Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159038 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andjar Brawono
"Spondilltis tuberkulosa merupakan salah satu kasus penyakit tertua dalam sejarah dengan ditemukan dokumentasi kasusnya pada mummi di Mesir dan Peru'-2. Sir Percival Pott (1799) mendeskrispsikan penyakit ini dalam monografnya yang klasik dan sejak saat itu spondilitis tuberkulosa dikenal juga sebagai penyaldt Pott (Port's disease).
Tuberkulosis merupakan masalah besar bagi negara-negara berkembang karena insidensnya cukup tinggi dengan morbiditas yang serius. Indonesia adalah kontributor pasien tuberkulosis nomer 3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus bare tuberkulosis per tahun, sebagian besar berada dalarn usia produktif (15-54 tahun), dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah.
Spondilitis tuberkulosa merupakan fokus sekunder dari infeksi tuberkulosis dengan penyebaran sebagian besar seeara hematogen melalui pembululi darah arteri epifiseal atau melalui plexus vena Batson. Telah ditemukan spondilitis tuberkulosa setelah.instilasi BCG (bacillus Calmelle Guerin) intravesical pada karsirtoma buli-buli. Juga telah dilaporkan kasus osteomyelitis tuberkulosa sebagai komplikasi dari vaksinasi BCG . Fokus primer infeksi cenderung berbeda pada kelompok umur yang berbeda. Banerjee melaporkan pada 499 pasien dengan spondilitis tuberkulosa, radiologis memperlihatkan 31% fokus primer adalah paru-paru dan dan kelompok tersebut 78% adalah anak-anak, sedangkan 69% sisanya memperlihatkan foto rantgen paru yang normal dan sebagian besar adalah dewasa.
Pada usia dewasa, diskus intervertebralis avaskular sehingga Iebih resisten terhadap infeksi dan kalaupun terjadi adalah sekunder dari korpus vertebra.. Pada anakanak karena diskus intervertebralis masih bersifat vaskular, infeksi diskus dapat terjadi primer. Penyempitan diskus intervertebralis terjadi akibat destruksi tulang pada kedua sisi diskus sehingga diskus mengalami herniasi ke dalam korpus vertebra yang telah rusak.
Kompresi struktur neurologis terjadi akibat penekanan oleh proses ekstrinsik maupun intrinsik. Proses ekstrinsik pada fase aktif diakibatkan: oleh akumulasi cairan aldbat edema, abses kaseosa, jaringan granulasi, sequester tulang atau diskus."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21303
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Henrico Marindian
"Pendahuluan: Infeksi Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan penting di dunia. Salah satu manifestasi infeksi TB ekstrapulmoner adalah TB tulang dengan spondilitis TB merupakan kasus terbanyak, hampir 50 % dari jumlah kasus TB tulang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah kasus TB terbanyak keenam di dunia dengan insiden 395 per 100.000 penduduk. Penelitian spondilitis TB anak di Indonesia belum banyak dan studi kualitas hidup belum pernah dilakukan.
Metode: Studi merupakan studi potong lintang. Data diperoleh dari rekam medis pasien spondilitis tahun 2012-2016 yang berumur 0-18 tahun, melalui wawancara, pemeriksaan di poliklinik orthoapedi RSCM dan rumah pasien. Kualitas hidup pasien diukur dengan kuesioner PedsQL.
Hasil: Terdapat 46 subyek penelitian yang sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Mayoritas pasien masuk dalam kategori remaja (11-18 tahun) 69,6%. Subyek dengan deformitas vertebra sebesar 84,8 % sedangkan 32,6% memiliki defisit neurologis. Bagian vertebra yang paling banyak terinfeksi adalah regio torakal (58,7%). Kualitas hidup subyek penelitian menunjukkan bahwa 43,5% memiliki kategori suboptimal dan yang paling terpengaruh adalah faktor sosial dan sekolah. Secara statistik, tidak ada hubungan bermakna antara aspek klinis dan kualitas hidup subyek penelitian, namun tenaga kesehatan yang pertama kali didatangi berperan penting mempengaruhi kualitas hidup aspek sosial subyek (p 0,046).
Diskusi: Kualitas hidup pasien spondilitis TB anak di RSCM sebagian besar telah optimal meskipun ada beberapa aspek seperti aspek fisik dan sekolah yang sebagian besar belum optimal. Hal tersebut disebabkan karena adanya pajanan penyakit kronis dan deformitas residual yang membuat pasien meninggalkan sekolah dan memiliki keterbatasan fisik.

Background: Tuberculosis (TB) infection is important health problem in the world. Most common manifestations of extrapulmonary TB infection is musculoskeletal TB, with spinal TB nearly 50% of musculoskeletal TB. Indonesia is 6th largest contributors of TB cases in the world, with estimated incidence 395 per 100.000 population. Research on child spinal TB in Indonesia is not widely found, and no study has evaluated the quality of life.
Methods: This study was a cross-sectional study. Data was taken from medical records 2012-2016 for children spinal TB patient (0-18 years old), direct interview in orthopaedic outpatient clinic and patient's home. Quality of life was measured using PedsQL questionnaire.
Results: There were 46 subjects that matched inclusion and exclusion criterias. Majority of subjects age group of adolescents (11-18) were 69.6%. Subjects present with vertebral deformity were 84.8% and neurologic deficits in 32.6% subjects. Most commonly affected spine is thoracic region (58.7%). Quality of life evaluation shown 43.5% subjects had suboptimal quality of life, with physical and school aspects most affected. No significant relation between clinical aspects and quality of life but the first visited health workers had significant relation with social aspect quality of life (p 0,046).
Discussions: Quality of life of children with TB spondylitis in RSCM mostly achieves optimal result, although physical and school aspect are suboptimal. It maybe due to chronic disease factors that cause patients frequently leave school for treatment and also residual deformities that cause patients have physical limitations.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Achdi Kurnia
"Pendahuluan : Penyakit tuberkulosis resisten obat (TB-RO) merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Kanamisin, salah satu obat suntik lini ke dua dalam regimen terapi TB RO berpotensi menimbulkan efek samping ototoksik. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi kejadian ototoksisitas kanamisin pada pasien TB RO dan pengaruh diabetes melitus, usia, jenis kelamin, riwayat streptomisin, dosis kanamisin terhadap kejadian tersebut.
Metode : Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif menggunakan rekam medis pasien TB RO di Poliklinik TB RO RS Islam Cempaka Putih Jakarta, yang ikut dalam manajemen terpadu pengendalian TB resistan obat periode Mei 2016 - November 2018. Kriteria inklusi adalah pasien terdiagnosis TB RO dan mendapat kanamisin injeksi sebagai bagian dari regimen terapi TB. Kriteria eksklusi usia pasien kurang dari 18 tahun, rekam medis tidak lengkap atau sulit dibaca, menderita HIV, atau sudah menderita gangguan pendengaran tipe sensory neural hearing loss sebelum terapi kanamisin. Sampel adalah semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memiliki kriteria eksklusi. Dilakukan kajian hubungan kejadian ototoksisitas dengan komorbid DM, usia, jenis kelamin, dosis kanamisin, riwayat penggunaan streptomisin, dan onset efek samping kanamisin.
Hasil : Dari 164 penderita TB RO, 72 orang (43,9%) di antaranya mendapat kanamisin injeksi dan 23 pasien (32%) mengalami ototoksik. Pada uji regresi logistik ganda,  jenis kelamin pria lebih sedikit mengalami ototoksisitas (OR 0,323,  95%CI 0,111-0,939, p= 0,38). Dari total 23 pasien yang mengalami ototoksisitas, 21 di antaranya (91,3%) terjadi dalam 6 bulan pertama pemberian kanamisin.
Kesimpulan : Kejadian ototoksik pasien TB RO karena kanamisin tidak dipengaruhi oleh komorbid DM, usia, dosis kanamisin dan riwayat penggunaan streptomisin sebelumnya. Pada pasien TB RO yang mendapat kanamisin injeksi dengan variabel penyakit penyerta DM  dan usia yang sama, kejadian ototoksik pada perempuan  tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki, dan sebagian besar terjadi dalam enam bulan pertama penggunaan kanamisin.

Introduction: Drug resistant tuberculosis (DR-TB) is a noteworthy health problem throughout the world, including Indonesia. Kanamycin, one of the second line drugs in the DR-TB therapy regimen can cause ototoxicity, may lead to irreversible hearing loss. This study aimed to evaluate the incidence of kanamycin ototoxicity in DR-TB patients and the effect of diabetes mellitus (DM), age, sex, streptomycin history, and  dose of kanamycin on this event.
Methods: This is a retrospective cohort study, using medical records of DR-TB patients at Cempaka Putih Islamic Hospital, Jakarta, who participated in the integrated management of DR- TB control in the period May 2016 - November 2018. Inclusion criteria were patients diagnosed with DR-TB and kanamycin injection as part of the DR-TB therapy. Exclusion criteria are patients with age less than 18 years, had incomplete or difficult to read medical records, suffer from HIV, or from sensory neural hearing loss at base line were excluded. All patients who met the inclusion criteria and did not met the exclusion criteria. The association ototoxicity between DM, age, sex, kanamycin dose and history of streptomycin use with ototoxicity were evaluated using multiple logistic regression analysis, and the onset of kanamycin side effects were recorded.
Results: Of 164 DR-TB patients, 72 people (43.9%) received kanamycin injection and 23 patients (32%) had ototoxic. The multiple logistic regression analysis show that men were associated with ototoxicity compared to women (OR 0.323, 95% CI 0.111-0.939, p: 0.038). There were no significant association between DM comorbidity, age, previous use of streptomycin, and kanamycin dose with ototoxicity. Of the total 23 ototoxicity events, 21 of them (91.3%) occurred within the first 6 months of kanamycin therapy.
Conclusion: Ototoxic event in  DR-TB patients who received kanamycin were not affected by DM comorbidity, age, dose of kanamycin and  previous use streptomycin.  Ototoxic events in women were three times greater than men compared to men, and mostly occur during  in the first six months of use of kanamycin.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55525
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lubis, Rinaldy Panusunan
"Latar belakang dan tujuan: Petugas kesehatan adalah populasi yang rentan terhadap infeksi Tuberkulosis (TB). Salah satu penilaian dalam kontrol infeksi TB adalah melakukan evaluasi pada petugas kesehatan, terutama yang kontak dengan pasien TB. Interferon gamma release assays (IGRA) adalah suatu alat untuk pemeriksaan infeksi TB laten. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menetapkan angka proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 95 subjek dengan cara concecutive sampling. Subjek akan dilakukan anamnesis, foto toraks dan Xpert MTB/RIF untuk menyingkirkan diagnosis TB aktif dan TB MDR.
Hasil: Hasil IGRA positif didapatkan pada 37 subjek (38,9%) dan negatif pada 58 subjek (61,1%). Tidak ditemukan kasus TB aktif atau TB MDR. Didapatkan hubungan yang signifikan antara hasil pemeriksaan IGRA dengan lokasi kerja (P = 0,004).
Kesimpulan: Proporsi infeksi TB laten pada petugas kesehatan di Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional Persahabatan dengan pemeriksaan IGRA adalah 38,9%.

Background: Healthcare workers (HCW) are group of population that are prone to tuberculosis (TB) infection. One of the tuberculosis infection control measure is the evaluation of HCW, especially those who have contact with TB patient. Interferon gamma release assays (IGRA) is a method for diagnosing latent TB infection (LTBI). The aim of this trial is to determine the proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital, a high burden TB hospital in Indonesia.
Methods: This cross sectional study was conducted among 95 HCW in Persahabatan Hospital who have contact with TB patient. Sample was recruited by consecutive sampling. The participants were subject to history taking, chest X ray and Xpert MTB/RIF to exclude the diagnosis of active TB infection or multi drug resistant (MDR) TB.
Results: Positive IGRA was found in 37 HCW (38,9%) and negative IGRA was found in 58 HCW (61,1%). There were no active TB and MDR TB in HCW. There was a significant association between IGRA result and the work place (P = 0,004).
Conclusion: Proportion of LTBI in HCW in Persahabatan Hospital by using IGRA was 38,9%."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Krisna
"Tuberkulosis masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang utama di seluruh dunia terlepas dari kemajuan ilmiah utama dalam diagnosis dan manajemen Dalam Laporan WHO 2012 Global Tuberculosis Pengendalian mengungkapkan diperkirakan 9 3 juta kasus insiden TB pada tahun 2011 secara global dengan Asia memimpin di bagian atas 59 Beberapa studi di masa lalu telah mengungkapkan hubungan antara kekayaan dan kondisi hidup dengan konversi TB dan mengurangi kejadian TB
Sasaran dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis berbagai tingkat ekonomi di masyarakat selama masa pengobatan sebagai faktor yang berkontribusi terhadap konversi TB Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan mewawancarai pasien TB yang diberi obat kategori pertama selama minimal 2 bulan n 106
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien pada kelompok pendapatan yang lebih tinggi memiliki persentase kesembuhan lebih besar 77 dari 57 pasien dibandingkan dengan kelompok berpenghasilan rendah 49 dari 49 pasien Hasil tambahan yang diperoleh adalah beberapa pasien masih menggunakan uang mereka sendiri untuk konsultasi dan obat obatan yang seharusnya ditanggung oleh pemerintah
Penelitian ini menegaskan hipotesis bahwa pendapatan memang terkait dengan konversi TB pada 2 bulan di RS Persahabatan selama pengobatan lini pertama obat Beberapa faktor yang berkorelasi dengan pendapatan yang lebih tinggi termasuk pendidikan transportasi dan makanan sehat berkontribusi terhadap konversi
Penelitian ini menyarankan bahwa pemerintah harus membayar lebih banyak perhatian terhadap konversi dan pengobatan TB sebagai studi ini menemukan bahwa tingkat tertentu pendapatan minimum perlu dipenuhi untuk mendapatkan konversi pada 2 bulan Kata kunci Tuberkulosis Program pengobatan Tuberkulosis Kategori satu obat Tuberkulosis Tingkat Penghasilan.

Tuberculosis remains a major public health problem worldwide in spite of major scientific advancements in its diagnosis and management In WHO Report 2012 ndash Global Tuberculosis Control reveals an estimated 9 3 million incident cases of TB in 2011 globally with Asia leading at the top 59 Several studies in the past have revealed the relationship between wealth and living condition with TB conversion and reducing TB incidence
The Aim of this study was to determine and analyze variety of economic level in society during the treatment period as a contributing factor towards TB conversion This study used cross sectional design by interviewing patients with TB who are given first category drugs for at least 2 months n 106
Results showed that patient in the higher income group had greater cure percentage 77 from 57 patients compared to the low income group 49 from 49 patients Additional result gained was some of the patient still use their own money for consultation and drugs which should have been covered by the government
This study confirmed the hypotheses that income indeed associated with TB conversion at 2 months in Persahabatan Hospital during first line drug treatment Some factors that correlate with higher income including education transportation and healthy foods contribute to the conversion
This study suggested that government should pay more attention towards TB conversion and treatment as the study found that certain level of minimum income needed to be fulfill in order to get the conversion at 2 months Keywords TB TB treatment programs TB drugs first category Income.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adistya Sari
"Latar Belakang : Tuberkulosis endobronkial (TBEB) adalah salah satu bentuk TB yang terus menjadi masalah kesehatan karena komplikasi berupa bronkostenosis yang tetap terbentuk walaupun sudah mendapatkan obat antituberkulosis (OAT). Gejala dan tanda pernapasan yang tidak khas menyebabkan sering terjadi keterlambatan dan kesalahan diagnosis. Rumah Sakit Rujukan Respirasi Nasional (RSRRN) Persahabatan belum memiliki data mengenai keberhasilan pengobatan TBEB setelah pemberian OAT.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif pada pasien dengan diagnosis TBEB berdasarkan data bronkoskopi dan rekam medis sejak bulan Januari 2013 sampai Desember 2017. Diagnosis TBEB ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologi, histopatologi atau berdasarkan kombinasi gejala klinis, radiologis dan tampilan lesi bronkoskopi. Pengobatan TBEB dianggap berhasil bila terdapat perbaikan klinis disertai perbaikan atau jumlah lesi TBEB tidak berkurang dan tampilan radiologi.
Hasil :Sampel penelitian terdiri dari 30 subjek. Mayoritas subjek adalah perempuan (86,7%), usia <20-39 tahun (73,3%), berpendidikan tinggi (90%), tidak bekerja (56,6%), status gizi kurang (58,3%), belum pernah mendapat OAT (63,3%), tidak ada riwayat kontak TB (83,4%), tidak merokok (86,7%) dan tidak ada komorbid (76,6%). Sesak napas (83,3%) merupakan gejala respirasi yang paling sering dikeluhkan pasien. Stridor dan ronki merupakan tanda yang paling sering didapat (36,7%).Infiltrat, fibroinfiltrat dan konsolidasi merupakan gambaran radiologis yang paling sering didapat pada foto toraks (26,6%). Sedangkan pada CT scan toraks paling banyak didapatkan gambaran konsolidasi (45%). Lesi TBEB terbanyak didapatkan di trakea (60%) dan berbentuk fibrostenosis 86,7%). Tujuh puluh persen pasien mendapat pengobatan OAT jenis non KDT, mendapat steroid inhalasi (73,3%) dengan median lama pengobatan TBEB adalah 12 bulan. Keluhan membaik setelah pemberian OAT dari klinis pada 76% pasien, bronkoskopi 20% pasien, foto toraks 23% pasien dan CT scan 16,6% pasien.
Kesimpulan: Keberhasilan pengobatan TBEB adalah 43%, sebanyak 17% keluhan membaik disertai sekuele dan 40% tidak dapat dinilai.

Background: Endobronchial tuberculosis (EBTB) is a special form of respiratory tuberculosis that continues to be a health problem because bronchostenosis may develop as a serious complication despite efficacious antituberculosis chemotherapy. The EBTB has nonspesific signs and symptoms, therefor it may cause misdiagnosis and delayed diagnosis. Persahabatan National Respiratory Referral Hospital doesnt have data about successful treatment of EBTB
Method: This was a retrospective study of EBTB patients based from the medical record and confirm with bronchoscopy data from January 2013 to December 2017. Endobronchial tuberculosis diagnosed based from microbiology, histopathology examination or based on combination of clinical symptoms, radiology and bronchoscopy lesion appearance. Endobronchial tuberculosis treatment considered successful if there is improvement in clinical symptoms, microbiological conversion, accompanied by improvement or no change in the number of lesions or the radiological appearance.
Results: The study sample consisted of 30 subjects. Majority of the subjects were female (86,7%), age <20-39 years (73,3%), highly educated (90%), not working (56,6%), malnutrition (58,3%), never received antituberculosis medication (63,3%), not smoking (86,7%) and has no comorbidities (76,6%). Shortness of breath (83.3%) is the most complained symptom. Stridor and rhonchi are the most frequent signs (36.7%). Infiltrate, fibroinfiltrates and consolidation are the most common radiological images on chest X-ray (26.6%). Whereas most chest CT scans obtained a consolidated picture (45%). Most EBTB lesions were fibrostenosis (86,7%) found in the trachea (60%). Seventy percent of patients received non fix dose combination (FDC) type antituberculosis treatment (ATT), received inhaled steroids (73.3%) with a median duration of TBEB treatment was 12 months. Complaints improved after administration of ATT in clinical symptoms in 76% of patients, bronchoscopy 20% patients, chest X-ray 23% patients and CT scans 16.6% patients.
Conclusion: The success of EBTB treatment is 43%, as many as 17% of complaints improve with sequels and 40% cannot be assessed.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55542
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Selviana Octaviani
"Latar belakang pendidikan dan pengetahuan mengenai Tuberkulosis (TB) merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi konversi sputum TB. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara level edukasi pasien dan tingkat pengetahuan tentang TB dengan konversi sputum pada dua bulan.Studi potong lintang ini di lakukan di Rumah Sakit Persahabatan dengan menganalisa latar pendidikan dan pengetahuan mengenai TB. Dari 106 pasien (63 laki-laki, 43 perempuan) dengan rentang umur 20-65 tahun dilakukan interview langsung dan pengisian kuesioner untuk mengetahui tingkat pendidikan dan pengetahuan akan TB. Uji sampel chi-square digunakan untuk menilai signifikansi statistik pada penelitian ini. Terdapat hubungan yang bermakna antara latar pendidikan dan pengetahuan mengenai TB (p<0.05); pendidikan dan sputum konversi (p<0.05). Tidak terdapat nilai statistic yang signifikan antara pengetahuan TB dan sputum konversi (p>0.05). Hasil penemuan studi ini menunjukan bahwa latar pendidikan yang lebih tinggi berhubungan dengan tingkat pengetahuan TB dan sputum konversi yang lebih baik. Akan tetapi, tingkat pengetahuan TB yg lebih baik tidak menunjukan bahwa pasien memiliki konversi sputum yang positif pada dua bulan.

Educational backgrounds and level of knowledge are factors that might affect the sputum conversion of the Tuberculosis (TB) patients. This study focused to investigate the association between educational background and level of knowledge of the TB patient and the sputum conversion at two months. This cross-sectional study was done in Persahabatan hospital among 106 patients (63 male, 43 female) with the age ranging from 20-65 years old. The educational background and knowledge level of TB were assessed using a questionnaire and direct interview. A chi- square test was conducted to assess the association between knowledge level of TB and education level, education level and sputum conversion, and knowledge level of TB and sputum conversion. There were a statistically significance association between education level and knowledge about Tuberculosis (p<0.05); education level and sputum conversion (p<0.05); however, knowledge level of TB and sputum conversion were not statistically significant (p > 0.05). These findings suggest that the higher the education, the higher the patient's knowledge level of TB and sputum conversion rate. However, higher knowledge level of TB does not necessary mean that the patient will have a positive sputum conversion at two months."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Marlina Meilani
"Introduksi
Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV/AIDS), sejak dikenalnya sindrom penyakit ini lebih dari 2 (dua) dekade, terus menerus menyebar diseluruh dunia tanpa ada tanda-tanda pengurangan. Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada orang dengan HIV/AIDS sekitar 40%-50%. Tujuan penelitian yaitu mengetahui kesintasan tiga tahun pasien HIV/AIDS dan pengaruh ko-infeksi TB terhadap kesintasan 3 tahun pasien HIV yang mendapat terapi ARV.
Metode
Penelitian ini adalah dengan pendekatan cohort retrospective di RSPI prof.dr. Sulianti Saroso Tahun 2009-2011.
Hasil
Probabilitas kesintasan kumulatif pasien HIV/AIDS yang mendapat ART pada tahun pertama adalah 84,2%, 2 tahun adalah 81,4%, dan 3 tahun adalah 79,26%. Hasil analisis multivariate dengan uji regresi Cox Time Dependent Covariate menemukan koinfeksi TB mempengaruhi kecepatan kematian pasien HIV/AIDS (adjusted HR 1,60; 95% CI: 0,96-2,67) setelah dikontrol oleh faktor risiko penularan dan hitung CD4 sebelum terapi ARV. IDU memiliki pengaruh terhadap kesintasan tiga tahun pasien HIV/AIDS (aHR 1,71; 95% CI: 1,04-2,95). Apabila pajanan Koinfeksi TB dapat dieliminasi, maka sebesar 40% kematian pasien HIV/AIDS dapat dicegah di Rumah Sakit Prof. Sulianti Saroso.
Diskusi
Pengaruh TB terhadap HIV, selain mempercepat progresivitas HIV juga berakibat pada mortalitas HIV. Koinfeksi TB menambah laju hazard terhadap ketahanan hidup pasein. Tingkat mortalitas pengidap HIV yang sekaligus mengidap TB 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan pengidap HIV tanpa TB.
Saran
Meningkatkan kualitas conselling kepada ODHA yang mendapat ART khususnya pada pasien dengan koinfeksi TB. Meningkatkan pogram kolaborasi TB-HIV di rumah sakit untuk menunjang efektifitas program dan pelayanan kesehatan kepada pasien HIV/AIDS.

Introduction
Human Immunodeficiency Virus / Acquired Immunodeficiency Syndrome (HIV / AIDS), since this disease syndrome known more than two (2) decades, continuously spread throughout the world with no signs of abatement. Tuberculosis (TB) is a major cause of morbidity and mortality in people with HIV/AIDS around 40%-50%. The purpose of research is to determine the three-year survival rate of patients with HIV / AIDS and TB co-infection influences the 3-year survival of patients with HIV who receive antiretroviral therapy.
Methods:
This study is a retrospective cohort approach in RSPI Prof. Sulianti Saroso Year 2009-2011.
Results:
The cumulative probability of survival of patients with HIV / AIDS who receive antiretroviral treatment in the first year was 84.2%, 2 years was 81.4%, and 3 years was 79.26%. Results of multivariate analysis with the Cox regression Time Dependent covariate find TB affects the speed of death in HIV / AIDS (adjusted HR 1,60; 95% CI: 0,96-2,67)) after controlled by transmission risk factors and CD4 counts before ART. IDU patients had 2 times the risk of a hazard than patients with non-IDU group (adjusted HR 1.95, 95% CI: 1.17 to 3.24). If TB Co-infection can be eliminated from th e susceptible population, then the death of 40% of patients with HIV/AIDS can be prevented in the Infectious Disease Hospital Prof. dr. Sulianti Saroso.
Discussions:
Effect of TB to HIV, besides accelerating the progression of HIV also result in mortality of HIV. TB adds to the hazard rate of survival pasein. The mortality rate of people with HIV who also have tuberculosis 2 times higher compared to HIV without TB.
Recommendations:
Counselling to improve the quality of people living with HIV who received antiretroviral therapy, especially in patients co-infected with TB. Increase pogram TB-HIV collaboration at the hospital to support effective programs and health services to patients with HIV / AIDS.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernanti Wahyurini
"ABSTRAK
Penyakit tuberkulosis paru masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang cukup besar. Salah satu faktor yang menunjang keberhasilan pemberantasan adalah pendidikan kesehatan. Beberapa media pendidikan tentang tuberkulosis setelah dibuat, akan tetapi media tersebut selalu memerlukan penyempurnaan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah booklet
Aku Tekun Aku Sembuh dapat meningkatkan pengetahuan penderita
tuberkulosis paru di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya.
Penelitian menggunakan "Studi intervensi" dengan desain "Randomized
pretest postest with control group". Data yang didapat dianalisa dengan Student t test.
Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan bermakna antara nilai uji awal aan uji akhir pada kelompok Studi (p <0,05) dan tak ada perbedaan bermakna antara nilai uji awal dan uji akhir pada kelompok kontrol (p > 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa booklet "Aku Tekun Aku Sembuh dapat meningkatkan pengetahuan penderita tuberkulosis paru di Rumah Sakit Dr. Soetomo Surabaya. Akan tetapi dari penilaian uji awal nampak bahwa pengetahuan responden tentang penyakitnya masih belum memadai.
Berdasarkan hasil tersebut penulis mengajukan saran agar pendidikan kesehatan pada penderita TB Paru ditingkatkan antara lain dengan menyebarkan booklet tersebut kepada sasaran yang tepat.

"
1986
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Samsu Rian
"Pendahuluan. Indonesia masih menempati urutan ketiga sebagai negara yang memiliki jumlah kasus TB Paru terbesar setelah India dan China sampai akhir peride tahun 2007. Default merupakan salah satu penyebab terjadinya kegagalan pengobatan yang berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya resistensi terhadap obat anti TBC. Efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) diketahui merupakan salah satu fakor risiko terjadinya default. Meskipun pada beberapa penelitian efek samping OAT telah terbukti meningkatkan risiko terjadinya default, namun masih perlu dilakukan penelitian lain pada populasi yang berbeda, yaitu populasi perkotaan (rural) disalah satu rumah sakit swasta (RS Islam Pondok Kopi) di Jakarta Timur.
Tujuan Penelitian. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya seberapa besar pengaruh efek samping Obat Anti Tuberkulosis (OAT) terhadap kejadian default setelah dilakukan pengontrolan terhadap faktor jenis kelamin, umur, pendidikan, pekerjaan, status pernikahan, riwayat pengobatan sebelumnya, penyakit penyerta, jenis obat, cara ambil obat, keberadaan PMO, jenis PMO, pendidikan PMO, pembiayaan kesehatan, jarak ke pelayanan kesehatan, penyuluhan kesehatan dan jumlah penyuluhan di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta Timur periode Januari 2008 - Mei 2010.
Metode Penelitian. Desain penelitian yang digunakan adalah kasus kontrol dengan penggunaan data rekam medik. Populasi sumber penelitian ini adalah semua penderita TB Paru dewasa (umur > 15th) yang telah selesai menjalani pengobatan TB Paru dari tanggal 01 Januari 2008 sampai 31 Mei 2010 di poliklinik paru RS Islam Pondok Kopi Jakarta Timur. Sampel penelitian adalah sejumlah penderita TB Paru dewasa (umur > 15th) yang telah selesai menjalani pengobatan TB Paru kategori-1 atau kategori-2 dari tanggal 01 Januari 2008 sampai 31 Mei 2010 di poliklinik paru RS Islam Pondok Kopi Jakarta Timur. Kasus didefinisikan sebagai penderita TB Paru yang tidak datang berobat dua bulan atau lebih, sedangkan kontrol adalah penderita TB Paru yang rutin berobat. Jumlah sampel adalah 168 orang, terdiri dari 84 kasus dan 84 kontrol. Metode analisis yang digunakan adalah regresi logistik.
Hasil Penelitian. Pada akhir analisis multivariat diketahui bahwa pasien yang mempunyai keluhan efek samping OAT berisiko sebesar 4,07 kali untuk default dibandingkan pasien yang tidak mempunyai keluhan OAT (OR =4,07, 95% CI: 1,64 - 10,07). Diketahui juga terdapat beberapa faktor risiko lain yang berpengaruh sebagai konfounder terhadap hubungan antara efek samping OAT dengan terjadinya default tersebut yaitu penyakit penyerta, jenis obat dan cara bayar.
Kesimpulan. Efek samping OAT berpengaruh terhadap kerjadian default di RS Islam Pondok Kopi Jakarta Timur selama periode Januari 2008 - Mei 2010.

Introduction. In 2007 Indonesia has the largest number of pulmonary tuberculosis cases in the wolrd after India and China. Default was noted as one of the risk factors that related to treatment failure. The side effect of anti tuberculosis has defined as a reason of occurance of default. Some previous studies with the same topic found that the side effect of anti tuberculosis increase the risk of default, somehow research with difference population is still required, such as this study implemented in an urban population by using hospital based at a private hospital located in Jakarta Timur named Pondok Kopi Islamic Hospital.
Objective. To investigate the risk of default caused by the side effect of anti tuberculosis after controlling for sex, age, education, occupation, marital status, history of previous treatment, compilcations, kind of medicines, the way to get medicines, availbility of supervisor treatment, type of supervisor treatment, education of supervisor treatment, health financing, distance to the health center,health education recived, frequency of health education recieved at Pondok Kopi Islamic Hospital period January 2008 - May 2010.
Methodology. This research is an observational study with design case control using data from medical record at Pondok Kopi Islamic Hospital. The population was defined as all adult pulmonary tuberculosis patient age > 15 years old who has completed the treatment during period 01 January 2008 until 31 May 2010 at Pondok Kopi Islamic Hospital. Sample were a number of adult pulmonary tuberculosis patient age > 15 years old who has completed the treatment category 1 or category 2 during period 01 January 2008 until 31 May 2010 at Pondok Kopi Islamic Hospital. Cases (default) were defined as the pulmonary tuberculosis patients who didn't take their anti tuberculosis for 2 month or more at DOTS center Pondok Kopi Islamic Hospital period 01 January 2008 until 31 May 2010 while controls (non default) were defined as the pulmonary tuberculosis patients who take their anti tuberculosis regularly at DOTS center Pondok Kopi Islamic Hospital period 01 January 2008 until 31 May 2010. The total sample was 168 patients consist of 84 cases and 84 controls. Data was analyzed by using logistic regression method.
Result. on Multivariate analysis was showed that the patient who has side effect of anti tuberculosis risk default 4,07 higher than patient who has not side effect of anti tuberculosis (OR=4,07, 95% CI: 1,64-10,07) after controlling for diseases complication, kind of medicines, the payment method.
Conclusion. The side effect of anti tuberculosis was associated with increasing the risk of default pulmonary tuberculosis treatment at Pondok Kopi Islamic Hospital period January 2008-May 2010.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2010
T30831
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>