Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143181 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ponco Birowo
"Pendahuluan: nitrogen oksida menginduksi relaksasi otot polos dan menyebabkan peningkatan guanosisn monofosfat siklik (cGMP) dalam otot polos. Peningkatan ini terjadi melalui perangsangan guanilat sikiase. Sildenafil adalah penghambat cGMP-fosfodiesterase tipe V (PDE V) yang poten dan selektif. Yang merupakan isoenzim pemetabolis cGMP dalam korpus kavernsosum. cGMP adalah messenger nitrogen oksida kedua dan mediator utama relaksasi dan vasodilasi otot polos dalam penis.
Tujuan : penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efikasi antara donor oksda nitrat, inhibitor spesifik PDE V dengan kombinasinya terhadap relaksasi korpus kavernosum kelinci. Lembaran korpus kavernosum keilnci yang diisolasi dirangsang secara isosimetris dengan fenilefrin. Relakasasi bertingkat diinduksi dengan menggunakan berbagai konsentrasi S-Nitroso-N-asetilpenisilamin (SNAP) sildenafil sitrat dan kombinasinya. Signifikansi statistik diuji melalui analisis varian satu arah (ANOVA) dan jika ada perbedaan bermakna diantara reratanya, uji akan dilanjutkan dengan komparasi multipel Benferroni.
Hasil: pada 10-8 M, SNAP, sildenafil sitrat dan kombinasinya merelaksasi preparat, secara berurutan sebesar 29 + 4.8%, 46 ± 2.5%, and 36 ± 3.9%. Perbedaan ini signifikan dengan uji analisis varian (p<0.05). Hasil yang sama ditemukan pada konsentrasi 10-1M, 10-8M, and 10-5M. Dad uji komparasi Benferroni, diketahui pada konsentrasi 10'aM, 10-7M, and10-6M sildenafil sitrat dapat merelaksasi korpus kavernosum lebih besar dibandingkan dengan SNAP (p<0.05) dan tidak ada perbedaan bermakna antara sildenafil sitrat dengan kombinasi (p>0.05). Pada konsentrasi 10'5M, kombinasi SNAP dan sildenafil sitrat dapat merelaksasikan korpus kavernosum lebih baik dibandingkan dengan SNAP saja (p<0.05), namun tidak ada perbedaan bermakna antara kombinasi dengan sildenafil sitrat saja (p>0.05).
Kesimpulan: kombinasi SNAP dan sildenafil sitrat pada konsentrasi tinggi memberikan hasil yang signifikan dibandingkan dengan SNAP saja. Tidak ada perbedaan yang signifikan bila dibandingkan dengan sildenafil sitrat saja.

Introduction: Nitric oxide induces smooth muscle relaxation by causing an increase of cyclic guanosine monophosphate (cGMP) within the smooth muscle cell by stimulating guanylate cyclase. Sildenafil is a potent and selective inhibitor of cyclic-GMP-specific phosphodiesterase type V, the predominant isoenzyme metabolizing cyclic GMP in corpus cavernosum. Cyclic GMP is the second messenger of nitric oxide and a principal mediator of smooth muscle relaxation and vasodilatation in the penis.
Aim: The objective of this study was to compare the efficacy between nitric oxide donor, specific phosphodiesterase type V and its combination on the relaxation of rabbit corpus cavernosum.
Material and Methods: Isolated strips of rabbit corpus cavernosum were stimulated isometrically with phenylephrine. Graded relaxations were induced using various concentrations of S-Nitroso-N-acetylpenicillamine (SNAP), sildenafil citrate and its combination. Statistical significance was tested by the one way analysis of variance (ANOVA) and if there was a difference among the means, the test will be continued with a multiple comparissons of Benferroni.
Results: At 10-8 M, SNAP, sildenafil citrate and it's combination relaxed the preparation by 29 ± 4.8%, 46 + 2.5%, and 36 ± 3.9% respectively. The difference was significant by analisis of variance test (p<0.05). The same result was found at concentration 10'7M, 10-5M, and 10-5M concentration. From a multiple comparisson of Benferroni test, it was known that in concentration of 10-5M, 10' 'M, and10-6M the sildenafil citrate can relaxed the corpus cavernosum higher than SNAP (p<0.05) and there was no difference between sildenafil citrate and combination (p>0.05). In the concentration of 10"5M, the combination of SNAP and sildenafil citrate can relaxed the corpus cavernosum higher than SNAP alone significantly (p<0.05) but there was no significant difference between combination and sildenafil citrate (p>0.05).
Conclusions: Combination of SNAP and sildenafil citrate gave a significant result in a high concentration compared to SNAP alone but there were no significant difference compared to Sildenafil citrate alone.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Tersiani Kamil
"Objective: To examine the direct effect of type 5 phosphodiesterase inhibitor (sildenafil), nitric oxide-donor (sodium nitroprusside) and their combination on human spermatozoa in vitro.
Method: Semen samples were collected by masturbation after 3 days of abstinence from donors presenting for infertility evaluation at Imunoendocrinology Labolatory. Samples were divided into normospermia and asthenospermia. Each group were washed on discontinuous density gradient (Percoll 45% and 90%) at 300g for 20 minutes, then resuspended in capacitation media containing Ham's F10. Aliquots of 10x106 spermatozoa were reacted with PDE5 inhibitor, NO-donor, their combination, and also Pentoxyphylline (non-selective PDE) in different doses (0.1,1 and 10 umol). Minimally 6 samples were test for each dose. After 1 hour incubation at 37°C, 5% CO2 in air, microscopic analyses were performed to count motility. Analysis of Variance (ANOVA) was used to test difference among the means.
Result: There were 27 normospemia samples and 24 asthenospermia samples. In normopsermia group, Sildenafil, NO-donor and their combination increase spermatozoa motility significantly if compare to their blank (p 0.023,0.015,0.006). Sildenafil caused dose-dependent increase in spermatozoa motility. Low dose NO-donor increase motility. Combination of Sildenafil and NO-donor could not increase motility better than Sildenafil or NO-donor alone. Sildenafil or NO-donor increase motility higher than Pentoxyphylline. In asthenospermia group, Sildenafil, NO-donor, Sildenafil+NO-donor, and Pentoxyphylline increase motility compare to their blank, but there were no significant difference.
Conclusion: Sildenafil, NO-donor and their combination increase spermatozoa motility significantly if compare to their blank. NO-donor could not enhance the effect of Sildenafil to increase motility."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21290
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Taher
"ABSTRAK
Impotensi seksual adalah keadaan dimana ereksi penis tidak dapat dicapai atau dipertahankan untuk melakukan hubungan kelamin. Batasan ini hanya meliputi kemampuan ereksi penis dan tidak melibatkan masalah libido, ejakulasi serta orgasme (KRANE dkk 1989).
Keluhan impotensi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi penderita dan pasangannya, akan tetapi bagi seluruh keluarga dan masyarakat lingkungannya. Hilangnya kemampuan ereksi mempunyai dampak lebih besar daripada sekedar kegagalan hubungan kelamin, akan tetapi dirasakan juga sebagai hilangnya sifat kejantanan. Dapatlah dimengerti mengapa keadaan tersebut merupakan sesuatu yang menakutkan bagi penderita. Penderita akan mengalami kecemasan, gangguan komunikasi dan depresi. Dalam keadaan ini keutuhan keluarga sulit untuk dipertahankan lagi (HENGEVELD 1983).
Walaupun angka prevalensi gangguan seksual telah banyak dilaporkan di kepustakaan, akan tetapi kurang dapat menggambarkan masalah kegagalan ereksi. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10 juta pria menderita impotensi (SHABSIGH 1988). Impotensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia. Keadaan ini diidap oleh sekitar 1.9% pria berusia 40 tahun, angka kejadian ini meningkat menjadi 25% pada usia 65 tahun (KRANE dkk 1989). Angka kejadian ini akan lebih meningkat lagi pada populasi rumah sakit. Impotensi sangat sering timbulImpotensi seksual adalah keadaan dimana ereksi penis tidak dapat dicapai atau dipertahankan untuk melakukan hubungan kelamin. Batasan ini hanya meliputi kemampuan ereksi penis dan tidak melibatkan masalah libido, ejakulasi serta orgasme (KRANE dkk 1989).
Keluhan impotensi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi penderita dan pasangannya, akan tetapi bagi seluruh keluarga dan masyarakat lingkungannya. Hilangnya kemampuan ereksi mempunyai dampak lebih besar daripada sekedar kegagalan hubungan kelamin, akan tetapi dirasakan juga sebagai hilangnya sifat kejantanan. Dapatlah dimengerti mengapa keadaan tersebut merupakan sesuatu yang menakutkan bagi penderita. Penderita akan mengalami kecemasan, gangguan komunikasi dan depresi. Dalam keadaan ini keutuhan keluarga sulit untuk dipertahankan lagi (HENGEVELD 1983).
Walaupun angka prevalensi gangguan seksual telah banyak dilaporkan di kepustakaan, akan tetapi kurang dapat menggambarkan masalah kegagalan ereksi. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10 juta pria menderita impotensi (SHABSIGH 1988). Impotensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia. Keadaan ini diidap oleh sekitar 1.9% pria berusia 40 tahun, angka kejadian ini meningkat menjadi 25% pada usia 65 tahun (KRANE dkk 1989). Angka kejadian ini akan lebih meningkat lagi pada populasi rumah sakit. Impotensi sangat sering timbul pada penderita kencing manis, sklerosis multipel, penyakit tekanan darah tinggi ataupun gagal ginjal.
Pada suatu survai, didapatkan sekitar 50% pria penderita kencing manis ternyata mengalami impotensi (LINCOLN dkk, 1987). TUTTLE dkk melaporkan bahwa sekitar 10% penderita infark otot jantung ternyata menderita kehilangan kemampuan ereksi yang menetap. Keadaan ini juga sering diketemukan pada pria dengan penyakit hipertensi arterial, dengan angka kejadian yang bervariasi antara 20-30% tergantung pada jenis obat-obatan yang digunakan (WEIN dan ARSDALEN, 1988).
Sampai saat ini belum pernah ada laporan angka kejadian impotensi seksual di Indonesia. Faktor psikologis, yang menyebabkan penderita tidak mencari pengobatan ke rumah sakit diduga merupakan penyebab seolah-olah rendahnya angka kejadian ini. Hal ini dapat mengaburkan besarnya permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi, langkanya dokter yang terlatih dan sarana diagnostik yang memadai menyebabkan pelayanan penderita impoten secara ilmiah tidak memuaskan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
D410
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ainil Masthura
"Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah suatu kondisi kembalinya cairan lambung ke esofagus. Terapi akupunktur tanam benang telah menjadi salah satu terapi yang digunakan untuk alternatif terapi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan kadar Nitrit Oksida (NO) serum setelah terapi akupunktur tanam benang dan medikamentosa. Uji acak tersamar tunggal dilakukan pada 50 responden dengan GERD yang di bagi kepada kelompok akupunktur tanam benang dan medikamentosa dibandingkan dengan kelompok akupunktur sham dan medikamentosa. Pemeriksaan kadar NO menjadi parameter yang dinilai pada saat sebelum perlakuan dan 30 hari setelah 2 kali terapi dengan durasi 15 hari sekali.
Hasil penelitian menunjukkan terjadi kenaikan kadar NO pada kelompok perlakuan dibandingkan kelompok sham namun tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok. Kesimpulan penelitian ini akupunktur tanam benang belum terbukti secara statistik mempengaruhi kadar NO pada pasien GERD.

OksidaGastroesophageal reflux disease (GERD ) is a condition that causes the return of gastric fluid into the esophagus. Catgut embedding acupuncture has become one of the therapies used for alternative therapies. This study aimed to determine changes in serum Nitric Oxide (NO) levels after catgut embedding acupuncture therapy and conventional medicine. Single -blind randomized trials is used on 50 respondents with GERD were divided to group catgut embedding acupuncture therapy and conventional medicine compared with sham acupuncture group and medicine. The level of NO into the parameters assessed at the time before treatment and 30 days after treatment with 2 times the duration of 15 days.
The results showed increased levels of NO in catgut embedding acupuncture therapy and conventional medicine group compared with sham acupuncture group and medicine but there was no significant difference between the two groups. The conclusion of this study catgut embedding acupuncture has not been proven statistically in influencing the levels of NO in patients with GERD.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tyas Putri Utami
"Latar belakang: Hipertensi dan aterosklerosis berkaitan dengan disfungsi endotel yang ditandai oleh pengurangan produksi nitric oxide (NO) dan penurunan NO bioavailability. Disfungsi endotel dapat terjadi sejak usia anak-anak dan inaktivitas fisik menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular. Namun belum banyak penelitian mengenai perbedaan pengaruh latihan fisik aerobik pada juvenil dibandingkan dengan dewasa terhadap fungsi vaskular. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh usia latihan fisik terhadap kadar NO, MDA dan aktivitas spesifik enzim SOD pada aorta abdominal dengan lama latihan yang sama.
Metode: Subjek penelitian adalah tikus usia juvenil dan dewasa muda yang dibagi dalam kelompok latihan dan kontrol. Latihan aerobik selama 8 minggu menggunakan treadmill dengan kecepatan disesuaikan dengan usia tikus selama 20 menit intermitten, 5x seminggu. Analisis kadar NO, MDA dan aktivitas SOD aorta abdominal menggunakan uji t-test independen (data berdistribusi normal dan homogen) atau uji U-Mann Whitney (data tidak normal).
Hasil: Kadar NO dan aktivitas spesisfik SOD lebih tinggi pada kelompok latihan dibandingkan kontrol, baik pada kelompok juvenil maupun dewasa muda. Namun hanya pada kelompok dewasa muda yang perbedaannya bermakna. Tidak terdapat perbedaan bermakna kadar MDA antara kelompok latihan dan kontrol pada kedua usia. Kadar MDA pada kelompok juvenil meningkat dan menurun pada kelompok dewasa muda akibat latihan aerobik selama 8 minggu.
Kesimpulan: Latihan aerobik dapat meningkatkan produksi NO dan NO bioavailability pada kelompok juvenil maupun dewasa muda. Peningkatan NO bioavailability terjadi melalui aktivitas spesifik enzim SOD. Diduga tingginya kadar MDA pada kelompok latihan dan kontrol juvenil terkait dengan usia dan stres fisik. Belum diketahui apakah peningkatan kadar MDA pada kelompok juvenil masih dalam kisaran normal atau tidak. Oleh karena itu, masih terdapat beberapa pertanyaan terkait manfaat latihan pada juvenil.

Background: Hypertension and atherosclerosis are related to endothelial dysfunction, that characterized with decrease of NO production and bioavailability. Physical inactivity has contribute to endothelial dysfunction that can occur since childhood. However, until now, there were only few studies about the difference effect of aerobic training to vascular function in juvenile and young-adult rats. Therefore, this study aimed to know the effect of age related- exercise training to level of NO, MDA and specific SOD activity in abdominal aorta.
Methode: Subjects were juvenile and young adult male wistar rats divided into 2 group: control and aerobic training. Aerobic training performed in 8 weeks with animal treadmill with age-dependent speed for 20 minutes intermittent exercise, 5x per week. Analysis of NO, MDA level, and SOD activity of abdominal aorta used t-test independent (normal distribution and homogen) or U-Mann Whitney (not normal distribution).
Results: NO level and SOD specific activity in training group were higher than control group, in both juvenile and young adult group. But, only in young adult group that had significant result. There was no significant different of MDA level in training group compared to control group in both juvenile and young-adult group, but MDA level increased in juvenile group and decreased in young-adult group because of aerobic training for 8 weeks.
Conclussion: Aerobic training can increase NO production and bioavaibility both in juvenile and young adult group. Increase of NO bioavailability was considered to the increase of SOD specific activity. We considered that the increase of MDA level in training and control juvenile group were related to age and physical stress. We didn?t know yet the increased level of MDA in juvenile group was still in normal range level or not. Therefore is still any question if training in juvenile rat was benefit or not.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58646
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hendayani
"Nyeri dan kecemasan adalah dua masalah utama yang sering dialami pasien pascabedah yang dapat menghambat proses pemulihan dan menurunkan kualitas hidup. Berbagai metode untuk mengatasi masalah ini telah dikembangkan, termasuk terapi farmakologi dan non farmakologi. Salah satu pendekatan non farmkakologi yang dapat dilakukan melalui pemberian kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi efektivitas kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender dalam mengurangi nyeri dan kecemasan pada pasien pascabedah. Desain penelitian: penelitian ini merupakan penelitian quasi eksperimen dengan pendekatan pre-post test control group design. Teknik consecutive sampling dengan cara mengurutkan responden menggunakan penomoran ganjil untuk kelompok kontrol dan genap untuk kelompok intervensi digunakan untuk menentukan sampel, dengan total 40 peserta yang terbagi manjadi dua kelompok: 20 peserta dalam kelompok kontrol yang menerima relaksasi otot pogresif dan 20 peserta dalam kelompok intervensi yang menerima kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah Visual Analogue Scale (VAS) untuk mengukur nyeri dan State Trait Anxiety Inventory (STAI) untuk mengukur kecemasan. Hasil penelitian: Uji paired – test pada kelompok kontrol dan uji wilcoxon kelompok intervensi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dalam tingkat nyeri dan kecemasan sebelum dan sesudah mendapatkan perlakuan pada masing-masing kelompok dengan p = 0,000 (p < 0,05). Namun, Uji Mann- Whitney pada nyeri antar kelompok setelah mendapatkan perlakuan (p = 0,665 > 0,05) dan uji Independent-t test pada skor kecemasan antar kelompok setelah perlakuan (p = 0,915 p > 0,05) masing-masing tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Kesimpulan: Penggunaan relaksasi otot progresif yang dikombinasikan dengan aromaterapi lavender mengalami penurunan nyeri dan kecemasan yang lebih besar dibandingkan dengan yang hanya diberikan relaksasi otot progresif saja. Tidak ditemukan perbedaan yang bermakna dalam penurunan nyeri dan kecemasan setelah perlakuan antara kelompok relaksasi otot progresif dan kelompok kombinasi relaksasi otot progresif dan aromaterapi lavender. Rekomendasi: Penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan desain yang lebih beragam diperlukan untuk mengeksplor lebih jauh temuan ini.

Pain and anxiety are two major problems often experienced by post-surgical patients that can hinder the recovery process and reduce their quality of life. Various methods to overcome these problems have been developed, including pharmacological and non-pharmacological therapies. One of the non-pharmacological approaches that can be done through the provision of a combination of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy. The purpose of this study was to evaluate the effectiveness of a combination of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy in reducing pain and anxiety in postoperative patients. Research design: This study is a quasi-experimental study with a pre-post test control group design approach. The consecutive sampling technique was used to determine the sample by sequentially numbering respondents with odd numbers for the control group and even numbers for the intervention group, with a total of 40 participants divided into two groups: 20 participants in the control group who received progressive muscle relaxation and 20 participants in the intervention group who received a combination of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy. This study used instruments of the Visual Analogue Scale (VAS) to measure pain and the State Trait Anxiety Inventory (STAI) to measure anxiety. Results: The paired - test in the control group and the Wilcoxon test in the intervention group showed a significant difference in the level of pain and anxiety before and after getting treatment in each group with p = 0.000 (p < 0.05). However, the Mann- Whitney test on pain between groups after treatment (p = 0.665 > 0.05) and the Independent t-test on anxiety scores between groups after treatment (p = 0.915 p > 0.05) each showed no significant difference. Conclusion: The use of progressive muscle relaxation combined with lavender aromatherapy had a greater reduction in pain and anxiety than those given progressive muscle relaxation alone. There was no significant difference in the reduction of pain and anxiety after treatment between the progressive muscle relaxation group and the combination group of progressive muscle relaxation and lavender aromatherapy. Recommendation: Further research with larger samples and more diverse designs is needed to further explore these findings."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musaddad Kamal
"

Gangguan tidur merupakan masalah yang umum terjadi pada pasien gagal jantung. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi pengaruh penerapan sleep hygiene dan relaksasi Benson terhadap kualitas tidur pasien gagal jantung. Desain penelitian menggunakan kuasi eksperimen dengan pre dan post test. Tehnik pengambilan data menggunakan purposive sampling dan melibatkan 100 responden dengan New York Heart Association class II dan III. 50 responden pada kelompok intervensi dan 50 responden pada kelompok kontrol. Kombinasi Sleep hygiene dengan relaksasi Benson berpengaruh signifikan terhadap kualitas tidur, begitu pula relaksasi Benson berpengaruh signifikan terhadap kualitas tidur walaupun skor kualitas tidur masih buruk. Pada penelitian ini terdapat perbedaan bermakna antara skor kualitas tidur setelah perlakuan pada kelompok intervensi dibandingkan kelompok kontrol (p= 0,000, I±= 0,05).


Sleep disturbance is a common problem in heart failure patients. The aim of current study was to evaluate the effect of sleep hygiene and Benson relaxation on the sleep quality among heart failure patients. The design of this study used quasi-experiment with pre and post test. This study used a purposive sampling and involved 100 respondents with New York Heart Association class II and III. 50 respondents in the intervention group and 50 respondents in the control group. The combination of Sleep hygiene and Benson relaxation had a significant effect on sleep quality, as well as Benson relaxation had a significant effect on sleep quality even though sleep quality scores were still poor. In this study there were significant differences between sleep quality scores after treatment in the intervention group compared to the control group (p = 0,000, I± = 0.05).

"
2019
T52925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sylvia Rianissa Putri
"Latar Belakang: Berbagai polimorfisme gen nitric oxide synthase 2 (NOS2) telah diteliti dalam kaitannya dengan penyakit asma dengan pola yang bervariasi, bergantung pada ras dan negara. Beberapa di antaranya menunjukkan hubungan yang bermakna dengan asma atau penanda hayati asma, misalnya polimorfisme Ser608Leu diketahui berhubungan dengan keparahan asma. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan antara polimorfisme gen NOS2 Ser608Leu dan fractional exhaled nitric oxide (FeNO) pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol. Metode: Penelitian ini adalah penelitian observasional dengan desain potong lintang. Subjek penelitian adalah pasien berusia dewasa di Klinik Asma-PPOK RS Persahabatan Pusat Respirasi Nasional yang direkrut secara total sampling. Kontrol asma dinilai dengan Asthma Control Test (ACT), pengukuran FeNO dilakukan dengan menggunakan alat monitor FeNO dan pemeriksaan polimorfisme dilakukan dengan teknik PCR-RFLP menggunakan DNA dari sampel darah perifer. Hasil: Sebagian besar subjek penelitian berjenis kelamin perempuan (70,9%), tergolong obesitas (50,9%), bukan perokok (60,0%) dan berdomisili di Jakarta Timur (60,0%). Sekitar 49,1% subjek penelitian mendapatkan kortikosteroid inhalasi dengan dosis jika perlu-rendah, diikuti oleh dosis sedang sebesar 41,8% subjek penelitian. Terdapat 40,0% subjek penelitian dengan kepatuhan berobat (adherence) yang baik. Berdasarkan skor ACT, 56,4% tergolong asma terkontrol. Frekuensi nilai FeNO yang tergolong rendah pada asma tidak terkontrol sebesar 12,7% total pasien sedangkan pada asma terkontrol sebesar 20,0% total pasien. Frekuensi nilai FeNO yang tergolong meningkat pada asma tidak terkontrol sebesar 30,9% total pasien sedangkan pada asma terkontrol sebesar 36,4% total pasien. Hasil uji multivariat regresi logistik variabel jenis kelamin, riwayat merokok, kepatuhan penggunaan inhaler, kontrol asma dan polimorfisme gen NOS2 Ser608Leu juga tidak menunjukkan hubungan yang bermakna antara polimorfisme gen NOS2 Ser608Leu dan peningkatan nilai FeNO (p = 0,629, OR 0,741, IK95% 0,219-2,507, aOR 0,971, IK95% 0,232-4,070). Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara genotip gen NOS2 dan kategori FeNO pada pasien asma terkontrol dan tidak terkontrol di RS Persahabatan Pusat Respirasi Nasional.

Background: Various polymorphisms of nitric oxide synthase 2 (NOS2) had been studied in asthma which showed varied patterns among race and countries. Several NOS2 polymorphisms showed significant association with asthma or its biomarker, e.g. Ser608Leu polymorphism was associated with asthma severity. This research aims to analyse the relationship of NOS2 Ser608Leu polymorphism and fractional exhaled nitric oxide (FeNO) in controlled and uncontrolled asthma patients. Methods: This was observational research with cross-sectional design. Subjects were adult patients in Asthma-COPD Clinics of Persahabatan Hospital National Respiratory Center who were recruited using total sampling. Asthma control was assessed with Asthma Control Test (ACT), FeNO testing were performed using FeNO monitor and polymorphism testing were performed with PCR-RFLP using DNA from peripheral blood samples. Results: Most subjects were female (70.9%), obese (50.9%), non-smoker (60.0%) and living in East Jakarta (60.0%). About 49.1% subjects were taking as needed-low dose of inhaled corticosteroids (ICS), 41.8% subjects were taking medium dose of ICS. About 40.0% subjects had good adherence. Based on ACT score, 56.4% were controlled asthma. Low FeNO value were found in 12.7% of total patients in uncontrolled asthma and 20.0% of total patients in controlled asthma patients. Increased FeNO value were found in 30.9% of total patients in uncontrolled asthma patients and 36.4% of total patients in controlled asthma patients. Logistic regression of gender, history of smoking, adherence to inhaler, asthma control and Ser608Leu polymorphism of NOS2 did not show significant association between NOS2 polymorphism and increased FeNO (p = 0.629, OR 0.741, 95% CI 0.219-2.507, aOR 0.971, 95% CI 0.232-4.070). Conclusion: Genotypes of NOS2 were not significantly associated with increased FeNO value in controlled and uncontrolled asthma patients of Persahabatan Hospital National Respiratory Center."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nidya Sandi Bahana
"Latar belakang : Asma memengaruhi sekitar 300 juta orang di seluruh dunia dan menjadi masalah kesehatan global yang serius yang mempengaruhi semua kelompok umur. Asma alergi adalah fenotipe asma yang paling mudah dikenali dan sering dimulai sejak masa anak-anak. Sebagian besar asma alergi berhubungan dengan sensitisasi saluran napas akibat pajanan aeroalergen umum, terutama yang berasal dari tungau debu rumah. Proses inflamasi eosinofilik saluran napas menghasilkan produk akhir berupa nitrit oksida. Kadar nitrit oksida udara ekspirasi (FeNO) merupakan salah satu penanda hayati yang mengukur inflamasi saluran napas dan kadar FeNO yang tinggi pada pasien asma berhubungan dengan inflamasi saluran napas eosinofilik.Penilitian ini bertujuan mengetahui hubungan kadar IgE spesifik Der p dan Der f  dengan kadar FeNO pada pasien asma tidak terkontrol di RSUP Persahabatan.
Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah sampel 86 subjek pasien asma tidak terkontrol berdasarkan asthma control test di RSUP Persahabatan. Metode pengumpulan subjek dilakukan dengan teknik consecutive sampling. Pemeriksaan IgE spesifik tungau debu rumah menggunakan protia Q96M. Pemeriksaan FeNO menggunakan Bedfont NObreath.
Hasil : Dari 86 subjek asma tidak terkontrol didapatkan hasil rerata usia pasien asma tidak terkontrol di RSUP Persahabatan adalah  52,45 + 12,94 tahun, sebagian besar berjenis kelamin perempuan (84,9%).Proporsi pasien asma yang alergi terhadap tungau debu rumah  mencapai 64%. Prorporsi alergi Der p dan Der f 58%, alergi Der p 4,7% dan alergi Der f 1,2%. Median kadar IgE spesifik tungau debu rumah pada pasien asma tidak terkontrol di RSUP Persahabatan adalah 3,94 (0-100) IU/ml untuk Der p dan 4,47 (0-100) IU/ml untuk Der f. Median FeNO pasien asma tidak terkontrol adalah 26 (3-92) ppb. Dilakukan uji korelasi Spearman untuk kadar IgE spesifik dan kadar FeNO pasien asma tidak terkontrol. Terdapat hubungan bermakna antara kadar IgE spesifik Der p (nilai p = 0,009, r = 0,279, uji Spearman) dan Der f (nilai p = 0,001, r = 0,339, uji Spearman) dengan FeNO.
Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara kadar IgE spesifik tungau debu rumah Der p dan Der f dengan FeNO pada pasien asma tidak terkontrol. Namun tingkat korelasi yang didapatkan lemah.

Background : Asthma affects approximately 300 million people worldwide and is a serious global health problem affecting all age groups. Allergic asthma is the most easily recognized asthma phenotype and often begins in childhood. Most allergic asthma is associated with airway sensitization due to exposure to common aeroallergens, particularly those from house dust mites. The eosinophilic inflammatory process of the airways produces the final product in the form of nitric oxide. Fractional exhaled nitric oxide (FeNO) levels are one of the biomarkers that measure airway inflammation and high FeNO levels in asthma patients are associated with eosinophilic airway inflammation. This study aims to determine the relationship between Dermatophagoides pteronysinnus (Der p) and Dermatophagoides  farinae (Der f) specific IgE levels with FeNO levels in uncontrolled asthma patients at Persahabatan Hospital.
Method : This cross sectional study in 86 uncontrolled asthma patients based on asthma control test less than 24 points. The method of collecting subjects was done by consecutive sampling technique. House dust mite specific IgE assay using protia Q96M. FeNO examination using Bedfont NObreath.   
Result : From 86 subjects with uncontrolled asthma, the mean age of uncontrolled asthma patients at Persahabatan Hospital was 52.45 + 12.94 years, most of them were female (84.9%). The proportion of asthma patients who were allergic to house dust mites reached 64. %. The proportion of allergy to Der p and Der f 58%, allergy to Der p 4.7% and allergy to Der f 1.2%. The median level of specific IgE for house dust mites in patients with uncontrolled asthma at the Persahbatan Hospital was 3.94 (0-100) IU/ml for Der p and 4.47 (0-100) IU/ml for Der f. The median FeNO of uncontrolled asthmatic patients was 26 (3-92) ppb. Spearman correlation test was performed for specific IgE levels and FeNO levels in patients with uncontrolled asthma. There was a significant relationship between specific IgE levels Der p (p value = 0.009, r = 0.279) and Der f (p value = 0.001, r = 0.339) and FeNO.
Conclusion : There is a significant relationship between the levels of specific IgE for house dust mites Der p and Der f with FeNO in patients with uncontrolled asthma. However, the correlation level obtained is weak.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Edian Fitriana
"Praktik keperawatan residensi yang dilakukan di Rumah Sakit Persahabatan dengan kekhususan respirasi diharapkan dapat mengatasi masalah pernapasan. Selama menjalani proses residensi, residen berperan menjadi seorang Clinical Care Manajer (CCM) yang bertugas sebagai konsultan keperawatan bagi staf keperawatan dan pemberi terapi keperawatan kepada pasien, sebagai peneliti dan pendidik dalam rangka pemberi asuhan keperawatan untuk meningkatkan mutu atau kualitas asuhan keperawatan. Dalam memberikan asuhan keperawatan pada kasus kelolaan pasien dengan kanker paru dan 30 kasus resume menggunakan teori Henderson 14 kebutuhan dasar manusia yang menunjukkan peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan dalam membantu individu baik dalam keadaan sehat maupun sakit, melalui usahanya melakukan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan penyembuhan individu atau proses meninggal dengan damai. Masalah keperawatan yang banyak muncul yaitu tentang pemenuhan kebutuhan bernapas normal. Penerapan EBN kombinasi latihan pursed lip breathing dan progressive muscle relaxation terhadap penurunan dyspnea pada pasien PPOK. Pelaksanaan proyek inovasi video sebagai program peningkatan kemampuan perawat dalam melakukan monitoring terhadap pasien yang terpasang Water Seal Drainage (WSD) dan pemberian edukasi kepada pasien yang terpasang WSD di rumah. Hasil analisis praktik residensi keperawatan didapatkan bahwa asuhan keperawatan menggunakan pendekatan teori Henderson bertujuan untuk membantu sesegera mungkin kemandirian pasien. Penerapan kombinasi latihan pursed lip breathing dan progressive muscle relaxation dapat menurunkan dyspnea pada pasien PPOK. Proyek inovasi program peningkatan kemampuan perawat dalam melakukan monitoring WSD dan pemberian edukasi dirumah pada pasien yang terpasang WSD dengan media video dapat meningkatkan kemampuan perawat dalam melakukan monitoring WSD secara sistematis dan terstruktur dan kemampuan melakukan edukasi dirumah pada pasien.

Residency nursing practice carried out at Persahabatan Hospital with the speciality of respiration was expected to overcome respiratory problems. In addition, during the residency process, the resident perform the role to become a clinical care manager (CCM) who serves as a nursing consultant for nursing staff and nursing therapy providers to patients, researches and educator in the context of providing nursing care to improve the quality of nursing care. In providing nursing care in managed cases of patients with lung cancer and 30 resumed cases used Henderson's theory of 14 basic human needs which showed the role of nurses as nursing care providers in helping individuals both in health and illness, through their efforts to carried out various activities to support individual health and healing or the process of dying peacefully. Many nursing problems that arise were about fulfilling normal breathing needs. Application of EBN combination of pursed lip breathing exercises and progressive muscle relaxation to reduce dyspnea in COPD patients. The implementation of the video innovation project as a program to improve the ability of nurses to monitor patients with watered seal drainage (WSD) and provided education to patients with WSD at home. The results of the analysis of nursing residency practice found that nursing care used the Henderson theory approach aims to help the patient's independence as soon as possible. The application of a combination of progressive muscle relaxation and pursed lip breathing exercises could reduce dyspnea in COPD patients. The program innovation project to improve nurses' ability to monitor WSD and provided home education to patients with WSD installed with video media could improve nurses' ability to monitor WSD systematically and structured and the ability to educate patients at home Keywords: nursing specialist, lung cancer, Henderson nursing theory"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>