Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8176 dokumen yang sesuai dengan query
cover
"Adanya kuman patogen di daerah nasofaring merupakan faktor risiko untuk pnemonia. Menurut badan kesehatan sedunia (WHO), di komunitas, untuk melakukan uji resistensi terhadap berbagai antimikroba, sebaiknya spesimen diambil dengan apus nasofaring. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pola bakteri yang ada di nasofaring balita penderita pnemonia dan resistensi kuman terhadap kotrimoksasol. Penelitian ini dilaksanakan di 4 Puskesmas di Kecamatan Majalaya, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Semua anak dengan batuk dan /atau kesulitan bernafas dan diklasifikasikan sebagai pnemonia tidak berat menurut pedoman WHO, diikut sertakan pada penelitian. Apus nasofaring (sesuai pedoman CDC/WHO manual) dilakukan oleh dokter yang terlatih dan spesimen ditempatkan ke dalam media Amies transport, dan disimpan dalam termos, sebelum kemudian dibawa ke laboratorium untuk pemeriksaan selanjutnya, pada hari yang sama. Selama 9 bulan terdapat 698 anak dengan gejala klinis pnemonia tidak berat, yang diikut sertakan dalam penelitian. Sebanyak 25,4% (177/698) spesimen menunjukkan hasil isolat positif, 120 (67,8%) positif untuk S pneumoniae, masing-masing 21 untuk S epidermidis dan alpha streptococcus, 6 untuk Hafnia alvei, 5 untuk S aureus, 2 (1,13%) untuk B catarrhalis dan masing-masing 1 (0,6%) untuk H influenzae dan Klebsiella. Hasil uji resistensi S pneumonia terhadap kotrimoksasol menunjukkan 48,2% resisten penuh dan 32,7% resisten intermediate. Hasil ini hampir sama dengan penelitian lain di Asia. Tampaknya H influenzae tidak merupakan masalah, akan tetapi penelitian lebih lanjut perlu dilakukan. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)

Pathogens in nasopharynx is a significant risk factor for pneumonia. According to WHO, isolates to be tested for antimicrobial resistance in the community should be obtained from nasopharyngeal (NP) swabs. The aim of this study is to know the bacterial patterns of the nasoparynx and cotrimoxazole resistance in under five-year old children with community acquired pneumonia. The study was carried out in 4 primary health clinic (Puskesmas) in Majalaya sub-district, Bandung, West Java, Indonesia. All underfive children with cough and/or difficult breathing and classified as having non-severe pneumonia (WHO guidelines) were included in the study. Nasopharyngeal swabs (CDC/WHO manual) were collected by the field doctor. The swabs were placed in Amies transport medium and stored in a sterile jar, before taken to the laboratory for further examination, in the same day. During this nine month study, 698 children with clinical signs of non-severe pneumonia were enrolled. About 25.4% (177/698) of the nasopharyngeal specimens yielded bacterial isolates; i.e. 120 (67.8%) were positive for S pneumoniae, 21 for S epidermidis and alpha streptococcus, 6 for Hafnia alvei, 5 for S aureus, 2 for B catarrhalis, and 1(0.6%) for H influenzae and Klebsiella, respectively. The antimicrobial resistance test to cotrimoxazole showed that 48.2% of S pneumoniae strain had full resistance and 32.7% showed intermediate resistance to cotrimoxazole. This result is almost similar to the other studies from Asian countries. It seems that H influenzae is not a problem in the study area, however, a further study is needed. (Med J Indones 2002; 11: 164-8)"
Medical Journal of Indonesia, 11 (3) July September 2002: 164-168, 2002
MJIN-11-3-JulSep2002-164
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Regina Talitha Rosa
"

Latar belakang: Angiofibroma nasofaring belia (ANB) adalah tumor fibrovaskular yang langka. Tingkat kekambuhan ANB diketahui memiliki angka yang tinggi. Kekambuhan tidak jarang dikaitkan dengan faktor genetik dan salah satunya adalah beta-catenin. Ekspresi beta-catenin telah diidentifikasi dapat memengaruhi pertumbuhan ANB, namun hubungannya dengan kekambuhan ANB masih perlu diteliti lebih lanjut. Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik observasional dengan pendekatan kasus kontrol terhadap pasien ANB yang menjalani ekstirpasi tumor di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo antara tahun 2013 dan 2022. Data mengenai demografi, karakteristik tumor, prosedur pre-ekstirpasi, pendekatan bedah, dan perdarahan intraoperatif dikumpulkan melalui rekam medis. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan untuk mengetahui ekspresi beta-catenin. Hasil: Didapatkan 33 pasien ANB (18 termasuk kelompok tidak kambuh dan 15 dalam kelompok kambuh). Seluruh pasien merupakan laki-laki berusia antara 9 hingga 28 tahun, dengan rata-rata usia 16,2 tahun. Kelompok usia ≤18 tahun memiliki risiko kekambuhan ANB 8,91 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok usia >18 tahun (p=0,046). Ekspresi beta-catenin tinggi (≥124,2) memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menyebabkan kekambuhan dibandingkan dengan ekspresi beta-catenin rendah (<124,2) pada pasien ANB (p=0,000). Kesimpulan: Pasien ANB dengan ekspresi beta-catenin tinggi memiliki risiko kekambuhan yang lebih tinggi.


Background: Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) is a rare fibrovascular tumor known for its high recurrence rate. Recurrence is often linked to genetic factors such as beta-catenin. Although beta-catenin expression has been identified as influencing JNA growth, its relationship with JNA recurrence requires further investigation. Methods: This research employs an observational analytical study design with a case-control approach, focusing on JNA patients who underwent tumor extirpation at Cipto Mangunkusumo General Hospital between 2013 and 2022. Data on demographics, tumor characteristics, pre-extirpation procedures, surgical approaches, and intraoperative bleeding were collected from medical records. Immunohistochemical examination was conducted to determine beta-catenin expression. Results: Among the 33 JNA patients (18 were in the non-recurrent group and 15 were in the recurrent group). All patients were male, aged between 9 and 28 years, with an average age of 16.2 years. The age group ≤18 years had an 8.91 times higher risk of JNA recurrence compared to the age group >18 years (p=0.046). High beta-catenin expression (≥124.2) was associated with a higher risk of recurrence compared to low beta-catenin expression (<124.2) in ANB patients (p=0.000). Conclusion: JNA patients with high beta-catenin expression has a higher risk of recurrence."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Cahyanti
"Latar Belakang: Salah satu masalah dalam tatalaksana karsinoma nasofaring (KNF) adalah masih tingginya angka rekurensi pascaterapi. Hingga saat ini, biomarker yang digunakan di klinik untuk mengevaluasi hasil terapi definitif pada KNF adalah melalui CT scan nasofaring. Overekspresi Rad51 berhubungan dengan peningkatan resistensi sel tumor terhadap radiasi dan kemoterapi. Oleh karena rekurensi pascaterapi berhubungan dengan resistensi sel-sel tumornya, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk menilai korelasi antara ekspresi Rad51 pada biopsi nasofaring sebelum terapi dengan penyusutan massa tumor pascaterapi yang diukur dengan metode unidimensional.
Bahan dan Metode: Studi potong lintang dilakukan pada 15 kasus KNF. Ekspresi Rad51 dinilai dari biopsi nasofaring sebelum terapi. Evaluasi hasil terapi dilihat dari penyusutan massa tumor, berdasarkan CT scan nasofaring sebelum dan setelah terapi definitif. Cara yang digunakan untuk mengukur penyusutan massa tumor adalah dengan mengukur diameter terpanjang (unidimensional).
Hasil: Ekspresi dari pewarnaan Rad51 yang dinilai berdasarkan skor-H menunjukkan hubungan bermakna dan korelasi yang kuat dengan penyusutan massa tumor. Diperoleh nilai p = 0,005 dan koefisien korelasi r = - 0,64.
Kesimpulan: Ekspresi Rad51 memiliki korelasi negatif dengan penyusutan massa tumor karsinoma nasofaring.

Background: The remain challenging problem in the management of nasopharyngeal carcinoma (NPC) is its higher rate of recurrency. Untill now, CT scan is the most common use biomarker to evaluate the treatment response after the definitive therapy. There’s a significance association between Rad51 overexpression and the increasing of resistancy to irradiation and chemotherapy in tumor cells and the resistancy of tumor cells correlates to its recurrency after therapy. Therefore, this study was conducted to evaluate the correlation between Rad51 expression level and the tumor’s shrinkage with unidimensional measurement. Material and
Methods: Fifteen cases of NPC were analyzed by a cross-sectional study. The expression of Rad51 were taken from the pretreatment of nasopharyngeal biopsy. The treatment response was evaluated from the nasopharyngeal CT scan, before and after definitive therapy, using the unidimensional measurement based on the change in sum longest diameter.
Result: The expression of Rad51 immunostaining assessed by the H-score were strongly correlate with the regression of the tumor mass which represent the treatment response. The p value is 0,005 and the correlation’s coefficient is -0,64.
Conclusion: There is significant correlation with negative magnitude between the expression of Rad51 with the shrinkage of tumor mass in nasopharyngeal carcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ucip Sucipto
"ABSTRAK
Kanker nasofaring (KNF) merupakan tumor daerah leher dan kepala dengan
penyebab yang kompleks. Pengobatan KNF mempunyai bebera pa metode
pengobatan salah satu diantaranya adalah dengan kemoradiasi. Kemoradiasi
merupakan pemberian kemoterapi yang diberikan secara besama-sama dengan
radioterapi. Tujuan penelitian ini untuk menggali pengalaman pasien KNF setelah
menjalani kemoradiasi. Metode penelitian dengan desaian kualitatif pendekatan
studi fenomenologi. Penelitian ini melibatkan sebelas partisipan. Pengambilan
data mengguakan wawancara mendalam, analisis data menggunakan Colaizzi.
Tiga tema teridentifikasi pada penelitian ini yaitu xerostomia adalah keluhan fisik
utama partisipan, penurunan interaksi sosial, dan adanya support system yang
adekuat dari keluarga. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifik.asi
secara dini gejala xerostomia akibat efek samping kemoradiasi sehingga pasien
dapat beradaptasi dengan respon yang adaptif.

ABSTRACT
Nasopharyngeal cancer is a tumor of the head and neck with a complex cause.
treatment has several methods of treatment one of them is by chemoradiation.
Chemoradiation is a given of chemotherapy given jointly with radiotherapy. The
purpose of this study was to explore the experience of head and neck patients
who has underwentchemoradiation. Research method with qualitative design of
phenomenology study approach. The study involved eleven participants. Data
collection use in-depth interviews, data analysis using Colaizzi. Three themes
identified in this study are xerostomia arc the main physical complaints of
participants, decreased social interaction, and adequate support system from the
family. The results of this study are expected to identify early symptoms of
xerostomia due to the side effects of chernoradiation so that patients can adapt to
adaptive responses."
2017
T48300
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agustinus Gatot Dwiyono
"Latar Belakang: Kanker Nasofaring (KNF) merupakan keganasan yang sering di Indonesia. Molekul terkait imun yang banyak diteliti adalah Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil PD-L1 dari spesimen KNF di Indonesia.
Metode: Spesimen biopsi massa nasofaring diambil untuk pemeriksaan konsentrasi protein PD-L1 dengan metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Pada spesimen yang terbukti secara histologis KNF dilakukan pemeriksaan Imunohistokimia (IHK) untuk mengetahui ekspresi PD-L1.
Hasil: Lima puluh empat spesimen biopsi nasofaring diperoleh. Tiga puluh lima dari 54 spesimen dikonfirmasi secara histologis KNF yang tidak berdiferensiasi dengan usia rerata 51 tahun. Selebihnya, 19 spesimen lainnya secara histologis bukan KNF dengan usia rerata 37 tahun. Pada pemeriksaan ELISA, median konsentrasi PD-L1 dari spesimen KNF adalah 2100,73 ± 3689,52 pg/mg protein, dan spesimen bukan KNF adalah 1010,88 ± 1082,37 pg/mg protein. Pada pemeriksaan IHK 30 sampel KNF untuk pemeriksaan ekspresi PD-L1, semuanya mengekspresikan PD-L1 positif, dengan rincian; skor 1 sebanyak 7%, skor 2 sebanyak 30%, dan skor 3 sebanyak 63%.
Kesimpulan: Protein PD-L1 dari spesimen KNF dengan pemeriksaan ELISA signifikan meningkat dibandingkan dengan bukan KNF. Semua spesimen KNF dengan pemeriksaan IHK mengeskspresikan PD-L1 positif dengan mayoritas skor 3.

Background: Nasopharyngeal Carcinoma (NPC) is a common malignancy in Indonesia. Immune-related molecules that have been studied are Programmed Death-1 (PD-1)/Programmed Death-Ligand 1 (PD-L1). This study aims to determine the profile of PD-L1 from NPC specimens in Indonesia.
Method: A nasopharyngeal biopsy specimen was taken to examine the concentration of PD-L1 protein by the Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA). Immunohistochemistry (IHC) examinations were conducted to determine the PD-L1 expression.
Results: Fifty-four nasopharyngeal biopsy specimens were obtained. Thirty-five of 54 specimens were confirmed histologically for undifferentiated NPC with an average age of 51 years. The rest, 19 other specimens are histologically non NPC with an average age of 37 years. On ELISA examination, the median PD-L1 concentration of the NPC specimen was 2100.73 ± 3689.52 pg/mg protein, and the non-KNF specimen was 1010.88 ± 1082.37 pg/mg protein. At the IHC examination of 30 NPC samples for PD-L1 expression examination, all of them expressed PD-L1 positive, with details; score 1 is 7%, score 2 is 30%, and score 3 is 63%.
Conclusion: PD-L1 protein from NPC specimens by ELISA examination was significantly increased compared to non-NPC. All NPC specimens with IHC examination expressed PD-L1 positive with a majority score of 3.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini Hanifiah
"Latar belakang: Tingginya prevalensi kejadian kekambuhan kanker nasofaring (KNF) di negara dengan insidensi tinggi merupakan tantangan utama bagi klinisi dalam penganganan KNF kambuh karena angka mortalitasnya yang tinggi. Penilaian faktor-faktor untuk memprediksi kejadian kekambuhan KNF penting untuk diketahui agar bisa memprediksikan lebih awal dan memberikan strategi penanganan yang tepat bagi pasien KNF.
Tujuan: Mengetahui prevalensi, disease-free survival 60 bulan, dan faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya kekambuhan kanker nasofaring.
Metode: Studi kohort retrospektif dilakukan terhadap 350 subjek yang didiagnosis KNF dan dinyatakan remisi dari tahun 2015-2019 dan diamati selama 60 bulan setelah remisi. Dilakukan analisis bivariat antara usia, jenis kelamin, ukuran tumor, keterlibatan kelenjar getah bening, hasil histopatologi, komorbid, dan terapi definitif menggunakan cox regression dan dilakukan analisis kesintasan dengan Kaplan Meier. Analisis multivariat menggunakan cox regression.
Hasil: Dari 350 subjek, didapatkan 127 (36,3%) mengalami KNF kambuh selama 60 bulan dengan median kesintasan adalah 25 bulan. Faktor-faktor prediktor yang berperan terhadap kejadian kekambuhan kanker nasofaring adalah jenis histopatologi, ukuran tumor, dan keterlibatan KGB dengan masing-masing HR 5,561 (2,324 — 13,305, p<0,001), 2,17 (1,00 — 4,69, p=0,049) dan HR 3,82 (1,99 — 7,29, p<0,001) berturut-turut.
Kesimpulan: Prevalensi kekambuhan KNF di studi ini termasuk tinggi dan faktor-faktor yang berperan penting sebagai prediktor kekambuhan KNF yaitu jenis histopatologi, ukuran tumor dan keterlibatan KGB.

Background: The high prevalence of recurrent nasopharyngeal cancer (NPC) in high incidence countries is major problem of recurrent NPC management due to its high mortality rate. Analysis of the predicting factors to recurrent NPC has an important role to improve treatment outcome.
Objective: To identify the prevalence, 60-month disease-free survival, and predictive of recurrent of nasopharyngeal cancer.
Methods: A retrospective cohort study was conducted on 350 subjects diagnosed with NPC and observed for 60 months after remission. Bivariate analysis of age, gender, tumor size, lymph node involvement, histopathological type, comorbidities, and definitive therapy was performed using the cox regression and survival analysis using Kaplan Meier. Multivariate analysis was performed using cox regression.
Results: Of the 350 subjects, 127 (36,3%) experienced recurrent NPC within 60 months with a median survival of 25 months. The predictive factors that played a role in the recurrent nasopharyngeal cancer were histopathological type, tumor size, and lymph node involvement with HR 5,561 (2,324 — 13,305, p<0,001), 2,17 (1,00 — 4,69, p=0,049) dan HR 3,82 (1,99 - 7,29, p<0,001) respectively.
Conclusion: The prevalence of recurrent NPC in this study is relatively and the important factors as predictors of recurrent NPC are histopathological type, tumor size and lymph node involvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yoseph Adi Kristian
"Latar Belakang: Ekspresi PD-L1 sering ditemukan pada keganasan yang terkait dengan virus Epstein-Barr (EBV) seperti karsinoma nasofaring. Studi terbaru menunjukkan bahwa keganasan terkait EBV memiliki tingkat ekspresi PD-L1 yang tinggi. Tetapi mekanisme yang mendasari regulasi PD-L1 dan EBV terhadap ekstensi tumor masih kurang dipahami. Beberapa literatur menghubungkan parameter ini dengan tumor stadium lanjut dan prognosis buruk. Studi ini akan menilai konsentrasi PD-L1 dan DNA EBV pada jaringan tumor, pada pasien kanker nasofaring di populasi Indonesia yang dikumpulkan secara konsekutif dan dikorelasikan dengan ekstensivitas tumor. 
Metode: Kami menggunakan imunohistokimia dan ELISA untuk menilai PD-L1 dan reaksi rantai polimerase (PCR) juga dilakukan untuk menilai konsentrasi DNA EBV (EBNA-1 sebagai primer). Delineasi tumor dilanjutkan dengan perhitungan volumetrik menggunakan Eclipse Treatment Planning System. Semua pemeriksaan dilakukan pra terapi. Kami memperoleh data kuantitatif dan kualitatif. Kurva korelasi didapatkan menggunakan uji korelasi Pearson.  
Hasil: Tidak ada korelasi antara DNA EBV dan ekstensivitas kanker nasofaring dengan ekspresi PD-L1 positif (p = 0,371). Lebih lanjut, tidak ada korelasi antara DNA EBV dan PD-L1.  
Kesimpulan: Berapapun banyaknya tumor viral load DNA EBV dan konsentrasi PD-L1 tidak akan berpengaruh pada ekstensivitas tumor. Ini adalah studi pendahuluan.

Background: PD-L1 expression is often found in malignancies associated with Epstein-Barr virus (EBV) such as nasopharyngeal carcinoma. Recent studies shown that EBV-related malignancies have high levels of PD-L1 expression. But the mechanism underlying the regulation of PD-L1 and EBV DNA against tumor extension is still poorly understood. Some literature links this parameter with advanced tumors and poor prognosis. This study will assess tumor tissue PD-L1 and EBV DNA concentrations in nasopharyngeal cancer patients in the Indonesian population collected consecutively and correlate with tumor extensivity. 
Methods: We used immunohistochemical and ELISA to assess PD-L1 and polymerase chain reaction is also performed to assess the EBV DNA concentrations (EBNA-1 as primary). Tumor volume delineation continued with volumetric calculation using Eclipse treatment planning system. All examinations were carried out pre therapy. Quantitative and qualitative data was obtained. Correlation curves were estimated using the Pearson correlation test. 
Results: There was no correlation between EBV DNA and nasopharyngeal cancer extension with positive PD-L1 expression (p = 0.371). Furthermore, there is also no correlation existed between the EBV DNA copy and PD-L1. 
Conclusion: No matter how much tumor EBV DNA viral load and PD-L1 concentrations had no effect on tumor extensivity. This is a preliminary study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andityo Rahman Winahyu
"Karsinoma nasofaring merupakan keganasan paling tinggi ditemukan di bagian kepala dan leher dengan berbagai faktor risiko. Peran faktor risiko terhadap tingkat keparahan karsinoma nasofaring belum banyak diteliti, terutama di Indonesia sehingga penelitian ini berperan untuk menganalisis hubungan antara keberadaan faktor risiko pada pasien, yaitu jenis kelamin, usia, perokok aktif dan pasif, konsumsi alkohol, dan riwayat keluarga, dengan tingkat stadium karsinoma nasofaring yang dialami pasien. Desain pengambilan data yang digunakan adalah cross-sectional untuk menganalisis hubungan antara masing-masing faktor risiko dengan stadium karsinoma nasofaring dari 216 pasien karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2004-2008. Berdasarkan hasil uji fisher’s exact, nilai p akan hubungan antara jenis kelamin, usia, merokok, perokok pasif, konsumsi alkohol, dan riwayat keluarga dengan stadium karsinoma nasofaring berturut-turut sebesar 0,651, 0,355, 0,837, 0,841, 0,844 dan 0,482 sehingga tidak ditemukan hubungan yang signifikan (p > 0,05) pada faktor risiko dengan stadium karsinoma nasofaring. Dengan demikian, faktor risiko karsinoma nasofaring yang diteliti tidak berpengaruh terhadap stadium karsinoma nasofaring di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.

Nasopharyngeal carcinoma is the most common malignancy found in the head and neck with various risk factors. The role of risk factors on the severity of nasopharyngeal carcinoma has not been widely studied, especially in Indonesia, so this study plays a role in analyzing the relationship between the presence of risk factors in patients, namely gender, age, active and passive smokers, alcohol consumption, and family history, with the stage of nasopharyngeal carcinoma experienced by patients. The data collection design used was cross-sectional to analyze the relationship between each risk factor and the stage of nasopharyngeal carcinoma from 216 nasopharyngeal carcinoma patients at Cipto Mangunkusumo Hospital in 2004-2008. Based on the results of the fisher's exact test, the p value of the relationship between gender, age, smoking, passive smoking, alcohol consumption, and family history with the stage of nasopharyngeal carcinoma were respectively 0.651, 0.355, 0.837, 0.841, 0.844 and 0.482 so that no significant relationship was found (p > 0.05) in risk factors with the stage of nasopharyngeal carcinoma. In conclusion, the risk factors for nasopharyngeal carcinoma studied did not affect the stage of nasopharyngeal carcinoma at Cipto Mangunkusumo Hospital. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamida Hayati Faisal
"Kanker Nasofaring KNF merupakan salah satu kasus keganasan paling sering di Indonesia dengan karakteristik yang unik secara epidemiologi, patologi dan klinis. Faktor prognosis KNF telah menjadi fokus penelitian yang cukup penting dalam sejumlah studi yang telah dilakukan. Penelitian ini bertujuan mengetahui karakteristik pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT RSCM serta angka kesintasan dengan melakukan analisis terhadap faktor yang berperan terhadap prognosis. Penelitian ini merupakan suatu penelitian kohort retrospektif dengan subjek penelitian bersifat total sampling pasien KNF yang terdiagnosis di Poli THT. Sebanyak 561 subjek penelitian ini, pria memiliki prevalensi sebanyak 2.8 kali daripada wanita. WHO tipe 3 dan WF tipe A menjadi jenis histopatologi paling dominan. Stadium IV A didapatkan pada 30.1 subjek dan 18.9 subjek sudah berada dalam kondisi metastasis jauh. Nilai tengah untuk waktu tunggu radiasi adalah 91 12-344 hari dengan durasi radiasi 53 39-95 hari. Stadium IVC, p= 0,000 , N3 p= 0,018 , metastasis jauh p= 0,000 , dan drop out atau tidak mendapat terapi p= 0,000 menjadi faktor yang memberikan kesintasan lebih buruk pada penelitian ini.

Nasopharyngeal Cancer NPC is one of the most frequent cancer in Indonesia which has a unique characteristic in epidemiology, pathology and clinical features. Prognostic factors are recently became the most important research foci, and a large number of investigation in this area have been performed. The objective of this study is to know the characteristics of NPC patients that have been diagnosed in ENT Department of RSCM and analyzed some factors that might have role in overall survival. This is the retrospective cohort study with total sampling subject. From 561 subjects, Male has 2.8 higher prevalence than female. WHO type 3 92,3 and WF type A 97,1 are the majority hisopathological result. Stage IV A is found in 30,1 subjects and 18,9 subjects were already in metastatic state. The median value of radiation waiting time was 91 12 344 days, duration time of radiation was 53 39 95 days. Stage IVC p 0,000 , N3 p 0,018 , distant metastatic p 0,000 , and drop out or no treatment p 0,000 are found to be the factors that give a negative impact in overall survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Made Haryoga
"Latar Belakang: Skrining awal dengan pemeriksaan viral load EBV plasma belum menjadi pemeriksaan rutin pada kanker nasofaring. Penelitian ini dikhususkan meneliti peran viral load EBV plasma pada pasien kanker nasofaring. Penelitian ini akan menjadi studi pilot di bidang viral load EBV plasma pada kanker nasofaring, khususnya di Indonesia.
Metode: Desain penelitian ini adalah Study Ekploratif, mengeksplorasi hubungan antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan pada kanker nasofaring stadium lokal lanjut dan stadium lanjut. Besar sample diambil berdasarkan rule of thumb, diperkirakan 15 sampel memberikan gambaran yang cukup memadai, mempertimbangkan biaya dan waktu penelitian. Untuk pemeriksaan viral load EBV plasma maupun jaringan tumor dilakukan dengan metode Real Time PCR dengan Kit dan alat PCR milik perusahaan QIAGEN®.
Hasil: Ditemukan korelasi lemah-sedang (R= 48,3%) antara viral load EBV plasma dengan viral load EBV jaringan, dengan nilai p = 0,003 yang menyatakan bahwa korelasi ini dapat dipercaya. Tidak ada korelasi antara konsentrasi PD-L1 ELISA, IFN gamma, Limfosit, Neutrofil, maupun Leukosit dengan viral load EBV plasma. Kesimpulan: Semakin tinggi konsentrasi DNA EBV jaringan, semakin tinggi pula konsentrasi viral load EBV plasma, walaupun korelasi lemah-sedang, namun signifikan. Sampel yang sedikit menjadi kelemahan dalam penelitian ini, karena biaya dan waktu yang terbatas.

Background: Initial screening with plasma EBV viral load has not become a routine examination of nasopharyngeal cancer. This research will be a pilot study in the field of plasma EBV viral load in nasopharyngeal cancer, especially in Indonesia.
Method: The design of this study was an Explorative Study. This study explores the relationship between plasma and tissue EBV viral load in locally advanced and advanced stage nasopharyngeal cancer. Large samples are taken based on the rule of thumb, it was estimated that 15 samples would provide an adequate picture. Plasma and tissue DNA EBV PCR examinations were carried out using the Real Time PCR method with the company's QIAGEN® Kit and PCR tool.
Results: There is a weak-moderate correlation (R = 48,3%) between plasma EBV viral load and tissue EBV viral load, with a value of p = 0.003 which indicates that this correlation can be trusted. There is no correlation between the concentration of PD-L1 ELISA, IFN gamma, Lymphocytes, Neutrophils, or Leukocytes with plasma EBV viral load. Conclusion: The higher the tissue EBV viral load concentration, the higher the plasma EBV viral load concentration, although this correlation was weak - moderate, but significant.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>