Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 102527 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Syafri Noer
"Tesis ini tentang pelaksanaan peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri setelah Iepas dari ABRI. Perhatian utama tesis ini adalah pada proses penyidikan dengan fokus menyangkut corak pelayanan hukum bagi anggota Polri sesuai dengan sistem peradilan umum sebagaimana yang termuat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam kajian tesis ini pelaksanaan peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri akan terwujud sesuai dengan KUHAP dan KUHP, apabila perangkat hukumnya memadai dan diorganisasikan sesuai dengan sistem peradilan pidana yang berlaku di Indonesia. Pelaksanaan peradilan umum atas tindak pidana anggota Polri yang dilaksanakan saat ini masih terdapat adanya ketidak pastian hukum, terutama dalam melakukan tindakan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka anggota Polri.
Hasil penelitian menunjukkan:
1. Tindakan penangkapan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana, dilakukan oleh Provost tanpa Surat perintah penangkapan,
2. Tindakan penahanan terhadap anggota Polri yang melakukan tindak pidana pada awalnya di Iakukan oleh Provost tanpa surat perintah penahanan
3. Tindakan penahanan terhadap anggota Polri pada awalnya dilakukan oleh Provost, kemudian dilimpahkan kepada fungsi Reserse.
4. Anggota Polri yang melakukan tindak pidana selama proses penyidikan, penuntutan dan persidangan di pengadilan tidak didampingi oleh penasehat hukum.
Implikasi kajian tesis ini adalah perlunya penjabaran yang Iebih jelas dan tegas terhadap pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri berkaitan dengan pelaksanaan sistem peradilan umum bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana."
Depok: Universitas Indonesia, 2003
T11069
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Z. Panca Putra
"Pemberlakuan sistem peradilan umum merupakan babak baru dalam proses penegakan hukum bagi anggota Polri. Sebagai hal baru, masih perlu dilakukan pembenahan terhadap sistem pelaksanaannya. Melalui penulisan Tesis ini, penulis akan menggambarkan bagaimana implementasi sistem peradilan umum diterapkan terhadap pelanggaran hukum anggota Polri. Dalam penulisan tesis ini, pendekatan yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan Cara pengamatan terlibat, wawancara, dan penelitian dokumen. Penelitian ini difokuskan pada pelaksanaan penyidikan atas pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anggota Polri dan terjadi di wilayah hukum Polda Metro Jaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketentuan sistem peradilan umum bagi anggota Polri telah diimplementasikan melalui penyidikan sebagai bagian dari sistem peradilan pidana.
Implementasi ketentuan ini juga diikuti dengan perubahan pola penanganan terhadap pelanggaran hukum yang terjadi berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku bagi anggota Polri. Dalam kenyataannya, penyidikan yang dilakukan belum dapat mewujudkan tujuan dari sistem peradilan pidana, khususnya dalam menyelesaikan laporan/ pengaduan masyarakat yang terbukti dari masih rendahnya tingkat penyelesaian perkara.
Hasil penelitian menunjukkan beberapa faktor yang mempengaruhi pelaksanaan penyidikan antara lain adalah faktor pengorganisasian yang dilakukan terhadap tim penyidik; ketentuan hukum yang berlaku bagi anggota Polri; kebijakan pimpinan; dan budaya yang berkembang dalam organisasi Polri. Dalam rangka mencapai tujuan sistem peradilan pidana, diperlukan adanya organisasi penyidik yang khusus bertugas untuk melakukan penyidikan terhadap pelanggaran hukum anggota Polri. Selain itu, diperlukan adanya prosedur pelaksanaan penegakan hukum yang dapat berfungsi sebagai suatu sistem dan dapat mengakomodasi pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku bagi anggota Polri.
Daftar Kepustakaan : 43 buku dan 14 dokumen, kurun waktu tahun 1969-2002."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
K. Yani Sudarto
"Penyidikan tindak pidana merek sangat khas apabila dibandingkan dengan tindak pidana lainnya, karena Undang-undang No.15 tahun 2001 tentang Merek menganut sistem delik aduan.
Tindak pidana merek seringkali terjadi karena harga barang dengan merek terkenal sangat mahal, pelaku tindak pidana merek dapat meraih keuntungan dengan mudah, tidak peril] ijin serta tidak perlu mengeluarkan biaya promosi. Tindak pidana merek menimbulkan banyak kerugian kepada pemegang hak atas merek yang sah, masyarakat selaku konsumen dan negara dari sektor pajak. Penyidik dari Satuan Indag Polda Metro Jaya dalam menangani tindak pidana merek masih terbatas pada perbuatan-perbuatan tanpa hak atas merek sesuai dengan UU No. 15 tahun 2001 penggunaan merek yang sama pada keseluruhannya dan sama pada pokoknya dengan milik orang lain yang sudah terdaftar untuk barang atau jasa sejenis serta memperdagangkan barang atau jasa yang diketahui atau patut diketahui bahwa barang dan atau jasa tersebut merupakan hasil dari suatu kejahatan. Perbuatan tindak pidana merek mengenai indikasi geografis maupun indikasi asal sampai saat ini belum ditemukan oleh penyidik Satuan Indag Polda Metro Jaya. Namun demikian bersamaan dengan terjadinya tindak pidana merek tersebut seringkali juga ditemukan pelanggaran terhadap UU. Perlindungan Konsumen dan Undang-undang lainnya.
Penyidikan tindak pidana merek dipengaruhi oleh faktor hukumnya; faktor penegak hukum; faktor dana, sarana atau fasilitas; faktor masyarakat ; dan faktor kebudayaan. Penyimpangan yang terjadi dalam proses penyidikan oleh penyidik antara lain berbentuk meminta bantuan dana penyidikan; uang jaminan penyidikan; penggelapan barang bukti; meringankan sangkaan; menunda pengiriman SPDP; diskriminasi penyidikan; setoran bulanan; intervensi kasus.
Pengorganisasian penyidikan sudah dilaksanakan, namun pada tahap perencanaan dan tahap pengawasan belum dilaksanakan dengan baik."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10880
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natarudin
"Penelitian mengenai Penyidikan Tindak pidana perkosaan di Polda Metro Jaya bertujuan untuk menunjukkan proses penyidikkan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh tim penyidik Ruang Pelayanan Khusus selaku aparatur penegak hukum bagian dari sub system peradilan pidana. Adapun permasalahan yang diteliti adalah mengenai penyidikan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh tim Ruang Pelayanan Khusus. Ruang lingkup masalah penelitian mencakup mengenai proses penyelidikan dan penyidikan termasuk di dalamnya adalah tindakan-tindakan penyidik tim Ruang palayanan khusus dalam penanganan tindak pidana perkosaaan, manajemen operasional penyidikkan, faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyidikan, pola-pola hubungan yang terjadi dalam proses penyidikan dan fakta-fakta empiris yang ditemukan dalam penanganan korban perkosaan oleh penyidik tim Ruang Pelayanan Khusus. Dengan Fokus penelitian dalam tulisan tesis ini adalah penyidikan tindak pidana perkosaan oleh Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya.
Proses penyidikan adalah serangkaian tugas penyidik dalam hal menurut cara yang diatur dalam Undang - Undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi guna menemukan tersangkal pelaku tindak pidana. Dalam proses penyidikan tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya ditemukan beberapa hal spesifik antara lain dalam hal pembuktian medis terhadap tindak pidana perkosaan, pemeriksaan terhadap korban perkosaan dan timbul suatu pertanyaan kenapa dalam Tim ruang pelayanan khusus tersebut semua penyidiknya Polisi Wanita (Polwan). Hal tersebut dapat diabstraksikan diantaranya adalah bahwa pembuktian secara medis kedokteran adalah mutlak diperlukan untuk membuktikan apakah benar korban tersebut merupakan korban dari tindak pidana perkosaan dan juga ditemukan rasa traumatic korban terhadap peristiwa yang dialaminya, serta jawaban dari pertanyaan tersebut adalah agar dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh penyidik Polwan (Tim Ruang pelayanan khusus) korban tidak merasa canggung/korban dapat menerangkan secara gamblang mengenai peristiwa yang dialaminya.
Selain itu karena kesamaan jender dalam hal ini rasa traumatic korban dapat dinetralisir oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus yang dalam hal ini juga dapat sebagai konseling.
Namun demikian dalam proses penyidikan terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus bukan berarti berjalan dengan mulus begitu saja. Pengetahuan, pengalaman dan perasaan sesama perempuan yang dimiliki oleh anggota Tim Ruang pelayanan khusus dalam hal penyidikan sangatlah membantu untuk mengungkapkan suatu tindak pidana perkosaan.
Tindakan Tim Ruang pelayanan khusus tersebut tidak hanya berhenti sampai dengan selesainya proses penyidikan/ setelah berkas perkara dan tersangkanya dilimpahkan kepada Penuntut Umum namun penyidik masih berusaha untuk merehabilitasi perasaan traumatic dan medis dan memberikan jaminan keamaan/keselamatan korban dan keluarganya.
Dalam tesis ini ditunjukkan bahwa tindakan penyidik Tim Ruang pelayanan khusus Polda Metro Jaya secara formal telah mengacu pada Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) Kapolri tentang proses penyidikan tindak pidana dan Petunjuk Tehnis (Juknis) Kapolri tentang penyelidikan Reserse.
Selain hal tersebut penyidik Tim Ruang pelayanan khusus dalam melakukan penyidikan tindak pidana perkosaan juga mengikuti pada pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki. Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diinfentarisir bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh penyidik dalam penanganan korban perkosaan dihadapkan oleh rasa traumatic korban sehingga dibutuhkan kesabaran dari penyidik untuk menciptakan nuansa pemeriksaan yang tidak diliputi perasaan takut, cemas dan emosional yang tidak menentu.
Untuk dapat melaksanakan proses penyidikan tindak pidana perkosaan secara professional, benar dan adil serta dapat memberikan jaminan keamanan dan perlindungan baik terhadap korban maupun saksi-saksi maka dibutuhkan seorang penyidik yang memiliki pengetahuan tentang tindak perkosaan, pembuktian medis, pemahaman mengenai psikologi individu. Selain pengetahuan tersebut juga diharapkan penyidik Tim Ruang pelayanan khusus juga dapat melakukan kerjasama dengan paramedis/dokter, unit-unit lain yang terkait dalam membantu pengungkapan kasus serta sub system CJS (criminal justice system) lainnya tidak dapat lepas dari keberhasilan dalam pengungkapan kasus secara benar dan adil. Sehingga diharapkan bahwa kasus perkosaan tersebut dapat terselesaikan secara tuntas dan dapat memenuhi rasa keadilan dari korban."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11093
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fauluaro Zaluchu
"Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penyebab ketidak tuntasan secara utuh proses penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Polda Metro Jaya. Ketidak tuntasan penyidikan ini akan berpengaruh pada tingkat produktifitas Satuan Reserse Tindak Pidana Korupsi serta kepastian hukum bagi masyarakat.
Secara faktual di dapatkan hubungan penyebab ketidak tuntasan ini dengan pemahaman Instansi Kepolisian dan Kejaksaan mengenai kewenangan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang terkesan "Tarik menarik". Hai ini dipengaruhi oleh konflik lama, kerancuan dan tumpang tindihnya beberapa peraturan per-Undang-undangan tertentu yang bertalian erat dengan Tindak Pidana Korupsi, usaha-usaha pihak Kejaksaan untuk mengambil alih basil penyidikan Polri, disamping tingkat Sumber daya manusia dan keterpaduan fungsi oprasional pendukung Satuan Reserse Tipikor yang memerlukan pemberdayaan.
Pemahaman kedua Instansi penegak hukum yang merupakan bagian dari sistem peradilan Pidana di Indonesia, berawal dari pasal 284 ayat (2) UU No.8 tahun 1981 tentang KUHAP, yang semula bersifat sementara namun berlaku hingga kini, yang kemudian menjadi semakin sulit dengan Iahirnya Keputusan Presiden RI No.31 tahun 1983 tentang BPKP dan Instruksi Presiden RI No. 15 tahun 1983 tentang Pedoman Pengawasan Melekat serta UU No.28 tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI.
Pelurusan secara proporsional materi peraturan per-Undang-undangan yang belum semestinya, dan alternatif pemecahan kewenangan penyidikan adalah merupakan upaya lebih memantapkan penanggulangan Korupsi yang cukup memprihatinkan Bangsa Indonesia saat ini."
Jakarta : Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
T32908
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tujuan penelitian ini untuk mengetahui penyebab ketidak tuntasan secara
utuh proses penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang ditangani oleh Polda Metro
Jaya. Ketidak tuntasan penyidikan ini akan berpengaruh pada tingkat
produktiiitas Satuan Resrse Tindak Pidana Korupsi Serta kepastian hukum bagi
masyarakat.
Secara faktual di dapatkan hubungan penyebab ketidak tuntasan ini
dengan pemahaman Instansi Kepolisian dan Kejaksaan mengenai kewenangan
penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang terkesan “Tarik menarik“_ Hal ini
dipengaruhi oleh konflik lama, keranouan dan tumpang tindihnya beberapa
peraturan per-Undang-undangan tertentu yang bertalian erat dengan Tindak
Pidana Korupsi, usaha-usaha pihak Kejaksaan untuk mengambil alih hasil
penyidikan Polri, disamping tingkat Sumber daya manusia dan keterpaduan fungsi
oprasional pendukung Satuan Reserse Tipikor yang memerlukan pemberdayaan .
Pemahaman kedua Instansi penegak hukum yang merupakan bagian dari
sistem peradilan Pidana di Indonesia, berawal dari pasal 284 ayat (2) UU No.8
tahun 198| tentang KUHAP, yang semula bersifat sementara namun berlaku
hingga kini, yang kemudian menjadi semakin sulit dengan lahimya Keputusan
Presiden RI No.3l tahun 1983 tentang BPKP dan Instruksi Prcsiden RI No. I5
tahun |983 tentang Pedoman Pengawasan Melekat serta UU No.28 tahun 1997
tentang Kepolisian Negara RI.
Pelurusan secara proporsional materi peraturan per-Undang-undangan
yang beium semestinya, dan alternatif pemecahan kewenangan penyidikan adalah
merupakan upaya Iebih memantapkan penanggulangan Korupsi yang cukup
memprihatinkan Bangsa Indonesia saat ini."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1998
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Adhi Wananda
"Penelitian ini bertujuan untuk meneliti kondisi faktual pada penyidik anak terkait dengan kompetensi yang mereka miliki. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya kasus yang menimpa anak sebagai korban maupun sebagai pelaku tindak kejahatan. Sehingga penyidik anak baik dari segi jumlah maupun kompetensi menjadi suatu keniscayaan. Penelitian menggunakan konsep Kompetensi yang merujuk pada Zwell, yang diantaranya mencakup elemen task achievement (TA), managerial (M) dan leadership (L). Dengan pendekakatan kualitatif dan Teknik pengumpulan data wawancara dan studi dokumen, penelitian dilakukan dengan mewawancarai Penyidik Anak, Pimpinan Penyidik Anak, dan Bagian Sumber Daya Manusia di Polda Metro Jaya. Setelah melakukan triangulasi sebagai metode analisis dan verifikasi data, penelitian menunjukkan hasil bahwa kompetensi penyidik di PMJ dinilai kurang memadai dari segi task achievement (TA), managerial (M) dan leadership (L). Meskipun rasio jumlah penyidik dengan kasus masih dinilai memadai, akan tetapi kompetensi yang kurang mengakibatkan penyelesaian kasus berjalan lambat dan tidak efektif. Pelatihan yang kurang menjadi faktor penyebab. Untuk itu peneliti menyarankan agar POLRI melakukan pemberdayaan dengan pelatihan secara rutin dan melibatkan stakeholder eksternal, baik Kejaksaan, Hakim maupun lembaga professional di bidang psikologi anak.

This study aims to examine the factual conditions of child investigators related to their competencies. This is due to the increasing number of cases that afflict children as victims and as perpetrators of crime. So that child investigators both in terms of numbers and competence are a necessity. This research uses the concept of competence which refers to Zwell, which includes elements of task achievement (TA), managerial (M) and leadership (L). With a qualitative approach and techniques for collecting interview data and document study, the research was conducted by interviewing child investigators, the head of child investigators, and the human resources division at Polda Metro Jaya. After triangulating as a method of data analysis and verification, the study showed that the competence of investigators at PMJ was considered inadequate in terms of task achievement (TA), managerial (M) and leadership (L). Although the ratio of the number of investigators to cases is still considered adequate, the lack of competence has resulted in slow and ineffective case resolution. Inadequate training is a contributing factor. For this reason, researchers suggest that POLRI conduct empowerment through regular training and involve external stakeholders, both the Attorney General's Office, Judges and professional institutions in the field of child psychology."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nugroho Slamet Wibowo
"Tesis ini tentang Corak Birokrasi Dalam Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Industri dan Perdagangan Oleh Sat Indag Dit Reskrimsus Polda Metro Jaya. Perhatian utama tesis ini adalah pada corak birokrasi yang terdapat dalam kegiatan penyidikan yang tergambar dalam hubungan antara penyidik dengan saksi, penyidik dengan tersangka, dan di antara penyidik itu sendiri. Fokus penelitian tentang corak birokrasi dalam Sat Indag Dit Reskrimsus sehubungan kegiatan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang industri dan perdagangan. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan tehnik pengumpulan data melalui pengamatan, pengamatan terlibat, dan wawancara berpedoman untuk mengungkapkan corak birokrasi yang terdapat di Sat Indag tersebut.
Tesis ini menunjukkan bahwa corak birokrasi yang terjadi di dalam kegiatan penyidikan oleh Sat Indag, terjadi sebagai suatu bentuk birokrasi dan patologi dalam birokrasi, dan dilakukan dengan cara berhubungan, berkomunikasi, dan dalam berinteraksi sosial antara saksi, tersangka, dan penyidik Sat Indag. Corak birokrasi ini terbentuk dalam hierarki otoritas, adanya spesialisasi dan sistem peraturan, serta impersonalitas. Implikasinya, corak birokrasi yang ada seperti, pertama, tugas-tugas dibagi ke dalam berbagai posisi sebagai tugas resmi. Kedua, petugas diorganisir secara hierarkis dengan rantai ketat perintah dari atas ke bawah. Ketiga, diciptakan pembagian kerja secara detail. Keempat, aturan mengatur semua perilaku dalam rangka pelaksanaan tugas. Kelima, personil dipilih atas dasar kompetensi. Dan keenam, jabatan kantor cenderung menjadi pekerja seumur hidup. Kejahatan yang dilakukan itu berkaitan dengan kemiskinan dan minimnya kesempatan kerja dalam kehidupan mereka. Birokrasi ini diperparah lagi dengan reward dan punishment yang belum dioperasionalkan dalam Sat Indag, sehingga jalinan emosional yang terbentuk sangat tinggi.

The thesis discusses bureaucratic patterns in investigating criminal act in industry and trade conducted by Sat Indag Dit Rekrim Sus (Industrial and Trade Section, Special Crime and Detective Directorate) Jakarta Metropolitan Regional Police. The main focus of the thesis is the bureaucratic patterns of investigation activities which drawn in the relationship between investigator and witness; investigator and suspect; and among investigators themselves. The writer employs ethnography method and collects data by conducting observation, involved-observation, and guided-interview in order to uncover the bureaucratic patterns in Sat Indag above.
The result of the thesis reveals that the bureaucratic patterns in investigation activities conducted by Sat Indag happen as a form of bureaucracy and pathology in bureaucracy. They are conducted by establishing relationship, communication and social interaction among witnesses, suspects and investigators of Sat Indag. The bureaucratic pattern is formed in the hierarchy of authority and there are specialization, system of rule and impersonality. There are some implications of such bureaucratic patterns. First, duties are divided into various positions as official duty. Second, personnel are hierarchically organized with a tight chain of command in a top-down way. Third, job distribution is created in a detail way. Fourth, regulations regulate all behavior in carrying out duties. Fifth, personnel are selected based upon their competence. And sixth, position in the office tends to be a position for life.
The bureaucracy is aggravated by the system of reward and punishment that has not been operationalized in Sat Indag Dit Reskrimsus resulting in higher emotional relationship among the personnel.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2004
T11974
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syaefurrochman Achmad
"Diskresi kepolisian adalah konsep otoritas polisi yang diberikan oleh hukum untuk melakukan tindakan sesuai dengan pertimbangan hati nurani petugas maupun institusi. Otoritas tersebut sangat dibutuhkan untuk mengatasi masalah penegakan hukum dan ketertiban masyarakat yang sangat luas. Masalahnya adalah pengunaan diskresi tersebut potensial disalahgunakan.
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui corak diskresi dalam penyidikan tindak pidana narkotika dan obat-obat berbahaya di Polda Metro Jaya. Dengan metode etnografi, peneliti ini ingin memotret gambaran yang sesungguhnya dari praktek penyidikan dan diskresi macam apa yang dikembangkan para penyidik narkoba. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran bagi institusi kepolisian untuk menentukan kebijakan yang diperlukan, utamanya dalam mengendalikan diskresi, sehingga hukum dapat ditegakkan secara etis.
Temuan penelitian ini mematahkan anggapan sebagian anggota polisi yang menyatakan tidak ada diskresi dalam penyidikan narkotika. Hasil penelitian ini justru menampakkan corak diskresi yang beragam. Diskresi dilakukan atas dasar pertimbangan kualitas kasus, prioritas kegiatan karena keterbatasan sumber daya, perbedaan dalam memandang pemakai narkoba apakah sebagai korban ataukah sebagai pelaku kejahatan, dan keselamatan anggota. Faktor sosial ekonomi dan lama tugas juga mempengaruhi keputusan petugas menggunakan diskresi.
Dalam penyidikan kasus narkoba, terdapat 21 corak diskresi yang mendasarkan pada asas kewajiban hukum; ada juga yang koruptif. Peneliti juga menemukan sejumlah penyalahgunaan wewenang non-diskresi dalam bentuk tindak kekerasan sebagai efek negatif dari sistem kepolisian yang bercorak militeristik.
Keinginan institusi agar polisi bertindak etis tidak dibarengi dengan langkah serius memberantas korupsi, karena pimpinan dan anggota polisi memberikan toleransi tindakan koruptif tersebut dengan dalih tidak ada dana operasional.
Dalam konteks penegakan hukum, Polri harus meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja polisi agar korupsi tidak tumbuh subur, antara lain dengan mengembangkan budaya polisi yang etis. Langkah lain adalah merumuskan pedoman pelaksanaan diskresi agar terhindar dari kesalahan dalam memutuskan tindakan diskresif dan pelatihan menggunakan kewenangan diskresi.
Kepustakaan : 43 buku (1974-2000), 6 Undang-undang, 5 Peraturan Kepolisian 6 artikel, 13 berita."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T365
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mulyadi K.
"Tesis ini menguraikan tentang Saksi Non Polisi yang membantu polisi dalam mengungkap tindak pidana narkotika di Jakarta. Yang dimaksud dengan Saksi Non Polisi disini adalah Informan yang membantu polisi dalam melakukan penyelidikan, proses penangkapan dan berakhir hingga ke proses persidangan.
Maraknya peredaran narkotika saat ini sudah sangat meresahkan masyarakat, sehingga tidak ada satu pun Kabupaten dan Kotamadya di Jakarta yang bebas narkoba. Juga tidak ada kesatuan (TNI/Polri) dan instansi pemerintah lainnya di Jakarta ini menyatakan kantor atau instansi mereka bebas narkoba.
Korban-korban akibat penyalahgunaan narkoba sudah meliputi segmen kehidupan sosial. Mulai dari kalangan pelajar, mahasiswa, eksekutif muda, artis, olah ragawan, oknum aparat, pekerja malam, pengangguran, bahkan mulai merambah pada kalangan elit penyelenggara negara ini.
Untuk menanggulangi bahaya yang sudah mengancam tersebut pemerintah pusat membuat kebijakan melalui keputusan Presiden R.I. Na 116 th 1999, tanggal 29 September 1999, yaitu dengan mengganti instruksi Presiden No. 6 th 1971 tentang koordinasi tindakan dan kegiatan dari Instansi yang bersangkutan dalam usaha mengatasi, mencegah dan memberantas masalah penanggulangan narkotika yang dikoordinasikan oleh Badan Intelejen Negara (BAKIN) dengan membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN).
Melihat pelaksanaan tugasnya yang dinilai hanya bersifat koordinasi dan tidak memiliki kewenangan operasional akhirnya pemerintah mengganti BKNN dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), berdasarkan Keppres R.I. No. 17 tahun 2002 tanggal 22 Maret 2002. BNN yang berkedudukan di bawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden dengan Ketua Umum dijabat oleh Kapolri.
Sedangkan pada tingkat Propinsi, khususnya Pemda DKI Jakarta melakukan suatu penanggulangan dengan cara menyeluruh dan terpadu dalam suatu sistem terhadap penyalahgunaan narkoba berbasis masyarakat yang berada pada tingkat kelurahan. Kegiatan tersebut didukung oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dengan menggunakan pola kerja melalui sistem pendekatan, yaitu pendekatan kepada Penegakan Hukum dan pendekatan kesejahteraan.
Sedangkan Kepolisian Polda Metro Jaya yang berada di wilayah kota Jakarta melalui satuan Reserse Narkotika berdasarkan tugas, wewenang, dan tanggungjawabnya dalam memberantas penyalahgunaan narkoba tidak saja memanfaatkan personil yang ada padanya saja. Melainkan dengan melibatkan potensi masyarakat yang ingin ikut serta secara aktif membantu tugas polisi.
Masyarakat yang memberikan informasi tersebut disebut Informan, dalam istilah reserse sehari-hari informan disebut Cepu. Peran serta masyarakat (yang bertindak sebagai informan) dalam rangka memberikan informasi terhadap penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika sangatlah penting. Karena kejahatan narkotika hingga saat ini merupakan masalah nasional bahkan internasional. Peredaran dan perdagangannya merupakan kejahatan yang dilakukan secara terorganisasi. Dengan demikian hanya informasi dari orang dalam saja yang memungkinkan terungkapnya kasus-kasus ini.
Salah satu kendala untuk menanggulangi penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika pada saat ini yaitu tidak adanya perlindungan kepada "orang dalam" (atau keluarganya) yang bertindak sebagai informan. Sehingga bagi masyarakat yang ingin memberikan informasi, timbul rasa ketakutan akan ancaman dari sindikat pengedar.
Walaupun Undang - Undang Republik Indonesia No 22 tahun 1997 Pasal 57 ayat (3) dan pasal 58 sudah mengatur tentang jaminan keamanan dan perlindungan serta penghargaan oleh pemerintah kepada pelapor, namun pada pelaksanaannya belum dapat diwujudkan.
Undang-Undang tersebut di atas cakupannya masih terlalu luas karena bentuk jaminan keamanan dan perlindungan yang wajib diberikan oleh pemerintah kepada pelapor baik itu masyarakat awam atau informan yang langsung membantu petugas dilapangan masih dalam wacana. Tidak jarang dalam praktek di lapangan masalah ini masih menimbulkan silang pendapat antara Penyidik dan Jaksa."
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T4473
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>