Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 59911 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erwin Arifin
"Pemberian kuasa secara sosiologis dapat dikatakan sebagai lembaga yang terbentuk di dalam kehidupan kemasyarakatan. Pada perkembangan selanjutnya dimana kegiatan manusia semakin berkembang, pemberian kuasa merupakan perbuatan hukum yang paling banyak dijumpai dalam masyarakat dalam proses hubungan hukum di mana seseorang menghendaki dirinya diwakili oleh orang lain untuk menjadi kuasanya melaksanakan segala kepentingannya. Sejak berkembang dan bertambahnya kebutuhan hukum, seseorang memanfaatkan lembaga pemberian kuasa. Pemberian kuasa pada awalnya diberikan untuk kepentingan pemberi kuasa, tapi kemudian diberikan justru untuk melindungi kepentingan pemegang kuasa (penerima kuasa). Pemberian kuasa untuk kepentingan pemegang kuasa (penerima kuasa) ternyata dalam praktek dapat dipenuhi dengan bentuk kuasa mutlak. Berkaitan dengan bidang Hukum Agraria, pemberian kuasa mutlak dibatasi oleh Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 tahun 1982 tentang larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Pemberian kuasa dalam perkembangannya menjadi luas, tetapi dalam penelitian ini hanya mengkaji mengenai kuasa mutlak notariil dalam pengalihan hak atas tanah.
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu menggambarkan permasalahan mengenai pembuatan akta pengalihan hak atas tanah berdasarkan kuasa mutlak oleh notaris. Metode pendekatan yang dipergunakan adalah yuridis normatif yang menjadi data sekunder berupa hukum positif yang berkaitan dengan kuasa mutlak. Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pemberian kuasa mutlak dalam pengalihan hak atas tanah dalam prakteknya dapat merugikan si pemberi kuasa karena banyak diantara penerima kuasa mutlak ini menyalahgunakan kuasa yang diterimanya untuk kepentingan yang berlainan atau untuk kepentingan pribadi semata. Sebenarnya pemberian kuasa mutlak itu, apabila benar-benar dipergunakan untuk tujuan yang semestinya dan ada dasar hukumnya, maka tidak akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan memang dibutuhkan oleh masyarakat."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T19135
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indah Ayu Salianti
"Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat umum yang diberikan kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Peranan PPAT dalam hal peralihan hak atas tanah sangatlah diperlukan terutama dalam menyelesaikan masalah di bidang pertanahan; tujuannya agar tidak ada lagi penyalahgunaan yang menyangkut masalah peralihan hak atas tanah dengan kuasa mutlak. Sebab peralihan hak atas tanah dengan kuasa mutlak dapat merugikan pihak yang bersangkutan yaitu pembeli terutama yang menyangkut perlindungan hukumnya. Oleh karenanya, perlu peranan PPAT sebagai Pejabat Pembuat Akta Tanah agar tidak ada lagi pihak yang merasa dirugikan dalam melakukan perbuatan hukum peralihan hak atas tanah, terutama pihak pembeli yang tentunya akan merasa terlindungi Serta terjamin kepastian hukumnya berkenaan dengan status kepemilikan tanahnya oleh Pemerintah. Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain. Sedangkan kuasa mutlak adalah suatu lembaga yang banyak dipergunakan untuk melakukan penyelundupan hukum dangan maksud untuk menghindari kewajiban dan larangan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini, peranan PPAT dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak merupakan masalah yang akan diteliti dalam tesis ini. Data yang dipergunakan merupakan data sekunder melalui Studi kepustakaan yang didukung dengan wawancara dengan beberapa narasumber. Dalam kenyataannya PPAT telah berperan dalam nmngatasi masalah peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak yaitu dengan memberikan jalan keluar yang terbaik kepada pihak yang telah melakukan perbuatan hukum tersebut bahwa peralihan hak atas tanah dengan kuasa mutlak jika dilakukan sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah no. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah dan kuasa mutlak itu dibuat sebelum berlakunya Instruksi Menteri Dalam Negeri no. 14 Tahun 1982 Tentang larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah adalah sah. Jika perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dengan adanya Pengikatan Jual Bali dan Kuasa itu dibuat sebelum adanya Instruksi Menteri Dalam Negeri no. 14 tahun 1982, maka peralihan hak atas tanah itu tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya dan para pihak yang telah melakukan perbuatan hukum tersebut dapat terlindungi."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T16294
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Metty Kusmayantie
"Pemberian kuasa untuk menjual merupakan salah satu
jenis pemberian kuasa. Karena pemberian kuasa adalah suatu
perjanjian maka pemberian kuasa untuk menjual pun merupakan
suatu perjanjian. Agar pemberian kuasa untuk menjual
tersebut sah maka pemberian kuasa untuk menjual harus
memenuhi syarat sahnya perjanjian. Dalam perkembangannya,
pemberian kuasa sering dilakukan dengan ketentuan tidak
dapat dicabut kembali dan tidak dapat berakhir karena sebab
apapun juga atau lebih sering disebut sebagai kuasa mutlak.
Kuasa mutlak ini menyimpangi tujuan pemberian kuasa itu
sendiri yaitu melakukan perbuatan untuk dan atas nama
pemberi kuasa. Dengan menggunakan metode penelitian
normatif dan penelitian kepustakaan, Penulis menyoroti
permasalahan kuasa untuk menjual sebagai kuasa mutlak dan
implikasinya terhadap penguasaan tanah oleh Warga Negara
Asing. Dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 980 K/Pdt/2002,
seorang Warga Negara Indonesia memberikan kuasa untuk
menjual atas tanah hak milik kepada seorang Warga Negara
Asing dan kuasa tersebut tergolong kuasa mutlak menurut
Penjelasan Pasal 39 ayat (1) huruf d Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kuasa tersebut batal demi
hukum karena tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu
hal tertentu dan sebab yang halal. Hal tertentu dalam
pemberian kuasa adalah melakukan perbuatan untuk dan atas
nama pemberi kuasa. Dengan diberikannya kuasa untuk menjual
yang bersifat mutlak, penerima kuasa berwenang penuh atas
tanah sehingga ia tidak perlu mempertanggungjawabkan
perbuatannya kepada pemberi kuasa dan bertindak seolah-olah
pemilik sah atas tanah. Sebab yang halal juga tidak
terpenuhi karena pemberian kuasa tersebut mengakibatkan
pemindahan tanah hak milik kepada Warga Negara Asing secara
tidak langsung atau terselubung yang dilarang oleh Pasal 26
ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Instruksi Menteri Dalam
Negeri Nomor 14 Tahun 1982. Menurut Pasal 1335 KUHPerdata
kuasa untuk menjual tersebut juga tidak memiliki kekuatan
karena dibuat dengan sebab yang palsu atau terlarang."
Depok: [Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ], 2008
S21408
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Rosalina
"Kuasa adalah kewenangan yang diberikan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa untuk melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa. Dalam realisasi pemindahan hak atas tanah melalui jual bali, banyak ditemukan pemberian kuasa penuh, luas dan mutlak, yang menyebabkan obyek jual beli tidak hanya berpindah penguasaannya, akan tetapi dapat juga berpindah kepemilikannya. Dari beberapa kasus yang terjadi sehubungan dengan kuasa mutlak ini, diambil contoh dua buah Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Putusan ini dijadikan contoh dan dianalisis dalam penelitian ini dengan pokok permasalahan: Bagaimana kedudukan hukum kuasa mutlak yang diberikan oleh pemegang hak atas tanah dalam rangka pemindahan hak atas tanahnya melalui jual beli? Bagaimana perlindungan hukum yang diberikan terhadap pihak pambeli yang melakukan peralihan hak berdasarkan kuasa mutlak apabila akan melakukan pendaftaran peralihan hak atas tanah tersebut dalam menyelesaikan status hak atas tanahnya?
Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan pendekatan normatif, mempergunakan data sekunder yang diperoleh dari studi kepustakaan, dan penelitian bersifat deskriptif, karena ditujukan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang sifat-sifat hubungan hukum, keadaan atau gejala-gejala tertentu dalam suatu tindakan hukum.
Berdasarkan Instruksi Menteri Nomar 14 Tahun 1982, keberadaan kuasa mutlak telah dilarang, karena merupakan Salah satu bentuk penyelundupan hukum yang dibuat tanpa adanya kebebasan bertindak dan kesepakatan para pihaknya Serta dapat dipastikan mengandung itikad tidak baik. Tindakan hukum jual beli yang didasarkan atas kuasa mutlak tersebut akan menyebabkan jual beli menjadi tidak sah dan batal demi hukum. Pihak pembeli yang melakukan peralihan hak atas tanahnya melalui jual beli berdasarkan kuasa mutlak tidak akan memperoleh perlindungan hukum baik dalam perolehan maupun pendaftaran tanahnya, namun tetap harus dilakukan pengembalian uang pembayaran harga tanah oleh pihak penjual yang menjual tanah berdasarkan kuasa mutlak, hal mana diselesaikan secara tersendiri oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Authority is the competence delegate to the receiver to perform a legal act on the giver's authorities. In the land rights removal through land trades' realization, lots of full and absolute power of authorities that cause the transfer of command and ownership of the transaction?s object could be found. From several cases happens concerning about the absolute power of authority, we can take The Sentence of The Supreme Court Republic of Indonesia as an example. It is the subject matter to the juridical analysis in this research, with main question: How is the legal status of such absolute power of authority in the land rights removal especially on a land trades? Moreover, how is the juridical protection against the parties who perform the act of land trades by this absolute power of authority?
This research has a normative approach using a secondary data obtained by literature study, and has a descriptive character, because it aims to give a specific: data about characteristic of law-connected relations, conditions or any certain indications in making an agreement. In this research, there is a case analysis about the abrogation of this absolute power of authority.
Based. on the Directive of the Secretary of the Interior, this kind of authorities have been banned because it was made to infiltrate law regulation and was made without freedom of acts and agreement by both parties, also surely made with bad intentions. This kind of act will cause the revocation of the authority given. The parties who perform the act of land trades by this absolute power of authority have no juridical protection either in the achievements or in registration of the rights removal. However, the restitution of his losses could be discussed and agreed by both parties."
Depok: Universitas Indonesia, 2008
T19302
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Ratnawaty
"Indonesia memiliki banyak pulau (+ 17.500 pulau) dan sebagian besar adalah pulau-pulau kecil yang banyak mengandung kekayaan alam berupa tambang mineral, kekayaan laut, maupun keindahan alam yang sangat potensial untuk pembangunan ekonomi sehingga banyak pihak yang berkepentingan menginginkan pulau-pulau tersebut bahkan oleh pihak asing, beberapa pihak sangat mengkhawatirkan penguasaan pulau-pulau tersebut oleh pihak asing, karena dianggap akan membahayakan Integrasi dan Kedaulatan negara kesatuan Republik Indonesia. Kita masih trauma dengan direbutnya Pulau Simpadan dan Ligitan oleh Negara Malaysia. Pulau Bidadari yang merupakan salah satu dari 300 gugusan pulau yang ada di Nusa Tenggara Timur saat ini dikuasai Ernest Lewandowski warga negara Inggris, selaku kuasa dari PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI telah memperoleh Hak Guna Bangunan dari Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Manggarai Barat sesuai surat Keputusannya tanggal 23 Mei 2005 Nomor 01/550.2/24.16/2005 dan telah diterbitkan sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 17 Labuan Bajo. Permasalahannya adalah apakaah penguasaan Pulau Bidadari oleh PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI sah menurut hukum? Bagaimana proses pemberian Hak Guna Bangunan kepada PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI; PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI memasang rambu-rambu larangan bagi penduduk setempat memasuki Pulau Bidadari, apakah pemasangan ramburambu larangan tersebut diperkenankan. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif dan metode pengumpulan data studi dokumen dilengkapi wawancara dengan masyarakat dan pejabat pertanahan setempat diperoleh kesimpulan bahwa penguasaan Pulau Bidadari oleh PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI adalah sah menurut hukum pertanahan karena subyeknya memenuhi syarat sebagai badan hukum Indonesia yang boleh mempunyai hak guna bangunan, dan tanahnya diperoleh secara sah berdasarkan penyerahan dari H. Yusuf yang selanjutnya telah diberikan Hak Guna Bangunan yang bukan merupakan keseluruhan pulau dan bukan sepadan pantai sehingga tidak melanggar ketentuan pasal 60 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yis Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tanggal 3 Juni 1997 Nomor 500-1197 dan tanggal 14 Juli 1997 Nomor 500-1698. Proses pemberian haknya karena dilaksanakan oleh pejabat yang tidak berwenang menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 tahun 1999 maka Surat Keputusan Pemberian Hak Guna Bangunan atas nama PT. REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI harus dibatalkan. Pemasangan rambu-rambu larangan masuk bagi penduduk setempat adalah melanggar hukum sehingga pemasangan rambu-ramhu tersebut hares dilarang.

Indonesia is the home of vast archipelago consisting of many islands (approximately 17,500 islands), the most of which are minor islands containing vast amount of natural resources and beauty, which are potential particularly for the economic development. Despite the positive side, it nevertheless also brings about other less desirable consequence such as the intention of many parties to possess them privately for the sake of their own interest, some of which are even the foreigners. There are people who worried about this condition, especially recalling what just happened between Indonesia and Malaysia regarding the Sipadan-Ligitan dispute, one of the cases of which considered as threat to our sovereignty. Pulau Bidadari, one of three hundred islands stretched in the region of East Nusa Tenggara, currently is under the possession of an Englishman named Ernest Lewandowski, as the representative of PT REEFSEEKERS KATHERNEST LESTARI who has attained the concession right from the Chief of Land Office of the Western Manggarai District, referring to the Decision dated at May 23`d 2005 No.01/550.2/24.16/2005, and the follow up of which is the issuing of the Certificate of Structure Concession No.17 from Labuan Baja. This research is conducted to find out whether the concession is legally appropriate, particularly with respect to the Land Law? How was the process that eventually Ieads to the issuing of the certificate, and whether the act to put the signs prohibiting the native people to cross is appropriate through the legal point-of-view? Based on the physical research and written data gathered by the writer, within this research will be analyzed several matters as follow: the concession right owner, the possession, the process of the issuing of the concession right, related to the local official who granted it as well as the implementation of the law concerning the transfer of possession right of a land which is part of the whole area on the coast-bordered land (Article 60 of the Government Law No.40 Year 1996 elaborated in the Circular Letter of the State Minister of Agrarian Affairs/ the Chief of National land Bureau dated at June 3rd 1997 No.500-1197 and July 14th 1997 No. 500-1698. In this thesis it is also elaborated the matters concerning the prohibition signs for the native people to cross into the Pulau Bidadari area, with respect to the applicable law."
Depok: Universitas Indonesia, 2007
T19580
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Fadilla Kartadimadja
"Kepemilikan hak atas tanah harus dibuktikan dengan adanya sertifikat hak atas tanah. Mengajukan permohonan sertifikat hak atas tanah yang belum bersertifikat kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN), terdapat beberapa syarat yang diperlukan, salah satunya adalah terdapat bukti beralihnya hak atas tanah, seperti apabila perpindahan haknya diakibatkan karena jual beli, maka harus terdapat Akta Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Ada kalanya sebelum dibuatkan Akta Jual Beli Tanah, terlebih dahulu dibuat Perjanjian Pengikatan Jual Beli Tanah. Pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 85 K/Pdt/2011, Majelis Hakim menyatakan bahwa kepemilkan Miaw Tjong alias Hartono (Penggugat) didasarkan pada Akta Pengikatan Jual Beli Nomor 26 tanggal 12 Maret 1993 yang dibuat dihadapan Notaris. Seharusnya yang menjadi bukti kepemilikan hak atas tanah menurut Undang-Undang Pokok Agraria adalah sertifikat hak atas tanah. Akan menjadi suatu masalah, khususnya terkait dengan kepemilikan atas tanah jika suatu perjanjian pengikatan jual beli dijadikan sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah.

The ownership of the land shall be proven with a title deed. To apply for a land title deed which has not been certified to a National Land Agency (BPN), there are some requirements that needed. One of them is evidence of the tranfers of the land, such as deed of sale-purchase that made to a Land Deed Official known as Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) if the transfer of the land is by selling and purchasing. A Sale-Purchase Commitment Agreement often made beforehand, before making the deed of sale-purchase. On the Indonesian Supreme Court Adjudication Number 85 K/Pdt/2011, the judge said that the ownership of Miaw Tjong alias Hartono (Plaintiff) were based on Sale-Purchase Commitment Agreement No. 26 that made to a notary. But the one that should be proof of land ownership based on Agrarian Law is a Land Title Deed. There will be a problem, particularly those related to land ownership, if a sale-purchase commitment agreement be used as a proof of land ownership."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
T43056
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elsa Kurniawan
"Pasal 20-27 Undang-Undang Pokok Agraria mengatur tentang kepemilikan tanah hak milik di Indonesia termasuk didalamnya telah ditetapkan subjek hak milik dan akibat-akibat hukum jika hak milik jatuh ketangan pihak asing. Bentuk penyelundupan hukum yang umum dilakukan adalah dengan mengadakan perjanjian nominee. Praktek nominee agreement dapat menjadi bumerang bagi pihak asing karena sertipikat atas nama beneficiary maka secara jurudis mereka adalah pemilik sah tanah hak milik tersebut. Penulis berusaha menjelaskan resiko yang akan ditanggung oleh orang asing serta penulis berharap dapat memberikan saran bagi orang asing maupun kepada Pemerintah Indonesia sehubungan dengan praktek nominee agreement.

The Indonesia Agrarian Law (Undang-Undang Pokok Agraria) article 20-27 regulate land ownership in Indonesia, including the owner and legal implications in the case that land ownership falls to the hand of foreign national. The normal practice to circumvent this obstacle is in the form of signing a Nominee Agreement. This practice may well be a boomerang for foreign national involved, due to the fact that the land ownership certificate is under the name of the nominee (beneficiary) thus legally they are the rightful owner of the land. The author attempts to discuss the risk towards the foreign national involved and in the same time wishes to convey suggestion to the Indonesian government in relation to the utilization of Nominee Agreement."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T38729
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agripina Tanto
"Penelitian ini menitikberatkan pada pembahasan sengketa tumpang tindih penguasaan bidang tanah berdasarkan surat pernyataan penguasaan fisik bidang tanah (SPPFBT) dengan sertifikat hak pengelolaan di Desa Kuta, Kabupaten Lombok Tengah. Banyak ditemukan masyarakat Desa Kuta yang menguasai tanah dengan berlandaskan SPPFBT karena belum melaksanakan pendaftaran tanah pertamakali. Dengan demikian, BPN Kab. Lombok Tengah wajib berhati-hati dalam mengumpulkan data fisik dan yuridis tanah dalam hal pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah pertamakali agar kelak terhindar dari adanya konflik pertanahan. Adapun masalah yang timbul dimana BPN Kab. Lombok Tengah lengah dalam menerbitkan Sertifikat HPL No. 73/Kuta, terdapat beberapa prosedur yang terlewati sehingga sebagian bidang tanah dalam Sertifikat HPL No. 73/Kuta dengan tanah SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 seluas 20.845 M2 tumpang tindih secara keseluruhan. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah analisis amar putusan dan pertimbangan hukum Hakim dalam memutus Putusan PTUN Mataram No: 55/G/2016/PTUN.MTR, juncto Putusan PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, juncto Putusan MA No: 37/K/TUN/2018, serta kedudukan dan perlindungan hukum bagi pemegang SPPFBT Nomor: 05/SKT/I/2000. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif serta analisis data secara eksplanatoris, sehingga terjawab bahwa, dalam mempertimbangkan suatu perkara, Majelis Hakim seyogianya menimbang dalam aspek kewenangan, prosedur serta kebenaran substansi dari suatu Sertifikat. Dibatalkannya Putusan PTUN Mataram No: 55/G/2016/PTUN.MTR oleh PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, maka pemegang SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 kehilangan tanah yang telah dikuasainya selama lebih dari 16 tahun tanpa diberikan ganti kerugian. Di lain sisi, PP No. 24/1997 memandang SPPFBT sebagai alat pembuktian kepemilikan hak-hak lama dalam rangka pendaftaran tanah, sehingga pemegang SPPFBT wajiblah diberi perlindungan hukum terkait haknya.

This research focuses on discussions related to the overlapping land tenure rights based on the letter of land physical ownership (SPPFBT) with right to use certificate in Kuta Village, Central Lombok District. Kuta Village Citizens are commonly found having SPPFBT as their land tenure evidence. This happens because they have never registered their land to BPN. BPN Central Lombok District needs to be more careful in collecting physical and juridical data on land in terms of carrying out land registration activities for the first time so that in the future there will be less land conflicts. The problems that arise are where BPN Central Lombok District was negligent in issuing HPL Certificate No. 73/Kuta in which several procedures were missed so that some of the land parcels in the HPL Certificate No. 73/Kuta with SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 land, which covers an area of ​​20,845 M2, are completely overlapping. The problems raised in this research are related to the analysis of the decisions and legal considerations of the judges in deciding the Mataram Administrative Court Decision Number: 55/G/2016/PTUN.MTR, in conjunction with the Surabaya Administrative High Court Decision Number: 112/B/2017/PT.TUN.SBY and legal status and protection for the holder of SPPFBT Number: 05/SKT/I/2000, in conjunction with the Supreme Court Verdict Number: 37/K/TUN/2018. In answering these problems, normative legal research methods are used. In addition, data analysis carried out in an explanatory approach. This research resulted in an answer which the Judges should consider all the aspects of competency, procedural and substance of a certificate. The cancellation of the Mataram Administrative Court Decision No: 55/G/2016/PTUN.MTR by PTTUN Surabaya No: 112/B/2017/PT.TUN.SBY, the holder of SPPFBT No. 05/SKT/I/2000 lost his land which he had utilized for more than 16 years without being given any compensation. On the other hand, PP No. 24/1997 views SPPFBT as an evidence of old rights land ownership in the context of land registration, so that SPPFBT holders must be given legal protection regarding their rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rininta
"Dalam kasus surat kuasa Tuan A dan Nyonya B kepada Tuan C disebutkan bahwa surat kuasa tersebut merupakan surat kuasa mutlak yang dijadikan dasar untuk menyelesaikan hutang dan pengalihan hak atas tanah yang masih menjadi jaminan bank. Padahal dalam Instruksi Mendagri No.14 Tahun 1982 menyebutkan larangan penggunaan surat kuasa mutlak yang didalamnya mengandung unsur kuasa yang tidak dapat ditarik kembali yang tujuannya untuk pemindahan hak atas tanah. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode penelitian normatif dengan pendekatan kualitatif yang menghasilkan data deskriptif analisis.
Kesimpulan yang didapat dari hasil analisa adalah surat kuasa mutlak sebagai dasar pengalihan hak atas tanah yang masih menjadi jaminan bank dari debitur kepada pihak ketiga tidak dapat dilaksanakan dan debitor dapat mengupayakan untuk membatalkan kuasa mutlak antara debitor dengan pihak ketiga.

In the case of a power of attorney Mr A and Mrs B to Mr. C. stated that such power is absolute power of attorney is used as the basis for debt settlement and transfer of land rights is still a bank guarantee. Whereas the Minister of Internal Affairs Instruction No.14 of 1982 mentions absolute ban on the use of a power of attorney that contain elements of power that can not be withdrawn which aim to transfer of land rights. The method used in this paper is a method normative research with qualitative approach that produces descriptive data analysis.
The conclusion from the analysis is the absolute power of attorney as the basis for the transfer of land rights is still a bank guarantee from a debtor to a third party can not be implemented and the debtor may seek to cancel the absolute power between debtors with third parties.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T46996
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
U. Indrayanto
"Pemerintah memerlukan data penguasaan tanah untuk perencanaan pembangunan dan pelaksanaannya. Dalam rangka menunjang keperluan Pemerintah itu, diselenggarakan inventarisasi yang dikenal dengan kegiatan Pendaftaran Tanah. Tujuannya adalah bidang-bidang tanah yang dikuasai dengan sesuatu hak dan dikenal dengan tanah hak atau persil yang kemudian diukur, dipetakan dan diselidiki proses penguasaan oleh pemegang haknya. Hasilnya berupa peta dan daftar yang memberikan penjelasan mengenai siapa pemegang haknya, letaknya, luas dan lain sebagainya. Tujuan pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum yang meliputi: kepastian hukum mengenai orang/badan hukum yang menjadi pemegang hak (subyek hak); kepastian hukum mengenai lokasi, batas serta luas suatu bidang tanah hak (obyek hak); dan kepastian hukum mengenai hak atas tanahnya. Kepastian subyek dan obyek hak diperlukan untuk penyelenggaraan sistem keterbukaan/pengumuman mengenai hak atas tanah atau sistem publisitas. Pemerintah telah memiliki undang-undang yang mengatur tentang pertanahan/agraria yang biasa disebut Undang-Undang Pokok Agraria. Dari undang-undang ini telah menghasilkan peraturan pemerintah di bidang pendaftaran tanah yakni PP nomor 10 tahun 1961 dan kemudian disempurnakan oleh PP nomor 24 tahun 1997. Dari kedua PP ini bila ditinjau dari produk penerbitan sertifikat terdapat perbedaan yang signifikan, yang menandakan bahwa adanya perubahan pengaturan tentang pendaftaran tanah ke arah yang lebih baik."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T15427
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>