktorial. Penelitian ini bertujuan mengetahui prevalensi OMA dan hubungannya dengan status gizi, Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA), dan perokok pasif pada anak usia 0-5 tahun di lingkungan padat penduduk di Jakarta Timur. Penelitian menggunakan desain cross-sectional dan data diperoleh melalui wawancara terpimpin, pemeriksaan fisik umum, dan pemeriksaan THT pada seluruh anak usia 0-5 tahun yang rumahnya terpilih berdasarkan spatial random sampling di Kelurahan Cawang yang terpilih berdasarkan multistage random sampling. Data diolah menggunakan program SPSS versi 20.0 dan dianalisis dengan uji chi square. Hasil penelitian menunjukkan prevalensi OMA 17,54%. Uji Fisher Exact menunjukkan perbedaan tidak bermakna pada prevalensi OMA berdasarkan status gizi (p>0,05), ISPA (p>0,05), dan perokok pasif (p>0,05). Disimpulkan prevalensi OMA pada anak usia 0-5 tahun di lingkungan padat penduduk di Jakarta Timur adalah 17,54% dan tidak berhubungan dengan status gizi, ISPA, dan perokok pasif.

Acute Otitis Media (AOM) is a multifactorial disease. The purpose of this study was to determine the prevalence of AOM and its association with nutritional status, Upper Respiratory Tract Infection (URTI), and passive smoker of 0-5 years old children in high-density population in East Jakarta. This cross sectional study was conducted by performing guided interview, physical examination, and ear, nose, and throat examination to all 0-5 years old children whose house is chosen based on spatial random sampling in Cawang, chosen district based on multistage random sampling. Data are managed with SPSS version 20.0 and analyzed with chi square test. The results showed that the prevalence of AOM was 17,54%. Fisher exact test has shown no significant difference between prevalence of AOM with nutritional status (p>0,05), URTI (p>0,05), and passive smoker (p>0,05). In conclusion, prevalence of AOM of 0-5 years old children in high density population in East Jakarta is 17,54% and there is no association between the prevalence of AOM with nutritional status, URTI, and passive smoker"
2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"[Otitis media akut adalah peradangan yang terjadi pada telinga bagian tengah, termasuk saluran eustachius dan kavum mastoid dengan waktu kejadian akut, yaitu kurang dari 2 minggu. Otitis media akut (OMA) atau acute otitis media (AOM) ini dapat disebabkan oleh bakteri maupun oleh virus. Kejadian OMA sering ditemukan pada anak-anak terutama anak dalam rentan usia 0-5 tahun. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh struktur anatomi telinga anak yang lebih datar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Prevalensi Otitis Media Akut dan Hubungannya dengan Status Gizi pada Anak Usia 0-5 tahun di Jakarta Timur. Metode yang digunakan adalah cross sectional. Data diambil sejak tanggal 4 Mei sampai tanggal 18 Juni 2012 dan didapatkan 125 anak dengan rentang usia 0-5 tahun. Hasil penelitian menunjukan prevalensi otitis media akut pada anak usia 0-5 di Jakarta Timur pada tahun 2012 adalah sebesar 17,6 % (laki-laki 54,4% dan perempuan 45,6%). Terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara otitis media akut dan status gizi pada anak, ( p < 0.001). Angka kejadian otitis media akut terbesar ditemukan pada anak dengan status gizi kurang. Dapat disimpulkan bahwa prevalensi otitis media di Jakarta Timur pada tahun 2012 adalah 17,6% dan terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian otitis media akut pada anak usia 0-5 tahun., Acute Otitis Media is inflammation which occur on middle ear, including eustachius tube, mastoid cavum, and happened during acute time ( less than 2 weeks). Acute Otitis Media (AOM) is ussually caused by bacteria and virus. This disease ussually happen in 0-5 years old children. This is maybe caused by immature middle ear structure in children which is more flat than middle ear structure in adult. The purpose of this study was to determine the prevalence of acute otitis media and its association with nutritional status on 0-5 years old children in East Jakarta. Cross sectional method was used in this study. Data was taken from May 4th to June 18th 2012 and from that data we got 125 0-5 years old children. The result we got, showed that the prevalence of acute otitis media on 0-5 years old children was 17,6% (boys 54,4% and girls 45,6%). There is a significant association statistically between prevalence of acute otitis media with nutritional status. , (p<0.001). The biggest prevalence acute otitis media is found on children with low nutritional status. In conclusion, the prevalence of acute otitis media in East Jakarta 2012 is 17,6% and there is association between the prevalence of acute otitis media with nutritional status on 0-5 years old children.]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryati
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi hubungan koping orang tua dan karakteristik anak dengan tumbuh kembang anak usia batita dan prasekolah penderita LLA di RSAB Harapan Kita Jakarta. Penelitian ini menggunakan disain cross sectional. Jumlah sampel adalah 20 orang, diambil secara consecutive sampling. Analisis data menggunakan uji korelasi phi. Hasil penelitian menunjukkan, dengan α<0,05, ada hubungan yang bermakna antara mekanisme koping orang tua dengan pertumbuhan anak LLA. Ada hubungan bermakna antara mekanisme dan efektivitas koping orang tua dengan perkembangan anak LLA. Ada hubungan yang bermakna antara karakteristik anak dengan perkembangan anak LLA. Perawat dalam memberikan pelayanan keperawatan disarankan untuk lebih mengoptimalkan peran serta orang tua agar anak penderita LLA dapat mencapai derajat kesehatan serta pertumbuhan dan perkembangan yang optimal.

This research is purposed to identify the correlation between coping of parent and children?s characteristic with growth and development of the toddler and preschool with acute lymphoid leukemia at RSAB Harapan Kita Jakarta. This research is using cross sectional design with 20 respondents by consecutive sampling. The data analyzed by using phi correlation. The result showed that on α < 0,05, there is significant correlation between coping mechanism of parent toward the children?s growth who have been through acute lymphoid leukemia. There is significant correlation between coping mechanism and the effectiveness of coping with the children development. The significant correlation is found between the children?s characteristic with the children?s development. Nurses are suggested to be more optimized the parent role in nursing care. So that, the children with acute lymphoid leukemia can reach good quality of health, growth and develop optimally."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2010
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yadita Wira Pasra
"ABSTRAK
Latar belakang : Hampir seluruh penduduk dunia pernah mengeluhkan masalah di telinga. Salah satu kelainan pada telinga adalah akibat penyakit infeksi telinga Otitis media supuratif kronik (OMSK). Data yang digunakan di Indonesia pada saat ini sudah sangat lama sehingga diperlukan data epidemiologi baru untuk menentukan strategi pencegahan dan pola tatalaksana yang tepat sesuai dengan karaktersitik penyakit dan penderita di masyarakat Indonesia saat ini.
Metode: Penelitian ini bersifat survei deskriptif potong lintang, sebagai bagian dari penelitian ?Profil Otitis Media? untuk mengetahui prevalensi dan hubungannya dengan faktor risiko OMSK, di Jakarta.
Hasil : Prevalensi OMSK di Jakarta tahun 2012 berdasarkan penelitian yang dilakukan terhadap populasi penduduk Kotamadya Jakarta Timur adalah 3,4%. Faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian OMSK adalah usia (p=0,047), tingkat pendapatan keluarga (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) dan pajanan rokok (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Faktor risiko yang secara statistik tidak bermakna terhadap kejadian OMSK adalah rinitis alergi (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), jenis kelamin (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) dan status gizi (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)). Berdasarkan penelitian ini, didapatkan dua dari tiga subyek penderita OMSK di bawah lima tahun, memiliki riwayat pemberian ASI.
Diskusi: Prevalensi OMSK pada penelitian ini sebesar 3,4%, angka ini menurut WHO digolongkan sebagai negara dengan prevalensi OMSK yang tinggi (2-4%). Strategi penatalaksanaan komprehensif diperlukan untuk menurunkan prevalensi OMSK.

ABSTRACT
Introduction: Almost all of world populations complain of ear disturbance once in their life. Chronic supurative otitis media (CSOM) is one of chronic infection of middle ear. The data use in Indonesia is out of date, new data is needed to make new policy of treatment and preventive strategy.
Method: This is cross sectional survey study, as one of ?Profil Otitis Media? study. The aims of this study are to describe prevalence and risk factor of CSOM in Jakarta.
Result: The prevalence of CSOM in Jakarta in year 2012 based on this study is 3.4%. Risk factor that significantly correlated to CSOM are age (p=0.047), family economical status (p=0,002; OR 2,65(1,35-5,27)) and smoke (p=0,037; OR 1,92(1,02-3,59)). Allergic rhinitis (p=0,226;OR 1,75(0,59-4,78)), sex (p=0,796 ; OR 0,92(0,49-1,74)) and nutritional state (p=0,143 ; OR 0,53(0,2-1,32)) are not significantly correlate with CSOM. Based on this study 2 of 3 children with CSOM below 5 years age, are given breast feeding.
Discussion: CSOM prevalence based on this study is 3.4%, according to WHO recommendation this is high CSOM prevalence (2-4%). Comprehensive treatment strategy needed to decrease CSOM prevalent in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eva Yulianti
"Leukemia limfoblastik akut (LLA) adalah jenis kanker yang disebabkan oleh akumulasi limfoblas di sumsum tulang yang mempengaruhi banyak anak. Keberhasilan pengobatan pada pasien leukemia dapat dinilai berdasarkan tingkat kelangsungan hidup pasien LLA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi kelangsungan hidup 5 tahun, faktor-faktor yang mempengaruhinya, dan nilai skor prediktor kelangsungan hidup pada anak usia 1-18 tahun yang didiagnosis dengan leukemia limfoblastik akut (LLA) di RSAB Harapan Kita. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik yang menggunakan desain penelitian kohort retrospektif. Sampel adalah 130 pasien LLA yang didiagnosis pada tahun 2013-2014 yang diperoleh dari teknik pengambilan sampel non-probabilitas jenis consecutive sampling. Data dikumpulkan dengan melacak rekam medis pasien. Data dianalisis menggunakan analisis Kaplan-Meier dan Regresi Cox. Hasil penelitian menunjukkan bahwa probabilitas tingkat kelangsungan hidup pasien LLA tahun 2013-2014 adalah 92,25% dengan tingkat kelangsungan hidup rata-rata 60 bulan. Berdasarkan analisis multivariat menggunakan model interaksi regresi Cox, faktor yang paling berpengaruh pada tingkat kelangsungan hidup pasien LLA adalah komorbiditas (p = 0,002; HR = 10,76 CI; 2,38-48,55), remisi (p = 0,001; HR = 13,28 CI2,98- 59,73) dan kambuh (p = 0,014; HR = 7,92 CI; 1,53-41,12).

Acute lymphoblastic leukemia (LLA) is a type of cancer caused by the accumulation of lymphoblasts in the bone marrow that affects many children. The success of treatment in leukemia patients can be assessed based on the survival rate of LLA patients. The aims of this study were to identify 5-year survival, the factors that influence it, and the scoring value of predictors of survival in children aged 1-18 years diagnosed with acute lymphoblastic leukemia (LLA) in RSAB Harapan Kita. This study is an analytic observational study that used retrospective cohort study design. The sample was 130 LLA patients diagnosed in 2013-2014 who were obtained from a non-probability sampling technique consecutive sampling. Data were collected by tracking the patient's medical records. Data were analyzed using Kaplan- Meier analysis and Cox Regression. The results show that the LLA patient's survival rate probability from 2013-2014 was 92.25% with a median survival rate of 60 months. Based on multivariate analysis using Cox regression interaction models, the most influential factors on survival rate of LLA patients were comorbidity (p = 0.002; HR = 10.76 CI; 2.38-48.55), remission (p = 0.001; HR = 13.28 CI2.98-59.73) and relapse (p = 0.014; HR = 7.92 CI; 1.53- 41.12)"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nada Suci Rahmadani Adrin
"Latar belakang: Celah bibir dan lelangit merupakan anomali bawaan yang paling umum
ditemui pada regio kraniofasial yang belum diketahui dengan pasti penyebabnya. Pada
celah bibir dan lelangit ditemukan adanya jembatan jaringan lunak pada beberapa pasien
celah bibir dan lelangit lengkap, yang dapat disebut dengan soft tissue band. Mekanisme
terbentuknya soft tissue band ini belum diketahui dengan pasti. Jembatan jaringan lunak
ini dapat menghubungkan bagian lateral dan medial celah bibir atau nostril, beberapa
pada tepi alveolus yang. Soft tissue band memiliki 3 tipe utama yaitu tipe 1 band yang
menghubungkan bibir dengan bibir (Lip-to-lip/Simonart’s band), tipe 2 band yang
menghubungkan bibir dengan alveolus (Lip-to-alveolus/Oblique band), dan tipe 3 band
yang menghubungkan antar alveolus (Alveolus-to-alveolus/Alveolar band). Data
mengenai soft tissue band pada pasien celah bibir dan lelangit di Indonesia masih sedikit,
karena itu penulis berniat melakukan penelitian ini. Tujuan: Untuk mengetahui
prevalensi pasien celah bibir dan celah lelangit dengan soft tissue band berdasarkan sisi
celah dan jenis band pada periode Januari 2013 – Desember 2016 di RSAB Harapan Kita.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif retrospektif dengan
menggunakan data sekunder berupa rekam medik klinik CLP RSAB Harapan kita periode
Januari 2013 sampai dengan Desember 2016. Hasil: Uji Kappa Agreement menunjukkan
hasil p>0,61. Terdapat 206 pasien celah bibir dan lelangit tercatat di RSAB Harapan Kita
tahun 2013 – 2016. Dari 206 pasien terdapat 32 pasien (15,5%) dengan soft tissue band.
Pada tahun 2013 terdapat 14 kasus (43,8%), pada 2014 terdapat 9 kasus (43,8%), pada
2015 terdapat 7 kasus (21,9%), dan pada 2016 terdapat 2 kasus (6,3%). Soft tissue band
paling banyak berada pada tipe celah unilateral yaitu 75% pasien dan celah bilateral 25%
pasien. Pada tipe UCLP sebanyak 59,4% kasus pada tipe UCLA 15,6%, pada tipe BCLP
terdapat 25%, dan pada tipe BCLA tidak ditemukan kasus soft tissue band. Berdasarkan
tipe band, 56,3% pasien dengan tipe Simonart’s band (bibir-ke-bibir) paling banyak
ditemukan, diikuti dengan tipe Oblique band (bibir-ke-alveolus) sebanyak 34,4% pasien,
dan tipe Alveolar band (alveolus-ke-alveolus) sebanyak 9,4%. Berdasarkan variasinya,
soft tissue band paling banyak ditemukan yaitu, ditutupi kulit sebanyak 90,6% kasus dan
jaringan mukosa 9,4%. Kesimpulan: Prevalensi soft tissue band pada periode tahun 2013
sampai dengan 2016 di RSAB Harapan Kita mengalami penurunan jumlah kasus di setiap
tahunnya.

Background: Cleft lip and palate is the most common congenital anomalies that affect
craniofacial region with the causes is not known for sure. In the cleft lip and palate, soft
tissue band were found in some patients with complete cleft lip and palate. The
mechanism of soft tissue band formation is not known for sure. This soft tissue band can
connect the lateral dan medial cleft lips or nostril, some on the alveolar ridge. Soft Tissue
band have 3 main types, type 1 band that connects lip with lip (Lip-to-lip/Simonart’s
band), type 2 band that connects lip with alveolus (Lip-to-alveolus/oblique band), dan
type 3 band connects between the alveolus (Alveolus-to-alveolus/Alveolar band). The
data regarding soft tissue band in cleft lip and palate patients in Indonesia is still small,
therefore the author wants to do this research. Objective: to determine the prevalence of
patients cleft lip and palate with the soft tissue band based on the side of the cleft and
type of the band in the period January 2013 to December 2016 at RSAB Harapan Kita.
Methods: This research is a retrospective descriptive study using secondary data in the
form of clinical medical records of CLP RSAB Harapan Kita period January 2013 to
December 2016. Results: The Kappa Agreement shows he result of p>0,61. There are
206 patients with cleft lip and palate were record at RSAB Harapan Kita in 2013 – 2016.
From 206 patients there were 32 patients (15,5%) with soft tissue band. In 2013 there
were 14 cases (43,8%), in 2014 there were 9 cases (43,8%), in 2015 there were 7 cases
(21,9%), and in 2016 there were 2 cases (6,3%). Soft tissue band is mostly in the type of
unilateral cleft, which is 75% of patients and bilateral cleft 25% of patients. In the UCLP
type there were 59,4% of cases, 15,6% of UCLA type, 25% of the BCLP type, and no
soft tissue band cases in the BCLA type. Based on band type, 56,3% of patients with
Simonart’s band (lip-to-lip) type were found the most, followed by Oblique band (lip-toalveolus)
type in 34,4% of patients, and Alveolar band (alveolus-to-alveolus) type in
9,4% patients. Based on the variation, soft tissue bands were mostly founds covered with
skin in 90,6% of cases and 9,4% of mucosa tissue. Conclusion: The prevalence of soft
tissue bands in the period 2013 to 2016 at RSAB Harapan Kita has decreased the number
of cases each year.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lolita Dian Evayani
"[Latar Belakang : Katup velofaringeal memiliki peranan penting dalam mengontrol aliran udara saat pasien berbicara. Penutupan katup velofaringeal yang tidak sempurna menimbulkan masalah pada saat pasien berbicara. Terdapat beberapa modalitas dalam menilai insufisiensi velofaringeal, antara lain menggunakan mirror test dan radiografi sefalometri. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sensitivitas dan spesifisitas mirror test dan radiografi sefalometri sebagai modalitas pemeriksaan adanya insufisiensi velofaringeal pada pasien celah langit-langit pasca dilakukannya rekonstruksi celah langit-langit. Metode : Merupakan penelitian cross-sectional analitik dengan desain khusus untuk suatu uji diagnostik dan dikelompokan dalam tabel 2x2 dengan pemeriksaan gold standard nasoendoskopi. Data diambil dari pasien berusia 5 – 11 tahun pasca rekonstruksi celah langit-langit dan mengikuti terapi bicara di Program SEHATI RSAB Harapan Kita Jakarta. Hasil : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas lebih tinggi (100%) dibandingkan mirror test, namun demikian nilai spesifitas sefalometri lebih rendah (33.3 %) dibandingkan mirror test. Sedangkan false negative dari radiografi sefalometri adalah 66.66 %. Kesimpulan : Radiografi sefalometri memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dibandingkan mirror test. Sehingga radiografi sefalometri dapat digunakan sebagai modalitas pemeriksaan insufisiensi velofaringeal bersama dengan mirror test yang selama ini telah digunakan sebagai modalitas awal pemeriksaan insufisiensi velofaringeal. , Background :Velopharyngeal valve has an important role in controlling the flow of air when the patient is speaking. Incomplete velopharyngeal closure cause problems when patient is speaking. There are several modalities in assessing velofaringeal insufficiency, among others, using the mirror test and cephalometric radiographs. The purpose of this study was to determine the sensitivity and specificity of the test mirror and cephalometric radiographic as the modality of the insufficiency velopharyngeal examination in patients with cleft palate after performing cleft palate reconstruction. Methods: A cross-sectional analytic study with a specific design for a diagnostic test and grouped in a 2x2 table with the gold standard endoscopic examination. Data taken from patients aged 5-11 years post-reconstruction of cleft palate and speech therapy in SEHATI Program in Harapan Kita Hospital Jakarta. Results: Cephalometric radiographs have higher sensitivity (100%) compared to the mirror test, however cephalometric values lower specificity (33.3%) compared to the mirror test. While the false negative of cephalometric radiographs was 66.66%. Conclusion: Cephalometric radiographs have a higher sensitivity than the mirror test. Cephalometric radiographs can be used as a modality examination velofaringeal insufficiency along with mirror test which has been used as the initial modality examination velofaringeal insufficiency.]"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>