Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 72 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priska Putri Andini
"Perkembangan perdagangan secara elektronik e-commerce) di Indonesia, dewasa ini, sangat cepat. Pemerintah melihat adanya pergerakan potensi penerimaan pajak yang signifikan dari usaha konvensional ke e-commerce. Untuk mencegah adanya potensi penerimaan yang hilang maka pemerintah melakukan usaha untuk lebih memahami kegiatan e-commerce itu sendiri serta segala potensi perpajakan didalamnya, khususnya terkait dengan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) untuk usaha ini. Sayangnya, Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan yang ada saat belum secara khusus mengatur mengenai besaran Pajak Penghasilan (PPh) untuk usaha e-commerce. Oleh karenanya, sebagai bagian dari usaha untuk lebih memahami kegiatan e-commerce itu, Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan Surat Edaran Nomor SE-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan/atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Transaksi E-Commerce, yang memberikan acuan bagi para aparatur negara di bidang perpajakan untuk melaksanakan proses pengawasan usaha e-commerce sekaligus melakukan penggalian potensi terhadap kegiatan e-commerce. Meskipun Surat Edaran Nomor SE-06/PJ/2015 telah secara spesifik menjabarkan kegiatan-kegiatan yang dapat menjadi potensi untuk dapat dikenakan pajak penghasilan dalam usaha e-commerce, namun, sifat dari Surat Edaran ini adalah pengaturan internal saja. Penelitian ini sendiri merupakan penelitian yuridis-normatif sebagaimana mengacu kepada norma hukum yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan, sedangkan penelitian yang akan dilakukan memiliki tipe deskriptif-analitis atas data kualitatif, yaitu menggambarkan suatu gejala serta menganalisa gejala tersebut untuk memperoleh jawaban atau penyelesaian masalah dari gejala tersebut dan diuraikan secara sistematis. Dengan melihat fakta yang ada, seyogianya Pemerintah mampu membuat regulasi berupa peraturan perundang-undangan yang mengatur besaran pajak utamanya Pajak Penghasilan (PPh)-bagi usaha e-commerce di Indonesia.
The development of electronic commerce (e-commerce) in Indonesia, today, is very fast. The government sees a potential movement of significant tax revenues from conventional businesses to e-commerce. To prevent the potential for lost revenue, the government has made an effort to better understand e-commerce activities themselves as well as all potential taxation in them, especially related to the imposition of Income Tax (PPh) for this business. Unfortunately, the Law on Income Tax is currently not specifically regulating the amount of Income Tax (PPh) for e-commerce businesses. Therefore, as part of an effort for get a better understanding about e-commerce activities, the Directorate General of Taxes issues Circular Letter No. SE-06 / PJ / 2015 about Withholding and/or Collection of Income Taxes on E-Commerce Transactions, which provides a reference for State Apparatus in the field of taxation to carry out the supervision process of e-commerce businesses while simultaneously exploring the potential of e-commerce activities. Although Circular Letter No. SE-06 / PJ / 2015 has specifically described activities that can be subject to income tax in e-commerce businesses, however, the nature of this Circular Letter is an internal arrangement only. This research itself is juridical-normative research as referring to legal norms contained in the laws and regulations, while the research to be conducted has a descriptive-analytical type of qualitative data that describing a symptom and analyzing the symptoms to obtain answers or problem solving of these symptoms and described systematically. By looking at the facts, the Government should be able to make regulations in the form of laws and regulations that regulate the amount of tax-mainly Income Tax (PPh)-for e-commerce businesses in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan Ramadhan
"Perlindungan terhadap merek terkenal pada dasarnya merupakan suatu hal yang sudah diamanatkan oleh undang-undang, namun pada kenyataannya pelaksanaan pelindungan terhadap merek terkenal sendiri di Indonesia dirasa masih belum diberikan dan dilaksanakan secara maksimal hingga saat ini. Hal ini dapat terjadi, karena memang pengaturan perlindungan terhadap merek terkenal yang masih belum memadai serta penerapan kriteria merek terkenal yang belum didasari oleh suatu dasar yang kuat oleh hakim di dalam sengketa merek. Walaupun terkait dengan kriteria merek terkenal telah diatur secara lebih lanjut di dalam PERMENHUKAM 67/16, namun ketidakhadiran pedoman standar dari kriteria tersebut menyebabkan ketidakseragaman baik oleh praktisi maupun hakim dalam menerapkan kriteria tersebut. Oleh karena itu, skripsi ini akan mengkritisi dan menganalisis pengaturan terkait dengan merek terkenal serta penerapannya oleh hakim dalam sengketa merek di Indonesia serta membandingkannya dengan pengaturan dan penerapannya di Singapura dan Amerika Serikat. Metode penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian yuridis-normatif, dan menggunakan bahan-bahan kepustakaan seperti bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Hasil laporan penelitian ini akan berupa sebuah laporan yang mengidentifikasi dan mengklarifikasi permasalahan yang ada sehingga dapat melewati proses analisis dan pengambilan kesimpulan. Temuan yang akan disampaikan dalam penelitian ini adalah masukan-masukan untuk perbaikan terhadap pengaturan merek terkenal dan penerapan kriteria merek terkenal dalam sengketa merek kedepannya.

The protection of well-known marks is basically a matter that has been mandated by law, but in reality, the implementation of protection for well-known marks in Indonesia is considered to have not been maximally given and implemented to date. It can happen because the regulation of the protection of well-known brands is still inadequate as well as the application of criteria for well-known marks that have not been based on a strong basis by the judges in trademark disputes. Although the criteria for well-known marks have been further regulated in PERMENHUKAM 67/16, the absence of standard guidelines from these criteria has led to a lack of uniformity both by practitioners and judges in applying these criteria. Therefore, this thesis will criticize and analyze the regulations related to well-known marks and their application by judges in trademark disputes in Indonesia and compare them with their regulations and applications in Singapore and the United States. The research method in writing this thesis is juridical-normative research, and uses library materials such as primary, secondary, and tertiary legal materials. The results of this research report will be in the form of a report that identifies and clarifies existing problems so that it can go through the process of analysis and conclusion. The findings which would be conveyed in this study are inputs for improvements to the regulations of well-known marks and the application of criteria for well-known marks in future trademark disputes."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Satria Jaya
"Seiring dengan dianutnya sistem ekonomi terbuka di Indonesia, terjadi peningkatan pelanggaran atas merek terkenal. Selain itu, terjadi pula peningkatan kasus-kasus merek terkenal yang ditangani oleh pengadilan Indonesia. Namun, tidak semua putusan atas kasus-kasus merek terkenal tersebut memberikan pelindungan bagi merek terkenal. Kondisi-kondisi ini merefleksikan ancaman bagi goodwill yang terasosiasi dengan merek terkenal di Indonesia. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dengan menganalisis literatur, peraturan, dan putusan pengadilan.
Penelitian ini menghasilkan beberapa pemahaman, yaitu: goodwill mempunyai kedudukan di dalam pelindungan merek terkenal, baik Jepang maupun Indonesia sama-sama telah mengatur mengenai goodwill merek terkenal secara tidak langsung, dan hakim Pengadilan Indonesia tidak selalu mempertimbangkan goodwill dalam menangani kasus merek terkenal. Pada akhirnya, sebaiknya semua pihak yang terlibat dalam pelindungan merek terkenal lebih memperhatikan goodwill yang melekat pada merek terkenal.

As Indonesia embraces the free-market economy, there is an increase in well-known mark infringement. Moreover, there is an increasing number of well-known mark cases handled by Indonesian court. However, not all court decisions regarding well-known mark cases bring protection toward well-known mark. These conditions reflect the threat faced by goodwill associated with well-known mark in Indonesia. This research uses legal normative approach by analyzing literatures, rules, and court decisions.
This research yields several understanding, inter alia: goodwill has position in well-known mark protection, both Japan and Indonesia have regulated the matter of goodwill indirectly, and Indonesian judges do not always consider goodwill while handling well-known mark cases. In the end, this research suggests that all parties involved in well-known mark protection have to be more concerned about goodwill attached to well-known mark.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harahap, Dinasti Brian
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S24955
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Heriyanto
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000
S25960
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Lisnawati
"Kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi terus meningkat, dan mendorong fungsi jasa telekomunikasi khususnya telepon seluler berubah meniadi sarana untuk mendapatkan informasi. Salah satu bentuk fasilitas yang terdapat di sebuah telepon seluler adalah layanan pesan singkat tau yang lebih dikenal dengan short message service (sms). Seiring dengan kebutuhan manusia terhadap informasi kemudian muncul sebuah layanan yang disebut layanan jasa pesan singkat premium yang juga lebih dikenal dengan nama sms premium yang menghadirkan berbagai layanan informasi. Penyelenggaraan jasa pesan singkat premium adalah penyelenggaraan jasa sms dan/atau mms yang diselenggarakan melalui mekanisme berlangganan dan tau tidak berlangganan, dengan tarif yang lebih tinggi daripada tarif penyelenggaraan jasa sms dan atau mms. Permasalahan yang kemudian muncul pada layanan jasa pesan singkat premium in adalah ketika konsumen layanan tersebut merasa dirugikan oleh pelaku usaha layanan jasa pesan singkat premium ini. Penelitian in menggunakan metode normatif, deskriptif dan kualitatif untuk memperoleh gambaran permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Hail penelitian menunjukan bahwa para para pihak yang terkait dalam layanan in antara lain adalah pemerintah, penyedia jaringan (operator), penyedia konten (content provider), konsumen dan BRTI. Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen terdapat 9 (sembilan) hak konsumen yang dijadikan dasar bagi perlindungan konsumen, termasuk masyarakat yang menggunakan manfaat dari layanan jasa pesan singkat premium ini. Hak-hak inilah yang menjadi perhatian dalam penyelenggaraan layanan jasa pesan singkat premium karena banyak pelaku usaha yang mengindahkan hak-hak konsumen ini. Dari fakta-fakta hukum yang ada, banyak pihak penyedia jaringan dan khususnya penyedia konten tidak bertanggungjawab dan telah melanggar hak-hak yang dimiliki konsumen. Penyelesaian sengketa dalam layanan jasa pesan singkat premium yang diselesaikan melalui Badan Regulasi telekomunikasi Indonesia (BRTI) dan PT Telkomsel (penyedia jaringan/pelaku usaha) dilakukan dengan menggunakan cara damai.

Public awareness of the importance of information continues to increase, and encourages the function of telecommunication services, especially mobile phones, to change into a means of obtaining information. One form of facility available on a mobile phone is a short message service or better known as short message service (SMS). Along with human needs for information, a service called premium short message service also better known as premium SMS emerged, which presents various information services. The provision of premium short message services is the provision of SMS and/or MMS services that are organized through a subscription mechanism and or not to subscribe, with higher rates than the rates for organizing SMS and/or MMS services. The problem that then arises in this premium short message service is when consumers of the service feel disadvantaged by the business actors of this premium short message service. This study uses normative, descriptive and qualitative methods to obtain a deep and comprehensive picture of the problem. The results of the study show that the parties involved in this service include the government, network providers (operators), content providers (content providers), consumers and BRTI. In the Consumer Protection Law, there are 9 (nine) consumer rights that are used as the basis for consumer protection, including the community who use the benefits of this premium short message service. These rights are the ones that are of concern in the provision of premium short message services because many business actors ignore these consumer rights. From the existing legal facts, many network providers and especially content providers are irresponsible and have violated the rights of consumers. The settlement of disputes in premium short message services that are resolved through the Indonesian Telecommunications Regulatory Body (BRTI) and PT Telkomsel (network provider/business actor) is carried out using peaceful means.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T37172
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yohana Alfa Agustina
"Tesis ini membahas perihal ahli waris terjadi karena adanya hubungan perkawinan dan karena adanya hubungan darah. Ahli waris karena adanya hubungan darah dalam hal ini adalah anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Dalam tesis ini penulis memfokuskan pada hak mewaris anak luar kawin, dimana anak luar kawin berbeda kedudukannya dengan anak sah dimata hukum menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dalam kenyataannya dimana anak luar kawin hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya dan keluarga ibunya. Sasaran penulis dalam tesis ini adalah apakah anak luar kawin mempunyai hak untuk mewaris atas harta peninggalan orang tuanya sendiri (ayahnya) dan tindakan apa yang dilakukan seorang Notaris/PPAT untuk membantu agar harta peninggalan tersebut dapat dimiliki oleh isteri dan anak luar kawin yang ditinggalkan oleh si Pewaris. Semoga Tesis ini dapat menjadi bacaan bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembacanya.
This thesis discusses the subject is due to the heirs of the marriage relationship and because of blood ties. Heirs of blood relationship in this case are the children who are born within marriage. In this thesis the author focuses on the inherited rights of the child outside of marriage, where the child outside of marriage different from his position with a legitimate child before the law, according to Law No. 1 of 1974 and the Book of Civil Law Act. In fact, where a child outside of marriage has only a legal relationship with her mother and her family. Target the author in this thesis is whether the child has the right to marry outside the inherited legacy of his own parents (his father) and what action is undertaken by a Notary / PPAT to help make these treasures can be owned by the wife and children outside marriage are left by the heir. Hopefully this thesis can be useful reading and add insight to the readers."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T29450
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Laode Rudita
"Disertasi ini membahas perlindungan Indikasi Geografis dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 dari perspektif kepentingan konsumen. Sebagai bagian dari rezim Hak Kekayaan Intelektual yang paling erat kaitannya dengan perlindungan konsumen, perlindungan Indikasi Geografis sarat dengan kontroversi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa untuk menghasilkan peraturan perundang-undangan yang baik, kedaulatan negara dan kedaulatan hukum saja tidak cukup, melainkan negara dalam menjalankan kedaulatannya juga harus memperhatikan kebutuhan dan kemanfaatan undang-undang tersebut bagi rakyatnya. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 dan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2007 tidak mencerminkan hal itu. Hal ini didasari oleh: pertama, sistem perlindungan yang tidak berdasarkan perlindungan reputasi (reputation based protection) mengakibatkan relevansi perlindungan bukan untuk melindungi konsumen. Kedua, kewenangan untuk mendaftar justru menempatkan konsumen dalam posisi yang keliru. Ketiga, sistem perlindungan yang bersifat tertutup tidak dapat memenuhi kebutuhan konsumen yang selalu berkembang. Keempat, terdaftarnya Indikasi Geografis tidak serta-merta membuktikan bahwa perlindungan efektif diterapkan, karena setelah pendaftaran barang berIndikasi Geografis tersebut harus mampu menjamin mutu dan kualitasnya tidak hanya di atas kertas.
This dissertation discusses the protection of Geographical Indications in Act No. 15 of 2001 and Government Regulation No. 51 of 2007 from the perspective of consumer interests. As part of the Intellectual Property Rights regime most closely related to consumer protection, protection of Geographical Indications loaded with controversy. This study uses normative legal research methods. The results of this study proves that to produce a good legislation, state sovereignty and the rule of law is not enough, but the state in carrying out its sovereignty must also consider the need and benefit of these laws for their people. The Act No. 15 of 2001 and Government Regulation No. 51 of 2007 does not reflect that. This is based on: first, the protection system which did not adopt reputation-based protection resulting relevance of protection rather than to protect consumers. Second, the authority to register it puts the consumer in the wrong position. Third, the static protection system can not meet the consumers needs who are always evolving. Fourth, the registered Geographical Indication does not automaticaly prove that effective protection is applied, because after registration Geographical Indications of goods should be able to guarantee the quality not only on paper."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2011
D1298
UI - Disertasi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Lestari
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1994
S22932
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>