Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 521 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alit Djajasoebrata
Amsterdam: The Pepin Press, 1999
R 791.53 ALI s
Buku Referensi  Universitas Indonesia Library
cover
"Buku ini merupakan buku panduan pergelaran wayang orang di Keraton Yogyakarta pada masa pemerintahan HB VIII dalam rangka menghormati tamunya, Residen P. Westra, di Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 1932. Adapun lakon dalam pergelaran wayang orang tersebut adalah Parta Krama. Diawali dengan “Jejer Kayangan” sampai dengan “Dewi Wara Sembadra Pralaya”."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
BKL.1116-WY 62
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Redi Tanaya
"Buku ini menyajikan cerita wayang berjudul Kartawiyoga yang terdiri atas 16 bagian, yaitu: 1. Jejer nagara Mandaka; 2. Adegan Gapuran; 3. Kadhaton; 4. Pasewanan Jawi, Bidhalan, Prang Ampyek; 5. Jejer negara Astina; 6. Jejer negara Tirta Kandhasan memberangkatkan tentaranya; 7. Perang Gagal Korawa dengan Raksasa; 8. Kartawiyoga bertemu dengan Dewi Erawati; 9. Adegan Permadi di hutan, dilanjutkan perang kembang; 10. Semar Ambarang Jantur di Pertapaan Argasonya; 11. Prabu Salya menemui Pendeta Jaladara; 12. Keraton Mandraka kemasukan maling; 13. Jatuhnya negara Tirta Kandhasan; 14. Endhang Bratajaya di Pertapaan Argasonya; 15. Pendeta Jaladara dirampok Korawa; 16. Perang Sampak."
Betawi Sentrem: Bale Pustaka, [date of publication not identified]
BKL.1115-WY 61
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII
"Buku ini menyajikan lakon-lakon wayang: No. 41. Gathutkaca menikah dengan Dewi Pergiwa; 42. Sasi Kirana; 43. Raden Catuk (Gathutkaca) menjadi raja; 44. Brajadenta, Brajamusti; 45. Sridenta."
Batavia Sentrem: Bale Pustaka, 1932
BKL.1114-WY 60
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara VII
"Buku ini berisi lakon-lakon: No. 26. Arjuna Papa; 27. Bondhan Paksajandhu; 28. Bale Sagala-gala; 29. Raden Setakrama; 30. Perkawinan Raden Untara dan Raden Wratsangka."
Weltevreden: Bale Pustaka, [date of publication not identified]
BKL.1113-WY 59
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"Seni gerak dalam pertunjukan wayang sering disebut dengan sabetan. Dalam seni gerak wayang dikandung aturan-aturan, norma-norma atau wewaton yang merupakan konvensi yang dianut dan diacu oleh para seniman dalang ketika menggerakkan wayang-wayangnya. Salah satu konvensi seni gerak dalam pertunjukan wayang yakni udanagara. Udanegara yakni tatacara bertutur kata, bersikap, dan bertingkahlaku seorang tokoh dalam pertunjukan wayang, yang di dalamnya dikandung etika dan estetika.
Yang dimaksud gerak wayang meliputi, antara lain: menyembah, berjalan, berlari, menari, terbang, dan perang. Gerak wayang tersebut berprinsip pada status sosial, tua-muda (usia), klasifikasi, dan wanda tokoh-tokoh wayang. Dalam seni gerak wayang memperhatikan pula prinsip wiraga (benar dan tepatnya action dalam gerak), wirasa (benar dan tepatnya penghayatan dalam gerak), dan wirama (benar dan tepatnya irama dalam gerak). Langkah kerja penelitian ini dilakukan secara bertahap, yakni: pengumpulan data (menyaksikan pergelaran wayang langsung, baik di televisi, live, wawancara kepada para dalang: studi kepustakaan; pengolahan data; dan laporan penelitian.
Penelitian ini menyimpulkan: gerak wayang terdiri dari dua pengertian, ?luas? (totalitas gerak tokoh) dan ?sempit? (perang); gerak wayang dibatasi oleh konvensi (norma) yang disepakati para dalang (udanegara); prinsip gerak wayang mengacu pada status sosial, usia (tua-muda), klasifikasi, dan wanda tokoh wayang; gerak wayang dewasa ini telah banyak penggarapan, dinamis (tidak terlihat kendor). Perkembangan gerak wayang tersebut seiring dengan pola pikir masyarakat yang semakin maju, kritis, dan dinamis.

Movement art in the puppet performances is often mentioned as sabetan. Puppet movement art, that contains rules, norms, guidance (orientation) is convention that is observed and referred to guidance the dalang artists when they move the puppets. One of the convention of movement in the puppet performance is udanagara. Udanegara, that contains ethics and aesthetic, is the rules of speaking, attitude, and action for actors in the puppet performance.
Puppet movement include among others paying homage, walking, running, dancing, flying and fighting. That puppet movement is based on social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet. Therefore, the movement art of the puppet adopts basic wiraga (true or false action in the puppet movement), wirasa (true or false feeling of puppet movement), and wirama (true or false rhythm in the puppet movement). Method in this research will be conducted step by step: collection data (to watch of puppet performance on television, live performance, dialogue with dalang artist), analysis of data, literary research, conclusion and reporting of the research.
This research concludes: puppet movement has of two meanings, large (totality of puppet movement) and narrow (fighting); puppet movement refers to the conventions (norms), oriented by dalang artists (udanegara); basic of puppet movement refers to social class of puppet, age of puppet, class of puppet, and mood of expression of puppet; now, puppet movement becomes more and more creative and dynamic. The development of puppet movement in line with the way of thinking of society that is more improved, critical, and dynamic."
Depok: Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 2004
AJ-Pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Radhita Yuka Heragoen
"Wayang Kulit Purwa merupakan suatu pertunjukan paling berkembang diantara jenis pertunjukan wayang lainnya. Wayang Kulit memiliki beraneka ragam gaya menurut daerah dan perkembangannya masing-masing. Salah satunya adalah gaya Surakarta. gaya Surakarta lebih banyak digunakan oleh dalang karena ceritanya lebih dimengerti. Dalam setiap pertunjukan wayang kulit terdapat seperangkat perlengkapan untuk pertunjukannya. Salah satunya adalah boneka wayang. Gunungan merupakan boneka wayang yang memiliki peran penting dalam suatu pertunjukan wayang. Gunungan tersebut yaitu gunungan gapuran, gunungan blumbangan, gunungan kadewan, dan gunungan klowongan. Gunungan melambangkan alam semesta yang di dalamnya terdapat aspek-aspek yang merupakan suatu keseimbangan antara baik dan buruk.
The Purwa puppet is the most expanding show among the other type of puppet?s show. The purwa puppet has multifarious of style according to area and ets growth. One of them is Surakarta?s style. Style of Surakarta is more used by puppeteer because ets story is easy understood. In every puppet?s show has a set of peripheral to show the puppet?s play. One of them is puppet?s doll. Gunungan are puppet doll that has the important role in puppet?s show. That Gunungan are gapuran gunungan, blumbangan gunungan, kadewan gunungan and klowongan gunungan. Gunungan are the symbol of universe which there are aspects that represent the balance of goodness and badness."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2009
S11684
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdi Arifin
"Social media is a real product of civilization. The impact of social media very influential in the effort to preserve local culture, especially the preservation of wayang kulit purwa. Recently, millenials generation has used social media in internet as an effort to preserve wayang kulit purwa. Using participation action method, this research looks at how millenials use social media top reserve wayang kulit purwa. The result shows that social media is very effective to attract people. Young people, especially, help to preserve their local culture in a current and fashionable way. This study has demonstrated that millenials have actively utilized social media to preserve local culture."
Yogyakarta: BALAI PELESTARIAN NILAI BUDAYA D.I. YOGYAKARTA, 2017
400 JANTRA 12:1 (2017)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Soedarsono
Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan, 1986
899.21 SOE s
Koleksi Publik  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadi Fajar Himawan
"ABSTRACT
Skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan penahbisan praktik guyon saru (gurauan tidak senonoh) dalam arena pertunjukan wayang kulit purwa. Pertunjukan wayang kulit purwa, sebagai salah satu sebagai instrumen penyampaian gagasan alternatif terhadap isu kontemporer, secara paralel telah menormalisasikan  praktik humor yang cenderung melecehkan perempuan. Kajian terdahulu menyatakan bahwa humor jamak digunakan dalam seni pertunjukan Indonesia sebagai penyaluran gagasan alternatif terhadap isu sosial-politik, inovasi pertunjukan, dan sarana pelembagaan/perlawanan terhadap norma berbasis gender. Pesindhen (perempuan penyanyi solo dalam pertunjukan wayang kulit purwa) mengalami objektifikasi seksual dan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan eksistensi profesinya. Skripsi ini berargumen bahwa guyon saru merupakan praktik yang ditahbiskan (consecrated) oleh beberapa aktor dalam arena pertunjukan, termasuk pesindhen, untuk mempertahankan modal ekonomi, sosial, simbolik, dan kultural mereka. Penahbisan guyon saru dalam arena pertunjukan dilatari oleh habitus pengarusutamaan audiens dalam arena. Penahbisan tersebut dikontestasi oleh para aktor lain, termasuk  pesindhen, yang menyingkapi guyon saru sebagai praktik yang tidak sesuai dengan habitus para aktor sebagai orang jawa. Kajian ini menggunakan kerangka teori medan produksi budaya oleh Bourdieu, pendekatan kualitatif, dan studi kasus pada arena pertunjukan wayang kulit purwa di DKI Jakarta.

ABSTRACT
This study aims to explain the consecration of the practice of guyon saru (indecent jokes/gurauan tidak senonoh) in the field of javanese shadow puppet theater (pertunjukan wayang kulit purwa). Javanese shadow puppet theater, as one of the media of alternative ideas towards  contemporary social issues, had normalized the practice of humor which tends to harass women. Previous studies state that humor had been used in Indonesian performing arts as a media of alternative ideas towards socio-political issues, performance innovations, and instrument to institutionalize/resist the gender-based norms. Pesindhen (female solo singer in the javanese shadow puppet theater) experienced sexual objectification and made various efforts to maintain the existence of their profession. This study argues that guyon saru is a practice which has been consecrated by several actors in the field of the javanese shadow puppet theater, including pesindhen, to maintain their economic, social, symbolic and cultural capital. The consecration of guyon saru in the field is based on the habitus of mainstreaming the audience in the field. The consecration has been contested by other actors, including pesindhen, whose revealed guyon saru  as a practice that was not in accordance with the habitus of actors as javanese people (orang jawa). This research uses the field of cultural production theory by Pierre Bourdieu as researchs framework, qualitative approaches, and the field of javanese shadow puppet theater in Jakarta as the case study."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   4 5 6 7 8 9 10 11 12 13   >>