Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12406 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Penggunaan CT sken kepala pada pasien cedera kranioserebral ringan (CKR), saat ini masih kontroversial. Penelitian ini mempunyai tujuan mengetahui gejala klinis bermakna yang berhubungan dengan adanya gambaran CT sken abnormal pada pasien CKR dengan Skala Koma Glasgow (SKG) 13 - 15. Penelitian ini merupakan studi retrospektif dengan menganalisa catatan medik yang dibuat seragam pada penderita CKR dengan SKG 13 - 15 yang dirawat inap di ruang rawat Bagian Neurologi RSCM tahun 1999 - 2001. Hasil penelitian diperoleh data bahwa dari 1663 penderita dengan cedera kranioserebral, yang dirawat terdapat 1166 (70.1 %) penderita CKR dengan SKG 13-15. Dari pasien CKR yang dirawat, hanya 271 (23.2 %) penderita yang menjalani pemeriksaan CT Sken. Kelainan CT Sken yang ditemukan diantaranya edema serebri (11.4 %), perdarahan intra parenkhimal (10.7%), perdarahan epidural (16.2 %), perdarahan subdural (18.1 %), perdarahan subarakhnoid (5.5 %) dan campuran (13.8 %). Analisis lanjutan menunjukkan bahwa gangguan saraf otak, amnesia, kehilangan kesadaran lebih dari 10 menit dan muntah bermakna secara statistik dengan kelainan CT Sken. Kombinasi keempat gejala klinis tersebut mempunyai sensitifitas yang tinggi (90 %) dalam memprediksi adanya kelainan pada gambaran CT sken. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi patokan untuk menganjurkan CT Sken kepala pada penderita CKR dengan SKG (13 – 15). (Med J Indones 2004; 13: 156-60)

There is still a controversy among the neurologists whether brain CT scan must be performed on the mild head trauma patients. This study was executed to find out the correlation between the brain CT scan image findings and its clinical impairment among the mild head trauma patients with Glasgow Coma Scale (GCS) score of 13 to 15. The study was a retrospective study by analyzing the uniform medical records of the head trauma patients hospitalized at the Neurology ward of Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital within the period of 1999 to 2001. During that period 1,663 patients were hospitalized due to head trauma, and 1,166 of them (70.1 %) were suffered from mild head trauma patients with GCS score of 13-15. Among those with brain CT scan examinations (N: 271), the neurological abnormalities were found on 144 (53.1%) of patients, consisted of cerebral edema (11,4%), intracerebral hemorrhage (5.5%), epidural hemorrhage (16.2%), subdural hemorrhage (18.1%), subarachnoid hemorrhage (5.5%), and combination (13.8%). The further analysis showed that cranial nerves disturbance, amnesia, loss of conciousness for more than 10 minutes, and vomiting are significantly correlated to the brain CT scan abnormality. Combination of the above four clinical signs and symptoms have sensitivity of 90 % in predicting brain insults. This findings may be used as a simple set of clinical criteria for identifying mild head trauma patients who need undergo CT scan examination. (Med J Indones 2004; 13: 156-60)"
Medical Journal of Indonesia, 13 (3) Juli September 2004: 156-160, 2004
MJIN-13-3-JulSep2004-156
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Petonengan, Don Augusto Alexandro
"Latar Belakang: Trauma kepala (cedera otak traumatika) adalah suatu trauma mekanik yang secara langsung atau tidak langsung mengenai kepala yang dapat mengakibatkan gangguan fungsi neurologis, bahkan kematian. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah instrumen yang umum digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada kondisi medis akut dan trauma serta sekaligus untuk memantau kondisi pasien selama perawatan. Setelah menjalani perawatan, luaran pada pasien pun dapat dinilai menggunakan beberapa instrument seperti Glassgow Outcome Scale. Modified Rankin Scale adalah suatu instrument untuk mengukur tingkat disabilitas pasien yang biasanya terkena stroke, tujuan penelitian ini untuk melihat GCS sebagai prediktor terhadap luaran pasien trauma menggunakan GOS dan mRS.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif potong lintang. Penelitian ini dilakukan di Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM pada subjek pasien yang mengalami cedera otak traumatika yang dioperasi maupun tidak dioperasi dan pernah menjalani perawatan di Intensive Care Unit periode Januari 2017 hingga Desember 2020.
Hasil: Dalam kurun waktu dilakukan penelitian terdapat 90 (sembilan puluh) subjek pasien yang mengalami cedera otak traumatika, didapatkan 21,1%, 44,4% dan 34,4% pasien dengan GCS 3-8; 9-12;13-15 secara berurut pada saat masuk IGD. Terdapat 24,4%, 48,9%, 26,7% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat preoperasi. Terdapat 41,1%, 35,6%, dan 23,3% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat pascaoperasi. Terdapat 18,9%, 24,4%, dan 56,7% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat keluar dari ICU. Terdapat 17,8%, 22,2% dan 60% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat rawat jalan dan terdapat 20%, 8,9% dan 71,1% pasien dengan GCS 3-8; 9-12; 13-15 secara berurut pada saat 6 bulan pasca rawat jalan.
Kesimpulan: Pasien yang masuk ke IGD dengan GCS 3-8 masih memiliki peluang sekitar 50% untuk memperoleh luaran yang baik dengan manajemen yang adekuat. Terjadi peningkatan GCS yang signifikan dan luaran yang baik terjadi pada pasien dengan modal GCS 9-12 maupun 13-15 saat keluar dari ICU, jika pasien keluar ICU dengan GCS 3-8 maka sekitar 90% pasien akan memiliki luaran yang buruk. MRS memiliki hasil luaran yang hampir serupa dengan GOS sehingga dapat digunakan sebagai penilaian luaran pasien cedera otak traumatika.

Background: Traumatic Brain Injury (TBI) is a type of mechanical trauma that occurs direct or indirectly hit the brain and can disturb neurological function until dead. Glassgow Coma Scale (GCS) is an instrument that commonly used to measure level of consciousness in an acute medical situation such as trauma and to monitor the level of consciousness while in the hospital. After getting discharged , the outcome is measured by some instrument such as Glassgow Outcome Scale. Modified Rankin Scale also a type of instrument measures disability level that usually applied on stroke patients. The goal of this study is to look GCS for an instrument to predict outcome of traumatic brain injury patients using GOS and mRS as outcome measurement scale.
Methods: This study is a cross-sectional retrospective study that conducted in Neurosurgery Department FKUI-RSCM on patients that experienced traumatic brain injury, operated or not, and treated in the Intensive Care Unit start from January 2017 until December 2020.
Results: There were 90 patients that experienced traumatic brain injury. We got 21,1%, 44,4% and 34,4% patients with GCS 3-8; 9-12;13-15 respectively when arrived at emergency room. There were 24,4%, 48,9% and 26,7% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in preoperative period. There were 41,1%, 35,6%, and 23,3% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in postoperative period. There were 18,9%, 24,4% and 56,7% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively when discharged from ICU. There were 17,8%, 22,2% and 60% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively discharged from hospital and there were 20%, 8,9% dan 71,1% patients with GCS 3-8; 9-12; 13-15 respectively in 6 months postoperative follow-up.
Conclusion: Patient admitted to emergency room with GCS 3-8 still have an equal chance of survival around 50% of good outcome with adequate management. There were significant escalation of GCS and good outcome happened with patients that had GCS 9-12 and 13-15 when they discharged from ICU. If patient discharge from ICU with GCS 3-8 then they would have gone to a bad outcome (90%). MRS had a similar results with GOS, therefore it can be a useful tool to measure an outcome for traumatic brain patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Hari Wahyu
"Penurunan kesadaran merupakan suatu keadaan darurat medis yang harus segera ditangani dengan tepat untuk mengurangi kerusakan lebih lanjut. Glasgow Coma Scale (GCS) yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pada pasien penurunan kesadaran akan memberikan gambaran keparahan dari kerusakan otak dan memprediksi outcome.
Tujuan: Mengetahui ketepatan GCS dalam memprediksi outcome pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional, kohort prospektif. 116 pasien usia ≥ 18 tahun dengan Glasgow Coma Scale dibawah 15 saat tiba di IGD RSCM Jakarta. Glasgow Coma Scale sampel dinilai sebanyak 1 kali ketika pasien pertama kali diterima di IGD RSCM. Peneliti mengevaluasi outcome pasien dua minggu setelah masuk IGD RSCM berdasarkan kriteria Glasgow Outcome Scale. Hasil Rerata usia pasien 51,4 ± 16,4 tahun, median GCS 9 (3- 14).
Hasil: Glasgow Outcome Scale diklasifikasi menjadi bad outcome (meninggal dan disabilitas berat) 66 pasien (56,9%) dan good outcome (disabilitas sedang dan sembuh) 50 pasien (43,1%). Skor GCS pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Skor GCS-E, GCS-M dan GCS-V masing-masing pasien kelompok bad outcome berbeda bermakna dengan kelompok good outcome berdasarkan analisis statistik (p < 0,001). Hasil regresi logistik, komponen GCS yang memiliki nilai prediksi terhadap outcome adalah komponen verbal dan membuka mata. Hasil uji kalibrasi skor GCS total dan skor GCS E+V memiliki kualitas yang baik. Hasil uji diskriminasi menunjukkan skor GCS total mempunyai nilai AUC 0,788 (IK95% 0,705-0,870). Skor GCS E+V mempunyai AUC 0,777 (IK95% 0,690-0,864). Titik potong GCS adalah ≤ 9. Uji Kappa antara dokter dan perawat terhadap skor GCS menunjukkan hasil yang sangat kuat Kappa 0,901 (p < 0,001).
Kesimpulan: Skor Glasgow Coma Scale mampu memprediksi outcome dengan tepat pada pasien dengan penurunan kesadaran di Instalasi Gawat Darurat RSCM, karena memiliki kalibarasi dan diskriminasi yang baik.

Altered level of consciousness is a medical emergency that must be manage immediatly to reduce further damage. Glasgow Coma Scale (GCS) is used to assess the level of consciousness in citically ill patients. GCS indicates the severity of brain damage and predictor of patient outcomes.
Objective: To assess accuracy of GCS in predicting outcome for patients with altered level of consciousness in Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital.
Method: This study is a observational prospective cohort study. Samples were 116 patients aged ≥ 18 years with a Glasgow Coma Scale below 15 at the time of admisssion in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital. Glasgow Coma Scale was assessed when patients first arrived in the Emergency Department. To assess outcome, researchers used The Glasgow Outcome Scale. Glasgow Outcome Scale was reviewed 2 weeks after admission for every sample.
Results: The mean patient age was 51.4 ± 16.4 years, median GCS 9 (3-14). The Glasgow Outcome Scale classified into bad outcome (death and severe disability) 66 patients (56.9%) and good outcome (moderate disability and good recovery) 50 patients (43.1%). The difference in GCS score between both outcome group were statistically significant (p < 0,001). Each of patient's GCS-E, GCS and GCS-M-V in bad outcome groups differ significantly with good outcome group (p < 0,001). The results of logistic regression, GCS components that have predictive value to the outcome are verbal and eye opening component. Calibration test showed that total GCS score and GCS E+V score has good quality. The results of discrimination test showed total GCS score has a AUC of 0.788 (IK95% from 0.705 to 0.870). GCS score E+V has AUC of 0.777 (IK95% from 0.690 to 0.864). GCS's cut off point was ≤ 9. Kappa Test between doctors and nurses to the GCS score showed very strong results of Kappa 0.901 (p < 0,001).
Conclusion: Glasgow Coma Scale can predict outcome in patients with altered level of consciousness in the Emergency Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, because of its good calibration and discrimination.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Mario
"ABSTRAK
Latar belakang Pasien penurunan kesadaran merupakan salah satu kasus yang sering ditemui di Instalasi Gawat Darurat IGD Penilaian awal diperlukan untuk memberikan informasi kepada keluarga pasien mengenai kemungkinan yang akan terjadi dan membantu keluarga dalam pengambilan keputusan GCS telah menjadi salah satu penilaian yang digunakan untuk menilai luaran pasien penurunan kesadaran tetapi dinilai masih kurang dalam memprediksi luaran yang terjadi Penelitian ini bertujuan untuk menilai gabungan GCS tekanan darah sistolik dan umur dapat memprediksi luaran pasien penurunan kesadaran Metode Penelitian ini merupakan studi observasional kohort retrospektif 76 pasien penurunan kesadaran yang datang ke IGD RSUPN Cipto Mangunkusumo Peneliti melakukan pencatatan penilaian Glasgow Coma Scale GCS tekanan darah sistolik dan umur saat pasien diperiksa di triase Luaran dinilai setelah dua minggu pasca kedatangan di IGD Hasil Hasil analisis bivariat pada GCS dan umur memperoleh hasil berbeda bermakna antara pasien kelompok luaran buruk dengan kelompok luaran baik p.
ABSTRACT
Background Patients loss of consciousness is one case that is often encountered in the Emergency Room ER The initial assessment is required to provide information to the patient 39 s family about the possibility that will happen and help families in decision making GCS has become one assessment used to assess outcomes of patients with loss of consciousness but is insufficient in predicting the outcome of some cases This study aims to assess the combined GCS systolic blood pressure and age can predict the outcome of patients with loss of consciousness Methods This was a retrospective cohort observational study 76 patients with loss of consciousness that comes into the ER RSUPN Cipto Mangunkusumo Researchers conducted the recording of the Glasgow Coma Scale GCS systolic blood pressure and age when patients checked in triage Outcomes assessed after two weeks after arrival in the emergency room Results The results of the bivariate analysis on the GCS and ages get results significantly different between patients with poor outcome group with good outcome group p ."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Emil Agustiono
"Kasus cedera kepala di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit (IGD) cenderung meningkat yang memerlukan penanganan yang khusus sehingga terdapat pemulihan cedera yang memadai. Penelitian ini untuk menilai peranan skor Glasgow Coma Scale (GCS) dan faktor risiko lainnya terhadap kegagalan menjadi skor 15 pada cedera kepala pada jam ke 24 di IGD.
Metode: Penelitian dilakukan di RSUPCM dan RS FK UKI Jakarta pada bulan Agustus 1997 dengan desain kohor, pasien cedera kepala baru yang datang berobat di IGD dilakukan pemeriksaan dan diamati skor GCSnya, penyakit penyerta lain, karakteristik demografi lainnya setiap 6 jam selama 24 jam pertama yang dilakukan oleh dokter.
Hasil: Diperoleh 133 subyek cedera kepala, pada pemeriksaan GCS pertama 37 di antaranya mempunyai skor GCS 3-14, dan sisanya dengan skor 15. Faktor rumah sakit tempat perawatan dan anjuran tirah baring memberikan pengaruh risiko kegagalan secara bermalrna terhadap kegagalan pasien cedera kepala pada jam ke 24 perawatan di IGD rumah sakit. Apabila dibandingkan dengan kasus yang dianjurkan tirah baring, maka kasus yang tanpa tirah baring mempunyai risiko kegagalan 102 kali lipat (ratio kegagalan suaian 102,53; 95% interval kepercayaan 5,69-1848,27).
Kesimpulan: Pada semua penderita cedera kepala dengan skor GCS 14 atau lebih rendah diperlukan tirah baring.

Background: Head injuries currently tend to increase and need special management in the hospital emergency departments. In order to achieve appropriate recovery, the assessment of Glasgow Coma Scale (GCS) score and other risk factors should be managed properly. The purpose of this research is to assess the risk factors related to the consciousness recovery of head injury patients at.
Methods: The research was held Jakarta Dr Cipto Mangunkusumo, and Indonesian Christian University School of Medicine hospitals in August 1997 among new head injury patients and were 6 hourly for the first 24 hours of hospitalization physically examined by the doctors and special attention was taken for GCS score, and accompanying diseases.
Results: 133 new head injury patients admitted to the emergency department and in the first GCS examination, 37 of them had GCS 3-14 score and the rest had GCS score 15, has been identified that the first GCS score statistically significant influenced the failure risk factors of the observed patients after 24 hours hospitalization, and compared to subjects who had bed rest, the patients did not have bed rest had 102-folds of failure to recover (adjusted failure ratio 102.53; 95% confidence intervals 5.69-1848.27).
Conclusion: All head injury cases need a bed rest to minimize the failure to be recover.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Okyno
"Latar belakang: Penilaian nyeri pada pasien-pasien UPI cukup sulit dikarenakan kendala komunikasi yang mereka dapatkan. Untuk penilaian pada pasien UPI digunakan skala evaluasi seperti Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT). Skala CPOT dikembangkan oleh Gellinas pada tahun 2006, dibuat dalam bahasa Prancis lalu diterjemahkan ke bahasa Inggris dan sudah dinilai kesahihannya. Pemakaian skala CPOT di UPI RSCM bisa dilakukan, namun jika diterjemahkan akan mempermudah sosialisasi dan pemahaman dalam penilaian skala CPOT. Sebelum suatu alat ukur yang diterjemahkan dapat diterapkan pada populasi, harus dinilai kesahihannya terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah menilai kesahihan CPOT dalam penggunaannya menilai nyeri pada pasien dengan Skala Koma Glagow di bawah 14 di UPI RSCM.
Metode: Studi observasional, potong lintang dengan pengukuran berulang dilakukan terhadap pasien yang dirawat di UPI RSCM April ? Mei 2013. Kesahihan BPS dinilai dengan uji korelasi Spearman. Keandalan dinilai dengan Cronbach α dan Intraclass Correlation Coefficient (ICC). Ketanggapan dinilai dengan Besar efek.
Hasil: Selama penelitian terkumpul 33 pasien dengan Skala Koma Glasgow di bawah 14 baik terintubasi maupun tidak di UPI RSCM. Skala CPOT memiliki kesahihan yang baik dengan nilai korelasi bermakna secara berurutan 0.145, 0.393 dan ? 0.205 untuk laju nadi, MAP dan skor Ramsay. Keandalan CPOT baik dengan ICC 0.981 (p<0.001) dan nilai Cronbach α 0.893. Ketanggapan CPOT juga baik dengan nilai Besar efek untuk penilaian pagi, siang dan malam adalah 2.11, 2.25 dan 2.33.
Kesimpulan: CPOT sahih dalam menilai nyeri untuk pasien dengan skala koma glasgow di bawah 14 di UPI RSCM.

Background: Assessment of Pain on ICU patient is difficult due to communication problems. To assess pain on ICU patient, we use behavioural scale such like Critical-Care Pain Observation Tool (CPOT). The CPOT scale was developed in French language and had been translated to English with the validity being checked. Using CPOT in ICU RSCM is doable, but if the scale is translated to Indonesian language, the understanding and socialization will be much better.However this scale must be validated before it?s use in RSCM population. The aim of this study is to validate CPOT scale in its use to assess pain on patients with Glasgow Coma Scale below 14 in ICU RSCM.
Method: An Observational, cross sectional, repeated measures was done to patients hospitalized in the ICU Cipto Mangunkusumo Hospital from April to May 2013. Validation was assessed by Spearman Correlation test while reliability was analyzed using Cronbach α and intraclass correlation coefficient (ICC). Responsiveness was assessed by Effect Size
Results: A total of 33 patients with Glasgow Coma Scale below 14 either intubated or not were included in this study. The CPOT Scale has a good validation with significant correlation 0.145, 0.393 and -0.205 respectively for heart rate, MAP and Ramsay score. CPOT Scale has good reliability with ICC score 0.981 (p<0.001) and Cronbach α 0.893. Responsiveness for CPOT is also good with Effect Size on morning, afternoon and evening assessment are 2.11, 2.25 and 2.33 respectively.
Conclusion: CPOT scale is valid to assess pain on patients with Glasgow Coma Scale below 14 in ICU RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitompul, Doli Mauliate
"Pendahuluan: Lesi muskuloskeletal pelvis merupakan kasus langka dengan prognosis buruk. Prosedur diagnostik yang cepat, akurat dan resiko komplikasi minimal sangat dibutuhkan pada kondisi tersebut. CT guided biopsy menjadi salah satu pilihan utama. Untuk itu dilakukan studi demografi terhadap pasien dengan lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo serta evaluasi ketepatan diagnosis yang diperoleh melalui prosedur CT guided biopsy.
Metode: Penelitian ini merupakan studi demografi dan uji diagnostik prosedur CT guided biopsy pada lesi muskuloskeletal pelvis di RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, yang dilaksanakan secara cross sectional. Data dikumpulkan menggunakan rekam medis pasien selama periode Juni 2007-Juni 2017. Analisis uji diagnostik menggunakan Fischer exact test, dengan standar baku pembanding berupa hasil histopatologi dari biopsi terbuka berupa prosedur eksisi terhadap lesi.
Hasil: Didapatkan 101 penderita lesi muskuloskeletal pelvis menjalani pengobatan selama periode 2007-2017. Ketepatan diagnosis CT guided biopsy dibanding hasil biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis adalah 86,36% dalam membedakan jenis, 90,9% dalam membedakan sifat keganasan, 85% dalam membedakan lesi primer muskuloskeletal maupun metastasis, dan 90% dalam membedakan lesi tulang maupun jaringan lunak. Berdasarkan lokasi lesi pada pelvis, ketepatan diagnosis CT guided biopsy tertinggi pada Zona I (83,3%), sedangkan berdasarkan ukuran, lesi berukuran >250ml memberikan ketepatan diagnosis 88,89-100%.
Pembahasan: Data demografi menunjukkan gambaran mirip dengan literatur dan dapat digunakan sebagai data dasar dalam menegakkan diagnosis lesi muskuloskeletal pelvis. Dalam evaluasi ketepatan diagnosis, CT guided biopsy dibanding biopsi terbuka pada lesi muskuloskeletal pelvis memiliki ketepatan yang tinggi secara statistik sehingga menunjukkan reliabilitas kuat dan dapat diterapkan sebagai prosedur baku dalam menegakkan diagnosis.

Introduction: Pelvic musculoskeletal lesion is rare, mostly malignant with bad prognosis. Since early diagnosis of these cases require rapid, accurate, and safe diagnostic procedure, CT guided biopsy are common choice of treatment option. Since no data registered on pelvic musculoskeletal lession yet assembled, we performed demographic study on pelvic musculoskeletal lesion in Cipto Mangunkusumo hospital combined with diagnostic test of CT guided biopsy on pelvic musculoskeletal cases.
Methods: This is a demographic study and diagnostic test on CT guided biopsy performed on pelvic musculoskeletal lesion, performed cross sectionally, using medical record from June 2007-June 2017. Sampling procedure performed based on inclusion and exclusion criteria, and evaluated with Fischer exact test, p value <0,05. Histopathologic result after open biopsy described as gold standard.
Results: During present decade, 101 patients with pelvic musculoskeletal lesion treated in Cipto Mangunkusumo hospital. Compared to open biopsy, the accuracy of CT guided biopsy were 86,36% on determining type of lesion, 90,9% on determining type of malignancy, 85% on determining primary lesion to a metastasis lesion, and 90% on determining bone to a soft tissue lesion. Based on location of lesion, Zone I provide best accuracy (83,3%) while based on size, lesion sized >250% has best accuracy (88,89-100%).
Discussion: Demographic data of this study found similar to literature. These distribution data help diagnostic procedure especially in Cipto Mangunkusumo hospital. High diagnostic accuracy of CT guided biopsy, support that the procedure is strongly reliable, and reasonably considered as a standard operational procedure on diagnostic of pelvic musculoskeletal lesion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marlon Tua
"Latar Belakang: Skala Koma Glasgow (SKG) yang digunakan secara luas saat ini untuk memprediksi mortalitas pasien cedera kepala dewasa memiliki keterbatasan. Skor FOUR dibuat untuk mengatasi keterbatasan itu. Perlu diketahui apakah sensitivitas dan spesitivitas Skor FOUR lebih baik daripada SKG.
Tujuan: Untuk mengetahui apakah sensitivitas/spesifisitas skor FOUR dan komponenkomponennya lebih baik daripada SKG dan komponen-komponennya untuk memprediksi kematian 7 hari pada pasien cedera kepala dewasa, serta titik potong masing-masing SKG dan Skor FOUR.
Metode: Penelitian prognostik dengan menggunakan desain kohort. Sampel dinilai SKG dan Skor FOURsaat di IGD, kemudian diikuti selama 7 hari pengamatan, hasil akhir dicatat sebagai hidup atau mati. Kemudian dianalisis perbandingan ketepatan prediksi mortalitas antara SKG dan Skor FOUR.
Hasil: Didapatkan 123 sampel, kematian terjadi pada 18 orang (14,6%).skor FOUR memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik (skor FOUR pada cut off ≤ 11,5 dengan sensitivitas 94,4% dan spesifisitas 96,2%) dibandingkan SKG pada cut off ≤ 9,5 dengan sensitivitas 88,9% dan spesifisitas 91,4%.
Kesimpulan: Skor FOUR mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada SKG untuk memprediksi kematian 7 hari pada pasien cedera kepala dewasa.

Background: Glasgow Coma Scale (GCS) is the common coma score used by medical practitioners all over the world. GCS is known to have some limitations. FOUR Score was developed to overcome the limitations of GCS. Herein, we investigated whether the sensitivity and specificity of the FOUR Score is better the GCS in predicting 7 days mortality in adult with head trauma.
Aims: to find out whether the sensitivity and specificity of the FOUR Score is better the GCS in predicting 7 days mortality in adult with head trauma.
Methods: A prognostic cohort study. GCS and FOUR score were assessed in the emergency room, the patients were followed for 7 days, primary outcome measures are 7 days mortality.
Results: There were 123 eligible subjects. The mortality rate was 14.6% (18 patients). FOUR score has better sensitivity dan specificity (with the ≤ 11.5 cut off, the sensitivity 94.4% and specificity 96.2%) than GCS with the ≤ 9.5 cut off, the sensitivity 88.9% and specificity 91.4%
Conclusion: FOUR Score has better sensitivity and specificity than GCS in predicting 7 days mortality in adult with head injury.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Wulan Sari
"Latar belakang: Infeksi COVID-19 menyebabkan terjadinya pandemik diseluruh dunia. Pemeriksaan rRT-PCR merupakan pemeriksaan yang di rekomendasikan dari WHO untuk penegakkan diagnosis dari COVID-19. Faktor-faktor yang mempengaruhi akurasi dari pemeriksaan rRT-PCR untuk diagnosis COVID-19, membuat pemeriksaan penunjang berupa radiografi toraks dan CT-scan toraks juga sangat dibutuhkan guna membantu diagnosis COVID-19. CT-scan toraks lebih sensitif untuk membantu mengarahkan diagnosis COVID-19 namun kurang praktis dalam hal desinfeksi dan dekontaminasi serta transportasi pasien ke ruang CT-scan, dan limitasi ketersediaannya pada fasilitas kesehatan. Di sisi lain, radiografi toraks dengan sensitifitas yang lebih rendah dibandingkan CT-scan, namun memiliki beberapa keunggulan terkait ketersediaan alat serta tidak tidak terkendala masalah transportasi dan dekontaminasi. Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder pemeriksaan radiografi dan CT-scan toraks pasien-pasien dengan hasil rRT-PCR positif yang tersedia di PACS Departemen Radiologi RSCM mulai bulan Maret 2020 hingga Juli 2021, dengan total 41 sampel. Kemudian dilakukan analisis dengan konkordansi dan Kohen Kappa. Hasil: Pada analisis Kappa Cohen, terdapat kesesuaian sedang (0,55) antara penebalan pleura, kesesuaian lemah antara gambaran opasitas ground glass (GGO) (0,32), konsolidasi (0,38), efusi pleura (0,36) , distribusi lesi perifer (0,39), fokus lesi yang multifokal (0,32), zona paru yang terkena (atas 0,32, tengah 0,24, bawah 0,36), dan keterlibatan paru bilateral (0,27) serta tidak terdapat kesesuaian antara gambaran opasitas retikuler (0,06) dan lesi sentral (-0,10) pada radiografi dan CT-scan toraks. Pada analisis Konkordansi terdapat kesesuaian kuat antara gambaran GGO(80,5%), penebalan pleura (90,2%), efusi pleura (92,6%), lokasi lesi di perifer(82,9%), kesesuaian sedang antara konsolidasi (68,2%), lesi multifokal (73,1%), Zona bawah(78%), zona tengah (65,8%) dan keterlibatan paru bilateral (70,7%) dan lemah antara lesi di zona bawah (63,4%) serta tidak ada konkordansi antara opasitas retikuler (48,7%) dan lesi di sentral (51,2%) pada radiografi dan CT-scan toraks.

Background: COVID-19 infection causes a worldwide pandemic. The rRT-PCR examination is recommended by WHO for the diagnosis of COVID-19. Factors that affect the accuracy of the rRT-PCR examination for the diagnosis of COVID-19, making supporting examinations of chest radiography and chest CT-scan also needed to help diagnose the COVID-19 infection. Chest CT scan is more sensitive to help direct the diagnosis of COVID-19 but is less practical in terms of disinfection and decontamination and transportation of patients to CT-scan rooms, and limited availability in health facilities. On the other hand, chest radiography has a lower sensitivity than CT scan, but has several advantages related to the availability of tools and transportation and decontamination problems. Methods: This study uses secondary data from chest radiographic and chest CT-scans examinations of patients with positive rRT-PCR results available at the PACS of the RSCM Radiology Department from March 2020 to July 2021, with a total of 41 samples. The analysis was carried out by using Kappa Cohen and concordance. Results: In Kappa Cohen's analysis, there was moderate agreement (0.55) between pleural thickening, weak agreement between ground glass opacity (GGO) images (0.32), consolidation (0.38), pleural effusion (0.36), lesion distribution peripheral (0.39), multifocal lesion foci (0.32), affected lung zones (upper 0.32, middle 0.24, below 0.36), and bilateral lung involvement (0.27) and no agreement between reticular opacity (0.06) and central lesion (-0.10) on chest radiograph and CT scan. In the Concordance analysis there was a strong concordance between the appearance of GGO (80.5%), pleural thickening (90.2%), pleural effusion (92.6%), the location of the lesion in the periphery (82.9%), moderate concordance between consolidation ( 68.2%), multifocal lesions (73.1%), lower zone (78%), middle zone (65.8%) and bilateral lung involvement (70.7%) and weak between lesions in the lower zone (63, 4%) and there was no concordance between reticular opacities (48.7%) and central lesions (51.2%) on chest radiographs and CT scans. Conclusion: From all the lesion assessments on chest radiographs and chest CT-scans, reticular opacity lession and the central location of the lesion had no agreement between chest radiographic findings and chest CT scan. The other lesions had moderate to weak agreement on chest radiographs and chest CT scans"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>